Selamat Malam

979 Words
            Seperti biasa, Gadis masuk ke dalam ruangan lesnya dengan wajah datar tanpa melirik kanan kirinya. Sungguh, ia benar-benar sudah tidak perduli lagi dengan ucapan orang-orang dibelakangnya. Semenjak kedatangan tante Tasya dan papanya ke tempat les, Gadis melarang sang mama untuk menjemput atau mengantarnya, ia tidak mau jika ada kata-kata yang dilontarkan teman lesnya yang bisa melukai hati mama.             Gadis menaruh tasnya dan segera duduk, namun ia melirik meja milik Adera yang masih kosong. “Kemana dia? Apa dia tidak akan mengikuti kuis lagi?” gumam Gadis, seolah tidak perduli ia mengeluarkan buku catatan dan kembali membacanya.             Tiba-tiba ia dikagetkan akan sosok yang sudah berada dihadapannya, tersenyum sambil menopang dagu dengan tangan kanannya. “Anak nakal!” pekik Gadis yang secara spontan memukul wajah Adera dengan buku catatannya.             “Auhh, kenapa kamu galak sekali!” keluh Adera mengusap-ngusap wajahnya. “Apa kamu merindukanku?” tanyanya sambil mengedipkan mata.             “Dalam mimpimu!” jawab Gadis kembali fokus membaca.             “Baiklah, aku akan sering tidur agar kamu merindukanku terus” selanya, Gadis hanya mampu menahan tawa mendengar jawaban Adera. “Oke, hari ini pulang denganku ya” kata-kata itu terdengar seperti perintah bukan ajakan. ***             “Terimakasih” ucap Adera tiba-tiba.             Gadis mengerutkan kening, “Ada apa denganmu? Kenapa sopan sekali padaku?” tanyanya curiga.             Adera melirik Gadis yang kini berjalan berdampingan keluar dari gedung tempat mereka les. “Ah, kenapa kamu mengacaukan ucapan terimakasihku yang begitu tulus? Pokoknya aku berterimakasih padamu, untuk semuanya”             Gadis terkekeh, ia geli melihat ekspresi Adera yang terlihat begitu manja. “Ckckk, jaman sekarang hanya ucapan terimakasih saja? Itu basi” jawab Gadis.             “Baiklah, aku traktir makan malam kali ini” ajak Adera tersenyum dan meraih lengan Gadis agar segera mengikutinya. ‘Reaksinya lebih dari sekedar ekspetasiku’ batinnya sambil terus tersenyum.             “Aku mau Steak boleh?” pinta Gadis, Adera menghentikan langkah kakinya, ia melirik Gadis. “Heh, kenapa menatapku seperti itu?” tanya Gadis memukul Adera dengan tasnya.             “Kamu ini benar-benar pandai menguras isi dompet, untung saja aku—“             “Apa? Untung kenapa?” tanya Gadis mendekatkan wajahnya, karena Adera tidak melanjutkan ucapannya barusan.             “Cepat naik, lupakan ucapanku tadi” perintah Adera yang kini sudah menaiki motornya. Gadis hanya mendecakan mulutnya kesal lalu mengikuti perintahnya untuk naik keatas motor. “Peluk, nanti jatuh!”             “Dalam mimpimu—“             Namun Adera sudah menancapkan gas motornya membuat tubuh Gadis terlonjak dan segera memeluk tubuh Adera. Terlihat senyum kemenangan dari bibir Adera saat ini. ***             Sesuai permintaan Gadis, kini mereka berdua berada di sebuah cafe yang menyediakan menu Steak. Terlihat senyuman dari bibir mungil Gadis saat melihat satu porsi Steak pesanannya, ia menatap Adera yang terus membuang muka padanya.             “Hey, apa kamu tidak ikhlas? Jika begitu rasa Steak ini akan jadi rasa tahu!” gerutu Gadis yang duduk dihadapannya.             “Siapa bilang? Apa aku harus menatap wajahmu terus? Aku perlu menjernihkan mataku ini!” jawab Adera, Gadis hanya mencebikan bibirnya kesal. “Makanlah duluan, pesananku belum datang!” lanjutnya, namun siapa sangka jika Gadis sedari tadi sudah melahap makanannya. ‘Astaga, apa dia tidak sadar? Jika aku ini menyukainya?’ batin Adera kembali mencuri-curi pandang pada Gadis yang malah sama sekali tak mneghiraukannya.             