Pelarian Dalam Diam

1231 Words
Pesta berlanjut dengan gemerlapnya malam yang seolah tak berkesudahan. Kilauan lampu kristal di ruang utama rumah mewah itu memantulkan cahaya ke segala arah, menciptakan suasana yang tak kalah megah dengan perayaan istimewa di istana. Namun, di tengah gemerlap itu, Mira merasakan dingin yang merayap perlahan dalam hatinya. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai, siap merenggut rasa damai yang sempat ia cicipi dalam dekapan Connor. Ketika tatapan tajam Letnan Harrington—Light—mengenainya, perasaan tidak nyaman semakin menguat. Wajahnya yang tegas, hampir tanpa ekspresi, menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan formal antara teman kerja dan istri rekannya. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sorot mata itu, dan Mira tidak bisa mengabaikannya. Pikiran Mira melayang ke saat-saat di mana ia dan Connor bermesraan. Kenangan akan kehangatan ciuman Connor yang lembut, pelukan yang erat, dan janji-janji yang diucapkan dalam bisikan hangat. Namun, setiap kali bayangan Light muncul di benaknya, kehangatan itu terasa memudar, digantikan oleh kebingungan yang semakin dalam. Light ... mengapa namanya begitu kuat dalam ingatan Mira? Kenapa kehadirannya begitu mengusik, seolah ia adalah kunci dari semua misteri yang membelenggu wanita itu? Mira berusaha mengalihkan pikirannya saat Connor dengan bangga memperkenalkan dirinya kepada tamu-tamu yang lain. Namun, hati kecilnya tetap berbisik, penuh waspada. Setiap gerak-gerik Light diamatinya dari kejauhan, dan ia tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan ini. Hampir tengah malam, pesta yang semarak dan penuh formalitas itu pun berakhir. Tamu-tamu satu per satu meninggalkan rumah mewah Connor, meninggalkan ruangan dengan keheningan yang mendadak terasa menyelimuti seluruh sudut rumah. Mira duduk di kamar, dikelilingi oleh keheningan yang mencekam, pikirannya terus berputar tanpa henti. Malam itu, saat Connor masuk ke kamar dengan senyum yang penuh ketulusan, Mira berusaha menatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Connor, dengan sikap lembutnya yang memikat, mendekati Mira, menggenggam tangan lembutnya, seolah-olah dunia di sekitar mereka hanyalah milik berdua. Namun, saat Connor menciumnya, sebuah bayangan lain melintas di benak Mira—bayangan yang tak terjelaskan dan sungguh asing, Light. Mira menarik diri dari ciuman Connor dengan rasa ragu yang semakin membesar di dalam d4danya. “Connor,” suaranya terdengar samar, hampir bergetar, “bolehkah aku menghirup udara segar di taman?” “Kau belum pulih sepenuhnya, Mira. Udara malam tidak baik untukmu dan sebaiknya kau beristirahat.” Connor melarang secara halus, lalu mengecup dahinya. “Aku akan tidur di kamarku karena tidak ingin mengganggu istirahatmu. Jangan memikirkan hal yang tidak penting. Tidurlah.” Mira mengangguk, meskipun hatinya memberontak. Dia merasa semakin tercekik oleh kebingungan yang tidak bisa ia jelaskan. Saat Connor meninggalkan kamar, Mira duduk di tepi tempat tidur, pikirannya terus-menerus mencari jawaban. Malam semakin larut, dan dalam keheningan itu, Mira tahu bahwa dia harus menemukan cara untuk mengungkap kebenaran. Mira merasakan denyut di pelipisnya, tanda bahwa pikirannya mencoba mengingat sesuatu yang penting, tapi seperti biasanya, kenangan itu kabur sebelum ia bisa menggapainya. Kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak benar di balik pernikahannya dengan Connor mulai menguasai dirinya. Jika ia dan Connor saling mencintai, mengapa hatinya masih dihantui oleh sosok lain? Apa yang sebenarnya terjadi sebelum ia kehilangan ingatannya? Malam itu, Mira memutuskan untuk mencari jawaban. Dengan langkah-langkah tenang, ia mencoba keluar dari kamar dan menjelajahi rumah megah itu. Namun, setiap kali ia mendekati pintu keluar, selalu ada seorang penjaga yang menghalanginya dengan sopan tapi tegas. Setelah menyusuri beberapa bagian rumah, Mira akhirnya menemukan akses menuju ke taman. Dengan cepat, Mira mencoba meraih pegangan pintu. Sayangnya, seorang penjaga segera menghampirinya. “Maaf, Nyonya Sullivan, tapi Tuan Sullivan memerintahkan agar Anda beristirahat di dalam. Udara malam di luar terlalu dingin untuk Anda.” Mira menatap penjaga itu dengan ketidakpercayaan, merasa dikhianati oleh orang-orang di sekitarnya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa Connor, pria yang mengaku mencintainya, begitu ketat menjaganya seolah ia adalah tahanan dan bukan seorang istri? “Terima kasih,” ujar Mira dengan suara tenang, meski hatinya berkecamuk. “Aku hanya ingin menikmati sedikit udara segar. Bukankah itu hakku sebagai Nyonya rumah ini?” Penjaga itu tampak ragu, tapi tetap tidak memberinya izin. “Ini demi kebaikan Anda, Nyonya.” Mira hanya bisa mengangguk, meski hatinya berteriak untuk melawan. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah lemah, merasa bahwa rumah ini semakin mengekang kebebasannya. *** Pagi datang dengan keheningan yang menakutkan. Cahaya matahari pagi menyusup perlahan melalui tirai-tirai tebal di kamar Mira, memberikan sedikit kehangatan pada ruangan yang sepi. Saat Mira membuka mata, rasa dingin yang tak wajar merayapi kulitnya, menggantikan kenyamanan tidur yang singkat. Seolah alam bawah sadarnya menyadari sesuatu yang tak bisa ia lihat dengan mata telanjang. Mira segera bangkit dari tempat tidur. Meski tubuhnya masih terasa lemah, dorongan kuat untuk melarikan diri mengalahkan rasa sakit yang menghantui setiap langkahnya. Ia mengenakan pakaian sederhana—kaus longgar dan celana jeans—untuk tidak menarik perhatian. Setelah memastikan pintu kamar terkunci, Mira mengatur napasnya, mencoba meredakan detak jantungnya yang berdetak tak karuan. Langkah pertama Mira adalah menuju jendela. Ia membuka tirai sedikit, mengintip ke luar. Pemandangan yang ia lihat adalah taman yang indah dan sepi, tidak ada tanda-tanda aktivitas apa pun. Namun, Mira tahu bahwa arti sepi itu adalah tidak aman. Setiap sudut rumah ini seolah dipenuhi oleh mata-mata yang tak terlihat. Akhirnya Mira bergegas keluar dari kamar, melewati lorong-lorong yang panjang dan sunyi. Setiap kali ia mendengar suara samar, ia berhenti, menahan napas, dan menempelkan tubuhnya ke dinding, berharap ia tidak tertangkap. Ia terus bergerak, mencari jalan keluar, tetapi setiap pintu yang ia temui selalu terkunci rapat. Mira melanjutkan langkahnya, kali ini menuju ruang tamu yang luas. Ia ingat pernah melihat pintu keluar di sisi ruangan ini, tapi ada dua penjaga yang selalu berjaga di dekatnya. Perlahan, Mira mendekati pintu itu. Ia dapat melihat kedua penjaga itu berdiri dengan waspada, tangan mereka terlipat di depan d**a, mata mereka terus mengawasi pintu yang ada di seberang ruangan. Mira mundur beberapa langkah, lalu berbalik, menuju dapur yang terletak di dekat ruang makan. Saat ia masuk, aroma masakan yang menggugah selera memenuhi udara. Para koki dan pelayan sibuk dengan tugas mereka, dan untungnya, mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan Mira yang menyelinap ke dalam. Di sudut dapur, ia menemukan sebuah pintu kecil yang tampak mengarah ke luar. Dengan hati-hati, Mira memutar pegangan pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu itu terbuka sedikit, dan angin segar langsung menerobos masuk, memberikan harapan baru di hati Mira. Namun, saat ia hendak melangkah keluar, suara kasar terdengar dari belakang. “Anda hendak pergi ke mana, Nyonya?” suara itu membuat tubuh Mira membeku. Ia berbalik perlahan, melihat salah satu pelayan, seorang pria tua dengan tatapan curiga, berdiri di ambang pintu dapur. Jantung Mira berdegup kencang, tapi ia tidak boleh menunjukkan rasa takut. “Aku hanya ingin menghirup udara segar sebentar,” jawab Mira, berusaha agar suaranya terdengar tenang. Pelayan itu memandangnya dari kepala hingga kaki, seolah menimbang apakah Mira mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tapi akhirnya, pria itu mengangguk kecil. Mira merasa aneh, derajatnya sebagai istri pemilik rumah tersebut berkesan seperti tahanan dan tak berharga di mata pelayan. Tapi, tidak apa-apa. Mira meredakan kekesalan dalam dirinya sendiri demi bisa keluar dari sana. “Baiklah, tapi jangan terlalu lama, Nyonya. Tuan Connor tidak suka jika Anda keluar tanpa pengawalan,” kata si pelayan. Mira mengangguk dengan cepat, dan tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah keluar. Begitu kakinya menyentuh rumput di luar, Mira merasakan kebebasan yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun, itu belum cukup. Ia masih berada di halaman rumah mewah yang dikelilingi pagar tinggi dan pengawasan ketat. Ia harus menemukan jalan keluar yang sebenarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD