episode 7

1776 Words
POV IBU Hari ini aku sudah di bolehkan pulang. selama dirumah sakit Luna tidak pernah mengunjungiku. Mungkin dia sibuk dengan Geby yang masih balita. Aku berharap Luna bisa hamil secepatnya. Tak sabar rasanya melihat wanita itu sadar betapa tak berharganya dia. "Ibuk istirahat lah, Tama akan siapkan teh hangat," ucap anakku. Aku tersenyum bangga memandangi anakku itu, Tama dia anak yang penurut lagi penyayang. Sedikitpun dia tak pernah membantah. Dia sangat menyayangi aku dan Resti. Hanya saja keterbatasanku yang tak bisa membahagiakannya, segala hartaku sudah habis kujual untuk biaya kuliahnya waktu itu. Hingga kami hanya punya rumah satu-satunya dan akhirnya itu juga ikut terjual karna wanita sampah seperti Arum. "Tama...!" panggilku saat Tama sudah di pintu hendak keluar kamar. "Kamu panggil Luna ya? Ibuk kangen sama dia," ujarku, Tama tersenyum sembari mengangguk. Selang lima menit Luna datang membawa teh hangat. "Bagaimama hari ini buk?" tanyanya, aku menyunggingkan senyum hangat menyambutnya datang. "Sangat mendingan, kamu gimana? Apa wanita itu masih seenaknya?" tanyaku, Luna mengelus tanganku dan berkata. "Tenang aja buk, aku dan mas Tama akan mengurus segalanya jadi ibuk gak usah risau ya,"sahutnya. Aku mengelus pipinya lembut. Binar mataku tak terasa berkaca-kaca. "Maaf ya nak, ibuk tidak bisa berikan kehidupan yang baik untukmu, ibuk mohon bersabarlah," desisku, Luna tersenyum hangat. "Gak apa buk, Luna yakin mas Tama pasti bisa mengatasi ini semua," tekannya, hatiku terenyuh dan hangat. Semoga Kedepannya lebih baik lagi, dan Luna bisa hidup tenang dengan Tama. Aku juga bisa menikmati masa Tua yang penuh suka cita nanti dengan anak cucuku. "Luna temui mas Tama dulu ya buk?" pintanya. Aku mengangguk melepasnya pergi. Selang beberapa menit, terlihat wanita sampah itu lewat dan sudah rapi dengan baju kantornya. Aku buang muka saat tahu ia menoleh. Mungkin dia tau aku tidak ingin melihatnya. Arum berlalu pergi tanpa sepatah katapun. *** ****"" Siang berkunjung, Luna tampak terngah keluar dari dapur setelah menyelesaikan semua pekerja'an rumah. Dia dan Resti harus membayar mahal untuk keanghkuhan Arum. Miris rasanya saat mengingat sekarang kami semua telah jadi b***k Arum. "Buk, makan dulu ya?" pinta Resti mendatangiku ke kamar. "Bantu ibuk, ibuk mau makan bersama kalian di meja makan," ujarku. Dengan sigap Resti membopong tubuhku keluar. "Ayok buk kita makan dulu," ujar menantuku saat aku sudah sampai di meja makan. "Makasih ya, Tama mana?" tanyaku, dengan sedikit wajah sedih Luna berucap. "Hari ini mas Tama bekerja sebagai OB di kantornya sendiri buk, wanita sampah itu sepertinya belum puas mempermalukan kita," ujarnya. Aku geram. Wanita itu benar-benar keterlaluan bagaimana tanggapan karyawannya nanti jika bosnya tiba-tiba jadi OB, belum puas juga wanita itu mempermalukan anakku. "Kenapa Tama mau aja?!" bentakku sedikit geram. "Terpaksa buk," lirihnya, Percakapan kami terhenti saat mendegar motor berhenti didepan rumah. Segera bergegas babu Arum itu keluar. Babu tidak tahu diri yang sekarang mendadak jadi Nyonya besar. Hanya ongkang-ongkang kaki dibayar pula. Ia tampak girang menerima pesanan pesanannya dan membawanya masuk. Luna geram berdiri menghampiri Iyem. "Eh budaknya Arum!" soraknya berdiri menghampiri, Iyem menatapnya datar sembari mencuil makanan yang ada di kotak. "Enak banget ya hidup kamu!" liriknya melihat pesanan makanan yang dipegang Iyem. "Terus? Masalah buat loh!" singkatnya berlalu sedikit melayuk-layukkan pinggulnya. Luna mengepal jemarinya gemetar melihat tingkah Iyem. "Dasar wanita tak tau diri!" geramku, Luna kembali ke meja makan dengan wajah kesel. "Kita hanya di sediakan tempe di kulkas, sementara dia makam enak tiap hari," gerutu Luna. "Ya udahlah mbak, untung kita di kasih makan. Lagian sih ibuk sama mas Tama itu gegabah. Seharusnya kita pikirkan matang-matang dulu untuk menghadapi mbak Arum, mbak Arum lebih licik dari kita. Sekarang liat, siapa yang jadi pecundang? Ya 'kan?" "Ih, kamu kecil-kecil berani lancang sama ibuk!" timpal Luna. "Lagian mbak juga, kebelet juga mintak nikahin. Tunggu mas Tama selesaikan dulu masalahnya sama Arum! Kan gak jadi begini," gerutunya lagi. Resti ada benar juga. Tapi aku juga tak bisa salahkan Luna. "Sudah, kalian jangan debat ya. Sudah teruskan saja makannya. Kita perlu sabar beberapa waktu lagi," ucapku. Selesai makan, Resti membereskan piring kotor dimeja makan. Lagi kembali terdengar bunyi motor berhenti di halaman rumah. "Babu itu pesan apa lagi?" tanya Luna, bergegas mengecek keluar karena Iyem tak kunjung keluar. Luna tak kembali ke rumah dengan cepat. Entah siapa yang ia temui diluar sana aku coba menyusul dengan tertatih. "Ngapain kamu kesini!" Kurang lebih seperti itu kedengarannya, Luna bicara dengan seorang preman yang hampir seluruh lengan kanannya di beri Tato. Terlihat tak seperti lelaki baik. Aku sedikit mengerutkan kening mendekat. Namun sebelum mendekat pria itu sudah pergi entah apa yang Luna katakan padanya. "Itu siapa Luna?" tanyaku, saat Luna kembali masuk. "Gak tau, mungkin dia salah alamat buk," ujarnya, lega rasanya saat ternyata bukan siapa-siapa. "Oh, kirain siapa Luna, ibuk takut liat penampilannya." "Bukan siapa-siapa kok buk." "Syukurlah." ®®®®®®®®®™®®®®®® POV Arum Sebulan sudah berlalu. Walau tinggal serumah dengan mas Tama, sekalipun dia tidak pernah menyentuhku lagi setelah semua ini. Padahal aku masih istri sahnya, dia sama sekali tidak menghargaiku sedikitpun. Tapi tak mengapa, rasa baperan ini hanya karna aku belum terbiasa tanpa dia. Aku harus segera mengurus cerai dengan mas Tama dan menyelesaikan semuanya. Aku harus hargai juga perasa'an Hadi yang sudah menungguku. ************ Selepas pulang dari kantor pengadilan aku kembali ke kantor menemui mas Tama. Dia sekarang aku pekerjakan menjadi OB, bukan tak adanya tempat yang lebih cocok, hanya saja Mas Tama harus mengerti karena tak ada yang mudah didunia ini, semudah ia berkhianat. Aku juga sebenarnya tipe orang yang gak tega'an. hHanya saja Risa, dia melatih hatiku jadi sekeras baja. Tak salah memang aku berteman dengannya. "Mas...," sapaku saat mas Tama beristirahat siang, sengaja ia menjauh dan bersembunyi disuatu sudut kantor. Mungkin dia malu pada mantan karyawan-karyawannya bahwa bos mereka sekarang jadi OB. "Kasian banget ya bos Tama, gara-gara kecantol pelakor jadi di azab istri tapi tak apa juga sih biar tau rasa," bisik-bisik staf yang lewat, celetuk mereka berhenti saat melihat aku mendatangi mas Tama ke tempat persembunyian makan siangnya itu. "Eh buk Arum... mari buk, " sapa mereka. "Mari, " sahutku menyunggingkan senyum. Mas Tama berdiri melirik berkas yang ada ditanganku. "Ada apa?" "Ini, surat perceraian kamu tanda tangan gih!" titahku menyodorkan kertas. Ia menghenyak dikursi tunggu aku mendekat menyodorkan berkas itu lebih dekat. "Pria yang menjemputmu malam itu, apa dia pacarmu?" tanyanya melirik dengan tatapan sinis. Aku menatapnya dengan datar. "Ya.., " singkatku. "Kamu yakin dia akan menerimamu apa adanya?" tanyanya membuat alisku sedikit terangkat. "Hanya kamu pria yang tidak bersyukur mas! Gara-gara kekuranganku yang satu ini, kamu lupakan kebaikan yang lainnya. Sudahlah, ayo cepat tanda tangani! Bukannya sudah jauh hari kamu bilang bahwa hubungan ini tidak bisa di pertahankan lagi. Aku justru membantumu sekarang," jelasku, dengan berat hati mas Tama kembali meletakkan berkas itu. Sontak aku menautkan alisku terheran hebat. "Berapa kali aku bilang Arum, kenapa tidak kamu coba saja menerima Luna, Jujur, aku belum bisa menanda tangani ini!"lirihnya. Nafasku tersengal, tiba-tiba dadaku terasa penuh. Entah kenapa aku baper, binar mataku berkaca-kaca. Entah kenapa aku merasa bahwa mas Tama masih menyanyangiku seperti dulu. Tapi tetap saja semua ini fatal bagiku. Mas Tama mengkhianati pernikahan kami dan membohongiku mentah-mentah. "Tanda tangan saja mas! Kenapa? Bukankah aku ini wanita yang tidak berguna?" lirihku dengan suara berat. Mas Tama tertunduk dan coba berucap dengan berat. "Arum, coba sedikit saja kamu bisa menerima Luna. Kita akan punya anak. Dan hidup kita akan terasa lengkap," lirihnya menatapku dalam. "Sampai kapanpun aku akan tetap gugat cerai kamu mas! Kamu fikir? Aku akan berubah pikiran dan menerima istri keduamu itu dirumah, kamu salah mas!" hardikku menyambar berkas itu lagi setelah mendapat tanda tangannya. Aku berlalu dengan kesal. ********** Sore ini aku begitu di kejutkan akan kedatangan Yosi sekeluarga dirumah. Mukaku merah padam menghampiri mereka di teras. "Yos, kamu datang kok gak bilang-bilang dulu sama mbak?" tanyaku nanar. Yosi dan Herman tampak merekahkan senyum sembari menggendong kedua anak mereka turun dari mobil. "Kebutulan mas Herman ada job kerja disini, jadi aku ikut. Mbak aku kangen sama mbak, maaf waktu itu aku pindah kita marahan." "Tak apa Si, toh mbak yang salah. Yang sudah masuk dulu." Aku membawa Yosi masuk. Ibuk mertuaku tampak sinis melihat kami, sontak saja Yosi mendekat mengulurkan tangan mau bersalaman tanda hormatnya. Namun mertuaku buang muka dan menjauh pergi. Yosi termangu bungkam dan menoleh kearahku. "Kita ke belakang, aku perlu cerita sesuatu padamu, " desisku, segera aku menoleh pada Herman dan mempersilahkan dia duduk. "Her, kamu istirahat aja dulu ya. Ntar bik iyem bakal kasih minum." "Baik mbak." Yosi kebingungan saat melihat rumahku begitu ramai bahkan ia makin heran melihat Geby yang tiba-tiba rewel. "Mba, ini sebenernya ada apa sih?" tanyanya tak habis pikir. aku menghenyak menghela nafas berat. "Mas Tama dia... menikah lagi," singkatku berat. sontak saja Yosi tersentak dan berteriak. "Apa! Terus sekarang dia tinggal seatap dengan mbak? Dirumah mbak sendiri? Mbak udah gila apa?" ucapnya tak habis pikir. "Secepatnya dia akan pergi. Mbak janji. Kamu tenang aja ya, hanya saja saat ini belum, " desisku, Yosi mengusap wajahnya. Tanpa pikir panjang Yosi beranjak hendak menemui Luna. Dengan panik pun aku menyusul Yosi yang hendak menemui Luna. "Dasar wanita murahan...!" hardiknya menjambak rambut Luna lalu menyeretnya keluar. Mertuaku dan Resti pun tampak mendekat. "Lepas!" berontak Luna. "Arum mungkin orang yang lemah. Tapi aku tidak! Aku bisa saja mencabik-cabik dagingmu disini p*****r!" pekiknya menghajar Luna. Herman yang mendengar keributan itu pun bergegas mendekat. Semua tampak melerai termasuk aku. "Awh b******k, aku bales kamu ya...!" Perlawanan Luna aku cegat. Ibu mertuaku juga tampak membantu meinimpuk Yosi. "Dasar w************n!" geram Yosi lagi bersiap mengejarnya. Namun cengkraman tangan suaminya menghentikan langkah adikku itu. "Lepas, Pa... pelakor gak bisa aja dibiarkan hidup enak mengambil kebahgia'an orang!" "Kakakmu itu yang tidak berguna! Kalian semua itu sama saja dengan sampah!" bentak Ibuk mertuaku, Yosi menoleh dengan tatapan berapi-api. "Kau itu yang sampah! Kalo bukan harta almarhumah Ibukku kau dan anakmu itu hanya pecundang!" bentaknya, aku mendekat menenangkan Yosi. Herman pun menyeret Yosi menjauh. "Yos, kamu serahkan saja sama mbak ya? Mba tau bagaimna melindungi harta ibu, cuman gak gini caranya. Jangan kotori tanganmu hanya untuk menghajar dia. "Mbak juga! Kenapa mbak gak cerita ke aku! Mbak masih punya keluarga mbak! Mbak tidak seorang diri!" bentak Yosi. Aku tertunduk. Herman tampak mengangguk dan berucap. "Mas Tama keterlaluan. Seakan-akan mbak ini sebatang kara. Dia sama sekali tak segani kami," gerutu Herman. Aku merintikkan air mata. "Mbak minta maaf, tapi tolong Yosi, mbak janji, mbak bakal urus ini sendiri, kamu gak usah khawatir," ucapku, Yosi kesal menghempas tanganku yang dari tadi mengenggam lenganya. "Oke, terserah jika itu mau mbak! Aku gak akan urus dan gak akan mau tau lagi tentang mbak!" bentaknya, aku menatap mereka nanar, berkemas kembali hendak pergi. "Ayok mas kita pergi saja!" ketusnya, menggendong Gibran dan menyeret Tania, air mataku mengucur deras seiring bunyi mobil mereka yang menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD