55. Sebenarnya

1428 Words
" Bae.." panggil Natasha sambil mendekati Brian yang sedang memangku laptop. Pria itu masih di rumah sakit tetapi sudah sibuk dengan pekerjaannya. " Kenapa, Honey.." Brian memandang wanita itu sekilas lalu kembali fokus pada pekerjaannya. " Kamu kan masih sakit, kenapa sudah mengurus kerja sih.." " Ini memang tanggungjawabku, Sayang, aku harus tahu berapa banyak lagi anak buah kita.." " Kenapa?" " Dylan ingin menjual semua organ yang menjadi pengkhianat, karena itu aku ingin tahu berapa banyak lagi yang tinggal.." Wanita itu tak peduli dengan penjelasan pria itu, dia naik atas ranjang lalu mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu. " Apa kamu tidak merinduiku.." wanita itu memberikan kecupan di pipi Brian menjalar ke telinga lalu menuju ke leher pria itu. " Selalu.." jawab pria itu dengan asal, sambil menahan nafas ketika Natasya menjilat telinganya di tambah lagi dengan helahan nafas wanita itu yang mengenai kulitnya membuat tubuhnya panas dingin. Brian masih meneruskan berbalas chat dengan Dave dan membiarkan Natasha lakukan apapun yang dia mau, karena sekali mencegah wanita itu pasti akan ada lagi pertengkaran terjadi. Sehingga tiba tiba dia merasakan tangan wanita itu memasukkan tangan ke dalam celananya. Brian sampai menahan nafas saat tangan Natasha menggenggam pusakanya. Natasha memandang Brian dengan nakal sambil menggigit bibir bawanya. Wajah pria itu memerah, karena sudah terpancing gairah. " Honey jangan— Aah!" Natasha tertawa pelan mendengar desahan itu lolos dari bibir Brian. Brian merasakan di bawa sana, pusakanya sudah menggeliat dan berdenyut, Natasha benar benar menganggu perkerjaannya. " Sayang.. sebentar ya, aku masih ada kerja.." " Aish.." wanita itu menggeram lalu turun dari atas ranjang namun terus di tarik Brian. " Ya sudah, lakukan apapun yang kamu mau." Pria itu mengalah, dia tersenyum lalu mengecup bibir wanita itu yang sedang maju ke depan karena merajuk. " Benarkah.." " Iya sayang.." Brian menarik wanita itu lebih dekat dengannya sambil memberikan kecupan singkat di dahinya. " Aku hanya mau tidur sambil memelukmu.." Brian yang memahami terus memindahkan laptop di pangkuan ke atas meja lalu merebahkan tubuhnya, di susul Natasha dengan hati. Tak berselang lama, Natasha sudah tertidur nyenyak dalam pelukan pria itu dengan mulut sedikit terbuka. Brian perlahan menarik tangannya yang menjadi bantal wanita itu. Dia melangkah keluar dari kamar itu, dan di depan pintu ada empat orang pengawal yang pasti suruhan Dylan. " Kalian masih disini.." katanya sambil memperhatikan wajah mereka satu persatu. Mereka dari pasukan A yang terdiri daripada Lebih lima ribu orang yang sampai saat ini semua masih setia. " Ya tuan.." Brian kembali masuk ke dalam kamar, lalu dia mengambil ponsel atas meja. Sebenarnya apa tujuan Dylan menahannya di rumah sakit ini? *** Kim sedang on the way ke rumah lama Dylan, dia memasang earphone di telinga saat ponselnya berbunyi, dia melihat sekilas siapa yang menghubunginya, “Brian“ " Ada apa, Bray.." jawabnya dengan suara sedikit gugup. Kim berfikir setelah Dylan mengetahui dialah mengkhianati selama ini, teman temannya yang lain akan membencinya tetapi ternyata tidak. " Kenapa kau gugup.." tanya Brian di sebarang sana. " Kau lagi dimana?" " Ah.. aku ada urusan.." Brian menoleh ke belakang melihat istrinya yang masih dalam posisi yang sama. " Sebentar, kapan kau sadar.." tanya Kim mencoba mengalihkan pembicaraan. " Sebenarnya aku tidak koma, Kim.. maaf membuat kalian khawatir, ini atas kemahuan Dylan.." " Kenapa?" Tanya Kim lagi, kenapa dia baru tahu kabar ini, apalagi rencana Dylan sebenarnya. " Tidak tahu, aku merasa sepertinya Dylan menyembunyikan sesuatu.." Kim terdiam, jangan jangan Dylan belum memberitahu pada teman temannya jika Kim adalah pengkhianat selama ini. Tidak mungkin Brian menghubunginya dan berbicara setenang itu, kalau Dylan sudah membuka mulut. " Hello.. Kim? Kau masih disana?" " Ah ya.." Kim tersadar dari lamunannya saat Brian berbicara sedikit keras. " Kau kenapa? Aneh sekali.." kesal Brian. " Ada apa kau menghubungiku?" Tanya Kim, sekali lagi pria itu mengalihkan pembicaraan. " Tidak, aku hanya heran saja kau tak pernah menjengukku disini, kenapa?" Kim kehilangan kata kata, benarkah Dylan tak membocorkan rahasianya selama ini? Bawa dia adalah pengkhianat? *** Dylan beranjak dari baringnya sambil meraih ponselnya di atas meja. Dia melangkah ke balkon sambil mengetik sesuatu di layar ponselnya, kemudian mendekatkan ponsel itu telinganya " Nick.." " Hmm.." Nick hanya membalas dengan dehaman, pria itu baru saja terbangun. " Bagaimana?" " Separuh dari klein setia Brandon Farris sepertinya sudah berpaling.." Dylan tersenyum, itulah yang dia inginkan. " Bagus.." " Sebenarnya apa rencanamu, Lan.." tanya Nick dengan curiga. " Nanti juga kau akan tahu.." " Ya sudah.." Nick menghela nafas pasrah. " Oh ya Kim kemana, dia tidak pernah lagi datang ke markas.." tanya Nick namun kemudian ia mengerutkan keningnya sambil menatap layar ponselnya, Dylan tiba tiba saja mematikan talian, aneh sekali? Pria itu tak mau ambil pusing, dia mengambil handuk lalu melangkah ke kamar mandi, namun baru berapa langkah ke depan tiba tiba ponselnya bergetar, tanda ada pesan masuk. " Pasti dari Dylan.." gumamnya, namun saat melihat layar ponselnya, dia mengerutkan dahinya melihat nama “ Gadis harimau“ " Pasti dia merinduiku.." Sekali lagi pria itu mengerutkan dahinya melihat isi chat telah di delete. Lalu kemudian ada satu chat lagi masuk. From gadis harimau: Maaf, tidak sengaja terpencet.. Nick tersenyum sinis tanpa membalas chat itu, dia meletakkan ponselnya lalu melangkah ke kamar mandi. *** " Apa yang ingin kamu katakan.." tanya Abigail sebaik saja Lee masuk dalam kamarnya. " Ini.." Lee naik ke atas ranjang Abigail lalu meletakkan sebuah kertas di depan Abigail. " Apa ini?" " Lihat sendiri.." Abigail mulai membacanya sesekali dia melirik kearah Lee yang sedang menanti tanggapannya. " Ini maksudnya apa?" Lee tak menjawab, namun pria itu mengangkat bahu, tanda dia juga bingung. " Jadi berarti Jackson itu...." Abigail menggantung kalimatnya sambil memandang tak percaya Lee. " Dia pamannya Dylan.." " Iya.. dan ini lebih menarik lagi.." Lee mengambil sebuah foto yang terselip di antara buku itu. " Bayi kembar?" " Iya.. Aldo Alvaro menyerahkan salah satu bayinya pada Jackson, adiknya.." " Benarkah itu?" " Hah?" Abigail dan Lee menoleh ke belakang dan melihat Nick sedang berdiri disana, dan mendengar semua perbualan mereka. Tanpa mengatakan apapun Nick merebut foto itu dari tangan Abigail. " Mana mungkin.." gumam Nick sambil menggelengkan kepala. " Mana ada adik yang sanggup membunuh kakak dan ponakan sendiri, ini omong kosong.." " Tapi ini buktinya, Nick.." kata Lee dengan tegas sambil beranjak dari duduknya. Bagaimana ini Nick saja tak mau mempercayainya? Lalu bagaimana dengan Dylan nanti? " Siapa tahu saja ini adalah permainan mereka lagi, seperti Quin Sarah yang di jadikan kambing hitam sama mereka, yang sampai sekarang kita tidak tahu siapa mereka.." " Siapa lagi kalau bukan Jackson.." kata Abigail sambil memandang Lee dan Nick berganti. " Tidak mungkin! Aku merasa bukan dia.." jawab Lee. " Lalu kalau bukan dia siapa lagi.." " Yang pasti ada seseorang yang berada di belakang Jackson selama ini.." kata Nick pula. *** " Pak tua..." Nick memasuki ruangan Jackson di sekap sambil tersenyum sinis. " Kau?!" " Iya saya.. masih mengenali saya?" Nick mendekati meja yang di lengkapi dengan benda tajam disana. Jackson meneguk salivanya melihat Nick yang memainkan pisau tajam itu di tangannya. Menurut cerita dari Kim, hanya Dylan dan Nick yang psikopat, tak segan melukai atau menghabisi seseorang. Nick tersenyum melihat wajah Jackson yang memucat, dia senang melihat ketakutan itu. " Aku ingin bertanya.." Nick menghampiri Jackson yang sedang terduduk di lantai kearah tak bisa bergerak, obat yang pernah di suntikkan Dylan padanya masih berfungsi dengan baik dalam tubuhnya. " Kejadian dua puluh tahun lalu, apa sebabnya kau membunuh keluargamu sendiri." Nick menekan hujung pisau itu ke paha Jackson, membuat pria tua itu berteriak kesakitan. " Dan aku mau mendengar kejujuran jika tidak.." Nick tertawa sinis, dan menusuk pisau itu lebih dalam, lalu menariknya dengan perlahan. Jackson berteriak histeris bahkan sampai menangis karena sakit. " Baiklah, baik.." Nick terdiam seketika, sambil memandang pisau di paha Jackson yang sudah hampir terbenam sepenuhnya. " Gantung.." kata Nick tanpa dosa, detik kemudian menekan pisau itu hingga terbenam sepenuhnya. " Aarrghh!" Teriaknya, pisau itu bahkan terasa menebus tulang pahanya, lalu terdengar kata halus meminta ampun. Nick terkekeh, dan tak terasa sesuatu seperti air membasahi kasutnya, Ya, pria tua itu terkencing dalam celana karena kesakitan dan ketakutan bersamaan. Dia beranjak lalu memberi isyarat pada anak buahnya untuk memberikannya kerusi. " Kalian tunggu giliran nanti malam.." kata Nick memandang beberapa anak buahnya dalam sel tahanan. " Hey.. siapkan ice yang banyak.." perintahnya lagi pada anak buahnya yang memberikan kerusi tadi. " Jadi pak tua, bisa kau jelaskan, dan saya mau dengar kejujuran, apa kau mengerti?" Jackson terus mengangguk kepala, tanda dia akan menjelaskan semuanya. Dan mungkin juga ini bisa menyelamatkan anaknya... Flora! " Sebenarnya......" ~ Bersambung ~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD