Mobil mulai memasuki halaman rumah, aku segera mematikan mesinnya kemudian menatap Alex yang sedang mamainkan gantungan boneka panda milikku.
“Jangan katakan apapun tentang diri bapak yang sebenarnya. Biarkan saya yang mengurus semuanya.”
Alex mengangguk lalu meletakkan boneka panda itu di atas dashboard. Kami keluar bersama. Ada rasa takut saat membawa seorang pria masuk ke rumah malam-malam. Aku harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Pertama aku akan diintrogasi tapi Alex bisa menginap atau kemungkinan kedua kami akan diusir.
Lampu ruang tamu masih menyala. Mama tidak pernah mematikan lampu sebelum aku pulang. Itu berarti mama belum tidur. Benar saja saat kami menaiki tangga suara mama terdengar memanggilku.
“Siapa dia Ana?”
“Mama…” Aku berbalik menatap mama yang berdiri tidak jauh dari tempatku. Sepertinya mama baru keluar dari dapur.
“Siapa pria itu?” tanya mama lagi.
Alex berbalik membuat mama menutup mulutnya. Reaksi mama sangat berlebihan saat menatap Alex. Bahkan mama tidak berkedip sama sekali.
“Papa… ada artis datang ke rumah kita,” teriaknya antusias. Mama menarik tangan Alex untuk duduk di sofa.Ini bahaya, papa bisa marah padaku. Apa yang harus aku katakan sekarang? Kenapa mama harus memanggil papa, sih?
“Siapa, Ma?” tanya papa heran. Papa keluar dari kamar dengan piyama tidurnya bergambar doraemon. Sungguh penampilan papa membuat aku malu di depan Alex. Mama menghampiri papa dengan senyum lebar. Seolah penampilan papa adalah hal biasa untuknya. Mama mengait lengan papa mesra.
“Dia mirip artis ya, Pa. Tampan sekali.”
Papa menatap Mama tajam kemudian mengalihkan tatapannya padaku. Mau tidak mau aku harus mengatakan sesuatu pada mereka berdua. Kini aku dan Alex duduk bersisian. Papa menatap kami bergantian.
“Ana, siapa pria ini,” tanya papa setelah duduk di sofa.
“Maaf Pa, Ma, dia Alex teman kantor Ana.”
“Teman kantor? Bagian marketing?” tanya mama.
“Bukan, dia sopir kantor, maksud Ana dia sopir pribadi bos.”
Alex menatapku dengan alis menukik, rahangnya mengeras. Aku yakin ia tengah menahan kesal. Biarkan saja aku tidak peduli. Lebih baik berbohong dari pada dia tidur di jalanan.
“Oh, walau pun sopir tapi dia sangat tampan, tapi kenapa kulitnya bersih sekali? Tidak seperti sopir kebanyakan,” ujar mama menilai Alex dari ujung kepala hingga kaki.
“Oh itu karena dia sering pakai pemutih wc, Ma.”
“APA?” ujar mereka serempak.
“Apa yang kau katakan?” gumam Alex dekat telingaku. Aku berusaha mengabaikan Alex. Aku tidak peduli jika ia marah karena kebohonganku.
“Jadi Alex selain menjadi sopir pribadi bos dia juga cleaning service khusus ruang si bos. Bisa dikatakan Alex adalah orang kepercayaan bos di kantor, karena Alex sering membersihkan kamar mandi menggunakan pemutih jadi kulitnya lebih cerah,” jelasku.
“Tidak masuk akal. Pemutih bisa saja merusak kulit,” gumam mama sambil mengusap dagunya.
“Jadi apa yang membuat kamu bertamu malam-malam?” tanya Papa tegas.
Alex baru ingin membuka mulutnya untuk bicara, tetapi aku segera mendahuluinya. Bagaimanapun juga jangan sampai Alex mengatakan sesuatu yang membuat papa curiga.
“Sewa kost di tempatnya sudah habis, rencananya Alex akan mencari tempat kost baru besok pagi jadi untuk malam ini dia tidak punya tempat tinggal.”
Alex lagi-lagi menatapku, kali ini wajah dingin itu hanya menatap datar dengan bibir sedikit terbuka. Mungkin dia berpikir aku sedang mempermalukan dirinya padahal aku melakukan lebih dari itu.
“Papa kasihanilah dia.”
Aku menangkup kedua sisi wajah Alex dan mengarahkan wajah tampan itu pada papa. Meski wajah tampan itu tidak layak dikasihani tapi aku harus melakukannya demi pria itu. Sebenci-bencinya aku dengan Alex hati nuraniku masih bekerja.
“Baiklah, papa izinkan, tapi papa perlu kepastian. Apa kalian pacaran?”
“Eh?”
Alex menarik bahuku tanpa senyum sedikit pun ia berkata, “Apa Anda merestuinya?”
Mama kembali menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sepertinya mama sudah terkena perangkap seorang Alex. Pria dingin itu selalu punya cara untuk menjadi pusat perhatian atau lebih tepat mencari perhatian.
“Kalian pacaran? Tidak peduli apa pekerjaanmu yang terpenting adalah kebahagiaan putri kami. Ana kenapa tidak bilang kalau kamu punya pacar?” tanya mama antusias. Mama bahkan gregetan tidak jelas.
“Ma, kami tidak pacaran.”
Aku melepaskan rangkulan Alex dengan kasar. Berani-beraninya dia mencuri kesempatan dalam kesempitan. Sekali lagi dia menyentuhku bisa dipastikan besok ia tidak akan bisa berjalan.
“Oh kami lupa memperkenalkan diri, aku Mery dan ini suamiku tercinta Yantok.”
“Ma….” Papa menatap mama tidak suka.
“Fernadi Yanto Santoso,” koreksi mama
Malam itu Papa dan Mama berbicara banyak pada Alex. Aku tidak habis pikir bagaimana pria sedingin itu bisa bicara mengasyikkan. Papa bahkan terlihat senang bicara dengan Alex. Terlebih mereka senang membicarakan bisnis.
“Ini kamar bapak. Kalau membutuhkan sesuatu jangan tanya padaku.”
“Saya harus bertanya pada siapa?”
“Rumput yang bergoyang. Terserah bapak ingin bertanya pada siapa tapi jangan mengganggu aku lagi dan besok adalah libur aku harap bapak pergi pagi-pagi.”
“Kamu mengusir saya?”
“Tidak, hanya memberitahukan sopan santun yang benar. Selamat malam.” Aku segera pergi dari kamar itu namun saat aku membuka pintu Alex mendorong pintu dengan satu tangannya hingga tertutup. Aku bisa merasakan panas tubuhnya tepat di belakangku.
Ceklek…
Suara pintu terkunci membuatku sadar akan bahaya yang mengancam. Tidak, aku tidak boleh lemah dengan godaannya. Aku tidak akan goyah. Pikiranku melayang ke mana-mana saat hembusan napas Alex menerpa pundakku. Tubuhku menegang, bahkan bernapas pun terasa sulit. Apa yang yang akan dia lakukan padaku?
“Wanita itu bukan tunangan saya.”
“Siapa?”
“Melody. Wanita yang pernah kamu lihat di ruangan saya.”
Aku melangkah mundur saat berbalik menatap Alex. Wajah pria itu sangat dekat hingga aku harus menjaga jarak. Kami saling berpandangan dengan jarak yang tidak terlalu jauh terlebih kini Alex menundukkan wajahnya.
“Itu bukan urusan saya. Saya tidak peduli jika Anda berkencan dengan banyak wanita di luar sana.”
Alex menegakkan tubuhnya kedua tangannya terlipat di depan d**a. Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya apa pria ini bahagia atau justru sebaliknya. Alex selalu bisa menyembunyikan perasaannya di balik wajah datar itu.
“Saya tidak ingin ada gossip miring di kantor jadi saya katakan padamu.” Alex berjalan ke arah tempat tidur, ia menghempasakan tubuhnya ke kasur lalu memejamkan mata.
“Sebenarnya apa tujuan bapak datang menemui saya malam ini? Saya tahu bapak bisa saja menghubungi salah satu anak buah bapak untuk menjemput.” Alex merubah posisinya menjadi tidur miring. Aku menghampiri Alex dan meminta jawabannya.
“Mana ada orang kabur memberitahu keberadaannya?" sahut Alex.
“Tapi kenapa harus saya? Bapak bisa menghubungi staf pria atau Aline, saya rasa mereka akan membantu.”
“Saya tidak punya nomor mereka. Jadi berhenti bertanya tentang hal itu.”
“Saya tidak habis pikir sama bapak.”
“Kamu mau tahu kenapa saya menghubungi kamu?”
Aku terdiam menunggu jawaban dari Alex. Tiba-tiba pria itu menarik tanganku hingga menindih tubuh kekarnya di atas kasur. Belum hilang rasa terkejut kini Alex dengan cepat membalikkan posisi hingga aku terlentang di bawah tubuh kekarnya.
“A-apa yang bapak lakukan?”
“Menurutmu apa yang akan dilakukan pria dan wanita dalam sebuah kamar?”
Tangan Alex menyentuh halus kening hingga hidungku. Mataku terpejam ketika tangan halus itu menyentuh kulitku. Pikiranku kacau, terlebih Alex mendekatkan wajahnya padaku. Bibir merah tipis yang sering mengeluarkan kata-kata menyebalkan itu terlihat menggoda. Walau bibir itu pernah menyentuh tubuhku namun aku tidak tahu bagaimana rasanya.
Saat itu aku mabuk, tak satu pun kejadian yang bisa kuingat. Hidung Alex kini menyentuh hidungku. Menggeseknya beberapa kali hingga membuatku geli.
“Apa di matamu saya hanya seorang supir dan cleaning service?” Suara Alex begitu lembut dan seksi membuat sekujur tubuhku meremang. Mata kami saling beradu pandang tapi tiba-tiba suara Aline menggema di telingaku.
“Ahhkk…”
Alex meringis saat jidatku membentur jidatnya. Alex berguling ke samping sehingga aku bisa berdiri bebas sembari mengusap jidat yang terasa sakit.
“Jangan macam-macam,” ucapku sinis sebelum pergi dari kamar itu.
***
Merenggangkan tubuh adalah suatu nikmat yang selalu aku rasakan saat bangun tidur. Senyum adalah hal wajib yang perlu dilakukan karena aku percaya senyum itu akan membuat hari lebih indah.
“Kamu ingin membunuh orang dengan kata-kata seperti ini?”
Suara itu… suara orang yang aku benci. Kenapa suaranya terasa dekat. Kubuka mata selebar-lebarnya menatap pria yang tengah duduk di meja belajarku. Alex dengan santainya membuka buku catatanku.
“Apa yang Pak Alex lakukan?” Aku segera merebut buku itu dari tangan Alex dan menyembunyikannya di belakang punggung.
“Tidak sopan melihat catatan orang tanpa izin.”
“Lebih tercela lagi jika menuliskan kata hinaan untuk seseorang. Kamu bisa saja membunuh mentalnya dengan kata-kata kasar.”
Aku hanya diam saat Alex beranjak pergi namun saat ia berada di depan pintu Alex berbalik.
“Saya disuruh membangunkan kamu jadi saya masuk ke kamar ini bukan tanpa izin.”
Setelah itu Alex benar-benar pergi. Aku bisa menghela napas lega karena ia tidak mengatakan apa pun lagi. Aku bergegas turun menemui Mama di dapur, tapi aneh biasanya mama akan sibuk membuat sarapan di pagi hari tapi kali ini aku tidak menemukan sosoknya di dapur.
Suara tawa terdengar jelas di halaman belakang. Aku mencoba mengintip dari jendela dan terlihat jelas papa dan Alex sedang berenang sedangkan mama duduk di kursi sambil berteriak-teriak. Sepertinya papa dan Alex sedang berlomba. Astaga, kenapa mereka bisa cepat akrab? Ini gawat.
Aku menghampiri mama dan duduk di kursi santai yang kosong, mama berteriak layaknya gadis remaja melihat idolanya dan yang membuatku kesal adalah mama lebih mendukung Alex. Apa bagusnya pria itu, aku rasa papa lebih hebat.
“Papa pasti menang,” teriakku membuat Mama menoleh.
“Putriku, kau tidak bisa melihat Alex bergerak lebih cepat, mana mungkin papa yang menang.”
“Tapi papa ahlinya, pria sombong itu tidak ada apa-apanya dari papa.”
Mama menatapku sinis kemudian ia kembali berteriak. Ini tidak boleh dibiarkan. Aku tidak mau kalah untuk terus mendukung papa sambil tiduran di kursi. Tidak lama kemudian dua pria itu naik ke bibir kolam. Dengan cepat mama memberikan handuk pada papa dan secangkir kopi yang sudah menghangat, mereka bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Sementara Alex kini berjalan ke arahku. Aku mencoba acuh saat Alex duduk di tempat mama.
Ia mengulurkan tangannya padaku. “Apa?” tanyaku
“Handuk untuk saya."
“Saya bukan pelayan bapak. Di luar kantor bapak bukan bos saya Jadi ambil saja sendiri.”
Alex beranjak dari tempatnya, ia menunduk saat berada di dekatku. Jantungku berdegup kencang ketika d**a bidang itu berjarak beberapa senti dari wajah. Alex mengurungku dengan badan kekarnya dan tiba-tiba Alex menarikku hingga wajahku membentur d**a bidangnya.
Namun itu tidak berlangsung lama karena Alex sudah mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang tidak sengaja kutiduri. Kenapa aku tidak sadar handuk itu ada di dekatku, dengan senang hati aku akan melemparnya ke wajah datar itu.