Dylan memandang buku yang diberikan doktor tadi, sambil keluar dari mobil.
Saat ini, dia sedang berada di depan markas, setelah melihat amukan Natasha tadi lewat CCTV, dia memutuskan tidur di markas saja.
Bukan karena takut dengan wanita itu, hanya saja dia belum menyiapkan kata kata yang tepat agar wanita itu tak khawatir dengan keadaan suaminya.
Dia memasuki kamar dan meletakkan buku itu atas meja samping ranjangnya.
Lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak berselang lama, pria itu keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggangnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
Dia melangkah menghampiri meja dan mencapai ponselnya.
Dia mengerutkan dahinya, melihat nama 'Dave' baru berapa menit yang lalu menghubunginya.
Kemudian membuka pesan dari asisten Brian itu.
From Dave: Selamat malam tuan, maaf menganggu, apa bisa kita bertemu besok, ada hal penting yang ingin aku sampaikan..
Setelah membaca chat itu, Dylan mengetik sesuatu untuk membalas chat tersebut.
Baru saja pria itu ingin meletakkan ponselnya, tiba tiba Abigail menghubunginya.
" Ada apa, Abi.."
" Lan.." panggil gadis itu. " Ternyata dugaanku benar, Brian terkena luka tembak dari bekas rumah gadis itu.."
" Lalu?" Tanya Dylan dengan jantung berdebar, mana mungkin Sarah bukan anak Jackson, itu tak mungkin, Lee dan Nick sudah memberikan dia biodata mengenai gadis itu.
" Sepertinya benar, Lan, Sarah bukan anak Jackson, ada seseorang yang kemungkinan telah mempermainkan kita.."
" Itu tidak mungkin.."
Dada pria itu turun naik, dia sedang menahan marah, apakah sekali lagi dia membuat kesalahan.
Dulu seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya meninggal karenanya.
Dan saat ini, ada besar kemungkinan gadis tak bersalah menerima siksaan darinya itu bukan anak Jackson!
" Tidak mungkin, Abi.."
" Apa yang tidak mungkin, Lan.." tanya Abigail yang sebenarnya faham keadaan pria itu yang saat ini, pasti serba salah pada gadis tak bersalah itu.
" Bagaimana mungkin gadis itu bukan Flora Jackson?"
Abigail menghela nafas di hujung talian.
" Lan, aku telah mendapatkan biodata tentang keluarga gadis itu.."
" Mereka terbunuh berapa hari yang lalu sebelum Brian datang ke sana.."
" Dan seorang putri mereka, telah menghilang dari tahun lima tahun lalu.."
" Dan Anehnya, orangtuanya tak merasa khawatir atau cemas.."
" Ternyata gadis itu adalah anak yatim piatu yang di adopsi.."
Dylan menggelengkan kepala tak percaya, dia teringat bagaimana dia memperkosa gadis tawanannya itu.
Membentak, menghina semua terniang niangkan di dalam fikirannya.
Semantara itu di lain sisi, seseorang pria tersenyum penuh kemenangan, dia telah berhasil membawa kabur gadis tawanan Dylan itu.
Dia akan membuat pria itu serba salah seumur hidupnya untuk keduanya.
Selagi dia hidup, ia tak akan membiarkan Dylan hidup bahagia, dia akan terus menjadi pengganggu dalam hidup pria itu.
Sarah yang duduk di sebelah pria itu tersenyum lebar, akhirnya dia terlepas juga dari Dylan.
Namun senyuman gadis itu hilang saat melihat wajah pria yang sudah menolongnya keluar dari rumah itu sedang tersenyum tak jelas.
" Tuan?"
Pria itu meliriknya dengan ekor mata.
" Kenapa?" Senyumannya juga menghilang.
" Kita mau kemana?"
Pria itu hanya tersenyum misterius tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.
" Tuan.."
Tiba tiba pria itu menghentikan mobilnya dan memandang gadis itu.
Sarah segera was was, karena pria itu tak kalah menyeramkan dari Dylan.
" Kau adalah kunci semua masalah ini.." kata pria itu dengan senyuman sinis.
" Maksudnya.."
Belum usai dengan kebingungan gadis itu, tiba tiba pria itu menempelkan selembar sapu ke mulutnya, dengan sekali tarikan nafas, Sarah pingsan.
" Bodoh!" Pria itu kembali mengendarai mobilnya.
Melihat kelakuan dan tingkah Dylan selama ini, dia tahu bawa Dylan sudah berpaling dari sang adik, dan dia tak akan membiarkan itu terjadi, dia tak mau pria itu bahagia, tidak akan!
Dylan harus merasakan, apa yang dirasakannya selama ini, bawa kehilangan seorang yang di sayang itu, sakit!
***
Dave melirik arloji di pergelangan tangannya, sudah setengah jam dia menunggu Dylan disana.
" Apa dia tak jadi datang.." Gumam pria itu sambil memandang beberapa lembar kertas di atas meja.
" Dave.."
Dave yang mendengar namanya di panggil, mendongakkan kepala.
Akhirnya orang yang di tunggunya datang juga.
" Silakan duduk, tuan.." ucap Dave sambil sedikit menunduk untuk memberi hormat.
" Apa yang mau kamu bicarakan.." tanya pria itu to the point.
Dave tak terus menjawab, dia memandang wajah Dylan yang tampak pucat dan kurang tidur.
" Ah.. maaf, tuan.."
Dave tiba tiba salah tingkah karena di tatap tajam oleh mafia psikopat itu.
Dia sudah mau membuka mulut, namun tiba tiba seorang pelayan datang.
" Mau order apa, Tuan?" Tanya pelayan itu dengan senyuman lebarnya pada Dylan.
Dylan hanya diam, Dave terpaksa membuka mulut untuk memesan.
" Jadi?" Tanya Dylan setelah pelayan itu pergi.
" Ini, tuan.." Dave menyerahkan kertas yang sejak tadi atas meja.
Dylan menyepitkan mata, melihat apa yang tertulis disana, panti asuhan.
" Apa maksudnya ini?"
" Sudah lama tuan Brian menyelidiki tentang latar belakang gadis itu dan masa lalunya.."
Dylan terdiam sambil membaca tentang gaids itu.
Terlihat gambar gadis itu disana, semasa masih bayi.
Dan tertulis juga disana bawa bayi itu di letak depan panti asuhan.
Dylan melihat foto foto bayi itu sehingga usianya tiga tahun.
" Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana?" Bisik hati pria itu.
" Kenapa hanya ini? Mana fotonya saat dewasa?"
" Karena anak itu di adopsi saat berusia tiga tahun, tuan.. dan setelah itu mereka kehilangan jejak anak itu.."
Dylan menghela nafas, ternyata masih tak cukup bukti, lalu kenapa dia harus serba salah pada gadis tawanannya itu?
" Lalu?"
" Tuan Brian... Menyelidiki lewat nama Quin Sarah, karena gadis itu pernah berkata dia ingin mencari ibu bapanya.. karena itu tuan Brian mencari di setiap panti asuhan.."
" Dan ternyata membuahkan hasil, namun ternyata masih tak cukup bukti.."
Dave memandang kearah Dylan yang tampak biasa saja, seperti yang pernah dikatakan Brian bawa Dylan tak begitu mudah percaya tanpa bukti yang kuat.
" Dan sebab itu juga... Tuan Brian menyuruh saya mencari ibu bapa angkat Quin Sarah.."
" Tapi terlambat, saat saya mendatangi rumah itu, rumahnya sudah kosong, kata tetangga yang berada disana, mereka di rampok, dan setelah itu mereka di bunuh tanpa sisa.."
Dylan masih terdiam, mendengar penjelasan pria itu, meskipun Abigail sudah menjelaskan hal yang sama.
" Saya mencoba melarang tuan Brian untuk tidak mendatangi rumah itu, namun dia tak mau mendengarnya.."
Dave menghela nafas berat. " Dia juga tak membawa bukti apa apa.."
Sebenarnya Dave sangat menyesal tak menemani saja sang tuan ke rumah itu.
Mungkin jika dia pergi bersama Brian tak akan terluka begitu parah.
" Saya merasa tuan Brian mengetahui sesuatu, karena kelihatan dia begitu gigih ingin membuktikan sesuatu.."
Dylan masih terdiam, sehingga ia teringat dengan buku yang di berikan doktor itu.
" Buku itu?"
~ bersambung ~