1. Sepertinya Kita Pernah Bertemu
"Saya terima nikah dan kawinnya Amanda binti Hadirja Adidarma dengan mas kawin seperangkat alat sholat, perhiasan emas, dan uang tunai sebesar 500 juta, dibayar tunai."
"SAH!"
"Barakallah."
Ashraf mengembuskan napas lega. Senyum lebar tentu saja langsung terukir di wajah tampan dari dokter keturunan Arab tersebut. Menoleh ke sebelah kanan, ia dapat melihat bagaimana mempelai pengantin wanita tengah dituntun oleh sanak saudara untuk kemudian duduk berdampingan dengan dirinya.
Dengan tidak sabar Ashraf langsung memutar sedikit posisi duduknya agar bisa saling berhadapan. Mengulurkan tangan, membiarkan sang istri untuk pertama kali mencium punggung tangannya dengan takzim. Lalu dengan khidmat dan khusyuk tak lupa Ashraf mengecup kening sang istri sambil membacakan doa.
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan istriku dan kebaikan apa yang ia munculkan pada pernikahan. Dan aku berlindung padamu dari keburukan istriku dan keburukan apa yang ia munculkan pada perrnikahan.”
Selesai membaca doa, Ashraf dipersilakan untuk membuka kain niqab yang menutupi wajah sang pengantin wanita. Namun, begitu terlepas habis, Ashraf detik itu juga terlonjak kaget, bahkan sampai memundurkan posisi duduknya seolah ketakutan.
Di depannya, tampak jelas sosok wanita yang ia yakini adalah Chava, istri terdahulu yang memang sudah lama meninggal dunia. Saat itu, Chava tampak jelas melempar senyum misterius bahkan terdengar mengatakan sesuatu kepada Ashraf dengan suara yang terdengar lirih.
"Ashraf ... kamu cuma milikku dan nggak ada yang boleh menggantikan posisiku."
"Nggak," geleng Ashraf. "Ini pasti salah."
Chava menyeringai. Memicingkan mata, lalu kembali berbicara.
"Kamu milikku, Ashraf."
"Nggak!"
Lantas tak lama berselang, Ashraf merasakan sebuah guncangan pada tubuhnya. Sayup-sayup terdengar namanya dipanggil berulang kali.
"Ash ... Ashraf ... bangun!"
Mata Ashraf detik itu juga membuka sempurna. Melihat sekitar, ia meyakini saat ini tengah berada di kamarnya. Begitu menoleh ke samping, Ashraf mendapati sosok Chava yang menatapnya kebingungan.
"Kamu kenapa? mimpi? Kenapa sampai gelisah gitu?"
"Astagfirullahhaladzim," gumam Ashraf sambil mengusap wajahnya. Sedikit bersyukur ternyata yang baru saja ia alami hanyalah mimpi buruk semata. Lantas, detik berikutnya Ashraf menegakkan tubuh. Meraih tubuh Chava, lalu mendekapnya erat-erat.
"Aku mimpi buruk."
"Mimpi buruk? Memangnya kamu mimpi apa?"
Ashraf berusaha mengatur napasnya terlebih dahulu. Meyakini kondisinya jauh lebih baik, pelan-pelan ia mulai menceritakan apa yang sudah dirinya mimpikan sebelumnya.
"Aku mimpi kamu udah nggak ada, terus aku nikah lagi sama perempuan yang nggak aku kenal. Waktu acara akad nikah, pengantin wanitanya tiba-tiba malah berubah jadi kamu. Dan langsung marah-marah, bilang nggak rela kalau aku nikah sama perempuan lain."
Detik itu juga tawa langsung berderai dari bibir Chava. Bukannya marah, takut, atau khawatir, ia malah merasa lucu dengan apa yang baru saja suaminya ceritakan.
"Ya Allah, mimpi kamu aneh banget."
"Kok malah ketawa? Kamu nggak marah aku mimpi nikah lagi?"
Chava kemudian menggeleng berulang kali.
"Nggak. Ngapain marah? Lagian, itu cuma mimpi, Ash. Kalau pun di kehidupan nyata kamu berani nikah lagi, aku bakal sunat kamu sampai habis biar nggak berani macam-macam."
Ashraf menatap ngeri. Melihat gelagat dan tingkah laku Chava selama ini, bukan perkara sulit bagi istrinya untuk membuktikan ucapannya barusan.
"Ya udah, buruan bangun," sambung Chava. "Bentar lagi masuk waktu subuh. Mending kita siap-siap sholat. Lagian ini hari senin, kamu kebagian jadwal buat antar Ciara ke sekolah, kan?"
Ashraf mengangguk. Memeluk sejenak sang istri sebelum akhirnya beringsut turun dari tempat tidur. Bersiap-siap untuk sholat, kemudian dilanjut dengan kegiatan bersiap lainnya.
***
Ashraf dan Chava sudah sama-sama duduk tenang di ruang makan. Sementara itu di depan keduanya, ada Ciara yang terlihat begitu lahap menyantap nasi goreng sebagai menu sarapannya pagi ini.
Memang seperti ini rutinitas mereka setiap pagi. Mau sesibuk atau seburu-buru apa pun, harus menyempatkan diri untuk makan bersama sebelum berangkat dan memulai kesibukan masing-masing.
"Umi, Kia itu sebenarnya nggak suka kalau Abi yang antar ke sekolah," keluh Ciara sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Emangnya kenapa?" heran Chava dengan kening mengernyit. Tumben-tumbennya juga putrinya itu berkata demikian. Padahal, dari kecil Ciara paling suka melakukan hal apa pun itu bersama Ashraf ketimbang dirinya.
"Kia nggak suka aja, banyak Mamanya teman Kia yang suka liatin terus senyum-senyum sama Abi."
Chava tertawa geli. Sementara Ashraf langsung terbatuk, tersedak minuman yang baru saja diteguknya.
"Masa sih Mamanya teman Kia pada liatin Abi?" tanya Ashraf seolah tidak percaya.
"Iya, Bi. Kalau nggak percaya, liat aja nanti pas Abi antar atau jemput Kia di sekolah."
Chava hanya geleng-geleng kepala. Sebegitu possesive dan protektifnya sang putri, hingga takut ayahnya dilirik oleh wanita lain.
"Ya udah, buruan habiskan sarapannya. Setelah ini, Kia siap-siap karena setelah antar Umi, Abi bakal langsung anterin Kia sekolah," perintah Chava dan langsung dijawab anggukan oleh sang putri.
Menyelesaikan sarapan, ketiganya sama-sama bergegas menuju mobil. Mengendarai Jeep Rubicon hitam miliknya, Ashraf mengantar Chava terlebih dahulu menuju butik karena lokasinya yang cukup dekat dengan rumah. Berikutnya, pria keturunan Arab tersebut langsung memutar kemudi menuju sekolahan sang putri.
Ciara yang baru saja berumur tujuh tahun itu, saat ini memang bersekolah di salah satu sekolah internasional yang lokasinya memang searah dengan rumah sakit Centra Medika. Sesampainya di tempat tujuan, Ashraf tidak membiarkan Ciara pergi begitu saja. Seperti biasa, pria itu ikut turun dari mobil, untuk kemudian mengantarkan Ciara hingga gerbang masuk sekolah Bunga Bangsa.
"Selamat pagi, Ciara."
Dari arah lain, terdengar seseorang menegur. Begitu menoleh ke sumber suara, Ciara langsung melempar senyum kepada sosok wanita yang cukup familiar di matanya.
"Bu guru," sapa gadis kecil itu dengan ramah. Lalu menoleh kepada Ashraf, bermaksud mengajak sang ayah berkenalan kepada sosok guru yang baru saja menegurnya.
"Abi ... abi harus kenalan dulu sama ibu guru Olivia. Dia guru baru di sekolahnya Ciara."
Ashraf mengangguk. Mengangkat wajahnya, lalu melempar senyum ke arah wanita berhijab mocca yang berdiri depannya.
"Selamat Pagi, Bu. Salam kenal. Saya Ashraf, Abinya Ciara."
Wanita di depan Ashraf balas tersenyum. Kemudian memperkenalkan diri seperti apa yang Ashraf lakukan sebelumnya.
"Salam kenal, Pak. Saya Olivia Amanda. Guru baru di kelasnya Ciara, putri bapak."
Di waktu yang bersamaan, bel sekolah berbunyi. Ciara pun langsung berpamitan karena harus buru-buru masuk ke kelas.
"Abi, Kia sekolah dulu. Abi hati-hati di jalan."
"Iya, sayang. Nanti, kalau pulang sekolah dan Abi belum sampai, jangan ke mana-mana. Tunggu aja di dalam sampai Abi datang buat jemput."
Ciara mengangguk paham. Setelah bersalaman, ia pun masuk gerbang beriringan dengan Olivia. Sementara Ashraf, terus saja memerhatikan. Lalu tak lama, ia malah kepikiran. Tiba-tiba saja merasa dejavu seolah familiar dengan sosok wanita yang berprofesi sebagai guru baru dari sang putri.