Pagi yang menyenangkan untuk Kanaya karena Radit membalas pesannya semalam. Senandung kecil mengalir lembut dari suaranya yang pas-pasan. Pas untuk ngusir tikus dan kawan-kawannya.
“Wat, lo kenapa? Pil warasnya habis?” tanya Stefan saat berpapasan dengan Kanaya di ruang tamu. Stefan menatap Kanaya aneh sembari meminum jus jeruk yang baru ia ambil dari kulkas. Pakaiannya sudah rapi dengan setelan kantor. Stefan selalu tampil sempurna di pagi hari.
“Wat siapa? Jangan ubah nama orang sembarangan deh,” ujar Kanaya jengkel.
“Singkatan dari Wati. Masak Radit boleh manggil lo Wati sementara gue nggak?”
Stefan terlihat tidak suka. Kanaya tidak akan menang melawan kakaknya yang jago bicara.
“Lo nggak gila, ‘kan, Wat?” tanya Stefan lagi setelah cukup lama Kanaya terdiam.
“Justru gue sedang waras. Lo tahu gue berencana pergi ke Singapura.”
Seketika jus yang ada di mulut Stefan muncrat. Beruntungnya Kanaya bisa menghindar dari semburan kakaknya.
“Lo sakit, Wat?”
“Sudah dibilang gue waras dan sehat” sahutnya kesal.
“Lo liburan ke Bali saja nyasar seharian buat orang panik saja. Apa kabarnya lo keluar negeri? Bisa-bisa lo nggak balik ke Indonesia.”
“Lo nggak perlu khawatir, gue bisa jaga diri.”
Kanaya beranggapan bahwa Stefan dan Santi sama-sama tidak suka ia pergi ke luar negeri. Namun, justru ini yang membuat tekad Kanaya semakin bulat untuk pergi menyusul Radit. Setelah sarapan seperti biasa Kanaya akan pergi ke sekolah mengendarai motor kesayangannya.
Rencana untuk mengganti motor tuanya harus ditunda karena ia akan menggunakan uang itu untuk liburan sekaligus bertemu Radit. Namun, hal itu tidak mengurangi sedikit pun rasa bahagianya. Rasa rindu akan segera terobati. Kanaya yakin Radit pasti senang melihat ia berada di Singapura.
Bel berbunyi nyaring. Kanaya segera masuk ke ruang kelas dan mulai mengajar. Anak-anak terlihat semangat saat bernyanyi. Sampai akhirnya ada seorang gadis kecil berkepang dua bertanya padanya.
“Bu guru, di mana pacar Bu Guru?” tanya gadis kecil bercepol dua yang duduk di samping Kanaya. Hal itu membuat Kanaya tersenyum.
“Pacar ibu guru ada di luar negeri. Dia belum pulang,” jelas Kanaya. “Kalian lanjut nulisnya, ya, jangan mikir pacaran. Kalian tugasnya belajar, pacaran tugasnya orang dewasa.”
Kanaya mengusap rambut anak kecil itu. Selesai mengajar Kanaya kembali ke ruang guru. Ada beberapa guru yang tengah berbincang mungkin lebih tepatnya curhat mengenai rumah tangga mereka. Maklum sebagian dari mereka sudah berkeluarga.
“Bu Rastri,” panggil Kanaya pada seorang wanita beruban. Kepala sekolah.
“Iya, Bu Kanaya, ada apa?”
Kanaya duduk di depan meja Bu Rastri. Raut wajah wanita itu sangat menenangkan. Kanaya tersenyum lebar sebelum mengutarakan keinginannya untuk cuti selama seminggu.
“Mulai kapan cutinya?” tanya Bu Rastri.
“Dua bulan lagi, Bu. Kebetulan kakak saya juga mau nikah,” kata Kanaya.
“Kanaya mau ke luar negeri? Wah, enak ya jadi anak muda belum nikah bisa pergi jalan-jalan. Beda sama kita ibu-ibu yang kerjanya ngurus rumah dan keluarga, Jangankan jalan-jalan ke luar kota, ke mall saja jarang,” ucap salah satu rekan kerja Kanaya. Ibu yang satu ini sangat suka mengeluh tentang rumah tangganya. Dia bilang, ibu mertuanya tidak terlalu menyukainya, jadi sering beda pendapat. Kalau sudah berselisih ia akan curhat di tempat kerja.
“Sekali-sekali, Bu, liburan ke luar negeri. Kapan lagi punya kesempatan,” kata Kanaya.
“Iya, Nay, sebelum kamu nikah.”
Dukungan dari rekan kerjanya membuat Kanaya semakin yakin akan keputusannya. Sepulang kerja Kanaya mulai sibuk di depan laptopnya. Ia mulai mencari tiket penerbangan yang mau bersahabat dengan isi dompetnya.
Sampai suara Shita membuat Kanaya mengalihkan perhatian dari laptop.
“Masuk, Ma,” teriak Kanya lalu kembali fokus pada laptop.
“Nay,” panggil Shita. Ia duduk dekat Kanaya sembari menatap laptop Kanaya yang memperlihatkan sebuah web salah satu maskapai penerbangan.
“Jadi benar kamu mau ke Singapura?” tanya Shita membuat Kanaya mengangguk.
“Iya, Ma. Aku mau nyusul Radit sekalian jalan-jalan.”
Kanaya akhirnya berhasil memesan tiket pesawat. Shita mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya membuat Kanaya menaikkan satu alisnya.
“Pakai uang mama untuk bayar tiketnya. Kamu simpan saja uangmu itu,” ujar Shita membuat Kanaya tertegun. Ini pertama kalinya Shita memberi uang padanya sejak Kanaya bekerja.
“Ma….”
“Nay, mama tahu selama ini mama jarang ngurus kamu sampai dulu kamu berpikir bukan anak mama. Mama minta maaf untuk itu, jadi sekarang kamu pakai uang mama saja.”
Kanaya memeluk Shita erat. Ia tahu keluarganya sangat sayang padanya. Kasih sayang yang ditunjukkan dengan cara yang aneh menurut Kanaya. Namun, ia tidak mempermasalahkan itu karena nyatanya mereka sekeluarga saling mencintai.
Akhirnya kemiskinan gue tertunda, batin Kanaya penuh syukur.
Selama sebulan sebelum keberangkatan Kanaya ke Singapura, Santi dan juga Stefan selalu berada di dekatnya. Santi lebih sering menghubungi Kanaya melalui ponselnya sementara Stefan lebih sering di rumah padahal pernikahannya sudah di depan mata. Stefan terlihat sangat santai mempersiapkan pernikahannya dengan Silvi.
Hari yang dinanti Kanaya pun tiba. Malam ini ia sudah mempersiapkan pakaiannya untuk dibawa ke Singapura selama seminggu. Tidak banyak pakaian mewah yang ia punya. Bahkan koper besarnya hanya berisi setengah.
Kanaya menutup kopernya dan meletakkannya dekat pintu. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk membuat Kanaya membukanya. Ia cukup kaget melihat keluarganya dan Santi berdiri di depan kamar membawa bantal.
“Kalian mau apa? Kok bawa bantal segala? Mau pindahan?” heran Kanaya.
“Kami semua mau nginep di kamar lo,” sahut Stefan membuat Kanaya kebingungan.
“Kamar gue nggak cukup untuk tidur berlima.”
“Untuk itu kami datang membawa kasur lipat.” Santi memperlihatkan kasur lipatnya. Masing-masing dari mereka bertiga membawa kasur. Kanaya hanya diam saat mama dan papanya masuk ke dalam mempersiapkan tempat tidur untuk mereka.
“Kalian ini apa-apaan sih?” tanya Kanaya heran. Belum mengerti kenapa mereka melakukan semua ini.
“Kanaya, kematian itu adalah sebuah kepastian. Tidak ada satu pun yang tahu kapan itu terjadi,” ucap Stefan membuat Kanaya membuka lebar mulutnya.
“Nat, gue juga nggak mau kehilangan moment terakhir gue sama lo.” Santi ikut menimpali.
“Kalian pikir gue akan mati?” Suara Kanaya meninggi membuat keempat orang itu menatapnya.
“Bukan seperti itu, Kanaya. Kami hanya ingin bersama kamu sebelum ke Singapura. Mama akan kangen sama kamu.”
Kanaya menghembuskan napas pajang. Kalau seperti ini bagaimana bisa ia menolak. Kanaya membiarkan empat orang itu tidur di kamarnya. Kasur lipat sudah dijejer rapi lengkap dengan bantal dan selimut. Santi tidur di ujung kanan, diikuti Kanaya, Shita, Sebastian dan Stefan. Ini pertama kalinya mereka tidur di ruangan yang sama.
“Naya, nanti di sana baik-baik, ya. Jangan boros, kalau ada apa-apa hubungi kami,” ujar Shita membuat Kanaya mengangguk.
“Kalian harus percaya kalau aku baik-baik saja. Jangan khawatir,” ucap Kanaya entah sudah berapa kali.
“Bukan seperti itu sayang, papa hanya belum bisa melepas kamu secepat ini,” kata Sebastian membuat Shita menyenggol lengannya.
“Papa ini bicara seolah Kanaya mau pergi selamanya.”
Kanaya menutup telinga membiarkan mama dan papanya berdebat. Di sebelah kananya kini Santi memiringkan tubuh menghadap Kanaya.
“Nat, apa pun yang terjadi jangan lupakan gue, lo harus pulang dengan keadaan sehat tanpa kekurangan satu pun. Janji?” Santi mengacungkan kelingkingnya membuat Kanaya geram. Mereka seolah berpikir Kanaya akan pergi dan tidak kembali. Melihat Kanaya yang tak kunjung menautkan kelingkingnya membuat Santi menautkan paksa kelingking mereka.
Kanaya hanya diam membiarkan keempat orang itu berbicara sepuas hati.
“Naya, kalau ada cowok yang ganggu lo langsung hubungi gue. Gue bakalan nyusul ke Singapura,” ucap Stefan membuat Kanaya bergidik. Tidak terbayang bagaimana reaksi Stefan kalau Kanaya terluka karena pria. Habis riwayat cowok itu.
“Sudah jangan bicara lagi. Tidur saja, sudah malam.”
Kanaya coba memejamkan mata. Baru saja ia mulai terlelap, mamanya dan Santi menimpa kakinya, membelit satu sama lain hingga membuat Kanaya terjaga dan sulit bergerak. Mamanya kini memeluk lengan kiri Kanaya sementara Santi memeluk tangan kanannya. Kanaya merasa seperti seorang tahanan.
Bagaimana gue bisa tidur nyenyak kalau seperti ini? Batin Kanaya.