Isyarat Kematian

2143 Words
Fero merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan menghela napas sesaat. Ia kembali mengambil kameranya di samping tempat tidur, melihat lagi hasil potretannya tadi. Banyak foto Rebecca yang berhasil ia abadikan. Ada juga tempat-tempat eksotis yang ia tangkap di tengah malam itu. Ia tersentak kecil saat melihat gambar Fiola di kameranya membuat ia baru tersadar. Kalau balik tadi hanya sendirian dan melupakan Fiola di dalam hutan sana. Fero pun sontak melompat turun dari kasurnya membuat teman satu kamar dengannya jadi terperanjat kaget. "Ada apa?" Tanya temannya jadi ikutan panik, namun Fero tidak menanggapi. Tergesa-gesa keluar dari kamar dengan ekspresi cemasnya. "Fer, mau kemana? Sebentar lagi ada pemeriksaan kamar sama Pak Betran." Kata teman-temannya yang berada di koridor. Namun, Fero tidak menghiraukan. Berlari keluar sampai menabrak Christ yang baru masuk. Fero sesaat menoleh dan mengucap permintaan maaf, lalu melanjutkan langkahnya yang terburu-buru membuat Christ menaikan alisnya tinggi. "Palingan juga dia lupa ada janjinya sama Fiola. Sekarang baru ingat makanya dia panik," "Beneran juga, aku yang satu kelas sama mereka berdua jadi risih sendiri karena harus jadi saksi kalau mereka bertengkar di kelas." "Ngapain kau dengar, bodoh. Kau keluar saja dari kelas dan biarkan mereka menikmati dunia tipu-tipu itu." "Kau bilang begitu iri kan, karena Fiola pernah nolak pernyataan cintamu." "Ck, jangan dibahas lagi." Christ yang masih berdiri di sana menaikan alis tinggi, menatap ketiga cowok yang tengah mengobrol di koridor depan kamarnya itu tajam. Ketiganya langsung merapatkan bibir, tidak bersuara lagi. Kalau Nicholas adalah orang yang mereka takut karena kekuasaan pemuda itu. Dan sikap arogannya yang tidak bisa mereka lawan. Sedangkan, Christ adalah sosok yang punya aura menakutkan. Hanya dengan tatapannya saja orang di sekitarnya mendadak ciut sendiri. Karena pernah ada rumor kalay Christ pernah membanting senior di sekolah menengah pertamanya dulu sampai patah tulang. Oleh karena itu, anak-anak tidak ada yang berani mencari gara-gara dengan pemuda yang punya luka di alis kirinya itu. Christ hendak masuk ke kamar, namun langkahnya terhenti saat mendengar samar-samar suara Nicholas dan kedua temannya di depan Villa. Pemuda itu pun langsung menutup pintu kamar dengan mendekat pada jendela yang dipenuhi dengan jaring laba-laba itu. "Emangnya tidak apa-apa membiarkan Daniel bersama Fiola di sana?" Tanya Rein cemas membuat Nicholas di dekat pilar menatapnya tajam. "Kau kira akan terjadi apa kalau Fiola dan si pecundang itu di dalam hutan sana. Kalau pun ada sesuatu yang terjadi, berarti rencanaku tidak sia-sia." Kata Nicholas jadi antusias sendiri. "Rencana apa?" Ujar Nathan mendekat ke samping Nicholas yang sontak mendecak dan mendorong pemuda itu menjauh. "Kau tahu Fero kan? Anak itu posesif banget sama Fiola. Kalau sampai dia menemukan Fiola dan Daniel berduaan di tempat gelap begitu, menurut kalian apa yang akan terjadi?" Kata Nicholas dengan ekspresi senangnya. "Pasti akan terjadi perang." Sahut Rein jadi ikut antusias. "Berarti kita tunggu saja, soalnya tadi aku lihat Fero pergi ke belakang gedung Villa. Pasti menuju danau hitam itu kan?" Kata Nathan bertanya pada kedua temannya. "Hm, pastinya." Balas Nicholas senang membuat Rein jadi bertepuk tangan heboh sendiri. Christ yang berada di dalam kamarnya mendengarkan semua obrolan itu. Ia yang baru saja kembali dari mencari udara segar di pantai jadi tidak bisa tertidur kini. Pemuda itu mendadak cemas memikirkan nasib pecundang yang bernama Daniel itu. Karena bagaimana pun Daniel adalah teman sekamarnya. Christ melesat keluar dari kamarnya, menutup pintu kasar sampai ketiga anak cowok tadi terperanjat kaget karena ulahnya. Pemuda itu pun melangkah cepat dengan menjadikan senter hapenya sebagai penerang jalan. Ia melewati Nicholas, Rein dan Nathan di sana yang berdehem samar menyapanya. "Christ, mau kemana?" Christ tidak menanggapi, berjalan lurus tanpa menoleh sama sekali. Ia memasuki semak-semak di samping Villa dan menyibakannya kasar agar tidak mengenai wajahnya. Pemuda itu ingin segera menemukan Daniel karena perasaannya tidak enak sekarang. Apalagi setelah adanya kabar buruk tentang kematian Beno yang menjadi misteri. Pulau asing ini memang ada penghuninya yang membuat Christ ingin segera menangkapnya dengan tangannya sendiri. Guru-gurunya yang terjebak dengan mereka, belum mengambil tindakan apapun. Sampai sekarang juga belum menjelaskan tentang apa yang terjadi. Bahkan, berkumpul untuk sekedar mendoakan Beno tidak ada. Entah apa yang mereka pikirkan. Sampai hatinya tidak tergerak sama sekali dengan adanya kematian salah satu murid mereka. Christ memicingkan matanya saat melihat danau hitam di hadapannya. Berapa kali pun ia menatap danau luas itu, bulu kuduknya meremang sendiri. Bahkan, seperti ada suara-suara bisikan yang menyapa telinganya sampai Christ frustasi. Pemuda itu berdiri di ujung jembatan reok di hadapannya. Tangannya memegang penyangga jembatan yang sudah dipenuhi dengan jaring laba-laba itu. Ia pun terpaksa melangkah maju berharap bisa menemukan Daniel di dalam sana. Alis Christ bertautan saat berpapasan dengan Rebecca dan Laura yang baru keluar dari hutan gelap itu. "Kau mau kemana?" Tanya Laura agak kaget, namun Christ sama sekali tidak menanggapi. Seperti biasa bersikap acuh pada siapapun. Rebecca yang bersama Laura menolehkan kepala memandangi punggung Christ yang sudah melangkah masuk ke dalam hutan dengan memegang hapenya yang senternya menyala. "Jangan hiraukan dia, anaknya emang kayak setan. Ada tapi seakan tidak ada," kata Laura asal sembari melangkah lebih dulu diikuti Rebecca yang tersenyum saja. Christ berjalan di antara semak-semak di depannya. Hamparan pohon menjulang tinggi itu membuat ia nampak kecil di dalam sana. Suasana hening di sekitarnya membuat Christ makin fokus akan suara decitan sepatunya yang menyetuh tanah lembab itu. Ada bebatuan juga yang memudahkan Christ melangkah tanpa harus takut terjatuh. Pemuda makin melangkah masuk dan tersentak karena di depannya langsung disuguhkan pemandangan laut yang luas. Ia mendenguskan hidungnya mencium bau aneh yang terasa familiar. Ia pun menolehkan kepala ke samping dan mengernyitkan dahi melihat seseorang terkapar di dekat tebing membuat Christ buru-buru menghampiri. "Daniel," Christ berusaha menggoyangkan lengan pemuda itu yang nampak terluka parah di beberapa tubuhnya. Bahkan, di sudut bibirnya ada titik darah di sana yang membuat Christ mengeraskan rahang. Christ hendak berdiri namun ia merasakan sepatunya menginjak sesuatu. Pemuda itu pun merunduk samar, memicingkan mata pada sebuah genangan kecil itu yang seperti air. Namun, baunya seperti darah segar. Christ makin yakin, saat menyentuhnya dengan telunjuknya. Mengarahkan senter hapenya pada telunjuknya dan benar saja. Genangan yang baru saja ia temukan adalah kumpulan titik-titik darah. "Ini sudah pasti bukan darahnya Daniel," katanya mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengarahkan senter hapenya ke tempat-tempat gelap di depannya. Pemuda itu tersentak kaget saat menemukan sesosok gadis bergaun putih tergantung di sana dengan benang di lehernya dan juga keningnya yang terdapat goresan bertuliskan angka 2 di sana. Christ menajamkan pandangannya ke tubuh Fiola dari atas kepala sampai kaki. Darah gadis itu terlihat menetes pada kedua ujung kakinya yang sudah pucat itu. Suara derap lari membuat Christ menolehkan kepala dan tersentak kecil saat melihat Fero di sana yang langsung berlari mendekat pada tubuh Fiola yang digantung. "Fiola, aku minta maaf ... seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian di sini. Aku minta maaf, Fiola." Racau Fero dengan panik, ingin menyentuh tubuh kaku gadis itu namun ia tidak bisa. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuat pemuda itu kembali memberi jarak di antara ia dan juga Fiola. Christ melangkah mendekat, memandangi Fero dari atas kepala sampai kaki. "Kau kenapa bisa tahu kalau Fiola di sini?" Curiga pemuda itu membuat Fero mengeraskan rahang. "Karena di tempat tadi dia tidak ada. Bisa saja dia ke sini dan ternyata memang benar, kalau Fiola ada di ... " Fero tidak bisa melanjutkan kalimatnya, meneguk ludah berulang kali melihat sang kekasih yang sudah kaku. "Apa yang kalian lakuin malam-malam begini di dalam hutan?" Desak Christ masih bertanya. "Harus banget kau bertanya di situasi begini? Pacar aku baru saja meninggal, dan kau malah mencemaskan hal lain?" Sentak Fero menatap Christ geram. "Iya, karena sekarang seseorang meninggal. Bisa saja pelakunya adalah kau." Tunjuk Christ tanpa ragu membuat Fero tidak habis pikir. "Pergi, sebelum kau kuhajar. Jangan sampai emosiku yang tidak terkendali sekarang bisa menghabisimu." Kata Fero mengingatkan sembari kembali menoleh pada tubub Fiola, berusaha mengangkat tubuh sang pacar. Christ yang melihat itu akhirnya membantu, menaiki pohon tempat Fiola digantung dan melepaskan benang yang diikat di ranting pohon besar itu. Setelah berkutat lama dengan benang akhirnya tubuh Fiola bisa dibaringkan di pangkuan Fero. Cowok itu sudah mendenguskan hidungnya sembari terisak. Sedangkan, Christ hanya berdiri diam dengan melirik ke sampingnya dimana ada Daniel di sana yang masih tidak sadarkan diri. Suara derap langkah mendekat membuat Christ menoleh, ia sontak menganggukan kepala sopan saat melihat guru-gurunya mendekat dengan ekspresi paniknya. Beberapa teman-temannya juga mengkori dan melebarkan mata kaget melihat jasad Fiola yang persis sama seperti Beno. Hanya saja angka yang digoreskan pada keningnya berbeda. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Tanya Miss Jessi dengan suara serak-serak basahnya. "Saya juga tidak tau, Miss. Saya ke sini ingin mencari Daniel yang seperti biasa ... diganggu oleh Nicholas dan dua temannya." Jelas Christ membuat Nicholas yang berada di sana jadi mengeraskan rahang merasa tersinggung. "Saat di sini saya menemukan tubuh Fiola sudah tergantung di pohon ini." Tunjuk Christ pada pohon di samping mereka, "Daniel juga sepertinya terluka parah karena bercandaan Nicholas, Rein dan Nathan." Sambung Christ sengaja menekan kalimatnya. "Kau bisa-bisanya berkata seperti itu, kau punya bukti?" Kata Rein kesal merasa tidak terima. "Kalian tahu, keberadaan kalian bertiga yang paling bahaya sekarang." Ujar Christ membuat Rein mengernyitkan dahi tidak paham, begitu pun dengan Nicholas dan anak-anak lain yang kebingungan dengan apa yang baru saja pemuda itu lontarkan. "Bisa saja pelaku pembunuhan ini adalah ayahnya Daniel." Kata Christ membuat semua orang melebarkan mata kaget. "Kalian semua tau kan, ayahnya Daniel sekarang sedang dikejar polisi karena pembunuhan yang dia lakukan." Lanjut Christ yakin. "Bisa saja dia selama ini tinggal di pulau ini." Kata pemuda itu membuat guru-gurunya saling pandangan dengan meneguk ludah kasar. "Saat kita pertama kali terbangun dan sadar di pulau ini. Apa kalian tidak merasa aneh?" Tanya pemuda itu lagi pada semua orang di depannya yang sontak menggeleng dan saling pandang seakan bertanya satu sama lain. "Kita semua ... yang terdampar di tempat ini, seakan sudah direncanakan." Kata Christ membuat teman-teman perempuannya sontak saling memeluk lengan merasa takut. "Jangan bicara sembarangan, Christ. Jangan menambah masalah dan membuat teman-temanmu ketakutan." Kata Mister Betran berusaha menghentikan pemuda itu, "saya harus mengatakan ini, karena keberadaan kita di sini sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat saya." Katanya lagi dengan tatapan dinginnya yang mengintimidasi. "Kalau pun kita memang terdampar, dimana para kru kapal pesiar itu berada? Dimana kaptennya? Orang-orang yang juga satu kapal dengan kita?" Christ masih melanjutkan rasa penasarannya, "dan kenapa cuma ada kita di tempat ini, bahkan dengan ransel dan bawaan kita semua tanpa satupun yang tertinggal. Apa menurut kalian ini masuk akal?" Tanya Christ lagi membuat teman-temannya menggelengkan kepala pelan. "Sepertinya memang kita sengaja dibuang di pulau asing ini." Sahut Rebecca, menyetujui omongan Christ. "Kalau pun memang kita terdampar, tidak mungkin semua anak kelas dan guru-guru berada di tempat yang sama dan masih hidup tanpa terluka apapun. Kita sedari awal, tempat yang kita tuju adalah pulau ini." Lanjut Laura membenarkan perkataan Christ. "Anggaplah apa yang kalian katakan benar, terus siapa yang berada di belakang ini semua? Kepala sekolah atau orangtua kalian di rumah?" Tanya Miss Jessi menghela napas kasar, "kalian terlalu banyak menonton film, jadi berhenti berpikir hal yang aneh-aneh." Katanya tidak setuju, mendekat pada Fero yang masih menangisi Fiola. "Bagaimana pun caranya kita harus pergi dari tempat ini. Pasti orangtua kalian akan segera mengirimkan bantuan, jadi tenang saja ya." Kata Mister Edhan tersenyum samar berusaha menenangkan. "Tenang apanya, kedua teman kami mati di depan mata kami, dan mister cuma bilang tenang?" "Bagaimana kalau tanda angka di kening mereka adalah salah satu pesan kalau akan ada korban berikutnya." "Benar, miss, mister. Beno yang pertama, Fiola yang kedua ... sudah pasti ada yang ketiga dan keempat kan?" "Aku mau pulang, Miss." "Aku kangen mama aku," Miss Jessi memegang kepalanya merasa pusing mendengar rengekan anak muridnya yang beberapa dari mereka sudah menangis karena ketakutan. Sedangkan, yang lain masih berdiri dengan menatap Miss Jessi dan guru-guru yang lain seakan menunggu keputusan mereka. Christ ingin membuka mulut berbicara, namun semua orang kompak terdiam saat mendengar suara batuk di samping mereka. Daniel baru sadar dari pingsannya, pemuda itu merintih samar dan perlahan berdiri dengan mengerjapkan matanya kaget melihat semua orang berada di depannya kini. Daniel mengedarkan pandangannya dan menegakan tubuhnya, membatu di tempatnya berdiri melihat Fiola yang terbaring di atas paha Fero dengan tubuh kakunya. Daniel merunduk samar, mengepalkan tangannya erat. Sembari mendongak menatap semua orang yang berada di hadapannnya kini. "Saya mendengar obrolan mereka." Kata pemuda itu yang langsung mendapat perhatian guru dan teman-teman sekolahnya. "Apa? Ada yang kau dengar?" Tanya Miss Jessie mendekat. "Iya, samar-samar saat saya pingsan. Saya melihat orang itu membunuh Fiola dan mengatakan sesuatu pada Fiola terakhir kalinya." Jelas Daniel sembari meringis sakit, "apa yang dia katakan?" Tanya Mister Betran meneguk ludah kasar. "Orang itu ... akan membunuh semua orang di sini karena sudah datang ke tempat tinggalnya. Mengotori pulau suci ini yang sudah ia jaga selama ini." Kata Daniel dengan tatapan sayunya, "setiap hari, dia ... akan membunuh salah satu dari kita sampai habis tidak tersisa." Lanjutnya dengan ekspresi yakin membuat semua orang yang berada di sana membatu takut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD