CINTA YANG KURINDU- 6

2100 Words
“Pagi, Saujana...” Sapaan itu berhasil buat Saujana menoleh pada Nata yang sedang berjalan dengan wajah segar. Lelaki itu temukan Saujana satu-satunya yang sudah bangun pagi ini dan sudah sibuk di dapur. Saujana tersenyum, “Pagi bos Nata.” Nata berdiri di sisinya, aroma khas woody yang maskulin sekaligus warm langsung terhirup hidung Saujana. Selain wajah memang berkarisma dan rupawan, Nata menjaga penampilan. Selalu wangi meski mereka sudah seharian bekerja di kantor, Saujana yakin jika parfum yang di pakai ada harga. Sementara Saujana sekarang belum mandi, tadi hanya gosok gigi dan cuci muka, membuatnya jadi malu. “Kamu sedang buat apa?” tegurnya. Saujana kembali fokus pada roti bakar yang sedang di panggang. Tidak banyak pilihan untuk bisa menganjal perutnya yang lapar. “Roti bakar, sosis dan telur acak.” Jawabnya. “Sepagi ini kamu udah lapar?” Saujana meringis, “Semalam saya hanya minum coklat panas yang Pak Nata kasih. Menu sarapan kita baru datang jam delapan nanti.” Nata menatapnya, lalu mengedikan bahu tak asuh dan berlalu. “Suruh siapa kamu nggak makan?” Saujana akan mencebikkan bibir, namun suara Nata kembali terdengar. “Buatkan porsi lebih, saya juga lapar.” Eh ternyata mau juga?! Batin Saujana. “Oke, Pak. Mau sekalian saya buatkan minum?” “Ada apa? saya lagi nggak mau kopi.” Saujana berbalik dan mengecek “Ada s**u putih, coklat, teh. Udah itu aja pak.” “Kamu mau buat apa?” “Saya buat teh hangat aja.” “Buatkan juga untuk saya.” Katanya sebelum benar-benar berlalu.  Dia selesai membuat sarapan, segera mencari keberadaan Nata dengan membawa makanan di tangannya. Mereka masih di Villa, jam sepuluh nanti baru meninggalkan Villa untuk melakukan perjalanan kembali ke Jakarta. Saujana menemukan Nata di belakang Villa. Semalam tempat ini sangat berantakan bekas pesta barbeque, entah sampai jam berapa mereka selesai karena setelah berbincang dengan Nata, Saujana langsung masuk kamar dan pilih tidur. Nata berdiri di dekat kolam renang sedang merenggangkan otot tangan ke atas, udara dingin di sini sulit untuk berkeringat malah membuat maunya tetap berbaring di atas ranjang empuk dan menarik selimut. Menangkap suara langkah mendekat, Nata berbalik dan jalan menghampiri Saujana. Mereka duduk di sofa rotan, saling bersisian. “Kalau rasanya kurang enak, maaf ya pak.” kata Saujana menyerahkan bagian untuk Nata. “Kalau nggak enak saya kurangi gaji kamu nanti.” Gurau Nata dengan menyeringai. Saujana tersenyum dan mulai melahap bagiannya sambil mencuri tatap ekspresi Nata yang juga nikmati sarapan sederhana mereka, Saujana yakin tidak ada masalah dengan rasa makanan ini jika lihat cara makan Nata tanpa kritik. Sarapan mereka juga di isi perbincangan seputar pekerjaan. “Saya baru tahu kalau lensa kamera itu banyak jenisnya.” Kata Saujana. “Sesuai fungsi masing-masing. Kamu mau belajar?” “Ya?” “Menggunakan kamera.” “Leo dulu juga pernah mengajari cara menggunakan kamera yang benar, saya sudah lupa lagi.” keluh Saujana ingat Leo yang pernah mengajarinya, bagi Saujana lebih mudah memotret dengan kamera ponsel dari pada kamera sungguhan. Belum lagi meski yang sudah biasa dengan benda itu akan bilang ringan, tetap untuk pemula sepertinya berat dan Saujana takut merusak kamera yang jelas harganya tidak murah. Mendengar keluhan Saujana, Nata menatap dengan intens. “Kamu nggak sungguh-sungguh, jadi mudah lupa.” Saujana menghela napas, “Sejujurnya, dulu, saya memang nggak tertarik. Kalau sekarang karena bekerja di ruang lingkup kamera dimana-mana, saya mulai tertarik.” Nata menyandarkan punggung, menatap Saujana dari sisi. Perhatikan gadis itu yang jika sering di lihat punya wajah cantik dan manis, meski tampilan wajah polos dan belum mandi. Bibirnya mungil dan pink alami, hidungnya tidak terlalu mancung juga tidak pesek, bulu mata lentik dan alis yang rapi tentu alami. Rambutnya berponi dan panjang sepunggung. Tubuhnya memang tidak seideal model dengan tinggi semampai dan punya aset yang menarik, tapi, Saujana ramping dan terlihat pas. Nata segera menggeleng, mengalihkan tatapan dari wanita itu. Jelas, Saujana bukan tipe wanita bisa membuatnya bèrgairah, seharusnya. Wanita yang bersama Nata biasanya model dan berpengalaman seperti Letta. Pekerjaannya selalu di kelilingi wanita-wanita cantik dan Nata bukan lelaki baik-baik yang alim. Jelas kebebasan adalah kehidupannya, dan gadis polos seperti Saujana tidak bisa dia dekati. Nata tak sampai brèngsek untuk bermain-main dengan gadis baik-baik seperti Saujana, dia akan mencari pasangan yang sama-sama menginginkan dan berpengalaman seperti dirinya tentu tanpa libatkan perasaan bernama cinta selain hanya menyalurkan kebutuhan dan mencari pelarian kala pening dengan pekerjaan sehari-hari. “Pak Nata.” Tahu-tahu Saujana menatapnya, mengibaskan tangan di depan wajah Nata yang tidak sadar melamun dan menatapnya.  Nata langsung saja mengerjap dan terpaku pada wajah Saujana yang tersorot sinar mentari pagi, menyihir wajahnya jadi bercahaya. Mata Nata lalu turun menatap bibir mungil Saujana, entah bagaimana jadi sangat menarik untuk di cicip. Sementara Saujana juga terpaku setelah membuyarkan lamunan Nata, hingga dia tersentak saat ibu jari Nata mengusap sudut bibirnya secara tiba-tiba. Sentuhan sehalus bulu tapi memercikkan rasa yang asing hingga mendebarkan dadanya. Nata dengan cepat menarik tangan, ekspresi yang sulit Saujana baca karena terlalu santai dan tidak merasa bersalah sudah membuat gadis itu terkejut. “Ada remah roti.” Katanya. Blush! Pipi Saujana merona segera memalingkan wajah. Tidak bisa tetap di sana, demi debaran jantung tetap normal maka secepat itu Saujana membereskan piring-piring bekas makan mereka dan berdiri membawanya. “Mau ke mana kamu?” tanya Nata. Saujana menatap bosnya itu, “Itu pak, mau mandi. Saya permisi.” Katanya, dan berlalu tanpa menoleh lagi walau sangat yakin tatapan Nata membakar punggungnya. Sampai di dapur, Saujana mencuci piring-piring itu. Walau sudah selesai tetap berdiri di sana, tangan mencengkeram pinggiran tempat cuci piring. Selama hidupnya Saujana tidak pernah menjalin hubungan dekat dengan laki-laki kecuali dengan Leo. Hidupnya hanya seputar sekolah, membantu di panti. Teman pun di dapat di panti, teman rasa saudara yang tidak ada melibatkan perasaan lebih. Sementara di sekolah, Saujana tidak terlalu punya banyak teman dan kalau pun ada benar-benar hanya berteman. Saujana pernah punya cinta atau hanya cinta monyet ala-ala remaja, tapi, Saujana menjauh sendiri karena tahu jika seharusnya fokusnya sekolah dan belajar, tidak ada waktu untuk asmara. Maka, ketika akhirnya Saujana dekat dengan Nata. Bentuk perhatian dan kedekatan mereka mudah menyentuh hatinya, ini pertama kali Saujana dekat dengan seorang laki-laki dan itu bosnya, yang terkenal kerap berganti-ganti pasangan. Saujana menghela napas dalam, akan berusaha menghalau perasaan itu muncul. Dia tidak bisa pertaruhkan kerja profesional jika sudah melibatkan perasaan. Lagi pula, Nata terlalu sulit untuk di jangkau dan potensi patah hati Saujana lebih besar. “Huft...” Saujana menghela napas lagi... lalu melangkah menuju kamar, lebih cepat kembali ke Jakarta lebih baik. Seandainya ada Leo mungkin Saujana akan bercerita tentang sesuatu yang hadir belakangan ini... atau sebaiknya, dia tidak perlu cerita pada siapa-siapa karena mungkin yang di rasa belum pasti. *** Saujana menyingkirkan interaksi yang menyentuh perasaannya. Nata juga bersikap biasa saja selama perjalanan kembali ke Jakarta. Kini selama pesawat mengudara, Nata yang duduk dengannya tampak memejamkan mata. Menatap keluar jendela, melihat gumpalan awan yang tampak seperti busa mau pun kapas. Membayangkan andai bisa tertidur di atasnya pasti nyaman. Tek! Saujana menoleh saat merasa kepala Nata bersandar ke bahunya tanpa sadar. “Pak...” cicitnya pelan, ingin membangunkan tetapi tidak tega. Pelan-pelan tangannya terangkat niat untuk memegang kepala dan mengalihkan tapi Saujana malah terdiam membiarkan tangan menangkup sisi wajah Nata. Pandangan wanita itu menelusuri setiap sisi wajah rupawan sang bos. Tulang hidung Nata sangat mancung, dia memiliki mata yang agak sipit ada tahi lalat kecil di pipi kanan yang malah tidak mengganggu malah membuatnya khas. Naik ke atas, rambutnya gelap lalu turun pada tangan yang kulitnya sawo matang seperti Leo. Dua garis tato berada di tangan kiri, membuatnya terlihat kuat. Saujana meneguk saliva, ketika tangannya di tangkap oleh Nata dan baru bisa bernapas lega kala Nata masih memejamkan mata. Sayangnya, tangan Saujana terjebak dengan pelukan erat sepanjang Nata tidur. “Hm...” lelaki itu bergumam, perlahan kelopak mata terbuka dan beradu dengannya. Nata tampak terkejut karena wajah mereka yang begitu dekat. “Sori... saya—“ Tangan Saujana akhirnya terbebas juga. “Pak Nata harus menambahkan uang lembur saya.” Nata sudah duduk tegak kembali, ucapan Saujana membuat alisnya naik menanti. Saujana menggerakkan tangannya, “Saya sampai kesemutan.” Matanya dengan tajam mengintai Saujana. “tunggu dulu, bagaimana bisa saya memeluk tangan kamu?!” Glek! Saujana kembali menelan Saliva. “I-itu saya tadi mau membangunkan pak Nata.” “Sudahlah... sepertinya kita juga akan segera sampai.” Untung Nata tidak curiga jika Saujana sempat ambil kesempatan menelusuri wajahnya tadi. Sampai di Bandara. Saujana menarik koper kecilnya, berjalan di sisi Nata. Di pintu kedatangan, dia melihat Leo sudah berdiri di sana. “Leo!” Saujana memekik bahagia, tidak menahan diri untuk berlari menyongsong sang sahabat dan tanpa peduli Nata juga rombongan mereka memerhatikan. “Kok tahu jadwal pesawatku tiba?” Leo mengacak poni Saujana, “tahu dari temanku yang ikut rombongan kalian.” “Oh.” Saujana mengangguk. Interaksi mereka berhenti akan kehadiran Nata, “Bos.” Sapa Leo. Usia Nata memang lebih tua tiga tahun dari Leo. Nata mengangguk cool, “Kita makan siang dulu, kamu ikut saja.” Leo melirik Saujana, “Kami langsung saja, bos.” “Saujana pasti lapar.” Jelas Nata memaksa, tidak ingin di tolak. Ketika Leo akan menolak lagi, Saujana menarik tangannya sebagai kode. “Baik Pak, kami ikut makan siang.” Nata tidak menjawab, berjalan lebih dulu. “Kita bisa makan berdua.” “Ish Leo, yang gratis itu jangan di tolak!” omel Saujana, membuat Leo tercengang. Tidak diberikan waktu untuk protes sebab Saujana sudah menyeret dirinya. *** Mereka makan di salah satu resto, Nata terkenal royal pada karyawan Studio KNH. Tempati ruang VIP, kursi-kursi pas menampung jumlah rombongan. Saujana duduk di antara Nata dan Leo. Selama itu interaksi Leo yang sangat perhatian pada Saujana menarik untuk Nata apalagi setelah tahu jika Saujana dan Leo tinggal di panti sejak kecil, biar pun tidak ada hubungan darah, interkasi keduanya seperti adik-kakak. “Ini nggak akan termakan kalau kamu minta aku coba makananmu!” keluh Saujana. “Hm... mm!” Deheman cukup keras dari Nata membuat Saujana maupun Leo menoleh. Dia melihat makanan Nata utuh, tidak tersentuh. “Pak, apa makanannya mau di ganti?” Nata menggeleng, “Saya butuh air putih.” Saujana otomatis berdiri. “Saya pesankan.” Setelah wanita itu berlalu, tatapan Nata sempat terpaku pada punggung Saujana sebelum mata Leo dan Nata bertemu hanya beberapa detik. Lalu Nata lebih dulu menatap makanan di piring dan mulai menyuap. Leo menghela napas untuk berusaha tidak terganggu dengan cara Nata menatap Saujana. Sudah setahun, wajar bukan jika mereka mulai akrab sebagai atasan dan bawahan yang profesional? Saujana kembali, selama itu Nata membangun pembicaraan dengan Saujana seakan tidak memberi Leo tempat untuk menarik atensi gadis itu. “Besok kamu ke studio.” “Besok jadwal libur saya, pak?” tanya Saujana. Nata mengelap bibirnya dengan tisu, “Ya, saya butuh kamu.” Harusnya besok Saujana dapat jatah libur meski Studio foto tidak libur. Saat Weekend jadwal pemotretan malah lebih banyak, kebanyakan di luar studio. Saujana menghela napas, tidak bisa menolak. Ya, artinya dia pun akan dapat uang lembur. Makan siang selesai, para rombongan lain sudah pada pulang. Saujana melangkah bersama Leo dan Nata. Begitu di depan resto, mereka di kejutkan oleh seorang wanita cantik yang menyapa dan memeluk Nata. “Hai Nata, apa kabar?” suaranya begitu manja. Wanita itu bukan Letta. “Rei? Kamu di sini?” Nata tampak terkejut. Saujana merapat pada Leo sembari menatap wanita cantik bernama Rei, wajah yang sepertinya tidak asing. Saujana pernah melihat, entah di mana... mungkin salah satu model. “Pak kami duluan.” Leo yang lebih dulu pamit undur diri dari Nata. Saujana ikut mengangguk. “Ya, hati-hati kalian.” Kata Nata lalu melirik Saujana, “Saujana besok jangan lupa, kamu bisa datang agak siang.” “Baik, pak.” Saujana pergi dari sana mengikuti Leo, dia menoleh kembali tepat saat Nata menatapnya meski ada wanita di sisi yang sedang coba menarik perhatiannya. Saujana lebih banyak diam, dan itu menarik perhatian Leo. “Apa yang terjadi?” “Apa?” gumam Saujana. “Antara kamu dan si bos?” Pertanyaan aneh yang membuat Saujana langsung menatap Leo di balik kemudi. “Kamu ngomong apa sih... ya kerja aja.” “Dia lebih manusiawi sekarang.” gumam Leo dan agar tidak berpikir macam-macam maka Saujana tertawa kecil. “Bos tetap manusia biasa, dia baik kok semakin mengenalnya.” Cukup lama Leo menatap Saujana, senyum terukir di wajah cantiknya. Leo tidak suka ada alasan lain untuk senyum Saujana selain dirinya. To be continued.... Di sini Saujana belum tahu, Rei itu sepupunya Nata. Hm udah mulai rebutan perhatian Saujana nih... antara Leo dan Nata. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD