Dua

1102 Words
Satu jam berlalu, makan siang berlangsung seolah jiwa kelaparan itu tengah berpesta dengan tujuh macam masakan, tanpa ada harapan untuk menikmati makanan lagi. Sendok dan garpu mereka bergerak aktif, maju-mundur, naik-turun, seolah-olah diberati dengan logam berharga. Waktu bukan menjadi masalah sama sekali. Mereka saling berteriak saat saling terdorong untuk melakukan percakapan. Mereka menjatuhkan makanan di lantai, hingga aku tidak tahan lagi melihatnya. Aku bahkan menekan puding kuning itu. Neely masih tamak, mengawasi setiap gerakanku. Miss Natalie hilir-mudik sekeliling ruangan, berkicau soal ini-itu. Profesor Stephan, seorang intelektual konyol yang lengkap dengan dasi kupu-kupu yang sudah tampak kusut, rambut terlihat acak-acakan, duduk dengan sikap puas orang yang baru saja menikmati makanan yang enak, dan dengan penuh nuansa kasih sayang menikmati di depan kami. Dia orang yang baik hati, berumur lima puluhan awal, namun perilakunya sangat mirip dengan Neely dan kawan-kawannya. Selama dua puluh tahun dia mengajar mata-mata kuliah yang dosen lain tidak mau mengajarkan dan mahasiswa tidak mau mengambil. Hak Anak-anak, Hukum Orang d*********s, Seminar tentang k*******n dalam Rumah Tangga, Masalah bagi Penderita Gangguan Mental, dan ada juga mata kuliah yang disebut sebagai Hukum Orang-orang Aneh. Dulu dia pernah membuka mata kuliah tentang Hak-Hak Janin yang belum dilahirkan, tapi hal ini mendapatkan respon kontroversial yang dahsyat. Sehingga Profesor Stephan segera mengambil libur panjang. Dia menjelaskan pada kami di hari pertama kuliah kalau maksud adanya kuliah ini yaitu memaparkan pada kami tentang masalah hukum yang sebenarnya. Menurut pendapatnya, semua mahasiswa masuk sekolah hukum diiringi dengan sejumlah idealism dan niat untuk melayani masyarakat, tapi setelah tiga tahu mengalami kompetisi brutal, kami tidak mempedulikan apa pun kecuali pekerjaan yang tepat dengan biro hukum yang tepat, di mana kami akan menjadi partner selama tujuh tahun lamanya dan meraup banyak uang. Kuliah ini bukan prasyarat yang mestinya diambil, dan aku memulai dengan sebelas mahasiswa. Setelah satu bulan mendengarkan kuliah Stephan yang membosankan dan desakan terus-menerus untuk mengabaikan uang dan bekerja secara gratis, jumlah kami terpangkas dan hanya tersisa empat orang. Mata kuliah ini tidak ada nilainya, cuma dua jam dalam satu minggu, hampir tidak membutuhkan kerja apa pun. Dan inilah yang menarikku ke situ. Tapi, jika masih tersisa lebih dari satu bulan, aku benar-benar menyangsikan apakah aku sanggup bertahan. Pada titik ini, aku membenci sekolah hukum. Dan aku merasakan bahwa ada keprihatinan suram tentang praktek hukum. Inilah pertama kalinya aku berhadapan dengan klien sungguhan, dan aku jadi merasa takut. Walaupun orang-orang yang duduk di sana sudah tua dan lemah, mereka melihatku seolah-olah aku mempunyai kebijaksanaan yangluar biasa. Aku toh hampir menjadi sarjana hukum, memakai jas gelap, membawa bloknot yang aku pakai untuk menggambar segi empat dan lingkaran, dan wajahku disetel menunjukkan tampang cerdas dan elegan, jadi aku pasti mampu membantu mereka. Duduk di sampingku di belakang meja lipat yang sama adalah Bolie Harold, seorang laki-laki kulit hitam yang menjadi sahabat terbaikku di sekolah hukum. Dia juga merasa takutnya sepertiku. Di hadapan kami, terpampang kartu indeks terlipat dengan nama kami tertulis dalam tinta hitam—Bolie Harold dan Edward Cicero. Itulah aku. Di samping Bolie Harold berdiri podium tempat Miss Natalie berceloteh, dan sisi lain ada meja dengan kartu indeks yang sama yang mengumumkan kehadiran B. Locke, keledai sombong yang selama tiga tahun ini menempelkan singkatan dan angka di depan namanya. Di sampingnya adalah b*****t sejati. N. Mila Fox, perempuan yang cukup lumayan, mengenakan jas bergaris halu dan dasi terbuat dari sutra, sikapnya menunjukkan keangkuhan yang luar biasa. Banyak di antara kami yang curiga dia juga memakai cawat olahraga. Stephan berdiri bersandar di dinding belakang kami. Miss Natalie tengah memberi berbagai pengumuman, laporan rumah sakit dan obituari. Dia berteriak ke sebuah mikrofon dengan sound system yang bekerja sangat baik. Empat speaker besar tergantung di setiap sudut ruangan, suaranya yang melengking meledak dan menderu dari segala sudut. Alat bantu dengar ditepuk dan dicabut. Sejenak tidak seorang pun yang tertidur. Hari ini ada tiga obituary, dan saat akhirnya Miss Natalie selesai, aku melihat beberapa pemirsa yang meneteskan air mata. Tuhan, jangan biarkan ini menimpaku. Beri aku lima puluh tahun lagi untuk bekerja dan bersenang-senang, lalu kematian seketika saat aku tertidur. Di sebelah kiri kami, di dekat dinding, pianis mulai beraksi dan membenahi lembaran partitur pada kisi-kisi kayu yang ada di depannya. Miss Natalie menganggap dirinya seperti seorang analis politik. Dan tepat saat dia mulai mengecam usul kenaikan pajak penjualan, sang pianis menyerbu tuts piano. Penuh kegembiraan saat dia memainkan alunan pembukaan dengan suara berdentang-dentang. Orang-orang itu pun meraih buku nyanyian mereka dan menunggu bait pertama. Miss Natalie tidak melewatkan satu ketukan pun. Saat ini dia pemimpin kor. Dia mengangkat tangan, kemudian menepukkannya untuk meminta perhatian, lalu mulai melambaikannya ke segala penjuru bersama nada pembukaan dari bait pertama. Mereka yang tak lumpuh perlahan bangkit berdiri. Lolongan itu mereda secara dramatis pada bait kedua. Kata-katanya tidak dihapal dan hampir semua orang malang ini tidak dapat melihat lebih jauh dari hidung mereka, jadi buku nyanyian itu tidak berguna sama sekali. Mulut Neely tertutup, namun dia lirih-lirih bersenandung ke langit-langit. Piano itu tiba-tiba berhenti saat lembaran partitur jatuh dari kisi-kisi dan bertebaran di lantai. Menandakan lagu berakhir. Mereka menatap sang pianis yang menggapai-gapai dan menggerak-gerakkan kaki di tempat lembaran musik yang jatuh itu terkumpul. “Terima kasih!” Miss Natalie berteriak ke mikrofon, sementara orang-orang itu terempas kembali ke tempat duduk. “Terima kasih. Musik merupakan berkah yang hebat. Mari kita mengucapkan terima kasih pada Tuhan untuk musik yang indah.” “Amin!” Neely menggaung. “Amin,” orang-orang jompo lainnya dari deretan belakang mengulangi disertai dengan anggukan. “Terima kasih,” kata Miss Natalie. Dia menoleh dan tersenyum pada Bolie dan aku. Kami berdua membungkuk ke depan, bertelekan siku, dan satu kali lagi memandang orang banyak itu. “Saat ini,” katanya, “untuk acara hari ini, kami begitu gembira karena kedatangan Profesor Stephan di sini dengan beberapa mahasiswanya yang tampan dan cerdas.” Dia melambaikan tangannya yang bergelambir ke arah kami, tersenyum dengan giginya yang kuning dan kelabu ke arah Stephan yang tanpa suara sedang berjalan ke sampingnya. “Bukankah mereka tampan?” Dia bertanya sambil melambaikan tangan ke arah kami. “Seperti yang kalian ketahui,” Miss Natalie meneruskan bicara ke mikrofon, “Profesor Stephan memberi kuliah hukum di Universitas Southaven. Di situlah putra bungsu saya belajar, namun tidak lulus, dan setiap tahun Profesor Stephan mengunjungi kita di sini bersama para mahasiswanya yang akan mendengarkan masalah hukum kalian dan memberikan nasihat yang selalu bagus, dan bisa saya tambahkan, selalu gratis.” Dia menoleh kembali melontarkan senyum sinting pada Stephan. “Profesor Stephan, atas nama kelompok kami, saya mengucapkan selamat datang kembali ke Lincoln Garden. Kami berterima kasih atas perhatian anda pada setiap masalah warga senior kita. Terima kasih. Kami mencintai anda.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD