Nick dan Natalie yang sudah mau kembali ke rumah utama karena sudah pagi, di kejutkan dengan kedatangan anak buah Aaron.
" Mau apa kalian ke sini.." Nick terus memasang wajah tak bersahabat, kemudian pandangannya di alihkan kearah pria yang terikat dengan pakaian yang sama dengan anak buahnya. " Kalian apakan anak buahku."
" Dia adalah penyusup, Tuan.." jawab salah satu dari mereka. " Tuan Aaron menyuruh kami membawa dia kesini.."
" Aaron?" Geram Nick sambil mengetap giginya. " Sial! Apa tujuannya menyuruh Kalian membawa penyusup ini kemari.."
" Kami tidak tahu, Tuan, kami hanya menjalankan perintah, untuk mengetahui lebih lanjut tanyakan pada tuan Dylan.."
" Dylan?" Tanya Natalie kaget. " Nick, jangan jangan ada sesuatu yang kita tidak tahu.." bisik Natalie di samping kakaknya.
" Baiklah, pengawal.." Natalie memberi isyarat pada pengawal untuk membawa masuk pria yang sudah di penuhi oleh bekas pukulan.
" Sampaikan pada Aaron terima kasih.." kata Natalie pada anak buah Aaron ketika sudah mau meninggalkan markas.
Nick yang mendengar itu terus memberi tatapan maut kearah adik kembarnya.
" Tidak usah berterima kasih pada orang yang bukan anggota kita lagi, dasar labil.." tegur pria itu jelas tak menyukai sifat baik adiknya itu apalagi pada Aaron.
" Apa salahnya? Mungkin Dylan minta tolong sama Aaron bukan menolong kita karena itu penyusup itu di hantar kesini.." kata Natalie geram.
Nick yang sudah hampir menyangkal tak jadi ketika gadis itu melanjutkan bicaranya. " Dan mungkin karena Aaron malas datang ke sini makanya dia suruh anak buahnya saja.."
Gadis itu terus meninggalkan Nick yang masih menahan geram itu, dia kembali masuk markas.
" Dari dulu kerjanya hanya membela Aaron.." gumam Nick dan kemudian menyusul Natalie.
***
Sorot matanya begitu tajam setelah melihat video dari chip itu. " Ternyata benar memang dia orangnya.."
Air mata yang mengalir di pipinya di usap dengan punggung tangan. " Mereka harus membayar mahal.."
Kemudian pandangannya di alihkan kearah Sarah yang tertidur nyenyak, kebencian di hati Dylan semakin besar melihat gadis itu tertidur sangat pulas, benar benar tak adil.
Namun tanpa dia sadar sebenarnya gadis itu sama sekali tak tidur, dia hanya memejamkan mata saja.
Dylan mengambil pistol dan menghampiri gadis itu, dia sudah tak sabar, dia ingin membunuh anak kesayangan Jackson itu.
Sarah mengeratkan pelukannya di bantal, dia sadar ada orang datang menghampirinya.
Bunyi ponsel Dylan di atas meja mengalihkan perhatian pria itu.
" Kenapa?" Tanyanya saat melihat siapa yang menghubunginya, Natalie yang menghubunginya. " Saya akan kesana.."
Dylan tersenyum sambil melihat kearah gadis itu, dia akan kembali pada rencana awal, menyiksa gadis itu dengan ketakutan.
" Hey bangun.." Dylan memukul b****g gadis itu yang berbaring membelakanginya.
" Bangun, atau aku membuka celanamu.."
Sarah yang semula ingin berpura pura tidur saja sampai pria itu pergi, terus beranjak ketika mendengar ancaman itu.
" Ada apa, Tuan.."
" Ayo ikut saya.."
Mata gadis itu terus membola, apa dia tak salah dengar?
" Kita jalan jalan, Tuan.."
Dylan tak menjawab, tapi dia tersenyum lebar sambil mengangguk.
***
Nick memandang wajah pria itu yang terbaring tak perdaya di lantai yang dingin.
" Siapa pria ini sebenarnya.." tanya Nick pada Natalie yang hanya di balas gadis itu dengan mengangkat bahunya, tanda dia tak tahu.
" Lalu kenapa Dylan harus minta tolong pada Aaron sialan itu.."
" Nick, berhenti memanggilnya sia—"
" Nat, please berhenti membelanya.." potong Nick karena dia tau pasti Natalie ingin membela Aaron lagi.
" Aku tidak membelanya.." jawab Natalie cepat. " Aku hanya tak suka kau memanggilnya sialan.."
" Bukankah itu sama saja.."
Tak berselang lama, Dylan datang bersama seorang gadis, ya dia adalah tawanan Dylan.
Gadis itu tampak polos, dia memandang ke segala arah. " Ini tempat apa, Tuan.."
Nick dan Natalie yang tadi berdebat, kini kedua terdiam.
" Jadi dia orangnya.." tanya Dylan pada Nick dan Natalie.
" Iya, Lan.." jawab Nick. " Kenapa kau meminta pertolongan dari Aaron semantara ada kami—"
" Kalian terlalu sibuk dan juga tidak becus.." potong Dylan membuat Nick dan Natalie meneguk saliva.
" Sudahlah.." dia tersenyum melihat ketegangan di wajah kedua anak buah kepercayaan itu.
Semantara Sarah yang masih tak mengerti apa apa, justru memuji alat alat canggih dalam ruangan itu yang merupakan alat penyiksa.
Walaupun tampak mengerikan tapi dia suka hingga akhirnya ia mendengar teriakan kesakitan dari arah belakangnya.
" Akh!" Teriaknya ketika melihat Dylan sedang memotong kaki pria yang sudah babak belur itu dengan santai.
" Jangan biarkan dia keluar dari ruangan ini.." perintah Dylan pada pengawalnya melihat Sarah berlari menuju pintu.
" Katakan siapa yang menyuruhmu.." tanya Dylan sambil memotong rambut pria itu dan dengan sengaja memotong hingga mengenai kulit kepalanya.
" Arghhh!" Teriaknya namun dia tak bisa buat apa apa karena kaki dan tangannya di ikat dengan besi, dia hanya bisa berteriak kesakitan.
Sarah yang sudah di penuhi air mata, mencari jalan keluar di pelbagai arah. " Tolong..." Dia menyesal telah mengikuti pria kejam itu.
" Sesiapa tolong.." Sarah terus berteriak meminta tolong tapi tidak ada yang peduli apalagi mendengarnya. " Kalian memang gila semua..."
" Pengawal.." kata Dylan. " Bawa gadis berani itu kesini.."
" Tidak mau.." Sarah berontak ketika dua orang pengawal mengangkat tubuhnya.
" Lepaskan.."
Kedua pengawal itu terus melepaskan Sarah di samping bos mereka. " Kenapa diam? Bukannya tadi kamu begitu bersemangat mengutukiku?!"
" Aku ingin pergi dari sini.." Sarah beranjak namun terus di tahan Dylan.
" Kamu harus belajar ini, sayang.." Dylan memeluk tubuh gementaran gadis itu dari belakang. " Tinggalkan kami.."
Nick dan Natalie bersaling pandang sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu di ikuti kesemua anak buah mereka.
" Tidak mau.." Sarah berteriak histeris saat Dylan menuntun tangannya kearah perut pria itu.
" Ayolah, sayang.." Dylan meremas d**a gadis itu dengan sebelah tangannya. " Kamu harus belajar, sayang.." Dylan menggigit gemas telinga gadis itu. " Ayo.."
" Argh!" Sarah berteriak saat pisau di tangannya telah menebus paha pria itu.
" Aaah! Ini sangat enak, Sayang.." sebelah tangannya masih memegang erat tangan gadis itu, semantara sebelah tangannya lagi sudah ada dalam pakaian Sarah. " Ini juga lembut.."
" Tuan?" Dylan terhenti seketika mendengar suara pria itu yang putus putus. " Saya hanya di suruh.."
" Hanya itu?" Dylan melepaskan tangan Sarah dan dia sendiri yang berkerja saat ini, tapi dia sama sekali tak melepaskan gadis itu pergi.
" Setelah ini kita bersenang senang.." Dylan memasukkan tangannya di dalam celana gadis itu.
Sarah berusaha mencegah, tapi dia kalah tenaga, hingga akhirnya tangan pria itu menebus masuk.
" Saya tidak tahu, Tuan.." jawab pria itu lagi, Dylan tak peduli, karena bukan itu yang ingin di dengar.
Dylan tampak geram melihat Sarah yang membungkam mulutnya dengan tangannya yang tidak ada darah.
Tangan Dylan terus berkerja dibawa sana, menekan, mencubit bahkan kadang sampai menusuk.
" Aaahh!" Akhirnya suara desahan itu keluar karena tak tahan dengan tusukan yang di berikan Dylan.
Dylan mencabut pisau itu dari paha pria itu dan di alihkan ke paha sebelah.
" Argh! Ampun.." teriak pria itu. " Sa-saya benar benar tidak tahu, tuan.."
Dylan tak peduli, fokusnya ke wajah Sarah, tubuh gadis itu bergetar tanda dia sudah hampir mencapai puncaknya.
" Aaahh!" Tubuh Sarah bergerak tak keruan di ikuti dengan tusukan jari Dylan yang begitu dalam. " Aaahhh!" Dia menjerit nikmat, tapi buru buru dia menutup mulutnya, takut orang dari luar mendengar.
Dylan menarik jarinya dari bawa sana dan menjilat jarinya yang di penuhi cairan gadis itu.
Dylan memandang wajah pria itu, sepertinya benar dia tak tahu apa apa.
Dia mengambil gunting dan terus di tusuk ke perut pria itu, seperti menggunting kain dia menebas perutnya, sehingga darah merembes keluar dari perut tersebut.
Sarah yang sudah tak memiliki tenaga hanya terdiam sambil tengkurap di lantai, tapi percayalah peristiwa mengerikan ini terus berbekas di fikirannya sampai kapan pun.
Hingga tiba tiba pinggulnya di tarik sehingga dia menungging dan serentak itu celananya di robek, dan sesuatu keras tanpa tulang memasuki tubuhnya, Sarah hanya terdiam, terisak tanpa suara.
— Bersambung—