•BG - Sulit

1253 Words
“Selalu ada suka disamping duka.” ••• Dengan sangat hati-hati gadis berjaket jeans ligh blue itu membuka pintu utama sebuah rumah bertingkat dua. Berhasil masuk, menutup pintu kembali dan menghela napas lega karena ruangan sudah tak secerah biasanya. Lampu yang padam menandakan orang rumah sudah terlelap bukan? Tentu saja itu pikirnya. Klik. Ruangan yang tadinya gelap seketika cerah secerah-cerahnya. “Dari mana saja kamu?” langkah ragunya terhenti kala suara tak bersahabat itu menyambutnya. “Main.” jawabnya singkat. “Sampai jam satu kamu bilang cuma main?! Pasti kamu diajak sama temen-temen brandalan kamu itu. Mami sudah berapa kali bilang sama kamu, jangan pernah berhubungan lagi sama mereka! Mereka berdampak buruk buat kamu, Beby!” gadis bernama lengkap Beby Naisyila Giordanz itu menyorot dingin ke arah maminya. “Mereka bukan brandalan! Dan bukan mereka yang ngajak Beby, tapi Beby yang minta ikut.” “Terserah apa kata kamu. Yang jelas mami gak mau gara-gara pergaulan kamu sama mereka, rangking kamu turun. Dan ingat ya Beby, mami mau kamu harus rangking satu semester ini. Kalo bisa juara paralel.” Beby berdecak kesal. “Udah deh, Mi. Beby capek. Mau tidur.” pijakannya pada anak tangga kedua terhenti paksa kala mendengar ucapan Ratu—maminya. “Pokoknya kamu harus turutin apa kata mami. Kalo sampai kamu nggak juara satu tahun ini, kamu tahu kan apa yang akan mami lakuin?” Ratu tersenyum miring melihat putrinya terdiam memunggunginya. Ancaman ini selalu berhasil. Pikirnya. Tanpa berucap untuk membalas ucapan sang mami, Beby menyambung langkahnya dengan perasaan marah, kesal dan benci. ••• Waktu yang seharusnya digunakan untuk mengikuti pelajaran di kelas, justru dibuang cuma-cuma oleh lima remaja yang tengah nongkrong ria di kantin sekolah yang sepi itu. “Lima menit lagi istirahat. Nggak mau masuk?” celetuk Gildan. “Otak tripleks.” Gwen menyahuti datar yang diangguki Glen dan Galuh. “Lucu lo, Gil!” ucap Beby setelah setengah menit berlalu. Keempat cowok itu menoleh padanya. “Telat, sayang...” seru mereka serempak gemas. Beby mencebikkan bibir. “Btw, tumben ikut bolos. Setan dari mana?” tanya Gwen menatap Beby yang duduk di seberangnya. “Lagi kangen lima jari. Kebetulan juga paketan gue abis. Lumayanlah, bisa dengar nyanyian langka. Gratis pula.” jawab Beby santai. Galuh yang duduk di samping kirinya berdengus geli. “Jangan keseringan.” ujar Galuh sembari mengacak rambut Beby. Beby, Galuh, Glen, Gwen dan Gildan. Kelima siswa Merah Putih yang punya daya tarik dari segi paras yang menawan memikat. Itulah sebabnya banyak mata yang memperhatikan mereka sepanjang perjalanan kelimanya kembali ke kelas. Namun semua itu tak menjamin kebahagiaan hadir yang semata-mata ada karena wajah. Disenangi belum tentu orang itu senang hidupnya. Dikagumi belum tentu bisa memberi senyum diwajahnya. Sejati faktor utamanya ialah siapa dulu yang memberi afeksinya. Seperti ucapan penuh sirat Beby yang sudah sangat keempat teman lelakinya ketahui apa maksudnya. Dan benar saja, setibanya di rumah—yang dalam deskripsi Beby sangat jauh dari kata tempat untuk pulang itu, ia langsung mendapat tamparan keras—itu untuk ungkapan rindunya pada lima jari—serta diomeli panjang lebar—dan ini untuk nyanyian langka yang dimaksudnya. “Apa susahnya sih kamu nurut sama mami?! Di suruh belajar kamu malah bolos nggak jelas! Gara-gara kamu, Daddy marahin mami karena nggak becus ngurus kamu. Kamu nggak mikir Bi? Kalo terus-terusan gini, bisa-bisa daddy kamu bakal tinggalin mami!” “Bukannya mami emang udah di buang?” PLAK! Ratu menampar pipinya untuk yang kesekian kalinya. “Jaga ucapan kamu Beby! Mami itu orang tua kamu. Mami yang melahirkan dan membesarkan kamu!” menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Finaly. Kalo sampai mami dengar ada kabar begini lagi, mami nggak akan segan-segan memutus seluruh fasilitas nenek dan kakek kamu.” “Jangan!” walau puncak kebenciannya semakin di luar batas, mendengar ultimatum itu membuatnya harus menggulung kilat rasa ingin memberontaknya. Itulah maminya. Ratu Avantika. Wanita berusia 36 tahun itu sangat menuntut Beby menjadi seorang yang sempurna di mata Giordanz Pamungkas, sang ayah. Mulai dari akademik, attitude, penampilan, hingga orang yang bergaul dengannya pun harus baik tanpa cela. Awalnya Beby menolak semua perintah itu. Meski sering di lukai secara fisik karenanya, Beby tetap kekeuh pada pendiriannya kala itu. Dan penolakan terang-terangan itu terpaksa ia hentikan, saat Ratu menggunakan orang tuannya sendiri alias kakek dan nenek Beby. Ratu mengancam akan memutus semua kontak dan juga dana berupa uang yang ia kirim rutin sebulan sekali ke rekening kedua orang tua yang sudah ringkih itu. Tentu saja Beby tidak tega. Ditambah lagi, Beby hanya pernah merasakan rasanya di perlakukan sangat baik dan penuh cinta dan kasih tanpa pamrih itu dari kakek dan neneknya. Beby amat sangat tidak rela jika mereka harus bekerja untuk mencari nafkah dengan usia yang tak lagi muda. “Beby akan berusaha.” ucapnya lirih. “Mami tunggu hasilnya.” Ratu beranjak menuju kamarnya. Selalu seperti ini. Inilah alasan kenapa Beby sangat malas berada di rumah walau hanya semenit. Rumah yang hanya di huni ia dan maminya itu akan selalu ramai acap kali keduanya bersitatap. Bukan ramai dengan canda dan tawa, tapi dengan riuhnya adu mulut terutama kalau sudah menyangkut harta waris. Sangat menjijikan menurut Beby. Selesai mandi dan mengenakan baju tidur, Beby merebahkan diri di atas ranjang besar bertema monokrom. Di raihnya benda pipih berlogo apel di atas nakas, dan mulai fokus melihat keramaian notifikasi disana. —-G4B1—- Gildan : @Beby, masa aku di hukum bunda gak boleh bawa motor selama 1 bulan Glen : MAMPUS. Gwen : akhirnya gue nggak harus denger kentut motor lo lagi. Gildan : lu berdua Gildan : Beby-nya Gildan mana sih? Belain aa dong neng... Gwen : Beby-nya ada nih, lagi gue kelonin. Gildan : lo ngomong apa si Wen, gue nggak denger? Gwen : jangan ampe gue ancurin rumah lo, Dan! Glen : brisik. Beby : iya bener kata Glen. Brisik banget sih lu pada. Galuh : peliharaan lo tuh Beb. Gildan : siapa? Si Gwen? Gwen : Beby tersenyum geli membaca chat di group w******p yang sudah terbentuk satu tahun itu. G4B1 diambil dari huruf depan nama mereka berlima. Simple dan spontan. Namun nama itu sudah sangat melekat di SMA Merah Putih. Galuh is calling.... Terpampang jelas nama Galuh di layar ponsel yang sedang di genggamnya. “Kenapa Gal?” sahutnya setelah menerima panggilan. “Lagi ngapain?” “Tiduran aja.” “Kenapa belum tidur? Jangan begadang Bi.” Beby memutar bola matanya. “Belum ngantuk. Males kali.” cetusnya dengan nada sebal. “Nggak ada males-males. Pokoknya abis ini, lo harus langsung tidur. Ngerti?” “Iya-iya, terserah lo aja. Uhm... Gal,” Galuh berdehem. “Besok gue ikut ya?” Galuh mendesah diseberang. “Nggak boleh Bi. Kalo nyokap lo tahu, dia bakal mukul lo.” “Tapi gue bete Gal. Pliiis.” “Gue gak mau lo kenapa-napa lagi.” “Gak bakal deh. Ayolah, yaya?” “Sekali nggak, tetep nggak.” “Tahu ah, bodo!” Bip. Beby memutus sambungan sepihak dan merengut sebal. Tak lama kemudian nada dering ponselnya berbunyi lagi. Menggeser tombol hijau, diletakkannya di samping telinga kanan. “Bi?” Beby diam enggan menjawab. “Beby...?” terdengar helaan napas di seberang sana. “Ya udah iya boleh.” senyum Beby terbit seketika. “Boleh apa?” “Boleh ikut.” “Thankyou.” “Iya. Perginya bareng gue.” “Oke.” “Ya udah, sekarang lo tidur. Gue nggak mau liat panda cantik besok.” Beby terkekeh renyah. “Good night.” Bip. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD