Chapter 10

1130 Words
Aku membuka kamar Dewi untuk pertama kalinya selama tujuh belas tahun aku mengenal Dewi. "Kamarnya gak seluas punya kamu." ucap Dewi sambil menyusun alat tulis ke atas meja belajar. "Luas atau enggaknya yang penting nyaman." aku membaringkan diri di tempat tidur Dewi, harum khas Dewi seperti sudah melekat pada kamar ini dan aku menyukainya. Kepalaku menoleh melihat Dewi yang masih sibuk membelakangiku mengerjakan sesuatu. Sebenarnya aku masih kesal mengingat apa yang Dewi lakukan dengan Naren tadi. "Kamu jadian sama Naren?" tanyaku penasaran. "Enggak." "Jadi tadi kamu sama Naren ngapain?" "Cuman main game di time zone." Main game sampe ketawa ketiwi gak jelas, aku menghela nafas kemudian berdiri menghampiri Dewi memeluk cewek itu dari belakang, aku bisa merasakan tubuh Dewi langsung menegang bahkan ingin melepaskan pelukanku. "Lingga, kamu kenapa sih, lepasin gak." "Hukuman buat kamu hari ini karena jalan sama cowok lain." "Lepasin, aku salah apa kok di hukum?" "Salah apa? Kamu masih tanya salah apa di saat kamu sudah tau kalau udah nikah tapi tetep aja ngebet ngedeketin Naren." Dewi mendorongku cukup kuat sampai badanku mundur beberapa langkah, Dewi berbalik menatap tajam kearahku. "Dari awal kamu tau kan aku suka sama Naren? Kita emang udah nikah tapi aku gak bisa gitu langsung suka sama kamu lagian kamu gak usah sok cemburu begitu deh, gak cocok." kata Dewi. Aku menyentuh bahu Dewi tapi kata-kata dari mulutku tidak mau di keluarkan alhasil aku hanya menatap Dewi yang juga menatapku, perlahan tanganku melepaskan Dewi dan bergerak mudur. "Oke, kalau kamu tetep deket sama Naren tapi ingat ini, aku nikahin kamu bukan untuk bahan bercandaan." ucapku lalu berbalik menuju tempat tidur. "Lingga," panggil Dewi tapi aku pura-pura tidak dengar dan naik keatas tempat tidurnya. "Aku harap kamu gak keberatan aku tidur disini." kataku dengan mata terpejam rasanya ingin segera tidur tapi nyatanya sangat susah menuju alam mimpi meskipun aku sudah menutup mata. Aku juga masih merasakan Dewi menatapku, hatiku terasa nyeri karena Dewi memilih Naren tapi sudahlah tidak apa-apa biar aku tahan untuk saat ini lain kali pasti akan terbiasa. Ke esokan hari aku kembali kerumahku bersiap pergi ke sekolah, aku akan berusaha bersikap seperti Lingga sebelum menikah yang suka menjahili Dewi agar dengan begitu aku bisa lupa kalau Dewi menyukai Naren. Ketika aku kembali kerumah Dewi untuk mengajak cewek itu berangkat sekolah ternyata Dewi sudah berangkat lebih dulu. Di sekolah aku melihat Dewi sudah ngerumpi dengan teman-temannya dan karena aku tukang jahil aku sengaja membawa cicak mainan, aku berjalan dengan santai melewati gerombolan cewek-cewek dimana ada Dewi di sana lalu melemparkan cicak mainan yang aku bawa tadi sontak saja kerumunan para cewek tadi langsung bubar seperti dapat teror. "Jahil banget sih Ling." ucap Nuga sembari menyedot minuman kotak. Aku tertawa geli, "Kalau gak jahil sehari aja rasanya gak seru." kataku. Nuga membuang kotak minuman yang sudah kosong ke tempat sampah kemudian menghampiriku lagi dengan senyum jahat khas Nuga ketika sahabatku ini mengeluarkan mainan ular karet cukup panjang dari tas yang Nuga pakai. Aku mengangguk setuju, aku dan Nuga emang suka jahil, kita berdua adalah paket komplit untuk masalah gangguin orang. Dengan santainya Nuga melempar ular mainan yang dia bawa tepat mengenai leher Rika sontak saja para cewek kembali berteriak jingkrak-jingkrak. Aku melihat Dewi menoleh kearahku lengkap dengan tatapan tajam yang mengerikan. Aku dan Nuga saling tatap sebelum berlari bersamaan untuk melarikan diri. "Nuga! Lingga! Awas ya kalian!" teriak Dewi dan ketika aku berbalik para cewek mengejarku bersama Nuga. Bukannya malah takut di rombong para gadis, aku dan Nuga malah tertawa terbahak-bahak. "Siap masuk penjara nih, Ling." kata Nuga. "Yah mau gimana lagi, buruan jangan sampai ketangkep." jawabku sambil terus berlari dan ketika di tikungan aku bersama Nuga belok ke dua arah yang berbeda sampai para cewek berhenti mengejar. "Mau lari kemana lu!" "Hiyaa!!!" seruku kaget melihat Dewi sudah ada di depanku. Dewi melayangkan tangannya pasti akan memukulku aku memberikan senyum manis untuk Dewi kemudian secepat kilat aku menghindar dari pukulan yang Dewi berikan. "Gak kena, wlee!" "Kemoceng kusut awas aja ya kamu!" "Sini tangkap kalau bisa." kataku menggoda karena aku tau Dewi tidak akan bisa mengejarku sampai akhirnya bel masuk berbunyi memaksa permainan kejar-kejaran berhenti. Tepat ketika aku duduk di bangku mejaku Dewi datang dan menjewer salah satu daun telingaku. "Aww!" "Masih mau gangguin lagi hah?" "Dewi, Dewi lepasin woy copot kuping aku entar." Satu kelas menoleh kearah aku dan Dewi, mereka menahan tawa melihat Dewi menindasku dengan cara menjewer sedangkan si biang kerok satunya malah tertawa geli, sialan si Nuga padahal tuh anak yang berulah pakai ular karet, aku kan cuman pakai cicak kenapa yang dapat hukuman cuman aku doang?. "Bentar lagi guru masuk noh lepasin." Dewi akhirnya melepaskan tangan nya dari telingaku, wah gila ini bisa di bilang kekerasan rumah tangga nih, mana Dewi menjewer telingaku beneran dan hasilnya sakit. Aku melihat Dewi yang masih melirik tajam kearahku spontan aku pura-pura tidak melihat. Pelajaran di mulai, sesekali aku melihat kearah Dewi gadis itu tidak terlalu pintar terlihat betapa pusing nya dia mengerjakan soal yang guru berikan. Sebuah kertas aku sobek dari buku menuliskan beberapa kata dan aku lemparkan kearah Dewi. Cewek itu menoleh kearahku mengerutkan kening curiga karena terakhir aku mengirim kertas untuk Dewi hanya untuk menipu Dewi agar naik ke depan mengerjakan soal. Aku mengode Dewi untuk membuka kertas yang aku kirim. "Lingga kamu kasih contekan sama Dewi?" tanya Nuga. "Bukan contekan tapi liat aja tuh mukanya pasti gak lama dia bakalan balikin kertas yang aku lempar kearahnya dengan kesal." Nuga terlihat menunggu dan dugaanku benar tak lama Dewi melemparkan kertas tadi kearahku yang langsung di buka dan dibaca oleh Nuga. "Baca Bismillah biar gak pusing." tulisku. "Udah baca! Gak usah ngejek deh kalau lebih pintar." balas Dewi di kertas itu. Nuga menoleh perlahan kearahku setelah membaca remasan kertas tadi, aku mengedikkan bahu masa bodo. "Pfftt!" Nuga menahan tawa sambil geleng-geleng. "Daripada kamu gangguin Dewi mulu mending bantu aku jawab nomer empat nih dari tadi belum ketemu jawabannya." ucap Nuga yang malah cari kesempatan. Tanganku menampol lengannya. "Jawab aja sendiri." "Idih pelit banget sih nomer empat aja buruan." katanya memaksa. "Elu minta bantuan atau maksa?" "Terserah kamu mau milih opsi yang mana tapi bantuin aku jawab nomer empat." keukuh Nuga. Aku mengambil pulpen dan menjelaskan cara kerja soal yang tidak Nuga tau sampai sahabatku satu ini paham dengan soal nomer empat. Setelahnya aku kembali menatap Dewi, Nuga ternyata memperhatikanku sampai cowok satu ini nyeletuk. "Kamu suka sama Dewi?" Kalau di bilang suka sebenarnya emang iya tapi aku tidak ingin ada orang tau untuk saat ini. "Enggak," jawabku berbohong, "aku cuman mikir bagusnya jahilin Dewi pake cara apa lagi ya?" lanjutku berdalih agar Nuga tidak menekanku jika menyukai Dewi. Nuga mengedikkan bahu dan melanjutkan soal yang belum dia kerjakan sedangkan aku masih menatap Dewi sampai cewek itu menoleh kearahku yang aku balas dengan senyuman. "Dasar gak waras." gumam Dewi. ____ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD