35. Diary Quin Sarah

1122 Words
Di dalam ruangan kegelapan itu, terdapat seseorang di ikat atas kerusi itu. Tadinya dia begitu bersemangat mendatangi rumah itu yang katanya tuan rumah tersebut mau mengajaknya malam makan bersama. Namun siapa sangka sebaik saja dia tiba, Anak buah pria itu yang katanya mau mengajaknya makan malam bersama malah menangkapnya. " Apa maksudmu melakukan ini?" Tanya pria itu, dia adalah Jackson. Pria yang baru memasuki ruangan itu hanya tersenyum sinis dan menarik kerusi lalu duduk di hadapan Jackson. " Kau belum sadar kesalahanmu?" Tanyanya dengan santai. " Apa maksudmu?" " Kau sudah hampir membunuh temanku! Lalu sekarang kau bertanya?" " Bukankah mereka musuhmu?" Jawab Jackson mulai tak faham, bukankah pria itu ingin membalas dendam pada Dylan? Kenapa sekarang sepertinya berubah arah? " Dendamku pada Dylan! Bukan yang lain!" Pria itu tersenyum sinis. " Dan pada kau.." Dia memandang Jackson penuh dendam. " Sejak dulu aku ingin membunuhmu! Namun anak sialanmu itu malah melarikan diri.." Jackson terdiam sambil menggelengkan kepala, dia tak percaya, cukup lama pria itu menolongnya selama ini, namun kenapa sekarang seakan dia mau memojokkannya? " Tapi seperti takdir masih berpihak padaku.." pria itu tertawa sinis. " Anakmu itu sebentar lagi akan mati, seperti mana kau membunuh adikku.." Kedua mata Jackson membulat kaget. " Jadi—" " Ya... Sonya adalah adikku.." jawabnya sambil memandang puas puas wajah terkejut Jackson. *** " Lan.." sapa Abigail melihat kedatangan Dylan. " Maaf, Lan.. karena panik kami lupa mengabari kamu.." " Bagaimana keadaan Brian?" Tanya Dylan tanpa pedulikan permintaan maaf gadis itu. " Dia koma.." Abigail kembali duduk, di susul Dylan yang duduk di sebelahnya. Gadis itu terus memandang wajah Dylan, dia seakan mau menyampaikan sesuatu. " Apa yang ingin kamu sampaikan.." tanya Dylan sambil memandang Abigail sekilas. " Begini, Lan.." gadis itu berdeham lalu memperbaiki duduknya. " sepertinya Brian dalam diam menyelidiki latar belakang anak Jackson.." Dylan mengerutkan dahinya sambil memandang Abigail. " Maksudku.. latak belakang gadis tanawan kamu.." " Bukannya itu sama saja.." " Tapi kamu tahu kan Brian dari sejak awal tak percaya kalau Sarah adalah anak Jackson.." " Jadi Brian menyelidiki kembali, kenapa? Bukannya sudah jelas kalau Flora Jackson itu adalah anak Jackson.." " Bukan, Lan... Brian menyelidiki latar belakang Quin Sarah bukan Flora Jackson.." Dylan menggelengkan kepala, semula dia juga ingin menyelidiki kembali latar belakang gadis itu serta keluarganya. Melihat penampilan Sarah awal di bawa hadapannya dengan pakaian pembantu, Dylan tak percaya, jika gadis itu adalah putri tunggal Jackson. Namun karena salah satu temannya meyakinkan dia jika gadis itu adalah putri tunggal Jackson, dia mengurungkan niatnya. " Tidak mungkin! Apa Jangan jangan ini bahagian dari rencananya?" Dylan beranjak dari duduknya. " Kenapa kau begitu jauh sudah melangkah! Aku ingin membiarkanmu melakukan apa yang kau mau agar kau puas! Tapi sepertinya kau perlu di hentikan, kau telah melibatkan orang yang tak bersalah aku tak akan membiarkan lagi.." " Lan.." Abigail beranjak dari duduknya sambil memegang pundak Dylan yang sedang mengurut pelipisnya. " Ada apa?" Belum sempat Dylan menjawab, tiba tiba seorang doktor menghampiri mereka. " Hello Nona dan Tuan Lan.." sapa doktor itu dengan mesra sambil menyerahkan sebuah buku pada Dylan. " Apa ini?" " Itu adalah buku milik tuan Brian.." Dylan menyepitkan mata melihat buku lusuh itu. " Yakin ini punya Brian.." " Saya kurang tahu, tuan.. tapi ini ada dalam saku hoodienya sewaktu di bawa ke sini.." Dylan hanya mengangguk kepala, dan doktor itu pun meminta izin. " Abi.. aku memerlukan bantuanmu." *** Sarah memasukki kamar dan melemparkan bungkusan pembalut itu ke atas ranjang. " Bagaimana kalau tebakan aku benar.." gadis itu menyentuh perutnya yang rata. " Aku harus memastikan.." gumamnya kemudian sambil beranjak dari duduknya. Dia keluar dari kamar lalu mendekati lift Setibanya diruang tamu di lantai bawa, dia melihat seorang pria masuk ke dalam rumah. " Hey tunggu.." panggil pria itu ketika Sarah ingin memasuki lift kembali. " Kamu mau kemana?" " Tidak mau ke mana mana, Tuan.." Pria memandang gerak gerik gadis itu, yang tampak aneh. " Benar.." Sarah mendongak memandang wajah tampan pria itu, dia tampak tenang dan kelam. " Tuan.. saya pusing.." Sarah mula menemukan alasan yang tepat. " Apa kau mau ketemu doktor.." pria itu sepertinya terpancing. " Tidak, tuan... Kalau boleh saya mau ke apotik saja.." Gadis itu menunjukkan senyuman yang paling ikhlas. Namun pria itu tak bisa di bohongi, dia melihat keguguran di wajah cantik gadis itu. " Mari saya hantar.." Sarah di buat kaget dengan ajakan itu. " Tidak, tuan.. biar saya sendiri saja.." Pria itu menaikan hujung alisnya. Apa gadis itu berencana untuk melepaskan diri dengan cara halus. " Saya tidak akan izinkan.. ingat kau disini adalah tawanan.." tegas pria itu. " Baiklah, tuan.." " Ayo!" Sarah mengangguk sambil mengikuti pria itu dari belakang. Sepanjang jalan Sarah hanya diam, begitu juga sebaliknya. " Sudah sampai.." Sarah memandang pria itu yang saat ini juga sedang melihat kearahnya. " Hm.. tuan, kalo boleh saya—" Belum sempat gadis itu menghabiskan kata katanya, tiba tiba pria itu menyerahkan duit di depan wajahnya. " Ingat jangan coba coba kabur, aku akan memperhatikanmu dari sini.." Sarah mengangguk sambil mengambil duit di tangan pria itu. " Terima kasih, tuan.." dia membuka pintu mobil dan keluar. " Dia tidak seperti orang sakit kepala.." gumam pria itu sambil memperhatikan Sarah dari jauh. Tak berselang lama, Sarah kembali. " Maaf, tuan... Saya lama.." Pria tak menjawab lalu melajukan mobilnya meninggalkan apotik itu, dan kembali ke rumah utama. " Terima kasih.." kata Sarah lagi setiba mereka di rumah. Pria tetap tak merespon. " Saya turun dulu, tuan.." Bak patung tak bisa bicara pria itu hanya diam sambil memainkan ponselnya. Akhirnya Sarah memutuskan meninggalkan pria itu yang masih sibuk dengan ponselnya. Setiba dalam kamar, Sarah terus mengeluarkan test kehamilan itu dari dalam kotak kecil. Dengan tergegas dia melangkah ke kamar mandi, dan tanpa dia sadar seseorang memperhatikannya dari camera CCTV. " Oh tidak!" Setelah berapa menit menunggu, akhirnya Sarah dengan hati berdebar debar mengeluarkan test kehamilan itu dari dalam gayong. " Tidak mungkin! Kenapa hasilnya harus positif.." Sarah terduduk di atas lantai dan menangis. " Aku belum mau mati.." lirihnya dan mengingati setiap ancaman yang di ucapkan Dylan padanya. " Tidak ada cara lain, aku harus kabur dari sini.." gumamnya penuh nekat. *** " Ya makanya aku heran kok bisa teman kamu, terus berteman juga sama musuh kamu sendiri.." Nick terus mendekati gadis itu lalu mencengkam erat kedua lengannya. " Maksud kamu?" " Aduh.. sakit.." Anna meringis kesakitan karena pria itu memegang erat lengannya. " Jawab pernyataanku, teman mana yang kamu maksud?" " Itu.. yang ke restoran waktu itu.. kemarin sepertinya.." Nick melepaskan cengkaman tangannya di lengan gadis itu, kemarin? Yaa.. dia baru ingat, Lee dan Kim temannya ke restoran waktu itu. Lalu siapa di antara mereka yang sudah berani berteman dengan musuh? Lee atau Kim? ~ Bersambung ~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD