Setelah pulang dari Villa dan selama diperjalanan mereka lebih banyak diam karena pikirannya masing-masing, akhirnya sampai juga di kampus, dan langsung berjalan menuju ruang rapat. Disana sudah ada Citra, Ninda, Mas Nono, Mas Riki dan Mas Dede yang menunggu mereka dengan duduk santai dan menyambut dengan senyum yang menyebalkan.
Mereka semua sudah menunggu tim koordinator survey. Saat Mas Jaka dan Iffa sampai, mereka seperti antusias sekali untuk mendengarkan hasil survey tadi.
"Bagaimana tadi? Info Apa saja yang didapatkan disana?" tanya Mas Dede langsung menodong informasi.
"Iya cepat ceritakan, gue sudah tak sabar ini mendengarnya," sahut Mas Nono yang juga merasa sangat penasaran.
"Tempatnya keren." Simpel, jelas, dan padat hanya 2 kata yang disampaikan oleh Mas Jaka dan berhasil membuat mereka penasaran.
"k*****t, jelasinnya yang bener ngapa Jaka. Jangan bikin penasaran," ujar Mas Nono kesal dengan jawaban Mas Jaka. Ia hanya mengedikkan bahu acuh saja.
"Emang bangcat dia, Mas! Kesel gue, udah nunggu-nunggu juga cuma 2 kata doang yang di lontarkan! k*****t!" pekik Mas Riki kesal. Mas Jaka hanya acuh saja, menggedikan bahunya dan enggan bercerita.
"Lo selalu saja begitu Jaka tiap datang habis survei. Bikin males lah!" sargah Mas Dede.
"Udah, percuma tanya sama Mas Jaka. Tanya sama Amih Iffa aja, gimana Mih?" tanya Citra penasaran sekali. Iffa bingung harus menjelaskannya bagaimana dan seperti apa. Bagian mana dulu yang harus diceritakan, itu yang membuatnya bingung.
Tempatnya memang bagus, bagus banget. Tempatnya juga masih asri banget, adem, tenang tapi ya banyak juga pasti nanti gangguannya, ditambah lagi wejangan oh bukan tapi peringatan dari Bapak Pemilik Warung yang berhasil membuat Iffa kepikiran.
"Kumat 'kan ah, ini yang bikin gue males kalau survey sama dia! Banyak mikirnya daripada tindakannya, segala apa dipikirin terus! Kebanyakan mikir tuh enggak akan benar nantinya! Terlalu banyak yang dikhawatirkan justru nantinya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan! Coba ya, lo tuh sekali aja enggak usah kebanyakan mikir ini itu onoh, tapi langsung jawab biar cepet!" Mas Jaka kesal melihat Iffa tiba-tiba diam mematung tanpa menjelaskan hasil survey nya.
"Lo napa sih, Jaka? Sensi mulu kalau dikasih tugas survey sama Iffa," tanya Mas Dede curiga karena melihat sorot mata Mas Jaka yang kesal tapi khawatir.
"Apa jangan-jangan lo itu suka sama Iffa ya? Tapi menutupi semuanya dengan rasa kesal terhadapnya? Haha banci lo kalau iya begitu sikapnya," sindir Mas Dede, ia terkekeh melihat perubahan wajah Jaka. Skakmat! Mas Jaka sekarang diam mematung setelah mendapatkan sindiran luar biasa dari Mas Dede.
"Enggak pa-pa, cuma males aja survey sama dia. Ya begini ini hasilnya. Udah mah di jalan bawel banget lagi," hina Mas Jaka mengeluarkan semua unek-uneknya tanpa disadari Iffa.
"Dan apaan? Suka? Enggak akan pernah, Mas!" ucapnya lantang dengan sombong.
"Hati-hati loh, Mas. Ucapan lo bisa jadi bumerang buat diri sendiri," ujar Citra mengingatkan.
"Iffa, lo kenapa hey?" Senggol Mas Nono bertanya, mengibaskan tangannya di hadapan wajah Iffa. Ia pun langsung tersadar dari lamunannya.
"Eh? Kenapa Mas? Maaf." Iffa terkejut karena senggolan Mas Nono yang berhasil membuyarkan lamunannya.
"Gue jadi curiga. Kayaknya ada yang enggak beres sama itu tempat." Mas Nono mencoba menyelidiki, tapi respon Mas Jaka biasa aja. Ia lebih memilih bersikap acuh dan angkuh.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya Citra khawatir melihat Iffa yang sejak tadi diam.
"Kesurupan dia." Semua mata tertuju pada Mas Jaka dan bingung atas lontaran kata yang diucapkannya. Iffa merespon dengan tatapan yang sangat tajam.
"Lo kenapa sih, Mas? Tiap survey sama gue, enggak ngenakin banget responnya? Padahal, gue enggak pernah loh minta survey bareng lo. Tapi bagaimana lagi disandingkannya selalu sama lo terus! Dipikirnya gue senang hati gitu survey sama lo! Cih! Males banget! Kalau ada Mas Tomi, gue lebih milih survey sama dia! Paham lo!" sungut Iffa kesal karena sikap Mas Jaka itu.
"Muak juga gue lama-lama kalau tiap habis survei tanggapan lo menjijikan seperti ini. Kalau ada Mas Tomi, gue yakin ia yang akan nemenin gue. Bukan lo!" bentak Iffa hilang kendali karena sikap Mas Jaka yang kali ini menurutnya keterlaluan.
"Jangan ngatain gue kesurupan. Kalau nanti lo yang kesurupan, gue gak tanggung jawab!" bentak Iffa mendelik kesal pada Mas Jaka dan melotot ke arah nya.
"Astaga, kalian ini! Selalu seperti ini kalau habis survey! Lo juga Jaka, bisa gak sih sikapnya enggak begini kalau habis survey? Cari ribut aja kerjaannya!" Mas Dede menengahi karena ia sangat paham, jika Iffa sudah marah, susah ada yang bujuk.
"Iya ini Mas Jaka, kenapa sih? Selalu begitu sama Amih? Jahat banget." Citra juga tidak suka dengan sikap Mas Jaka tiap kali selesai survey dengan Iffa pasti respon nya gak ngenakin.
"Udah-udah, percuma kita marah-marah juga. Sudah jadi hal biasa tiap mereka habis survey ya begini. Jadi ini sudah menjadi tontonan tiap ada acara." Mas Riki menengahi dengan cara konyol.
"Jadi ya sudah. Kita sama-sama tau karakter mereka berdua bagaimana dan seperti apa. Percuma saja kalau ribut, nanti juga baikan lagi haha," ujarnya terkekeh melihat kelakukan Iffa dan Mas Jaka.
Yang ditegur hanya diam dan acuh saja memainkan ponselnya. Masa bodo dengan aura panas dan kebencian yang muncul dari diri Iffa. Dalam hati Mas Jaka, ia senang karena melihat Adik Tingkatnya itu marah.
"Udah, sekarang ceritakan hasil survey!" tegas Mas Nono agar tidak ada keributan macem tadi.
"Tempatnya keren, banget malah. Ada kolam renang dan juga pendopo nya yang bisa kita pakai rapat atau renungan malam nantinya. Ada banyak kamar sih, ya kurang lebih ada sekitar 7 kamar," terang Iffa menjelaskan pada mereka, tiba-tiba ucapan nya dipotong oleh Citra.
"Lalu-- " tanyanya yang berhasil membuat Iffa bungkam dan berhenti bicara.
"Belum selesai jelasinnya, Kak. Bisa diam sebentar?" tegas Iffa dengan raut wajah yang kesal dan sorot mata yang tajam. Citra hanya tersenyum merasa tidak salah ditatap tajam seperti itu.
"Kami pilih kamar yang agak belakang, dikarenakan kamar tersebut bersebelahan dan memang itu yang kita cari 'kan? Jadi nantinya 1 kamar untuk para lelaki, dan 1 kamar untuk para perempuan," jelas Iffa pada mereka, mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
"Sebelum masuk ke kamar, kita akan melewati dapur terlebih dahulu dan lorong kecil baru sampai di kamar. Gue sih minta tolong banget, selama disana kita bener-bener menjaga teman-teman yang lain." Kata-kata Iffa terhenti kembali. Mereka menunggu ia melanjutkannya.
"Karena kita hidup berdampingan. Kita datang ke tempat baru yang memang dapat dipastikan sudah ada yang lebih dahulu tinggal di sana lebih lama dari kita. Jadi tolong minta kerjasamanya, sama semua koordinator agar menjaga teman-teman yang lain. Ini yang rapat sekarang kan masih ada yang gak ikut, jadi tolong nantinya lebih diperhatikan lagi. Gue gak menyarankan kemana-kemana sendirian!" tegas Iffa menjelaskan.
"Oh iya, bukan hanya menjaga tapi sama-sama mengingatkan, untuk menjaga sikap, tingkah laku dan ucapan saat berada disana. Kita tamu, jadi kita harus tau diri saat berada disana. Bukan bersikap seenaknya seperti biasa." Iffa mengakhiri hasil survey selama disana dengan menghembuskan nafas nya kasar.
"Dan dalam artian, Villa itu angker? Atau bagaimana? Biasanya lo menjelaskan langsung pada inti, kenapa sekarang enggak?" tanya Mas Nono penasaran. Citra sudah mendekatkan dirinya pada Iffa. Iffa tau, sahabatnya ini pasti sangat takut.
"Mungkin, bisa jadi angker, bisa jadi juga enggak, Mas. Balik lagi semuanya ke diri kita sih ya, bisa sama-sama menghormati dan menghargai satu sama lainnya atau tidak," ujar nya simpel, dan menekankan kata menghormati dan menghargai dengan mata yang mendelik ke Mas Jaka.
"Gimana ya, Mas. Gue bingung, ragu juga. Karena jujur, gue belum melihat apa-apa disana. Eh bukan begitu, maksudnya belum terlihat akan seperti apa dan bagaimana nantinya. Memang mereka ada, tapi sejauh ini masih baik-baik saja selama kita juga bersikap baik," lanjutnya sangat berhati-hati, karena memang ia sadari belum paham betul medan disana seperti apa dan bagaimana.
"Jaket diwajibkan untuk dibawa dan disarankan untuk tidak membawa satu," ucap Mas Jaka mengingatkan.
"Terimakasih sudah diingatkan. Ya benar, harus menyediakan lebih dari satu, karena disana tempatnya sangat dingin. Kita cari aman aja ya. Siang aja dingin banget, apalagi malam dan pagi mungkin dinginnya akan menusuk tulang. Obat-obatan, lilin dan lainnya minta tolong dipersiapkan, gue mau kita aman," jawab Iffa tulus pada mereka semua yang mendengarkan ceritanya.
"Lalu, ada tanggapan atau tidak dari pendudukan sekitar? Atau mungkin peringatan? Ya mengingat ini Villa yang gue dengar lumayan jauh dari pemukiman penduduk sekitar," tanya Mas Dede yang sejak tadi hanya diam menyimak apa yang Iffa sampaikan.
"Ada, sama seperti yang disampaikan sama Iffa tadi. Kita semua diminta jaga sikap, jaga tingkah laku dan juga ucapan selama disana. Jangan nyeleneh. Ya setidaknya, kita bersikap baik untuk beberapa hari. Itu tidak membuat rugi agar semua aman dan selamat, 'kan?" Mas Jaka mulai buka suara dan mengiyakan ucapan Iffa tadi.
"Tapi aman 'kan? Tidak akan ada sesuatu kejadian yang menyeramkan nantinya?" tanya Citra penasaran dan takut.
"Sejauh ini aman, tapi gak tau kalau nanti. Balik lagi, semua tergantung cara kita bersikap selama disana. Mereka akan tetap diam, selama kita baik dan tidak mengundang," jawab Iffa tersenyum jahil melihat sahabat nya ketakutan.
"Mengundang? Gimana maksudnya?" Ninda angkat bicara, Iffa melihat ke arahnya. Melihat wajah sahabatnya dengan lekat, ia merasa takut. Namun tetap tenang.
"Mengundang dan menantang. Gue enggak tau sih gimana caranya, ya pokoknya kita bersikap baik aja lah selama disana. Jangan bar-bar," balas Iffa mengingatkan agar mereka memahami apa yang sudah dijelaskan.
Setelah menyampaikan hasil survey dan wejangan dari Sang Bapak Pemilik Warung, rapat ditutup dan kami kembali ke rumah masing-masing.
***
Iffa pov
Entahlah, aku tidak tahu Mas Jaka ini sebenarnya mempunyai masalah apa denganku. Yang jelas setiap kali kami mempunyai tugas untuk survey pasti akan berujung saling sindir dan ribut.
Kadang aku bingung sama Mas Jaka, aku loh ya gak pernah sedikitpun cari ribut. Tapi sikap angkuh nya dan juga tatapan sinis nya seringkali membuatku sangat muak. Dan perilaku dia seperti itu hanya padaku.
Aku sampai berfikir ada yang salah pada diriku dan mungkin kepribadianku, mencoba merubah yang salah tapi sikap nya tetap saja seperti itu. Tidak ada baik nya, mungkin ia terlalu benci tapi kutak tau apa sebabnya.
Dari awal aku masuk ke FMR dan hingga saat ini kami akan kedatangan peserta baru di dalam Forum juga sikap nya masih tetap seperti itu.
Apa ia tahu akan kelebihanku sehingga membuat nya jengah? Apa ia jijik dengan diriku yang seperti ini? Tapi, aku gak pernah merepotkannya, bahkan ketika aku merasa takut sebisa mungkin ditahan dan di kikis, agar rasa takut tersebut perlahan hilang.
Sungguh, aku tak pernah mau dianggap sebelah mata oleh orang lain. Maka dari itu, seringkali menyembunyi kan semuanya. Tapi sepertinya, percuma menyembunyi kan di hadapan anggota FMR, sebab kelebihanku ini sudah bukan menjadi hal tabuh untuk mereka.
