Catatan: Glosarium/Footnote ada di bagian akhir cerita. Tulisan bold sekaligus italic menandakan kata tersebut ada di Glosarium/Footnote. Contohnya: Hepatoma
Bunyi lengkingan lonceng berdenging keras, alunan gelegar suaranya mengayun halus di setiap telinga penghuni FullHope. Suara lonceng itu, kembali menikam hati para manusia. Jumlah lengkingan lonceng memiliki makna tersendiri. Satu lengkingan, mengartikan bahwa semua anggota harus berkumpul di tengah lapangan, karena ada sebuah pengumuman yang akan disiarkan. Dua lengkingan, mengartikan ada seseorang yang tertimpa bencana, ataupun sedang sekarat. Dan lengkingan ketiga, merupakan bunyi bel yang paling memilukan, bahwa satu insan dunia telah berpulang diri. Kini, suara lonceng telah berdentum tiga kali, disebut juga 'denting lonceng kematian'.
Suasana kalut berdentam seketika, membasahi para pemilik jiwa dengan percikan kesedihan. Jasad Ogge kemudian diangkat, dibawa jauh melintasi lorong-lorong gelap, kemudian berakhir di ujung bangunan paling selatan. Disini, setiap FullHoper yang gugur usia akan dikebumikan, dan akan menjalin hubungan dengan darul baka.
Semua orang kembali mengangkat kedua tangan, berdoa agar sukmanya terbang sampai tujuan. Semua orang berhambur keluar tatkala acara pelepasan jasadnya telah usai. Sementara Derau masih terpaku disitu, sambil menatap nisan yang masih mengkilap. Membayangkan seribu kepedihan yang akan ia rasakan ketika nyawanya terhisap di ujung ubun-ubun. Lalu lesat, diseret malaikat berjubah hitam, malaikat maut.
Bayangan dari belakang terasa hangat menyapa tubuhnya. Kemudian disusul sebuah suara yang menghentikan fantasinya sekejap.
"Ingat, tiada kehidupan yang abadi, yang harus kita lakukan sekarang adalah memanfaatkan waktu yang tersisa." ujar seorang wanita, yang mengenakan dress putih di tubuhnya.
Wanita bermata biru itu kembali berucap, "Kita semua disini adalah orang-orang terpilih, kita tahu bahwa hidup kita tidak lama lagi. Oleh karenanya, kita dapat melakukan kebajikan semaksimal mungkin. Sedangkan mereka diluaran sana, yang hidup sehat, tak pernah tahu kapan mereka akan hidup, masih lama ataukah sebentar lagi,..."
"Benar katamu, keadaan ini memaksa kita untuk melakukan yang terbaik." sambar Derau cepat.
"Kami memang terjangkit penyakit, namun keinginan untuk hidup amatlah besar. Mungkin mereka yang sehat, tak sedikit yang ingin mati." balas wanita itu.
"Maaf, sejauh ini kita belum berkenalan. Namaku Jean Derau, dan kau?"
"Aku La Erdes, penulis, aku tahu banyak tentangmu. Kau dokter kan? lebih spesifiknya dokter organ dalam, sekaligus seorang peneliti." ulasnya singkat.
La Erdes menoleh ke kanan, menatap tajam paras Derau yang berbinar. Pandangan matanya bukanlah sekedar tatapan biasa, wanita itu menyimpan perasaan kagum pada sosok Derau yang tangguh, cekatan, dan penuh semangat. Walau sesungguhnya ia tak paham isi hati Derau, yang ringkih dan juga rapuh. Di luar, Derau terlihat kuat dan tegar, namun di dalam ia tetaplah manusia yang lemah.
Tiba-tiba seorang wanita berlipstik tebal datang menghadang. Ia mengacaukan segala perasaan hati yang tengah berbunga-bunga. Wanita itu lesap memotong pembicaraan mereka berdua. Bukan sembarangan percakapan, karena tampaknya La Erdes menaruh sedikit hatinya untuk Derau. Namun sayang, percakapan ini harus segera berakhir, tanpa tanda-tanda maupun aba-aba terlebih dahulu.
"Kenalkan namaku Elisa Weiger, aku seorang reporter." sapanya singkat sambil berjabat tangan dengan Derau dan juga La Erdes.
Mendadak Weiger menggempur Derau dengan serangan pertanyaan, "Jadi, kau benar-benar Jean Derau? Apa yang menyebabkan anda kemari, ke FullHope? Apa anda berada di zona tak aman? Zona kemat..."