Tiga puluh menit berlalu, Gadis dan Adera sudah menghabiskan satu porsi Steak dan segelas Lemon Tea. “Hutangku lunas” ucap Adera, mengusap bibirnya dengan tissu.             Gadis mendelik sebal, “Perhitungan sekali anak ini” gerutunya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ayo pulang, mama pasti menungguku” ajak Gadis bangkit dari kursinya disusul Adera.             “Sebelum pulang, ambil pesanan untuk mamamu di sana” tunjuk Adera ke tempat kasir, Gadis menatap Adera heran. “Itu sudah kubayar, tenang saja!”             Kini Gadis terkekeh dibuatnya, “Ah ... baiknya” puji Gadis mengacungkan kedua ibu jari.             Disaat mereka berdua berada di meja kasir, tanpa diduga bertemu dengan Bela dan keluarganya. Sepertinya mereka juga selesai makan disini.             “Bela?” sapa Gadis. Wajah Bela sontak berubah saat melihat sosok Gadis. “Dengan siapa kesini?” tanya Gadis.             Bela terdiam, namun sedetik kemudian papa Bela yang berdiri disampingnya tersenyum pada Gadis. “Hai, kamu teman Bela? Perkenalkan saya orangtua Bela” kenalnya, Gadis tersenyum dan mencium kedua tangan orangtua Bela.             “Saya Gadis Om, Tante, teman satu bangku Bela di sekolah” kini giliran Gadis yang memperkenalkan diri.             “Oh, kamu teman sekolahnya? Sayang sekali kita sudah selesai makan, padahal tadi kita tengah merayakan keberhasilan Bela masuk final. Saya bangga sekali padanya” puji Papa Bela mengecup pucuk kepala Bela lembut, tidak terlihat jika sang papa itu galak seperti apa yang dikatakan Bela.             “Kami pulang ya” pamit Bela menarik lengan kedua orangtuanya agar segera meninggalkan tempat itu. “Dadah” teriak Bela.             Gadis terdiam, ia merasa sudah dibohongi Bela. Satu-satu teman wanita yang mulai dia percaya.             “Kenapa denganmu?” tanya Adera yang melihat perubahan Gadis.             “Benar apa kataku, tidak ada teman yang tulus! Dia membohongiku” ucap Gadis, berjalan meninggalkan Adera yang kini berjalan mengekorinya. “Tidak ada yang bisa dipercaya!” tambahnya lagi, membuat Adera semakin tidak bisa mengerti. ***             Adera yang tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian di cafe tadi kini berusah mencari tau, ia mencari nama Langit pada layar ponselnya dan segera menghubunginya. Nada tunggu cukup lama terdengar hingga akhirnya ada jawaban dari Langit.             “Ya”             “Siapa Bela?” tanya Adera tiba-tiba.             “Apa? Siapa Bela? Mana aku tau siapa Bela? Bela siapa yang kamu sebut?”             “Bela, teman Gadis?”             “Astaga? Haruskah kamu menelponku untuk bertanya siapa Bela di jam sebelas malam?”             “Aku melihat Gadis kesal padanya”             “Kenapa? Apa yang terjadi?”             “Aku bertemu dengannya saat makan tadi, ekpresi Gadis berubah saat melihat perlakuan orangtua Bela? Apa ini Bela yang disebut-sebut Gadis—“             “Apa? Apa yang Gadis sebut? Kenapa kamu memotong percakapan disaat yang tidak tepat?”             “Aish, diamlah! Aku tengah mengingat-ingat kata Gadis! Ah, ia dia pernah bercerita soal Bela yang mempunyai ayah galak? Tapi apa mungkin? Ayahnya terlihat baik sekali? Mungkin bukan Bela itu ya?”             “Oh, jadi itu yang membuat Gadis mengundurkan diri? s****n! Apa Bela membohonginya?”             “Kenapa kamu yang bertanya? Ini harusnya aku yang bertanya? Lalu kenapa aku lebih tau darimu? Menyebalkan!”             “Aku semakin penasaran dengannya? Apa jangan-jangan Bela sering berbohong pada Gadis? Baiklah, besok akan kutanyakan padanya”             “Hey, apa yang mau kamu lakukan pada Gadis galaku, hah?”             “Diamlah dan segera tidur! Selamat malam!”             “Hey Langit! Aku belum selesai—“ namun sambungan telpon diputus sepihak oleh Langit membuat Adera kesal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD