POV LUNA
Dua hari berlalu, Hari ini ibuk sudah diperbolehkan pulang. Tatapan mata dan sikapnya membuatku gundah, akhirnya aku memilih menjauh-jauh saja darinya daripada nanti mas Tama mencurigai sesuatu.
"Buk, Kita sudah bisa pulang, tapi maaf. Tama gak bisa bawa ibuk dalam keada'an sehat. Tama janji Tama akan berusaha untuk menyembuhkan ibuk. Jadi ibuk sabar ya?'' jelas mas Tama pada ibunya yang tengah duduk di atas kursi Roda. Kesalnya... Arum masih tampak mendampingi mas Tama.
"Iya buk, Arum akan bawa dokter spesialis nanti untuk menangani penyakit ibu," jelasnya, reflek aku mencibir.
*******
Hari terus berlalu, siang ini aku sengaja menemui ibuk di kamarnya. Wanita renta itu masih memandangiku dengan melotot. Sontak aku pun lirik ke kiri dan kanan, melihat keada'an. Karena aku masih ingin memastikan ibuk benar mendengar percakapan aku dengan mas Dion atau tidak.
"Buk!" sapaku meremas Punggung tangannya, mata ibuk melotot memerah. Mulutnya tampak mereng ingin membicarakan sesuatu. Tuhan masih menyayangiku dengan membuat ibuk lumpuh dan tidak bisa bicara. Setidaknya aku tidak takut sekarang. Kalau tidak bisa habis aku.
"Ibuk? Ada apa? Ibuk gak suka Luna ada disini?" tanyaku memasang wajah polos. Ibuk tampak bergerak sedikit kencang dan coba mendorongku. Aku terdiam dapati perlakuan itu.
"Apa ibuk mendengar semua percakapanku di taman?" tanyaku lirih, sejenak wanita itu diam dan kembali bergerak. Binar matanya berkaca-kaca hingga meneteskan bulir air mata. Nafasnya terlihat sesak lagi.
"Pp-pergi... !" desisnya sesak, aku berdiri melihat ibuk histeris, disaat bersama'an mas Tama datang. Melihat ibunya tampak tak baik dia reflek bertanya.
"Ada apa Luna? Kenapa ibuk seperti ini?" tanyanya, sigap aku membuat Alasn supaya mas Tama tidak mencurigaiku.
"Itu mas, tadi aku bicara soal Arum sama ibuk, jadi mungkin ibuk kebawa emosi dan gitu deh mas histeris," ujarku, mas Tama berdesih dan mendekat.
"Kamu juga Luna, gak usah bicarakan hal-hal yang gak penting dong dalam keada'an begini," tuturnya, aku menjauh sembari menghela nafas berat.
****
Aku harus bagimana, ibuk benar-benar tak bisa melihatku. Aku tidak mungkin terus-terusan menjauh darinya. Aku harus selesaikan semua ini sebelum ibuk buka mulut. Aku harus asut mas Tama secepatnya supaya wanita itu mengembalikan Harta mas Tama padanya
Setelahnya aku akan pergi jauh bersama Geby dan bayi ini. Kembali mencari sepupu jauhku, lagian hidup disini hanya membuat aku mati ketakutan, belum lagi kasus pembunuhan mas Herman. Aku tidak ingin hidup bersama manusia iblis seperti Dion.
Sore ini saat mas Tama telah kembali dari kesibukan menjaga dan mengobati ibunya, aku menyongsongnya memasuki kamar.
"Mas, ini sudah satu bulan lebih, aku belum lagi datang bulan. Kita harus segera cek, dan berikan bukti pada wanita itu," ujarku, mata Mas Tama sedikit terbuka.
"Sayang? Kamu beneran?" desisnya tak habis pikir. Aku mengangguk dengan senyum.
"Iya mas," sedikit wajah mas Tama berseri dan memelukku erat.
"Baiklah sayang kita akan segera cek up ke dokter," lirihnya sembari tetap merangkulku.
"Baik mas, ayo?" titahku, mas Tama segera bersiap hendaj pergi..
**************
Pov Arum.
Rutinitas kantor dan kesibukan akan rumah dengan suasana baru ini membuat aku lelah, sore ini setelah aku menemui mas Hadi dia mengantarku pulang.
"Mas aku minta maaf aku belum bisa urus perceraian aku dan mas Tama. Kemaren entah bagaimana caranya surat yang sudah ditandatanganinya telah dirobek," tutupku sebelum aku turun dari mobil.
"Tak apa sayang, aku mengerti memang semuanya tak akan bisa gampang. Aku percaya kamu, dan akan tetap menunggu," desisnya mengelus pipiku, membuat hatiku terasa hangat.
"Makasih ya mas?" singkatku menyunggingkan senyum hangat. Mas Hadi membukakan pintu untukku keluar dari mobil. Aku beranjak turun dan melambaikan tanganku padanya, mobil mas Hadi beranjak menjauh seiring warna jingga menghiasi langit. Saat melewati garasi mobil hendak ke pintu, aku melihat mobilku tidak parkir di garasi. Walau sebelumya itu adalah mobil mas Tama. Tapi sekarang itu mobilku. Segera aku mempercepat langkah menemui mbok Iyem.
"Mbok?" panggilku, segera wanita paruh baya itu bergegas mendekat.
"Iya nyah?"
"Mobil mana? Kok gak ada di parkiran?"
"Itu nyah, anu? Pak Tam-" desisnya, aku menghela nafas dan berucap sedikit lantang.
"Mas Tama? Kenapa dia bawa mobil? Dia kemana?'tanyaku, bik iyem tertunduk.
" Gak tau nyah, mungkin ada penting. Aku gak bisa cegat karna mereka terburu-buru," tutur Iyem. Aku menghela nafas berat dan coba beranjak ke kamar. Namun langkahku terhenti saat melihat ibuk mertuaku menangis di atas kursi rodanya. Kulirik Resti yang tampak tertidur lelap di sampingnya, tanpa pikir panjang aku coba mendekat membangunkan Resti.
"Res, bangun itu ibuk nangis mungkin butuh sesuatu," ujarku membangunkan Resti. Namun ibuk makin sesegukan sedikit coba melirik. Tampaknya susah sekali tubuh ringkih itu mengangkat lehernya menoleh padaku, melihat keada'annya seperti itu aku tak tega rasanya.
"Buk, ibu butuh apa?" tanyaku coba duduk dan memandangi wajah lekat. Tangis ibuk makin jadi mengangkat tangannya gemetar mengelus rambutku. Aku makin tak habis pikir apa yang terjadi.
"Ibuk? Apa ibu lapar? Apa ada yang sakit?" tanyaku lagi, air mata itu tampak sayu. Entah kenapa aku merasa ibu ingin membicarakan sesuatu padaku.
"Tam-" ucapnya tercegat. Aku coba mendengar dengan seksama. Sepertinya ibu ingin sebut nama Tama.
"Ibuk kangen mas Tama?" ujarku. Ibuk gemetar coba mengenggam tanganku erat.
"Mas Tama lagi keluar sama Luna ibuk, segera mereka akan kembali," ucapku lagi, ibuk kembali merintikkan air mata. Sedikit aku coba menautkan alisku heran. Namun percakapan dengan ibuk terhenti seiring bunyi ponselku berdering.
Drrrrt drrrrt drrrrt...
Sontak aku merogoh ponsel dan melihat siapa yang menelpon.
"Mas Hadi?" bisikku.
"Halo sayang?" ujarnya, aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum.
"Ada apa sih Mas Hadi?" Gemas rasanya ingin mencubit. Baru tadi kita ketemuan sudah telpon lagi.
"Aku sudah sampai rumah, kamu gimana kabarnya?" tanyanya.
"Sudah, aku sekarang bersama mertuaku. Kasian juga, dia mengalami stroke hingga tak bisa bicara," jawabku, Mas Hadi terdengar prihatin juga.
"Ya sudah, kamu gak usah banyak pikiran ya? Tama pasti tau bagaimama cara merawat ibunya." Reflek aku mengangguk.
"Iya mas, ya sudah. Kamu tutup gih. Nanti aku kabari lagi, aku mau mandi dulu," ujarku. Kembali aku menoleh pada ibuk. Wajah sedih dan gundahnya tampak jelas.
"Buk, Arum mandi dulu ya," desisku mengelus tangannya. Sedih rasanya hati ini melihat binar mata ibuk berkaca-kaca. Aku coba menggetarkan bibirku meminta maaf pada ibuk.
"Arum minta maaf jika prilaku Arum pernah buat ibuk kesal. Arum wanita biasa buk. Arum cemburu pada istri muda mas Tama itu. Sebenarnya Arum tak ingin membenci ibuk atau membalas apapun," ujarku mengenggam tangannya.
"Ibuk dan mas Tama adalah keluarga Arum yang tertinggal sekarang. Sakit saat mas Tama dan ibuk juga ingin menyisihkan Arum. Jujur Arum hanya terbawa emosi saja. Jadi jika selama ini Arum keterlaluan. Arum minta maaf," jelasku lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Air mata ibuk juga tampak menetes. Ia gemetar dan menangis histeris aku makin tak habis pikir. Mendengar kegaduhan itu Resti bangun.
"Mbak.. Mbak Arum mau apakan ibuk?" tanyanya, ia kesal dan mencoba menjauhkan ibuk dariku. Aku berdiri dan beranjak.
"Tak apa, aku melihat ibuk menangis, saat hendak masuk kamar. Lagian kamu bukannya jaga ibuk malah tidur," tuturku, Resti coba mengecek tubuh ibunya seperti mencurigaiku sesuatu.
"Tak ada apa-apa Resti. Aku bukan serendah itu menyerang orang yang lemah. Sudah, aku mandi dulu," singkatku beranjak. Resti terdiam tanpa sepatah katapun.
***
Langit sudah mulai gelap, mas Tama juga belum kembali. Aku menghenyak di kasur tidur sembari melirik seisi ruangan kamar. Segala kenangan manis dan harapan kami berdua terkubur dikamar ini. Mas Tama sekarang sudah benar-benar menyisihkan aku baik itu di hati atau dihidupnya. Sedikit aku coba membuka laci samping ranjang kami. Sebuah Album terkumpul dalam kenangan manis saat aku dan mas Tama masih menjadi mahasiswa dan tergabung dalam kelompok mahasiswa pecinta Alam, sungguh waktu terasa cepat berlalu semua sudah berakhir tau-tau aku diduakan. Cintanya telah hilang semuanya telah benar-benar berakhir. Sekarang aku mencoba menjalani hari baru bersama mas Hadi dan akan melupakan mas Tama selamanya. Sungguh Takdir benar-benar mempermainkanku. Sesak rasanya saat aku tak ingin dalam keada'an seperti ini, tapi ini lah takdirnya. Aku harus siap dengan semua ini.
Satu jam berlalu, Setelah selesai menghilangkan penat Iyem menemuiku ke kamar.
"Nyah, makan malan dulu, nanti ketiduran," titah Iyem membawa nampan berisikan makanan. Aku sedikit beringsut memperbaiki dudukku, dan menaroh Album yang dari tadi aku pegang.
"Apa Mas Tama dan Luna sudah kembali?" tanyaku dengan males, Buk iyem menggeleng dengan sigap.
"Belum nyah, gak tau iyem dia kemana," ujarnya. Aku menghela nafas berat dan menyambar makanan di tangan Iyem.
"Nyah! Iyem tau, ini gak mudah bagi Nyonya Arum. Lebih baik. Nyonya lepaskan semua orang-orang ini yang bikin kita pusing. Iyem gak mau nyonya stres dan jatuh sakit nyah. Amit-amit," jelas Iyem. Aku coba mencuil sedikit makanannya dan melahapnya. Dengan senyum hangat aku berkata.
"Tak apa kok bik, aku masih kuat. Lagian ini sudah jalan dua bulan. Masih ada satu bulan lagi. Kasian juga bik, Ibuknya mas Tama. Mereka kemana coba dalam keada'an seperti itu?" jawabku, Iyem terdengar sedikit berdesis.
" Tapi mereka gak kasian sama Nonya Arum!" kesalnya.
"Tak apa bik."
Percakapan kami terhenti saat mendengar mobil memasuki Garasi.
"Itu Nyah, Pak Tama dan wanita itu kembali," ujarnya, aku sedikit menoleh ke jendela. Senyum hangat mas Tama dan kegirangannya Luna membuat aku sedikit cemburu. Namun aku coba hapuskan perasa'an itu karena sekarang aku bersama mas Hadi. Dia tentu lebih baik dari pada mas Tama. Yang jelas-jelas dia pria normal. Toh dia beneran punya anak dengan pernikahan sebelumnya. Kembali aku melahap makanan yang di hidangkan Iyem dengan hati ringan tanpa beban. Selang beberapa menit, sepasang kekasih itu nongol juga dihadapanku dengan senyum semringah. Sejenak aku terhenti mengunyah makanan yang memenuhi mulutku.
"Ada apa?" desisku, sembari tetap menyondok makananku dan meneguk segelas air.
"Luna Hamil, dan Hari ini. Kamu bisa tanda tangani perjanjiannya," ujar mas Tama, sontak aku keselek. Segala makanan yang memenuhi mulutku loncat lagi keluar
"Ughuk ughuk ughuk!"
Mukaku memerah, karena menahan sakit tenggorokanku. Terkejut hebat hatiku mendengar ucapan itu.
"Apa katamu mas? Hamil?" tanyaku coba memperbaiki suara dari tenggorokan yang terasa sakit.
"Iya, ini!" sigap wanita itu memberikan tespeck dan hasil USG nya, seketika aku panas dingin tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi.