Radit meletakkan ponselnya di atas meja. Setelah sampai di apartemen pikirannya tidak tenang. Ia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya tadi. Hatinya terus menolak akan apa yang ia lihat. Tidak mungkin Kanaya ada di Singapura. Apa lagi sendiri.
“Honey, kenapa melamun?” Seorang wanita menghampiri Radit. Dekapan hangatnya membuat pikiran Radit jadi lebih tenang. Sebulan yang lalu ia melakukan kesalahan yang membuat dirinya terjebak dengan wanita ini.
Sialnya, Radit tidak bisa menghindar lagi. Ia sudah jatuh terlalu dalam pada kesalahannya. Wanita yang bernama Bianca ini sering menemani hari sepinya. Bahkan wanita ini sangat mengerti apa yang dia inginkan.
“Tidak, Bi. Hanya masalah pekerjaan. Istirahatlah, aku akan kembali besok.” Radit berbalik mengambil jaketnya. Bianca menahan tangan Radit hingga pria itu berbalik.
“Kamu tidak seperti biasanya. Apa ada masalah?” tanya gadis itu. Mereka memiliki nasib yang sama, merantau dari Indonesia dan bekerja di Singapura. Banyak hal yang bisa mereka ceritakan satu sama lain yang membuat kenyamanan itu tercipta.
“I’m ok.”
Radit melepas tangan Bianca lalu pergi dari apartemen gadis itu. Perasaan Radit sangat kacau. Bayangan Kanaya terus mengisi kepalanya. Mungkin ini yang dinamakan penyesalan. Radit tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Kanaya tahu hubungannya dengan Bianca.
“Kanaya, maafkan gue. Janji gue sama lo harus ternodai. Gue janji akan segera ke Indonesia dan mengakhiri hubungan dengan Bianca,” gumam Radit. Ditatapnya gedung apartemen tempat menginap Bianca.
Taksi membawa Radit kembali ke apartemennya. Kedua orang tuanya sudah tidur. Radit ke dapur mencari minuman dingin di dalam kulkas. Bayangan Kanaya kembali hadir saat Radit melihat minuman kaleng di pendingin. Pikirannya berkelana saat Kanaya yang tidak bisa membuka minuman kaleng.
“Kenapa lo nyiksa gue, Nay. Gue minta maaf sama lo,” ujar Radit. Tanpa di duga ternyata Mirna mendengarnya. Ia mendekati Radit lalu memegangi pundak anaknya.
“Ada apa dengan Kanaya?” tanya Mirna membuat Radit terkejut. Ia belum siap menerima segala macam bentuk kekecewaan dari mamanya. Meski ia tahu mamanya tidak terlalu menyukai Kanaya, tapi mamanya akan sangat kecewa saat tahu kalau Radit berhianat.
“Eng-enggak, Ma. Radit hanya kangen sama Kanaya. Apa lagi lihat kaleng minuman.”
“Apa hubungannya Kanaya sama kaleng minuman?”
“Sama-sama bikin candu. Aish, kenapa juga mama tanya tentang Kanaya. Radit jadinya semakin rindu.”
Radit menarik kursi untuk duduk. Jantungnya berdebar kencang. Rasa bersalah terus menghantuinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Banyak hal yang berkecambuk di pikirannya.
Mirna ikut duduk di samping Radit. Melihat anaknya melamun membuat Mirna berpikiran kalau Radit sangat mencintai Kanaya. Mirna tersenyum.
“Kalau kangen ya di telepon, dong. Kanaya pasti senang kalau dengar suara kamu,” usul Mirna. Radit tersenyum tipis. Ia berusaha menghindari komunikasi dengan Kanaya. Ia tidak sanggup mendengar suara gadis itu. Kanaya yang tulus mencintainya harus sakit hati. Radit belum siap melihat Kanaya kecewa.
“Lain kali, saja. Kanaya mungkin sudah tidur. Besok dia harus mengajar,” jawab Radit.
“Ya, sudah. Kamu juga harus istirahat, ya.”
Radit mengangguk. Setelah Mirna pergi Radit kembali melamun. Sesekali ia meremas rambut hitamnya. Matanya terpejam sejenak.
“Maafkan gue, Nay,” gumamnya entah sudah keberapa kalinya.
****
Kanaya sangat antusias pagi ini. Setelah mandi dan sarapan di restaurant hotel ia pun bersiap mencari apartemen Radit. Awal-awal Radit pindah ke Singapura, Kanaya sempat mengirimkan hadiah untuk peringatan hari jadi mereka setiap bulan.
Seharusnya mereka tidak melakukan hal konyol seperti anak ABG. Perayaan sekali setahun saja cukup, tapi Kanaya yang tidak punya pengalaman pacaran pun ingin merasakan hal yang sama seperti anak remaja lainnya.
Kanaya keluar dari taksi. Tepat di depan sebuah gedung pencakar langit. Inikah gedung apartemen tempat tinggal Radit? Sangat mewah. Lebih mewah dari hotel tempat ia menginap. Sejenak Kanaya terdiam mematung mengagumi bangunan di depannya. Padahal ia sudah sangat sering melihat bangunan tinggi di Jakarta.
Kaki Kanaya mulai melangkah memasuki gedung besar itu. Namun, karena kurang hati-hati Kanaya menabrak seorang wanita yang menyebabkan kopi yang dibawa wanita itu tumpah di bajunya. Beruntung kopi panas itu tidak menyentuh kulitnya.
Beberapa kali Kanaya menundukkan tubuhnya meminta maaf pada wanita cantik itu sampai akhirnya mereka berdamai. Kanaya segera pergi ke toilet umum untuk membersihkan pakaiannya dari noda kopi. Kanaya mendesah, saat melihat noda itu tak mau bersih. Masih ada sisa warna kecoklatan di pakaian putihnya.
“Mau bertemu calon suami malah jadi seperti ini. Kalau Radit lihat pakaian gue kotor dia pasti ledek gue.”
Kanaya terus mengusap noda itu sampai tersamarkan. Selesai dengan urusan pakaian kini Kanaya kembali diusik oleh Santi. Beberapa kali gadis itu mengirimi pesan tentang mimpi buruk yang ia alami semalam. Puncaknya Santi menelepon Kanaya untuk memastikan gadis itu dalam keadaan baik.
“Emang lo mimpi apa?”
“Gue mimpi dikejar waria. Terus gue lari sama lo. Eh, tiba-tiba ada anjing di belakang kita. Kaki gue hampir kena gigit terus gue jatuh.”
“Terus lo jadi digigit anjing?” tanya Kanaya penasaran dengan mimpi sahabatnya.
“Nggak jadi, gue keburu jatuh dari tempat tidur.” Kanaya mendesah lega. Santi terus mendesak Kanaya untuk segera kembali ke Indonesia.
Kanaya berusaha menenangkan Santi dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Walau seperti itu tetap tidak membuat Santi tenang sebelum Kanaya pulang.
“San, gue baru sehari di Singapura, masak mau pulang? Lo yang benar saja?”
“Pokoknya lo harus cepat pulang. Gue nggak ada teman berantem lagi. Gue kesepian tanpa lo, Nat.”
Kanaya memutar bola matanya. Mendengar ucapan Santi membuat ia kesal. Di mana pun dan kapan pun Santi selalu bisa membuat bibirnya maju. Kesal.
“Iya, gue segera ke Indonesia. Setelah urusan gue berakhir.”
“Gue tunggu. Lain kali kalau mau liburan tenang, ajak-ajak gue. Jangan liburan sendiri.”
“Iya, bawel. Gue tutup dulu, ya.”
Sambungan terputus. Kanaya kembali menyimpan ponselnya lalu masuk ke gedung apartemen. Ia mencari apartemen milik Radit. Kanaya benar-benar bingung. Tidak ada orang yang bisa ia tanya.
Sampai akhirnya Kanaya sampai di lantai 4 di depan sebuah kamar apartemen. Senyumnya merekah saat melihat nomor apartemen yang sama. Diketuknya pintu itu tiga kali, tapi tidak ada sahutan.
Teringat saat ia berkunjung ke rumah Santi tiba-tiba Radit melemparinya sandal. Saat itu Kanaya lupa kalau ada bel yang bisa ditekan sehingga ia tidak perlu berteriak. Mata hitamnya mencari letak bel yang bisa membantunya.
Tidak lama kemudian pintu terbuka. Kanaya merapikan penampilannya. Ia tersenyum lalu menyapa Tante Mirna yang terlihat kaget.
“Selamat pagi, Tante Mirna yang bukan specialis kopi.”
Mirna menganga melihat Kanaya berada di depan matanya. Ia tidak tahu kalau gadis itu ada di Singapura. Ini seperti sebuah keajaiban di pagi hari.
“Kamu… Kanaya?” ucapnya tersendat.
“Iya, tante. Aku harap tante nggak lupa atau sengaja melupakan aku.”
Mirna mengangguk kepalanya pelan. Ia harus memberitahu Radit kalau Kanaya bertamu ke apartemen.
“Mari masuk, tante telepon Radit dulu biar nanti pulang kantor langsung pulang,” kata Mirna membuka lebar pintu untuk Kanaya.
“Jangan diberitahu, Tante. Aku mau buat kejutan.”
Mirna mengangguk pelan.Perhatiannya kini teralihkan pada pakaian yang dikenakan Kanaya. Gadis ini di mana pun selalu sederhana. Hanya saja noda kopi yang melekat pada pakaian wanita itu sedikit mengusik Mirna.
“Baju kamu kenapa kotor, Kanaya?” tanya Mirna. Kanaya langsung menunduk menatap pakaiannya yang terkena tumpahan kopi.
“Kena kopi, Tante,” ucapnya sambil meremas pakaian yang terkena noda.
“Kamu sebagai wanita harus bersih. Kalau minum jangan buru-buru jadinya baju kamu kotor. Nggak sedap dipandang.”
Kanaya tersenyum simpul. Ia mengangguk pelan lalu mengikuti Mirna ke dalam. Apartemen ini cukup luas ada dua kamar dan satu dapur. Apartemen yang bersih, semua ditata dengan rapi. Tidak ada yang berlebihan.
“Kamu duduk dulu di sana, tante mau ke kamar.” Mirna meninggalkan Kanaya sendiri. Sejujurnya ia merasa kurang nyaman berada satu atap dengan mamanya Radit. Entah kenapa Kanaya merasa kalau Tante Mirna belum sepenuhnya menerima hubungannya dengan Radit.
Tidak lama kemudian Tante Mirna datang membawa pakaian. Kanaya langsung berdiri menerima pakaian yang diberikan Tante Mirna.
“Kamu ganti dulu, nanti pakaian kamu tante cuci biar nodanya menghilang.”
“Terima kasih, ya, Tante. Maaf, Kanaya ngerepotin Tante.”
Tante Mirna mengangguk lalu menunjuk letak kamar mandi. Kanaya bergegas mengganti pakaiannya. Beruntung pakaian itu sangat pas ditubuhnya. Tidak kebesaran dan tidak kekecilan.
“Kamu sudah makan, Kanaya?” tanya Tante Mirna saat Kanaya sudah keluar dari kamar mandi.
“Tadi pagi sudah sarapan roti panggang.”
Tante Mirna menggeleng. “Kamu itu bukan bule, mana bisa hanya makan roti saja. Apa lagi ini sudah siang. Tante buatkan kamu makanan, ya.”
Kanaya ingin menolak karena merasa tidak enak hati, tapi saat merasakan perutnya perih dan bersuara membuat gadis itu urung melakukannya. Sekali saja, tidak masalah menerima bantuan orang lain.
“Tante, Radit pulangnya jam berapa?” tanya Kanaya. Ia menyusul Mirna ke dapur lalu membantu wanita cantik itu mencuci sayur.
“Sekitar jam 4 sore kalau tidak lembur.”
“Apa tempat kerjanya jauh, Tante?”
“Kamu mau nyusul Radit ke tempat kerja?” tanya tante Mirna membuat Kanaya mengangguk pelan.
“Tapi saya tidak tahu alamatnya.”
“Nanti tante kasih tahu alamatnya setelah kamu makan.”
“Terima kasih, Tante.”
Kanaya mulai merasa nyaman bersama Tante Mirna. Banyak hal yang mereka bicarakan termasuk pekerjaan Kanaya. Baru sehari di Singapura Kanaya sudah rindu Indonesia. Ia rindu dengan anak-anak di sekolah juga merindukan Stefan dan Santi.
Kanaya pikir dua orang itu sedang sibuk bekerja karena sejak tadi tidak satu pun pesan yang masuk ke ponselnya.
Radit sebentar lagi kita akan bertemu. Gue yakin lo akan kaget melihat kedatangan gue.