BAGIAN 13

1127 Words
Dengan langkah cepat dan terlalu buru-buru, Inez meniti anak tangga untuk mencapai kamarnya yang terletak di lantai dua. Membuka pintu kamar, Inez langsung melempar asal tas sekolahnya ke kasur. Cewek itu bergegas melepas sepatu yang masih melekat di kakinya, kemudian dilanjutkan melepas seragam sekolahnya. Inez beranjak menuju kamar mandi setelah itu untuk membersihkan diri. Setelah berkutat di bawah guyuran shower, Inez keluar dengan handuk kecil berwarna biru muda yang melilit kepalanya. Tidak butuh lebih dari sepuluh menit untuk membaluti tubuhnya dengan kaos tanpa lengan berwarna putih dan celana pendek dengan warna yang serupa. Inez kemudian duduk di tepi kasurnya sambil mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, setelah dirasa selesai, cewek itu berjalan pelan menuju meja riasnya. Inez sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan merias diri. Ia sangat suka mengaplikasikan wajahnya dengan make up miliknya yang jumlahnya sungguh banyak dan bejibun. Tidak ayal jika di rumah maupun di sekolah, Inez akan terlihat sangat cantik. Bukan hal yang baru jika Inez selalu mendapatkan pujian dari cowok-cowok, bahkan tidak sedikit yang meminta Inez menjadi pacarnya secara terang-terangan. Padahal mereka tahu akan ditolak, tapi tetap saja mencobanya. Inez tidak tertarik dengan mereka semua, kecuali satu cowok, yaitu Cakra. Entah kenapa, pertama kali melihat cowok itu, Inez merasa bahwa Cakra adalah cowok yang berbeda dari cowok lainnya. Cowok itu seperti punya pesonanya sendiri. Bukan hanya modal tampang doang, tapi Inez memang sudah tertarik kepada Cakra dan ingin mengenalnya lebih dalam dan jauh. Bagaimanapun juga, nantinya Inez akan terus pepet cowok itu sampai jatuh ditangannya. Ngomong-ngomong soal Cakra, Inez jadi teringat akan ucapan cowok itu tadi sore sebelum pulang sekolah tentang sepatu dan kemeja. Mendengar penjelasannya Cakra, Inez sekarang sudah paham dan menghela napas lega. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Karena hal itu pula, Cakra terlihat jauh dari kata menarik menurut Inez. Cakra tidak langsung bereaksi ketika Inez yang sedang mabuk mengajaknya untuk melakukan hal gilaa. Walaupun sampai detik ini, Inez tidak ingat sama sejak kejadian malam itu. Inez kemudian sedikit tersentak ketika mengingat tentang sepatu Converse dan kemeja flanel Cakra. Kata cowok itu sendiri, Inez membawanya pulang. Oleh karena itu, Inez segera berdiri dari kasur empuknya, lalu mulai mengitari sudut demi sudut kamarnya untuk mencari sepatu itu. "Nggak ada kok," gumamnya pelan secara berkacak pinggang. Inez menghela napas panjang, ia sudah mencarinya lebih dari lima belas menit, tapi tetap saja hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada sepatu Converse milik Cakra. Bentuk dan warnanya saja Inez tidak tahu. Inez mengeceknya sekali lagi, mulai dari rak khusus sepatu miliknya, di bawah meja belajar, kolong tempat tidur, sampai lemari sekalipun. Inez belum menemukannya. Dan itu membuat Inez lelah sendiri. Capek sendiri, Inez memutuskan untuk keluar dari kamar, menuruni undakan tangga, lalu berbelok menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil minuman bersoda dari sana. Inez melihat maminya yang sedang duduk di kursi dapur sambil memotong wortel. Iseng, Inez ikut duduk dihadapan maminya. "Mi," panggil Inez. Tanpa menolehkan pandangannya, maminya menjawab ala kadarnya, "hmm." Inez menenggak lagi minuman kaleng ditangannya. "Inez mau tanya sama mami." Barulah wanita setengah baya dihadapan Inez ini memberhentikan aktivisnya sejenak, memicingkan matanya sambil menatap putri semata wayangnya dengan pandangan menilai. "Mau nanya apa?" tanya maminya. "Mami lihat sepatu Converse Inez nggak?" "Warna item bukan?" Padahal Inez tidak berharap lebih dari respons maminya, tapi maminya itu malah memberikan jawaban yang membuat Inez membelalakkan matanya. Bahkan, cewek itu sempat berdiri dari duduknya. Dengan bola mate berbinar cerah, Inez menatap maminya dengan fokus. "Mami beneran lihat?" "Sejak kapan kamu punya sepatu jelek itu?" tanya mami seraya melanjutkan mengiris potongan wortel yang tersisa. "Mana sepatunya mi?" Bukannya menjawab pertanyaan maminya, Inez malah mengajukan pertanyaan lain. "Inez cari di kamar tadi nggak ada? Mami simpen di mana?" "Simpen apanya? Udah mami sumbangin ke orang, tadi siang ada orang ke sini minta barang-barang yang udah nggak kepake buat anak-anak panti. Daripada kamu nggak dipakai karena jelek, mending mami sumbangin aja, dapet pahala." "WHAT?!" Inez menjerit kuat-kuat seraya menggebrak meja cukup keras. Mami juga kaget akan respons berlebihan yang Inez tunjukan. "Kamu jangan buat mami jantungan dong." "Mami yang bikin jantung aku mau copot!" ujar Inez dengan wajah memerah. Cewek itu mengumpulkan napasnya lagi, berusaha untuk menenangkan dirinya. Memejamkan matanya, Inez kembali duduk di kursi. "Mami kenapa nggak bilang-bilang dulu sih? Itu bukan sepatu Inez, itu punya temen mi." Inez sama sekali tidak melihat wajah terkejut dari mami, dan itu sukses membuat dirinya sedikit kesal. Cewek itu memalingkan wajahnya sembari mendengkus kasar. "Mana mami tau." "Harusnya mami konfirmasi dulu sama Inez sebelum memberi barang seenaknya sama orang lain," ucap Inez memperingati. Ia memberi jeda sebentar untuk menarik napas dalam. "lagian mami nemu sepatu itu di mana?" "Bawa kasur kamu." Untuk yang kesekian kalinya, Inez mendengkus kasar. Ia mengacak rambutnya dengan frustrasi setelah itu. "Terus Inez harus gimana dong mi? Itu sepatu punya temen." Mami sekarang terlihat sedang memotong tomat, tanpa memberikan jeda pada kegiatannya, wanita yang memakai daster dihadapan Inez tersebut menjawab pelan, terdengar begitu tenang, seolah tidak ada masalah apapun. "Tinggal beliin aja yang baru apa susahnya? Gitu aja kok repot. Temen kamu juga pasti bakal seneng dapet yang baru." Inez mengangguk pelan, bukan ide yang buruk atas saran dari mami. Inez bisa mencobanya. Cakra pasti juga akan senang mendapatkan barang baru. "Ya udah, nanti Inez pikirin lagi." "Hmm." "Kalo kemeja flanel kotak-kotak warna merah, mami lihat nggak?" Mami mendongak, menatap Inez bingung. "Sejak kapan kamu punya kemeja?" Itu punya temen. Nyaris saja Inez akan mengatakan hal itu. Tapi buru-buru ia meralatnya. "Pengin aja dong, anak muda sekarang kan banyak gaya," ujarnya berbohong. Mami hanya menunjukkan respons tanpa minat. Bagus, Inez tidak perlu memikirkannya lagi. Kalau saja tadi Inez mengatakan jika kemeja flanel itu milik teman, pasti nanti mami berpikir yang tidak-tidak karena ada sepatu dan kemeja yang tersimpan di kamar anaknya. Untung saja Inez tanggap dan cerdas, jadi ia bisa berbohong. Tidak ada salahnya kan bohong sekali demi kebaikan diri? "Gimana mi? Lihat?" "Di lemari kamu, udah mami cuci tuh. Sekadar informasi, mami nggak suka kamu pakai pakaian kayak gitu. Nggak cocok dipakai dikamu," kritik mami. Inez mencibir. "Dih, emangnya mami pernah lihat Inez pakai kemeja gitu?" "Ya enggak, makanya mami nanya sejak kapan kamu punya kemeja kayak gitu." "Ya udah deh mi, Inez balik ke kamar dulu, ya? Bye mami!" Inez segera ngacir menuju kamarnya dengan langkah panjang-panjang. Setelah sudah sampai di dalam kamarnya, Inez segera bergerak menuju lemari baju dan membukanya. Ia hanya ingin memastikan apa yang maminya katakan itu benar. Dan Inez menghela napas lega ketika netranya menangkap sebuah kemeja itu. Senyuman Inez mengembang lebar, lalu ia pun menutup lemari bajunya dan berjalan menuju kasurnya. Inez memosisikan dirinya telentang di atas ranjang lebarnya. Dengan tatapan yang mengarah ke langit-langit, Inez bergumam pelan. "Gue berarti tinggal gantiin sepatu Converse punya Cakra."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD