bc

One Heart

book_age16+
663
FOLLOW
5.0K
READ
billionaire
love-triangle
possessive
CEO
prince
drama
tragedy
bxg
city
first love
like
intro-logo
Blurb

Sekuel Fake Nerd VIAN (bisa dibaca terpisah)

Tentang Andre Rush yang masih belum bisa move on dari tunangannya yang sudah meninggal.

Tentang Cahaya Andini yang selalu merasa menjadi pemeran pengganti.

Juga tentang Seraphina William yang tak pernah lelah mengejar cintanya sampai ke negeri jamrud khatulistiwa.

One heart. Hanya satu hati yang akan bertahan dan berlabuh. Apakah itu Dini, perempuan yang memiliki mata dan jantung tunangannya. Atau Vian, perempuan yang memiliki nama panggilan dan sinar mata serta sifat yang sama dengan tunangannya.

Cover by Me

Pict

https://pixabay.com/photos/valentine-s-day-valentine-heart-3934789/

Font by PicsArt

chap-preview
Free preview
Bab 1
Sudah sepuluh tahun sejak tunangannya meninggal, tapi Andre masih belum bisa melupakannya. Jangankan melupakan, untuk mengikhlaskan saja rasanya dia tak sanggup. Kepergian Vian yang tanpa sepetahuannya meninggalkan luka yang berdarah, bahkan sampai sekarang luka itu masih belum kering. Andre tak tahu kapan lukanya akan sembuh. "How you doing today, Vi? Are you feeling good today? I wish yeah." Inilah kebiasaan Andre sekarang. Setiap pagi, sebelum ke kantor dia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Vian diperistirahatan terakhirnya. Berbicara seolah Vian ada di depannya dan mendengarkan setiap perkataannya. Andre tak peduli dia dikira orang gila sekalipun. Dia sudah terbiasa berbagi dengan Vian-nya. "Aku mimpi kamu lagi tadi malam." Andre tersenyum. Setiap malam dia memang selalu bermimpi akan Vian. Mimpi yang berbeda di setiap malamnya. Sosok Vian di mimpinya bukan lagi gadis remaja, melainkan perempuan dewasa. Seiring bertambahnya waktu, usia Vian juga bertambah. Vian semakin cantik. "I miss you so fvcking damn much!" desis Andre lirih. Pria itu mendongak, menghalau air yang mulai menggenangi matanya. Sejak tujuh tahun yang lalu, Andre berubah menjadi laki-laki cengeng dan gampang menangis. Namun itu hanya di depan makam Vian. Setiap kali menumpahkan perasaannya, pria itu pasti menangis. Dadanya selalu saja terasa sesak setiap kali dia mengatakan tentang rindu dan cintanya. "Wish you were here!" Andre menatap ukiran nama Vian nanar. Mengusap air mata yang menuruni pipinya. "Maaf, Vi, aku nangis lagi." Andre ingat betul, di setiap mimpinya, Vian selalu memintanya untuk tidak lagi menangis. Kata Vian, laki-laki tidak boleh cengeng. Apalagi laki-laki dewasa sepertinya, dan Andre selalu meminta maaf kepada Vian karena itu. Dia belum dapat mengubah kebiasaan buruknya itu. "Aku nggak cengeng kok, Vi. Aku kuat kok." Andre tersenyum dengan air matanya yang semakin deras. "Aku cuma ...." Perkataan Andre tersendat. Dia tidak dapat meneruskan perkataannya lagi. Dadanya terasa sangat sesak. Kembali pria itu mendongak dengan mulutnya yang terbuka, mengembuskan napas dari sana. Dadanya terasa semakin sesak saja. Andre berusaha menghilangkan beban berat yang menghimpit dadanya. Andre memeriksa jam tangannya. Sudah pukul delapan pagi. Pantas saja sinar matahari sudah terasa menyengat. Ternyata sudah lumayan siang. Andre berdiri, merapikan celananya yang tampak kusut. Kemejanya juga tampak kerutan di sana-sini. "Aku ke kantor dulu, Vi," ucap Andre sambil tangannya mengusap pusara Vian. "Nanti sore aku ke sini lagi." Andre membungkuk, mencium ukiran nama Vian sebelum meninggalkan komplek pemakaman itu. Dia harus segera menuju kantornya. Ada rapat yang harus dia pimpin. *** Firza Andrean Rush, pria berdarah Amerika-Indonesia. Tampan, mapan dan memiliki segalanya. Dilihat dari segi mana pun Andre sangatlah sempurna tanpa kekurangan, kecuali sifat dingin dan jarang tersenyum. Selain itu, Andre juga belum memiliki pasangan. Diusianya yang sudah berada di angka dua puluh delapan tahun, Andre masih betah sendiri. Kehilangan tunangannya sepuluh tahun yang lalu masih membuatnya terluka. Andre masih belum bisa membuka hati untuk perempuan lain. Baginya, tak ada yang bisa membuatnya bahagia selain Vian. Andre tiba di kantornya tepat lima menit sebelum rapat dimulai. Semua bawahannya sudah berada di ruang rapat ketika dia memasuki ruangan itu. Mereka semua sudah siap termasuk sahabatnya, Tara Wilson. Tara adalah sahabat Andre sejak masih balita yang menjabat sebagai sekretaris di perusahaan pria itu. Tara juga merupakan sahabat baik Vian, tunangan Andre yang sudah meninggal dunia. Tara yang selalu ada untuk Vian. Tara juga yang pertama tahu tentang penyakit Vian. Juga Tara yang ikut menyembunyikan kebenaran semua tentang Vian. Tara tidak ingin meninggalkan Andre saat pria itu masih dalam keadaan terburuk. Entah sampai kapan Andre akan meratapi kepergian Vian. Yang pasti saat ini pria itu masih betah dengan kesendiriannya. Andre sering berkata kalau Vian masih ada dan selalu bersamanya. Rapat berjalan sampai tiba waktu makan siang. Tara berjalan keluar ruangan rapat membuntuti Andre yang berjalan di depannya. "Ada jadwal lagi buat gue, Ta?" tanya Andre lirih. Meskipun mereka bersahabat, Andre selalu menjaga formalitas di depan semua bawahannya. Berbeda kalau mereka hanya berdua. Tidak ada cara bicara formal, yang ada hanya lu-gue. Seperti saat ini, karena terlalu lelah Andre menghilangkan gaya formal dalam percakapan mereka. Namun karena masih ada beberapa orang staf dan bawahan, Andre melirihkan suaranya agar hanya Tara yang dapat mendengarnya. Tara buru-buru berjalan ke samping Andre, menjajari langkah lebar pria itu. "Nggak ada!" balas Tara berbisik pula. Dia terengah, menjajari langkah Andre sangat tidak mudah. Pria itu memiliki sepasang kaki yang panjang, sangat berbeda dengan kakinya yang biasa-biasa saja. Tinggi tubuhnya hanya sebatas d**a Andre. Dapat dibayangkan seberapa panjang kaki pria itu. "Habis ini lo free!" Andre mengangguk. Segera memasuki ruangannya begitu mereka tiba di depan ruangan pribadinya itu. Namun, sebelumnya Andre meminta Tara untuk mengikutinya. "Ikut ke ruangan saya, Tara. Ada yang mau saya bicarakan!" Tara memutar bola mata kesal. Dia tidak terlalu terbiasa dengan sikap formal pria itu. "Baik, Pak!" Tara mengangguk terpaksa. Memanggil Andre dengan sebutan Bapak pun Tara juga terpaksa. Usia Andre masih terlalu muda untuk dipanggil bapak. Tara mengikuti Andre masuk ke ruangan pria itu. Mengunci pintu karena Andre yang memintanya. "Ada apaan, sih, kok, pintunya dikunci segala? Ada yang penting yang mau lo omongin?" tanya Tara duduk di depan Andre. "Nggak penting-penting amat, sih," jawab Andre cuek. Tangannya meraih bolpen di atas meja kemudian mengetuk-ngetukkannya di meja. "Gue cuman lagi pengen ada teman buat ngomong." Sekali lagi Tara memutar bola mata. Sungguh, Andre hanya membuang-buang waktunya yang berharga. Dia ingin keluar untuk makan siang bersama Farrel, tunangannya. "Ngomong apaaan?" tanya Tara lagi. "Kalo nggak penting awas aja, ya!" ancam Tara. "Ya, udah ngomong cepetan. Gue mau makan siang sama Farrel." Andre menghela napas pelan. Menyandarkan punggung ke belakang lantas mendongak. Ia memejamkan mata sekilas, hanya untuk mengingat wajah Vian yang tadi malam menemuinya dalam mimpi. "Tadi malam gue mimpi Vian lagi." Lamat-lamat terdengar Andre berbicara lagi setelah tadi diam beberapa saat. Tara melemparkan tatapan iba pada sahabatnya itu. Sudah sepuluh tahun berlalu tetapi Andre masih belum melupakan Vian. Bukan Andre saja yang belum bisa melupakan sahabat sejak balitanya itu. Dia sendiri pun demikian, tidak akan pernah melupakan Vian sampai kapan pun. Rasanya kejadian itu baru kemarin terjadi. Bagaimana Vian harus merelakan kehidupannya karena kanker yang dideritanya. Tara meremas dadanya yang sesak. Selalu seperti ini. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat Vian, matanya juga memanas. Tara menengadah, matanya mengerjap beberapa kali mengusir air yang menggenang matanya. "Vian bilang gue harus bisa move on, nyari pendamping. Nggak boleh selalu mikirin dia." Fokus Tara kembali kepada Andre. Pria itu kembali memainkan bolpennya. Kali ini memutar-mutar benda silinder berujung tajam itu di tangannya. Andre memang sering bercerita padanya setiap kali memimpikan Vian. Satu hal yang membuat Tara khawatir, Andre terkadang menganggap seolah-olah Vian masih hidup. "Kata Vian gue harus bahagia." Andre tersenyum miring. "Padahal gue udah bahagia, 'kan, ya, Ta?" Andre kembali bersandar. "Tanpa pasangan karena pasangan gue cuma Vian." Tara menatap Andre dengan mata berkabut. Dadanya semakin sesak. Sebegitu berartinya kah Vian untuk Andre? Sepertinya memang begitu. Kalau tidak, tak mungkin Andre betah dengan kesendiriannya sampai sekarang. "Gue rasa Vian bener, Ndre," sahut Tara serak. "Lo emang perlu pasangan. Usia lo udah dewasa banget, udah saatnya lo berumah tangga." Andre menatap tidak senang kepada Tara mendengar perkataan sahabatnya itu. Sebagai sahabat seharusnya Tara mendukungnya, bukannya ikut-ikutan Vian menyudutkannya. "Lu harusnya dukung gue, Ta!" sentak Andre dingin. Tatapannya berubah datar. "Lu kan sahabat gue, sahabat Vian juga." "Justru karena gue sahabat lo sama sahabat Vian juga gue nyaranin lo kayak gitu!" balas Tara. Suaranya bertambah serak seiring air mata yang menuruni pipinya. "Lo harus move on, Ndre. Lo nggak boleh lagi hidup dalam bayang-bayang Vian." "Maksud lu apa ngomong kayak gitu?" tanya Andre dengan alis yang terangkat sebelah. "Lo pikir selama ini gue bercanda pas gue bilang Vian ngomong sama gue? Lo pikir gue gila?" Nada suara Andre meninggi. Tara menggeleng. "Gue nggak bilang kayak gitu, Ndre," bantah Tara disela isak. "Gue cuma minta lo ngelupain Vian." "Emang lu bisa ngelupain Vian?" Skakmat! Tara diam. Hanya kepalanya saja yang bergerak ke kiri dan ke kanan pelan beberapa kali. Andre tersenyum mengejek. Dia sudah tahu kalau Tara tidak akan bisa menjawab pertanyaannya itu. Tara juga sama sepertinya, tidak bisa melupakan Vian sampai kapan pun. "Jangan minta gue buat ngelakuin hal yang nggak mungkin gue lakuin, Ta," ucap Andre. "Atau sebelum lu minta hal itu sama gue, lu tanya sama diri lu sendiri. Lu bisa nggak ngelakuin itu? Kalo lu nggak bisa, apalagi gue. Lu yang selalu liat perkembangan Vian setiap hari, lu yang tau semua tentang dia, lu juga yang ada saat dia ngembusin napas terakhirnya. Lu nggak bisa ngelupain dia, apalagi gue yang nggak tau apa-apa tentang penyakitnya. Tentang kematiannya!" Air mata Tara semakin deras. Apalagi sekarang Andre juga menangis. Pria itu tak malu-malu lagi menumpahkan air matanya di depan Tara. Sudah beberapa kali Tara melihat Andre menangis. Untuk Vian. "Gue pulang tau-tau Vian udah nggak ada," ucap Andre lirih. Suaranya serak dan tercekat. Kedua tangannya terangkat meremas rambut cokelat gelapnya. "Harusnya lu bisa mikir gimana perasaan gue." Andre menggeleng. "Lu semua nggak ada yang bilang sama gue soal itu, lu ingat? Lu dan yang lainnya bohongin gue." Andre mengusap air matanya kasar. Tara tertunduk. Semua yang dikatakan pria itu benar. Andre adalah orang yang paling tersiksa dengan semua ini. Namun mereka tidak akan melakukannya kalau Vian tidak meminta demikian. Vian tidak ingin studi Andre terganggu dengan sakitnya. Lalu, siapa yang haris disalahkan? Andre tak mungkin menyalahkan Vian. Mungkin dia yang seharusnya disalahkan. Seharusnya dia mengatakan semuanya pada Andre, bukan menuruti permintaan Vian. Tara menggeleng kuat. Waktu itu dia hanya seorang gadis remaja yang tidak tahu apa-apa. Dia sangat takut kehilangan Vian. Dia mengira dengan menuruti semua permintaan Vian, sahabatnya akan sembuh. Namun nyatanya Vian tetap tak tertolong. "Maafin gue, Ndre," pinta Tara terisak. "Gue tau gue salah...." "Bukan salah lu juga," potong Andre dengan suara yang sama seraknya dengan suara Tara. "Gue juga salah karena nggak peka. Harusnya gue pulang pas Vian nggak balas pesan-pesan gue sama nggak pernah ngangkat setiap gue nelepon dia." Andre menggeleng lagi, membuat dua bulir bening kembali menuruni pipinya. Andre mendongak. Selalu seperti ini, pikirnya sedih. Dia dan Tara selalu berakhir dengan linangan air mata setiap kali mereka membicarakan Vian. "Kalo gue ngasih tau lo mungkin lo nggak kayak gini," lirih Tara. "Mungkin kalo lo denger sendiri dari Vian, lo bakalan bisa lebih nerima semuanya." Andre tak menjawab, tidak juga mengangguk ataupun menggeleng sebagai reaksi. Pria itu hanya diam, bersandar dan mendongak dengan mata terpejam. Bayangan Vian hadir, tersenyum dan mengusap air mata yang kembali turun melalui sudut matanya. Perlahan mata Andre terbuka. Menoleh untuk menatap Tara yang masih menundukkan kepala. "Semuanya udah terjadi, Ta," ucap Andre parau. "Gue cuma minta satu hal sama lu." Tara mengangkat kepala menatap Andre yang juga tengah menatapnya. "Please, jangan minta apalagi maksa gue buat ngelupain Vian," sambung Andre. "Karena gue nggak akan bisa." Andre menggeleng pelan beberapa kali. "Gue nggak maksa lo, Ndre," sahut Tara. "Gue cuma pengen lo nggak kayak gini terus. Gue pengen lo bahagia." "Emangnya sekarang gue nggak bahagia?" tanya Andre menaikkan sebelah alisnya. "Gue bahagia, Ta. Kalo nggak bahagia, Gie nggak bakalan berhasil seperti sekarang." Tara mengangguk, membenarkan perkataan sahabatnya itu. Andre memang berhasil, dia seorang direktur utama dan CEO dari beberapa perusahaan. Namun semua itu tidak menjamin kebahagiaan Andre. Yang Tara maksud bukan ini. Keberhasilan yang Andre dapat sekarang ini karena pria itu yang selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja. Kemungkinan besar agar dia dapat melupakan almarhumah tunangannya. Yang Tara maksud adalah bahagia dengan menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan dan menikah. Tara yakin kalau Vian juga menginginkan Andre seperti itu, bukan sendiri seperti sekarang ini. "Maksud gue bukan itu, Ndre," bantah Tara. "Kalo kesuksesan lo, semua orang juga tau lo sukses. Maksud gue bahagia yang satunya." Tara menghela napas. "Gue yakin lo udah tau maksud gue." "Dan lu juga udah tau jawaban gue apa," sahut Andre. "Gue bahagia sama hidup gue sekarang. Gue bahagia dengan semua yang gue dapat. Gue bahagia sama kesendirian gue. So, please, don't force me to do what I don't want to do!" pinta Andre untuk yang kesekian kali. "Biarin gue bahagia dengan cara gue sendiri." Tara mengembuskan napas lelah. Percuma menasehati Andre yang keras kepala. Kalau dulu Andre bersikeras kalau dia tidak mencintai Vian, sekarang dia bersikeras untuk tidak mau melangkah dari bayang-bayang Vian.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

ISTRI SATU JUTA DOLAR

read
435.6K
bc

Bukan Istri Pilihan

read
1.5M
bc

My Tomorrow

read
168.9K
bc

Mrs. Rivera

read
47.2K
bc

T E A R S

read
315.0K
bc

PENGANTIN PENGGANTI

read
58.0K
bc

KISSES IN THE RAIN

read
57.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook