Tahun demi tahun pun berlalu. Belasan musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin juga telah terlewati begitu saja tanpa ada suatu hal yang sangat berarti. Waktu sudah banyak berlalu dengan cukup signifikan, kini telah tiba saatnya bagi seorang gadis berparas manis bernama Akibara Rin untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-18.
Gadis itu kini telah tumbuh dewasa, dan sudah kayak menyandang gelar seorang wanita, jika saja ia sudah menikah. Sungguh waktu berjalan dengan begitu cepat.
Sekarang Rin sudah menjadi seorang gadis yang sesungguhnya, dia bukan lagi anak-anak yang terbatas setiap pergerakannya.
Mula-mula, Rin bagaikan sekuncup bunga yang masih belum mekar, kini kuncup mungil itu telah berkembang dan menampakkan keindahannya.
Untuk merayakan hari kelahirannya itu, sang gadis muda Akibara biasa menghabiskan waktunya seharian penuh dengan cara menyendiri di dalam kuil, guna memanjatkan doa dan berharap keinginannya dikabulkan oleh Sang Dewa.
Rin bukannya tidak ingin berkumpul dengan orang-orang di hari istimewanya itu, hanya saja gadis periang dengan tanda lahir di bahu tersebut ingin lebih memfokuskan dirinya untuk beribadat saja, di hari di mana usianya bertambah satu tahun. Beribadat dengan tujuan mengucap syukur karena telah diberikan kesehatan dan kesempatan dalam menjalani hidup.
Gadis itu tak pernah sekalipun meminta suatu benda di hari ulang tahunnya. Ia tak menginginkan barang, aksesori, atau segala sesuatu yang biasa diinginkan oleh gadis seusianya. Rin tak memerlukan semua materi yang tak terlalu ia inginkan.
Rin hanya ingin harapan tentang kembalinya sang kakak yang bernama Akibara Yuuto, anak laki-laki yang hilang sebelas tahun silam, terkabul. Hanya itu saja keinginannya setiap tahun, sebuah doa yang tak pernah tergantikan.
Menghilangnya Yuuto adalah luka yang masih membekas di hati sang gadis muda Akibara yang sedang berulang tahun. Ia ditinggal pergi oleh sang kakak, tepat di saat ia benar-benar membutuhkan kehadiran lelaki itu di sisinya.
Rin masih sangat muda, tetapi sudah harus kehilangan sosok yang begitu menyayanginya setulus hati. Hati siapa yang tak sakit ketika ditinggal oleh orang yang paling disayang?
Rin masih ingat saat-saat itu, waktu di mana sang kakak menghilang selama belasan tahun.
Waktu itu adalah saat di mana gadis Akibara masih terlalu kecil, berusia sekitar tujuh tahun. Kala itu, Rin kecil tengah menderita sakit. Tubuh Rin menggigil hebat, dan wajahnya pucat pasi. Padahal ia sudah meminum resep obat dari dokter, bahkan meminum ramuan tradisional dari sang nenek. Namun, keadaan gadis kecil yang tidak kunjung membaik itu membuat kedua orang tuanya khawatir.
Kaede dan Hideki lalu mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada Rin, tanpa tahu apa yang akan terjadi kepada anak mereka yang lain. Hal itu membuat Rin menyesal pada akhirnya, mengapa sang kakak diabaikan begitu saja pada saat itu?
Tentu saja itu merupakan sesuatu yang wajar. Sebab, Rin kecil harus mendapat perhatian ekstra karena sedang sakit. Akan tetapi, setidaknya mereka juga harus memperhatikan anak berusia 14 tahun bernama Ken.
Rin masih mengingat semuanya dengan jelas, betapa kehilangannya ia kala itu. Semua masih tersimpan baik di dalam otaknya, menimbulkan luka yang terkadang membuat air mata jatuh menetes.
Di saat ia terbaring lemah di atas ranjang, Kaede, sang ibu menatap dirinya dengan tatapan khawatir. Itu sudah lama sekali, tetapi rasanya baru saja terjadi kemarin padanya. Ingatan itu seolah menunjukkan rangkaian dari film lama yang diputar dalam layar lebar.
"Demam Rin belum turun juga ...." Kaede berucap dengan nada lesu. Ia tatapi putri kecilnya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Ibu mana yang tidak merasa cemas saat anak kesayangannya terkena demam setinggi 40° celsius? Jelas, Kaede dilanda kepanikan sekarang.
"Sayang, apa kau benar-benar sudah memanggilkan dokter?" tanya wanita berparas rupawan itu dengan cemas kepada sang suami. "Kenapa lama sekali datangnya?"
Hideki yang baru saja kembali dari mengambil air minum di dapur mengangguk pelan. Ia sodorkan segelas air kepada sang istri. "Tentu saja sudah," jawabnya. Hideki lalu menatap Rin yang terbaring lemah. "Bagaimana keadaan putri kita?" tanyanya. "Apa ia menginginkan sesuatu?"
Kaede mengelus puncak kepala anak kesayangannya dengan penuh kelembutan. Mendengar pertanyaan sang suami, ia lantas bertanya kepada anak bungsunya, "Rin, kau mau makan apa, Sayang?"
Rin kecil menatap kedua orang tuanya dengan sayu, bibir gadis bermata bulat itu terlihat gemetar menahan sakit. "Rin ... tidak lapar kok, Bu," jawabnya lirih. Suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
Kaede hampir menangis saat menyaksikan dengan kedua matanya sendiri bahwa anak kesayangannya Rin terlihat kesulitan saat berbicara. Mereka harus melakukan sesuatu secepatnya.
Jika tidak, entah apa yang akan terjadi kepada mereka nantinya jika sesuatu yang buruk terjadi pada anak perempuan kesayangan mereka. Rin tidak boleh dibiarkan sakit, gadis itu satu-satunya harapan keluarga Akibara.
"Ayo kita ke rumah sakit segera!"
Yuuto yang baru saja masuk ke kamar adiknya, langsung memperhatikan kedua orang tuanya yang tampak sibuk mengemasi keperluan adiknya jika gadis itu memiliki kemungkinan untuk dirawat di rumah sakit. Anak berusia 14 tahun itu juga ingin membantu mereka, tetapi ia urungkan niatnya setelah melihat adiknya yang terbaring sendirian.
Yuuto berjalan menghampiri Rin dan memilih duduk di samping sang adik. Ia tatapi wajah lesu adik kesayangannya itu dengan penuh kasih sayang. "Rin, tunggu sebentar ya," ucap Yuuto sembari menggenggam jari-jari mungil sang adik, mengelus tangan yang terasa dingin itu dengan lembut. "Bertahanlah, Ayah dan Ibu akan membawamu ke Rumah Sakit."
Yuuto tersenyum kecil, yang adiknya perlukan sekarang adalah ketenangan dan juga dukungan berupa semangat. Ia harus selalu ada untuk mendampingi adiknya itu kapan pun Rin membutuhkannya.
Adik adalah malaikat kecil yang dititipkan tuhan untuk dijaga dengan baik, dan sebagai kakak Yuuto harus merawatnya dengan benar.
Tiba-tiba, Rin angkat bicara. "Kak ... Rin ... takut pergi ke dokter." Gadis itu berucap dengan susah payah, seolah tenaganya terkuras di satu titik yaitu di tenggorokannya.
Bibir Rin terlihat sedikit pucat dan kering, Yuuto lalu mengusap pipi adiknya dengan lembut, berusaha menyampaikan dukungannya terhadap orang yang paling ia sayang di dunia ini. Tangan sang adik yang masih digenggamnya erat, ia elus dengan perlahan.
"Tidak perlu takut, Adikku. Kakak ada di sini mendukungmu," bisik Yuuto dengan lembut seraya menyeka keringat yang membasahi kening sang adik.
Rin tampak berkaca-kaca, ia terharu dengan setiap perlakuan lembut yang diberikan oleh sang kakak. Setitik air bening terlihat menggenang di sudut matanya. Yuuto tersentak saat melihat adiknya menitikkan air mata, ia merasa ada sesuatu yang salah yang terjadi kepada adiknya sehingga gadis kecil itu menangis tanpa suara.
"Ada apa?" tanya Yuuto cepat, takut terjadi sesuatu kepada adiknya. Wajahnya terlihat panik. "Apa ada sesuatu yang membuatmu tak nyaman? Apa ada bagian tubuhmu yang sakit? Cepat katakan pada Kakak!"
Rin menggeleng pelan. Lengkungan tipis di bibirnya terangkat perlahan, tampak begitu lemah. Gadis bertubuh mungil tersebut lantas berucap, "Tidak ... Kak Ken. Hanya saja ... Rin, Rin ... takut pergi ke ... rumah sakit."
Rasa khawatir yang sempat Yuuto rasakan seketika lenyap, tergantikan dengan gelak tawa terhadap kepolosan sang adik. Ternyata adiknya menangis karena takut, Yuuto pikir telah terjadi sesuatu kepadanya. Yuuto lantas bertanya pada adiknya, "Kenapa harus takut? Kakak juga pernah ke rumah sakit."
Rin menggembungkan pipi dengan raut wajah kesal. Yuuto tertawa, di saat sakit adiknya masih bisa bercanda. Rin kemudian menjawab dengan terbata-bata, "Ta-tapi, Rin takut ... disuntik, Kak."
Yuuto yang gemas terhadap sang adik, akhirnya mencubit pelan hidung mungil adiknya, usia mereka yang terpaut tujuh tahun membuat ia harus bersikap lebih dewasa dari Rin. Ia dipercayakan untuk menjaga adiknya, oleh sebab itulah dia harus menjadi seorang kakak yang baik.
"Tidak perlu cemas, Rin! Dokter adalah malaikat utusan Dewa yang akan menyembuhkanmu!" ucap Yuuto semangat seraya mengedipkan sebelah mata. "Kau harus berani dan pergi ke sana, Adikku. Agar kau cepat sembuh. Mau, ya?"
Rin hanya mengangguk pelan saat melihat semangat sang kakak. Ia akan memberanikan dirinya untuk pergi ke tempat yang penuh dengan bau obat itu demi Yuuto yang telah menyemangatinya dengan penuh ketulusan. Gadis kecil itu lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar, seperti mencari sesuatu. "Kakak ... di mana Mimi?" tanyanya polos. "Apa Kakak ada melihatnya?"
"Mimi?" beo Yuuto mengulangi perkataan sang adik. "Jadi itu nama kucingmu?" tanyanya lagi. Yuuto lalu mencoba mengingat-ingat kembali rupa dari kucing hitam yang ditemukan Rin di belakang rumah sepekan yang lalu. "Kucing itu tak ada di sini, mungkin sudah kembali ke dalam hutan," timpal Yuuto dengan sikap yang tenang.
Kucing liar seperti itu, menurutnya sangat tidak cocok berada di sisi adiknya yang lembut.
Raut wajah Rin mendadak berubah, gadis itu terlihat sedih. Yuuto langsung panik begitu melihat kemurungan tampak di wajah adiknya. Sepertinya Rin benar-benar menyayangi kucing temuannya itu. "Te-tenang saja, Rin!" ujar Yuuto gelagapan. "Kakak akan mencarikan kucing itu dan membawanya kembali padamu! Tunggu ya."
Yuuto mengelus kepala Rin sebentar, sebelum berlari keluar dari kamar adiknya dengan semangat. Ia lalu menelusuri sekitar rumah dan kuil keluarga guna mencari kucing peliharaan sang adik.
Ketika tak juga menemukan kucing itu di dua lokasi, Yuuto pun memilih untuk masuk ke dalam hutan yang berada di belakang kuil kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari kuil utama.
Kuil Akibara memang memiliki dua kuil, satu yang berukuran besar adalah kuil utama, satunya lagi begitu kecil dan tidak digunakan untuk umum.
Yuuto memanggil nama kucing Rin berulang kali, seraya mengawasi sekitar dengan matanya yang berwarna sedikit kecokelatan.
Hingga tiba-tiba terdengar suara yang tidak diketahui berasal dari mana. Suara yang samar-samar dan terdengar mirip dengan suara kucing membuat Yuuto buru-buru melangkahkan kakinya, berniat keluar dari dalam hutan karena merasa takut. Tanpa sadar, ternyata ia sudah memasuki hutan terlalu jauh.
"MIMI! Apa itu kau?" teriak Yuuto kepada suara yang tak diketahui asalnya. Yuuto sedikit panik, ia merasa paranoid.
Ia lalu berusaha untuk tidak mendekati semak belukar yang bisa saja dari sana keluar binatang buas yang akan melompat ke arahnya, Yuuto kemudian memandang takut-takut pada sekitar. Hutan yang selalu diimbau oleh keluarganya untuk tidak mendekatinya.
Anak laki-laki yang dagunya sedikit berbentuk seperti belah di bagian tengahnya itu lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari dalam hutan dengan langkah yang terburu-buru. Sungguh, ia tidak berani berlama-lama di sana jika saja tidak untuk mencari keberadaan kucing peliharaan adiknya, Rin.
SRAK SRAK
Yuuto langsung menghentikan langkahnya, telinganya menangkap suara kucing beberapa saat yang lalu, dan arahnya tidak terlalu jauh dari posisinya berada sekarang. Tidak salah lagi, itu pasti kucing Rin yang ia cari sedari tadi. Jika itu benar, maka Yuuto akan langsung membawa kucing itu pulang ke rumah.
Mengabaikan rasa takutnya, Yuuto pun kembali berlari ke dalam hutan, memanggil-manggil nama kucing dengan mata kuning yang sangat disayangi oleh Rin. Yuuto harus mendapatkannya kembali! Ia tidak ingin melihat adiknya bersedih lagi.
Yuuto lalu mencari sumber suara dengan mengelilingi sekitar tempat itu. Akan tetapi, ketika ia sudah berhasil menemukannya, tubuhnya seketika tidak dapat digerakkan.
Yuuto terbelalak di tempatnya berdiri seraya menatap takut-takut pada makhluk berbadan besar, berbulu lebat, dan dari mulutnya tampak gigi-gigi besar lagi panjang yang menitikkan saliva. Yuuto dapat merasakan kakinya gemetar di bawah sana.
Sosok makhluk asing yang berdiri di hadapan Yuuto itu lalu mendekat, dan mulai mengeluarkan suara kucing yang terdengar memelas, "Nyaa ... nyaa."
Yuuto kembali terbelalak saat mendengar suara itu. Jadi suara yang kudengar tadi adalah makhluk ini? Pikir Yuuto dalam hati. Gigi-giginya seketika bergemeletuk. Keringat dingin langsung membasahi pelipisnya.
Makhluk itu lagi-lagi menirukan suara kucing yang terdengar sedang membutuhkan pertolongan. Yuuto benar-benar merasa telah dibohongi. Makhluk aneh bertelinga runcing semakin mendekat, makhluk itu berusaha menggapai Yuuto dengan lengan yang dipenuhi bulu dan kuku-kuku jarinya yang hitam panjang.
"TIDAAAKKK!!!" jerit Yuuto histeris.
Makhluk yang memiliki bola mata besar berwarna merah darah dengan cepat mengangkat Ken, dan membawanya masuk ke dalam hutan.
Yuuto terus berontak, menjerit dan berteriak minta tolong. Berharap akan ada seseorang yang mendengar jeritannya. Yuuto ingin memberitahu, bahwa ia telah diculik oleh sesosok makhluk besar mengerikan yang sudah berani menjebaknya, yang kemudian membawanya masuk ke portal dunia lain.
Jauh ... meninggalkan keluarga dan adik yang sangat disayanginya.