Sebelum sempat berucap, Derau lesat memenggal perkataan reporter itu, "Ya.., seperti yang kau tahu. Alasanku kesini karena sebenarnya aku ...,"
"Dia ingin menyembuhkan para penderita penyakit ganas, bahkan lebih. Iya kan?" sambar Erdes seperti halilintar, untuk meredam pernyataan Weiger.
Wajah Derau hanya bungkam, sambil menatap Erdes saksama. Tak Derau terka, ucapan Erdes tadi telah mengalihkan pikiran Weiger. Sehingga reporter itu mengira bahwa Derau tiba di Fullhope bukan karena sakit keras, melainkan karena ingin membantu para anggota lainnya, agar terbebas dari bencana penyakit.
"Benarkah? Jadi kau kemari bukan karena mengidap penyakit mematikan? Melainkan karena ingin menolong kami? Tak kuduga, kau benar-benar merencanakan semua ini." sahut Leux dengan raut berdecik.
Mata Derau kembali berkedip, ia memusatkan pandangannya kepada Erdes sekali lagi. Wanita itu, kini telah mengubah pandangan orang lain terhadapnya. Namun perlahan ia tersenyum tipis. Ia amat menghargai tindakan Erdes yang telah menutupi celah kelemahannya.
"Dok, kami akan membantu untuk mewujudkan impianmu. Kami akan melakukan apapun yang kau perintahkan. Jadi, hal apa yang perlu kami lakukan?" ujar Pienn yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
Derau tersenyum lebar, lalu menggaruk-garukan kepalanya,
"Tidak, kalianlah yang akan mengubah jalan takdir kalian sendiri. Bukan aku." tepis Derau berkelit.
Kemudian Derau berbalik arah, lalu menjumpai De La yang tengah berdiri, mendengarkan sebait perbincangan yang didengungkan Erdes tadi. Kemudian perlahan Derau mulai meninggalkan beberapa orang yang memusatkan perhatian padanya. Hatinya berkedip cepat, tak Derau duga mereka semua ternyata mendukungnya. Namun entah mengapa disaat seperti ini hatinya malah terjatuh, mulai kembali ke ilusi senyap yang meruntuhkan pilar-pilar harapannya. Semua orang mendukungnya, namun justru ia belum mendukung dirinya sendiri.
***
Derau terus mengayunkan kaki, lalu berhenti ketika ia tepat di depan pintu ruang Exorra. Terbesit di benaknya sesuatu hal yang ganjil. Benda itu kini ia tatap lagi, dan menimbulkan seribu pertanyaan dalam pikirnya. Kemudian ia hampiri benda runcingnya, sebuah suntikan yang memuat sebuah kejanggalan. Sebelum Ogge meninggal, Derau sempat menghisap darah Ogge dengan suntikan itu. Awalnya ia ingin menguak penyakit yang diderita Ogge, namun pada akhirnya ia disudutkan akan sebuah pernyataan, mengapa di darah Ogge mengandung racun?
Pertanyaan demi pertanyaan terbit-terbenam dalam pikiran Derau, membuat jiwanya kian gusar. Apakah yang sebenarnya terjadi? Tanpa berpikir panjang Derau lekas menghubungi De La, lalu bergegas menuju kediamannya di jajaran bangunan depan FullHope. Semoga saja ia dapat membantu Derau dalam memecahkan masalah tersebut.
Derau memandangi lekak-lekuk sebuah ruangan. Terpampang jelas foto-foto seorang wanita berkacamata sedang berfose di setiap momennya. Pijaran lampu juga turut memeriahkan ruang yang tadinya gelap. Rupanya kini Derau sedang duduk di kamar De La, tengah mengajukan beberapa pertanyaan demi mendapatkan secarik informasi.
"Apakah disini ada ahli kimia? Aku memerlukannya untuk melakukan riset." ungkap Derau.
"Baiklah, tunggu disini. Aku akan mengeceknya di laptopku."
Tak selang lama mata De La pun berkedip, menandakan bahwa ia telah menemukan nama tersebut. "John Brann, ahli kimia, inggris, bernomor 3052, sektor 4..., Ya, datang saja ke sektor 4. Dia ada disana." ungkap De La bernada singkat.
Derau melaju cepat ke sektor empat, hendak menjumpai orang itu, John Brann. Tak tahu apa yang mencuat dalam benaknya, tapi ia yakin bahwa darah yang mengalir dalam nadi Ogge saat itu adalah racun. Ia mencium bau berbahaya pada suntikan itu, dan kini ia tengah memegang erat bukti tersebut dengan tangannya sendiri.
