"Kenapa dibawa ke sini sih, Dan?" gerutu seorang perempuan sambil berkacak pinggang.
"Ya masa aku tinggalin di pinggir jalan dalam keadaan pingsan sih, Mbak. Bisa-bisa dia nyoba bunuh diri lagi begitu sadar." Danesh menggeram lantas menyandarkan punggung ke sandaran sofa yang tak jauh dari tempat tidur, di mana tubuh Alisha tergeletak lemah taj berdaya.
"Kamu nggak hubungi keluarganya? atau temen-temennya gitu?" tanya perempuan itu lagi setelah merapikan stetoskop dan memasukkannya ke dalam kotak kecil.
"Astaga, Mbak Iin. Aku aja nggak kenal dia itu siapa. Dia cuma tiba-tiba nongol terus mau lompat dari jembatan pas aku lagi final check sama Pak Munir." Danesh mengendikkan dagu saat menunjuk gadis yang tadi ia tolong.
Perempuan dengan wajah tenang yang dipanggil Iin tadi hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ealaaah, hidup kamu drama banget sih belakangan ini!"
"Dia tuh yang kebanyakan drama!" Danesh kembali mengendik ke arah Alisha yabg masih memejamkan mata. "Udah dibawa ke klinik deket kampus malah maksa pulang. Begitu mau pulang malah nangis kejer di pinggir jalan sampe pingsan. Untung aku masih ada sedikit rasa kemanusiaan, kalau enggak udah aku tinggalin aja dia sendiri!" Danesh menceritakan apa yang ia alami beberapa saat yang lalu. Ia tak bermaksud membuntuti Alisha, gadis itu saja yang berjalan sempoyongan hingga mau tak mau menarik rasa ingin tahunya. Danesh hanya ingin memastikan gadis nekat tadi sampai di rumahnya dalam keadaan selamat.
"Hussh, kalau ada orang kesusahan tuh udah paling bener ya dibantu. Jangan kebanyakan ngomel aja, malah kelihatan kalau nggak ikhlas kamu, kita kan nggak tau apa yang udah dia lalui. Kita juga nggak pernah tau gimana beratnya masalah yang dihadapi. Jangan main judge kayak gitu," respon Iin lebih bijak.
Danesh hanya mencebik sebal mendengar kebenaran dari kalimat kakaknya. "Iya, Bu Dokter, iyaaaa..."
"Aku ambil infus dulu di kamar, biar dia nggak dehidrasi. Kamu tunggu sini!"
Namun Danesh tak berniat menunggu hingga kakaknya kembali ke kamar tamu. Pria itu memutuskan pergi ke lantai dua di mana kamarnya berada. Menemani seseorang yang sedang terlelap tidur bukanlah sesuatu yang mengasyikkan untuk Danesh yang sudah terlalu lelah dihantam kesibukkan.
"Lho, kamu udah sadar? Danesh mana?" seru iin saat kembali dan mendapati Alisha sudiha duduk dan nampak kebingungan.
"Dan.. nesh?" Alisha yang masih pucat hanya bisa menggeleng pelan. Tak paham dengan pertanyaan yang dilontarkan Iin.
"Danesh, adikku yang tadi duduk di sini." Iin mengendik ke arah sofa yang tadi ditempati adiknya.
"Hmmm, aku.." Alisha menggeleng lagi bak orang linglung.
"Ya udah, ya udah, nggak apa-apa. Kamu udah enakan?" Iin mencoba mengalihkan pembicaraan saat melihat Alisha kebingungan.
"Udah, Kak," jawabnya mengangguk sambil menyelipkan senyum sungkan. "Makasih banyak."
Iin mengangguk pelan. Bertahun-tahun ia menjadi seorang dokter, maka tak hetan kalau ia sudah hapal dengan wajah linglung Alisha. "Nama kamu siapa?"
"Hmmm, ak- aku Alisha, Kak."
"Kamu nggak perlu bingung, Alisha, tadi Danesh yang bawa kamu ke sini. Karena kamu mendadak pingsan saat keluar dari klinik."
Alisha menunduk, namun menyunggingkan senyum tertahan di sudut bibirnya. "Ma- makasih banyak, maaf merepotkan."
"Eh, kamu mau kemana?" Iin mencoba menahan lengan Alisha yang hendak turun dari tempat tidur.
"Pergi, Kak."
"Pergi kemana?" tegas Iin sekali lagi. Karena berdasarkan cerita sang adik sebelum ia membawa cerita Alisha pulang, gadis itu berjalan sempoyongan dan tanpa arah.
"Ke..." Kalimat Alisha menggantung karena sejujurnya ia pun tak punya jawaban atas pertanyaan tersebut. Jika ia pulang ke apartment kemunginan besar akan kembali bertemu dengan Arya, dan ia enggan berdebat lagi yang ujung-ujungnya Arya tetap memohon padanya untuk meminum pil sialan itu tadi. Sedangkan jika ia pulang ke rumah orang tuanya di Banten, Alisha belum siap dengan ayahnya yang pasti akan bersiap murka andai ia berkata jujur tentang yang dialaminya sekarang.
"Sudah malam banget ini, lebih baik kamu menginap di sini semalam." Iin menimpali karena membaca raut kebingungan di wajah Alisha.
"Tapi ak—"
"Bahaya kalau kamu sampai pingsan lagi di jalan."
Alisha terdiam, dalam hati memang mengiyakan kalimat Iin. Kepalanya masih pening, tubuhnya juga sangat lelah, apalagi dengan hatinya. Menerima tawaran menginap dari perempuan cantik di depannya ini rasanya tidak buruk juga.
"Aku dokter, kadang ada beberapa pasien yang terpaksa menginap di sini. Jadi kamu jangan merasa khawatir atau nggak enakan." Iin menerka Alisha segan untuk bermalam karena status mereka yang tak saling mengenal satu sana lain sebelumnya.
Tersenyum kaku Alisha mengangguk pelan. "Makasih banyak, Kak."
"Aku tinggal dulu kalau begitu, nggak jadi aku infus ya, karena kamu udah enakan. Tapi harus minum ini sebelum tidur." Iin bangkit berdiri lalu mengambil dua butir pil dengan warna berbeda untuk Alisha. "Kamar mandinya ada di sebelah kanan kamar ini. Kalau butuh bantuanku bisa tekan tombol di sebelah lampu ini ya."
***
Arya hampir saja kehabisan akal karena gagal menemukan keberadaan Alisha sejak kemarin. Yoshi yang ia perintahkan untuk mencari kekasihnya juga tak berhasil menemukan titik terang. Ajudannya itu hanya mendapat informasi tentang kebenaran bahwa gadis yang hampir saja melompat dari jembatan penyeberangan itu adalah Alisha. Namun saat ia mendatangi klinik kampus untuk memastikan, ternyata Alisha sudah tak ada di sana karena gadis itu memaksa pulang.
“Lo gimana sih? nyari satu cewek aja nggak becus. Jakarta itu sempit! Agak gesit dong, lo kira ini masalah kecil? ini masalah nyawa, Yosh!”
Yoshi mengernyit sesaat sebelum memberi respon. “Petugas kliniknya bilang kalau Alisha memaksa segera pulang karena tidak merasa sakit ataupun terluka, Boss,” jawab Yoshi setelah mendebas napas panjang.
Ternyata benar apa yang pernah ia dengar dari Ghidan, seniornya, kalau si bungsu kesayangan keluarga Adiyatma ini memang sedikit lain dari dua saudaranya. Jika Senopati dikenal tegas dan dingin, lalu Irawan dikenal lebih pendiam dan kalem, berbeda dengan Arya yang kesannya lebih cerewet dan tak sabaran. Bahkan sudah menjadi rahasia umum kalau banyak yang menyebut Arya adalah penerus Dwisastro yang paling manja dan paling banyak maunya.
“Ya pokoknya gimana caranya lah elo bisa secepatnya nemuin di mana Alisha,” pungkas Arya tak ingin mendengar jawaban yang berbau kegagalin lagi. Dirinya sudah sangat gelisah memikirkan nasib Alisha, jadi mana sempat memupuk kesabaran kalau sampai gagal menemukannya.
“Siap, ini saya sedang minta bantuan Ghidan buat cek kamera pengawas di jalanan sekitar klinik.” Yoshi mengulurkan ponselnya yang sedang berbalas pesan dengan Ghidan, mantan ajudan Arya yang kini menjadi pengawal pribadi Irawan.
“Ghidan?” tanya Arya langsung mendapat anggukan pelan dari Yoshi. “Tugas kecil gini aja kamu minta bantuan sama Ghidan?” Yoshi memang terbilang orang baru yang menjadi ajudan keluarganya, tapi tak seharusnya juga sedikit-sedikit ia meminta bantuan pada Ghidan, meskipun itu seniornya kan?
“Tapi Ghidan memang paling ahli soal CCT—”
Arya mengangkat telapak tangannya ke udara sengaja memotong kalimat Yoshi. “Batalkan, nggak usah hubungi Ghidan atau minta bantuan siapapun! Ghidan salah satu orang yang paling tidak boleh tau tentang tugas ini. Jangan sampai dia tau kalau aku nyari Alisha.”
Bisa kacau semuanya kalau sampai Ghidan yang super peka itu mengendus alasan di balik pencarian Alisha yang dilakukan Arya. Ghidan adalah pengawal yang paling dekat dengan kedua orang tuanya, bahkan bisa dibilang, Ghidan sudah dianggap anak sendiri oleh Hanami. Kedekatan Ghidan dan Hanami sering membuat Arya kewalahan karena semua kelakuan nakalnya pasti bocor ke telinga sang mama. Jika saja berita tentang kehamilan Alisha ini sampai ke telinga Hanami, sudah pasti Arya akan dihajar habis-habisan.
“Cari bantuan sama temen kamu yang lain aja, asal itu bukan Ghidan atau Riri,” sahut Arya menyebutkan nama asisten pribadi Hanami. “Pokoknya orang luar yang nggak dikenal sama mama atau papa.”
“Siap, Boss!” Tak punya pilihan lain, Yoshi langsung mengangguk tegas.
“Gue mau hasil secepatnya!” Arya cepat-cepat menghabiskan cokelat dingin yang sedari tadi tak tersentuh di depannya. “Tanpa cela, dan tetap jaga rahasia, Yosh!” ulangnya sekali lagi lalu bangkit hendak meninggalkan Yoshi seorang diri.
"Siap, Boss!" Yoshi tersenyum kaku lantas melangkah mundur saat Arya tergesa-gesa hendak keluar dari rumahnya.
"Ingat satu hal," ujar Arya mendadak menghentikan langkah dan berbalik. "Kalau nanti mama atau siapa pun hubungin elo nanyain keberadaan gue. Jangan pernah bilang kalau gue lagi ke Banten. Cari aja alasan yang lain."
"Siap!"
"Aah, satu lagi, satu lagi." Arya berbalik sambil mengacungkan jari telunjuknya. "Setelah ini, elo nggak perlu ikutin gue ke Banten. Cukup lo shareloc ulang aja alamat rumah yang tadi, hari ini gue mau cari Alisha sendirian ke rumahnya."
Arya serius kali ini. Memaksakan kehendak pada Alisha agar gadis itu mau menggugurkan kandungan adalah kesalahan besar yang baru ia sadari. Jadi Arya ingin menemukan gadis itu sebelum semuanya terlambat atau bahkan tragedi Alisha ingin mengakhiri hidup tak sampai terulang lagi. Biarlah sudah ia mengalah dan mengikuti keinginan sang kekasih untuk mempertahankan kehamilannya. Pasti akan ada solusi lain selain pernikahan kan? Biar itu ia pikirkan nanti. Sekarang fokusnya hanya satu, menemukan Alisha.
***