Ada diantara mereka yang bisa menerima keadaanku, ada juga diantara mereka yang tidak bisa menerima keadaanku. Ya seperti Mas Jaka salah satunya, yang tidak pernah terima apa yang aku lihat dan ceritakan mengenai mereka semua.
Memang, ia sering kali memergoki diriku dalam ketakutan yang amat parah, dan itu sering membuatnya memandangku dengan sinis. Apa dia takut? Atau mungkin menganggap diriku ini aneh? Entahlah, sebisa mungkin aku enyahkan memikirkan tentangnya yang aku tidak pernah tau jalan pikiran nya seperti apa.
Rapat selesai, dan kami semua kembali kerumah masing-masing. Besok rencananya akan diadakan rapat kembali bersama calon peserta yang akan gabung dalam FMR.
Harus menyiapkan mental dan banyak jawaban pasti besok. Karena sudah dapat dipastikan, akan banyak sekali pertanyaan yang diajukan mengenai keadaan Villa tersebut, calon peserta sekarang terlalu kritisi. Dan sepertinya mereka tidak percaya dengan adanya makhluk gaib.
***
"Gimana, Teh? Aman? Tumben banget masuk juga gak kasih salam. Lo kenapa?" tanya Rina saat melihat Iffa datang dan masuk ke dalam rumah. Ia sangat penasaran dengan hasil survey tetehnya itu, sehingga mengekor di belakang tetehnya hingga kamar.
"Ngapain sih lo ah," ujar Iffa berdecak kesal karena adiknya itu terus mengekor dibelakangnya. Bukannya jawab salam, ia terus melangkahkan kakinya menuju kamar.
"Gue penasaran elah, Teh. Bagaimana hasil survey lo? Dan benar enggak itu Villa ternyata angker? Gue cuma khawatir sama lo," tanyanya lagi membuat Iffa jengah. Ia melihat Rina dengan sangat lekat, terlihat jelas dari sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa. Ah ... Iffa benci dengan sorotan mata seperti itu. Sakit rasanya dilihat seperti itu.
Rina duduk di bibir ranjang, melihat Tetehnya yang sibuk dengan aktivitasnya tanpa menjawab pertanyaannya. Karena memang dia benar-benar merasa sangat penasaran, menunggu Tetehnya buka suara.
"Villanya keren." Hanya itu yang keluar dari mulut Iffa, terdengar hembusan kasar yang Rina keluarkan.
"Huft ... iya gue tau Villa itu keren, banget malah. Tapi benar gak, kalau itu Villa angker, Teh?" tanyanya lagi masih dengan penuh rasa penasaran. Tetehnya duduk disamping dan menatap Rina sangat dalam.
"Neng, gue enggak tau itu Villa beneran angker atau enggak. Tapi mereka memang ada." Akhirnya Iffa buka suara setelah sekian lama bungkam.
"Terus? Lo lanjutin kemah disana?" tanyanya lagi antusias.
"Kemungkinan iya, gue juga bingung harus gimana." Iffa menghembuskan nafas nya kasar, ia merasa bingung harus melakukan apa. Karena itu persetujuan bersama dan Mas Jaka menjamin semua aman.
"Gue khawatir sama lo, Teh. Asli khawatir banget, gue takut ... mereka yang memang teman-teman sekampus lo enggak bisa menjaga lo selama disana. Gue, cuma takut lo hilang kendali karena mereka yang gaib menunjukkan dirinya," ujar Rina, Iffa melihat lekat sorot matanya. Adiknya itu benar-benar mengkhawatirkan nya, dan ia mulai sadar kemana arah pembicaraan adiknya itu.
"Tenang, gue baik-baik saja. Sebisa mungkin selama disana, gue akan menjauhi mereka yang eksistensinya besar banget. Dan gue akan berusaha tidak melihat atau merasakan mereka," jawab Iffa lantang dan menyakinkan adiknya itu.
"Memang bisa? Bukannya mereka lebih pandai dari lo? Aura lo aja berhasil membuat mereka penasaran mungkin saat survey, apalagi nanti beberapa hari disana," ucapnya lagi, membuat Iffa berpikir. Ya, adiknya benar. Aura ia sendiri bisa membangkitkan rasa penasaran mereka sang makhluk halus.
"Doain saja. Semoga selama disana, semuanya aman dan enggak ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi," jawab Iffa mengakhiri obrolan nya.
Adiknya pamit keluar kamar. Iffa segera bergegas mandi dan beristirahat. Mengistirahatkan otak dan juga pikirannya agar kembali fresh.