"Bukannya lo bisa baca pikiran orang ya? Emang gak pernah ada yang bilang gitu, tapi gue bisa narik kesimpulan dari setiap omongan mereka."
"Dan gue tahu satu rahasia yang gak pernah orang lain tahu."
"Lo ... Anak kandung Kepala Sekolah, kan?"
"Pak Anthony itu, bokap lo. Gue bener, kan?"
Angkasa menatap lurus langit-langit kamarnya begitu ia merebahkan diri di kasur. Lelaki itu secara diam-diam mengikuti Raya dan Gavin ke ruang OSIS. Dan Angkasa terkejut mendengar percakapan mereka berdua.
"Baca pikiran orang lain?" Angkasa bergumam. Dia teringat saat pertama kali bertemu dengan Raya di taman belakang sekolah. Bola yang bahkan sudah dia yakini mengenai wajah Raya itu entah kenapa seperti dibelokkan ke arah lain. Gadis itu bahkan tidak menolehkan kepalanya sedikit pun.
Dia juga ingat ketika mereka bertemu di sebuah supermarket. Angkasa benci mengingatnya, namun dia akui Raya memang termasuk kategori siswi cantik yang dia temui di sekolah. Hanya saja aura gadis itu sedikit berbeda, dan hal itu mungkin yang membuat sebagian besar murid menjauhinya. Saat itu, Raya menoleh tepat ketika Angkasa memuji parasnya. Dan itu terjadi tidak hanya sekali. Setiap kali Angkasa membatin atau pun memikirkan tentang Raya, gadis itu akan langsung menoleh padanya dengan kedua mata yang menatap nyalang. Atau hal-hal aneh akan terjadi pada Angkasa ketika dia membuat Raya kesal. Seperti kerikil yang entah terlempar dari mana, tali sepatu yang tiba-tiba lepas, atau tersandung secara tiba-tiba.
Lalu kejadian saat di kantin, saat segerombolan siswi membicarakan gadis itu hingga berakhir dengan meja yang ambruk dan kacau. Padahal jarak meja mereka dan Raya terbilang cukup jauh.
"Telekinesis." Angkasa tiba-tiba teringat kata itu. Dia lalu merogoh kantung celananya dan mengambil ponsel. Jarinya dengan cekatan masuk ke situs pencarian online dan langsung mengetikkan sesuatu di sana.
"Nah!" Lelaki itu berseru kecil dan langsung mendudukkan tubuhnya.
Telekinesis, juga disebut psikokinesis atau dikenal dengan istilah Mind Over Matter, merupakan kemampuan untuk memanipulasi benda melalui kekuatan pikiran. Ini mencakup menggerakkan, mengangkat, membengkokkan, mematahkan benda hingga mengangkat diri sendiri melayang di udara tanpa penyangga (levitasi).
"Fix, nih cewek emang bukan manusia! Dia pasti dari planet lain." Angkasa mengangguk-anggukan kepala, setuju dengan opininya sendiri.
"Dia emang penghuni pohon beringin di belakang sekolah. Hiiiiii ... " Tiba-tiba Angkasa merinding.
"Tapi ... Kasihan juga sih. Dia gak punya temen sama sekali. Semua orang di sekolah jauhin dia."
Dan satu lagi rahasia yang Angkasa tahu dari gadis bernama Raya itu adalah, Raya ternyata anak kandung dari kepala sekolah.
"Berarti dia saudaranya si Kayla dong?" Angkasa tampak berpikir. "Eh, enggak! Mereka gak mirip. Lagian tuh cewek kayaknya punya dendam kesumat sama Kepala Sekolah. Jadi, gue rasa-"
Angkasa menjentikkan jari. "Ah, gue ngerti sekarang. Bisa jadi orang tuanya cerai. Iya, pasti bener dugaan gue. Gue kan selalu benar. Angkasa Danial emang selalu benar. Tinggal satu lagi, dari mana tuh cewek dapet kekuatan kayak gitu? Berguru?"
Entah apa yang ada di pikiran Angkasa saat ini. Yang jelas lelaki itu menyimpan rasa penasaran yang cukup tinggi dengan gadis aneh yang bernama Raya. Padahal awalnya dia merasa ketakutan karena gadis dingin itu, namun semakin hari ada rasa iba yang tumbuh. Mengingat gadis itu hanya 'sendiri' di sekolah. Apalagi Angkasa sudah mengetahui rahasia Raya.
Ternyata dijauhi memang tidak pernah menyenangkan. Meskipun rasanya sakit, tapi Raya tidak pernah ingin menyakiti siapa pun. Dia adalah gadis yang luar biasa. Dia kesal, memberi mereka pelajaran namun masih dalam batas wajar.
"Gue rasa hubungan Raya sama Kepsek emang gak akur deh." Angkasa mengusap dagunya. "Tapi-"
"Dari mana Gavin tahu semua itu?"
?
Raya menutup buku tugas miliknya begitu fokusnya kembali pecah. Ucapan Gavin tadi siang benar-benar memengaruhi kinerja otaknya. Lelaki itu mengetahui rahasianya, entah dari mana dan dari siapa. Padahal Raya yakin 100% kalau tidak ada satu pun murid yang mengetahuinya.
Jendela kamar yang terbuka membuat angin malam masuk ke dalam kamar. Bulan juga bersinar begitu terang, bersama bintang-bintang yang selalu setia bersamanya.
Raya paling benci jika suasana hatinya sudah begini. Dia pasti akan langsung teringat pada Rama. Segera Raya pun beranjak dari meja belajarnya dan memutuskan untuk pergi ke luar setelah meraih sesuatu yang menggantung di balik pintu kamar.
"Mau ke mana, Ra?" tanya Yuli begitu melihat putrinya memakai jaket.
"Ke luar sebentar, Ma. Refresh otak. Hehe. Besok ulangan." Cengiran khas gadis itu terlihat di bibirnya. Padahal dia hanya beralibi, besok tidak ada ulangan sama sekali. Tugas sekolah pun tinggal beberapa nomor lagi.
Yuli menghela napas. "Ya sudah, jangan lama-lama, ya. Sudah malam."
"Iya, Ma."
Angin langsung menerbangkan beberapa helai rambut Raya begitu gadis itu keluar. Entah ke mana tujuannya, Raya hanya berjalan menyusuri jalan yang masih cukup ramai. Kakinya lalu berjalan menuju sebuah lapangan futsal yang kebetulan sepi dan mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi yang ada di sana. Ditatapnya kembali bulan yang masih bersinar di atas sana.
"Udah selama ini waktu berlalu tapi gue masih berharap Rama kembali." Napas Raya seakan tercekat saat mengucapkannya. Kepergian Rama benar-benar menghancurkan hidupnya. Hingga sekarang.
Tangan Raya mengepal. Kedua matanya kembali memanas setiap kali mengingat saudara kembarnya itu.
"Papa sekarang bener-bener udah benci aku sama mama, Kak."
Jika Raya ingin, dia pasti sudah mengakhiri hidupnya sejak lama. Namun kekuatannya adalah sang mama. Dia tidak akan pernah meninggalkan wanita yang paling berharga di hidupnya itu. Hanya saja .... Hidup tanpa saudara kembarnya itu sama saja dengan kehilangan separuh dari nyawanya.
Angin berembus kembali ketika Raya menoleh ke arah lain. Seorang laki-laki terlihat seperti berjalan mengendap-endap ke arahnya. Namun hal itu terhenti ketika Raya menatap kedua mata elang itu.
"Oh! Hai!" Angkasa menunjukkan cengiran khasnya sembari mengangkat salah satu tangan.
"Dan kenapa gue harus ketemu sama laki-laki bodoh kayak dia?" batin Raya tanpa berminat membalas sapaan Angkasa.
"Ya elahh.. senyum kek! Lagian ngapain sih diem di sini malem-malem? Lo mau bikin orang-orang kena serangan jantung?"
"Tuh, kan! Dia ngira gue hantu lagi. Pikiran lo tuh gampang banget kebaca."
"Heh! Ngomong dong. Sariawan, Neng?" Angkasa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.
"Ngapain sih? Gak takut apa sendirian? Gimana kalo ada set-" Angkasa langsung menutup mulutnya.
"Dia kan juga setan! Mana ada setan takut sama setan?"
Seketika kepala Raya mendadak pening. Dia melirik sebuah kerikil yang berada di dekat kakinya dan benda itu langsung melayang ke kepala Angkasa hingga terdengar bunyi nyaring.
"Sial! Nih cewek doyan banget bikin kepala gue benjol-benjol!" Angkasa membatin.
Pletak!
"Awwwww!!!" Angkasa mati-matian menahan diri agar tidak mengeluarkan sumpah serapah. Lelaki itu dengan perlahan berjalan ke arah Raya yang kembali menatap langit.
"Lo itu gak suka ditanya, ya?" Angkasa duduk di sebelah Raya. Lelaki itu berdehem begitu tidak mendengar jawaban dan mengelus dadanya. Daripada emosi, akhirnya dia memilih ikut memandangi bulan.
"Kenapa sama bulannya? Lo gak suka? Ganti aja sama lampu kamar lo." Tiba-tiba Angkasa terbahak karena ucapannya sendiri. "Atau lo gak suka karena bulannya jerawatan? Dia jarang perawatan, jadinya gitu. Haha."
"Sekali lagi lo ngomong, gue pastiin kepala lo yang ada di sana," ucap Raya tanpa mengalihkan pandangannya.
Bibir Angkasa langsung mengatup. Dia langsung mengalihkan kembali pandangannya ke bulan.
-tbc