"Maaf, dimanakah ruangannya John Bra.."
"John Brann maksudmu?" balas pemuda berambut gimbal, wajahnya melukiskan paras lancang, "Maaf.. tapi aku tak bisa, aku..." matanya mengarah pada dompet Derau yang menyembul di saku celana belakang.
Orang itu pun angkat bicara setelah Derau memberikan selembar uang padanya, "Ya, sekarang aku tahu. Dia berada di House-Room 305." tunjuk pemuda gimbal ke ruang milik Brann.
"Hei tengik!! Kau jangan melakukan hal seperti itu lagi!" teriak pria tua dari balik ruang yang ditunjuk oleh pemuda gimbal.
Pemuda gimbal itu lesat melarikan diri ketika orang tua itu melengkingkan suara padanya. Memang, perilaku anak muda itu amatlah menjengkelkan. Sampai-sampai orang tua itu harus mengusirnya dengan pekikan lantang.
Pria tua itu lekas menghampiri Derau, "Maaf, dia selalu melakukan hal itu ketika orang baru bertanya tentangku," sapa Brann, "Tampaknya kau mencariku. Ayo, silahkan masuk!" sambutnya ramah.
"Oh, ya terimakasih. Aku memang sedang mencarimu. Kau John Brann kan?" tegas Derau meyakinkan.
"Ya, aku John Brann, dan kau pasti Derau."
Mereka kemudian masuk ke '305', tempat kediaman Brann. Berbeda dengan di ruang Derau tinggal, ruangan ini hanya memiliki tiga kamar saja. Tampaknya House-Room '233' milik Derau telah direnovasi, sehingga di tempat itu sudah ditambah menjadi empat ruangan. Tidak mengherankan jika terdapat empat penghuni di dalamnya.
Sorot mata Derau menembus kaca suatu ruangan. Kamar milik Brann disekat-sekat dengan kaca tebal, berukuran 0.5 mili. Di dalamnya terdapat banyak tabung reaksi dan peralatan kimia, serta satu tabung besar yang Tabung itu bukanlah tabung biasa, melainkan tabung yang digunakan untuk riset Brann.
"Maaf mengganggu, aku membutuhkan peralatan risetmu untuk mengecek darah ini." jelas Derau sambil mengacungkan jarum suntik.
"Hmm, apakah kau sudah meminta Nevau untuk mendanai risetmu. Tampaknya akan lebih baik jika kau memiliki peralatan sendiri." tukas Brann.
"Oh ya, terimakasih atas informasinya. Aku hampir lupa akan hal itu." sanggah Derau, "Sebenarnya, berapa lamakah dana dan fasilitas itu akan cair?"
"Secepatnya, kalau aku dulu sekitar dua minggu."
"Dua minggu? Sekali lagi maaf telah menggangumu, tapi aku harus mengecek sampel darah ini secepatnya. Jadi, apakah aku bisa menggunakannya sekarang?" pinta Derau.
"Oke!" balas Brann singkat, lalu ia segera menghampiri sebuah pintu kaca. Pintu yang di depannya di beri RFID dan terdapat layar monitor untuk mengecap sidik jari. Ada pula kamera pengintai yang bertengger di sudut atas, dan sebuah lampu yang tampak seperti alarm, untuk menghadang para pengusup.
"Dimana kau membeli peralatan security ini? Aku tampak tak asing dengan design-nya." tukas Derau.
"Oh, ini hasil karya Leux, apa kau mengenalnya?"
"Ya, bahkan kami hidup satu House-Room, nomor '233'."
"Sampaikan padanya untuk membuatkanku tabung eternity. Aku membutuhkannya." ujar Brann. Sedangkan Derau hanya menganggukan kepalanya pelan.
Jempol Brann segera menyapa monitor kecil itu dengan sentuhan lembutnya. Secepat kilat pintu kaca itu terselak lebar, dan kedua peneliti itu lekas memasukinya. Kepada sebuah area yang berisi kilauan peralatan kaca. Tabung-tabung itu berwarna-warni dan menampilkan spektrum cantik, layaknya gemerlap lampu disco. Kaca tabung besar yang mengkilap memantulkan wajah Derau. Sambil bercermin, terpantul jelas ribuan angan impian di benaknya. Terbesit pula di batinnya akan sesuatu hal, ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini secepatnya.
Beberapa saat kemudian, Derau telah selesai dengan pemeriksaan darah itu. Benar saja kekhawatirannya itu, darah Ogge memang mengandung racun. Racun ini bukan terpicu dari serangan virus, melainkan racun yang dikembangkan manusia. Kematiannya juga amatlah aneh, sebelum dia meninggal Derau sempat melihat wajahnya lebam. Apakah ini merupakan suatu kebetulan, atau tidak? Sekali lagi, ia disudutkan kepada dua cabang, yakni melakukan penyelidikan, atau harus berhenti dan melanjutkan penelitian mengenai riset pembuatan serum anti-virus. Karena waktu yang tersisa takkan cukup untuk menjawab keduanya.
***
Jean Derau terus melangkah melewati lorong-lorong hening. Terkadang di setiap pesisir beranda, beberapa orang yang duduk menyapa hangat dirinya. Seakan mereka hendak meminta pertolongan, padahal ia sendiri yang membutuhkan pertolongan itu. Sekali lagi, Derau menatap jarum jam di lengan kanannya, yang kini sudah tergelincir jatuh di angka 6. Mentari pun baru memunculkan sinar-sinar tipis, dan awan-awan bersimbah cahaya jingga lembut, mengukir di sepanjang kanvas cakrawala. Wajah pagi masih buta, sehingga suasana FullHope masih teramat sepi, dan baru muncul segelintir orang saja.
Jiwa Derau berdecik, rupanya ia akan menunda untuk penyelidikan kasus Ogge, dan memutuskan untuk membuat serum anti-virus terlebih dahulu. Setelah perjalanan selama sepuluh menit usai, akhirnya ia kembali ke kediaman De La, lalu menyapa pelan bel di ujung pintu. Suara deringan bel berceloteh ria, menimbulkan lengkingan nada tinggi. Lesat saja pintu itu terbuka lebar, dan seorang wanita pun keluar dari tempat persembunyiannya.
"Derau, ada apa?" ucap De La sambil menyapu matanya dengan kedua tangannya.
"Maaf, tapi aku ingin meminta dana dari Nevau untuk risetku. Karena kau adalah perantara antara aku dan dia." ungkap Derau bersemangat.
"Oh, tidak apa-apa. Ayo masuk!" ajak De La pelan, lalu De La menuntunnya ke ruang tamu di kamar depan.
De La lekas mengambil laptop miliknya, kemudian menjelaskan beberapa perihal kepada dokter muda berkacamata kotak itu.
"Kau akan diberi bajet 10.000 euro. Jadi kau harus memilah hal yang terpenting dulu." jelas De La.
"Baiklah, jelaskan bagaimana caraku untuk mendapatkannya?"
"Pertama, kau harus membuat proposal, lalu setelah diterima kau akan bertemu Nevau untuk penyetujuan sekaligus pencairan dana."
"Baiklah, aku akan melakukannya." seru Derau sambil berkedip malu.
Mendengar berita itu Derau lekas berpulang ke House-Room-nya, hendak membuat proposal. Di kamar, ia mulai membuka laptopnya dan mencari data-data terkait pengajuan. Tak lupa, ia juga menyibak buku-buku dari lemari besar, mencari informasi untuk dijadikan referensi pembuatan proposal.
Tiga jam kemudian, sorot matanya masih lekat pada layar monitor, terlalu bersemangat untuk mewujudkan impiannya. Sebenarnya kedua mata itu sudah terlalu lelah, namun ia tetap memaksanya, terlebih mendesak otaknya untuk tetap gencar berpikir. Tak selang lama, mendadak pandangannya kabur, dan perlahan rasa perih menyernyit dari dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa rasa sakit itu kian menerjangnya? Perlahan, rasa perih itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya, menghentikan aktifitasnya sekejap. Tangannya mencengkeram hebat dadanya, seakan menggenggam hatinya yang tengah berdenyut keras. Rasa itu kini kembali hadir, dan pandangannya berpindah ke dimensi berbeda, titik yang menghubungkan antara kehidupan dan kematian. Kini ia sadar waktunya tidak akan lama lagi, dan penyakit itu kian menggerogoti tubuhnya.
Apakah ia tetap bertahan? Atau malah berbalik arah, semakin terjatuh, dan kian menahan perasaan sakit itu sendirian. Sekaligus, mulai menuju lorong kegelapan, yang semakin meredupkan sinar terangnya.
Glosarium/Footnote:
RFID(Radio Frequency Identification): Sistem identifikasi dengan menginputkan pengambilan data berupa sentuhan, seperti barcode dan ATM.