Chapter 13 : I Love you, Megan

2067 Words
Playlist: Martin Garrix & David Guetta - So Far Away •••••• "Aku bersumpah! Tanpa sadar, kau akan mulai masuk dalam kehidupan ku. Hingga kau tidak akan menemukan jalan untuk kembali!"ucap Markus penuh ancaman. Membuat Megan bergerak hingga cengkeraman pria itu lepas. "Taylor akan mengantarmu pulang!"ucap Markus memerhatikan Megan yang merapatkan selimut di tubuhnya. Markus berpaling, mulai melangkah  meninggalkan Megan kembali. ____________________ "Mommy...."tegur Megan parau. Menatap Milla yang memandangnya sinis tepat saat pintu penthouse terbuka. "Dari mana?"tanya Milla seraya melipat kedua tangannya di d**a. "Aku? Hm.... Aku dari ... Aku.... mencari udara segar,"balas Megan sambil melempar senyuman tipis. Milla mengangkat kepalanya, melirik ke arah Billy sejenak. "Yah! Megan bersamaku semalaman. Setahuku, Axel Damiano hanya mantan kekasih Megan! Tidak lebih!" Milla menelan ludah, mengingat kalimat Markus di telpon sepuluh menit lalu. Ia mengeluh pelan, berjalan mendekati Megan dan mengusap rambut panjang gadis itu lembut. "Istirahatlah!"ucap Milla pelan, Megan mengangguk, melirik sejenak ke arah Billy. Pria itu hanya diam memperhatikan. Tidak lebih. "Thanks mom,"ucap Megan seakan menyadari sesuatu hal. "Mungkin kalian tahu aku berbohong. I'm sorry mom, dad,"batin Megan bermonolog seraya bergerak menjauh.  Melewati kedua orang tuanya dengan rasa bersalah. Ya Tuhan, ia benar-benar menjadi pembohong ulung. Sangat terlatih. "Milla,"tegur Billy saat wanita itu baru saja melangkah. Ia terhenti, menyisipkan rambut di telinga dan menatap wajah suaminya tersebut. "Jangan mempercayai siapapun!"peringat Billy, membuat wajah Milla langsung berubah. "Jadi? Aku harus percaya hantu? Billy ayolah, kita sudah sepakat. Lagipula Megan akan menikah dengan pria yang sangat kaya, hidupnya akan terjamin!"ucap Milla lantang. "Itu masalahnya Milla! Harusnya kau bisa berpikir, bagaimana, kapan, kenapa, putri kita menjalin hubungan dengan Markus." "Aku paham kekhawatiran mu, tapi— please, jangan berlebihan. Hidup Megan dengan kita ataupun Alexander itu berbeda. Zaman sudah berubah, mereka berganti—" "Aku tidak akan diam jika seseorang melukai putriku, Milla! Camkan itu!"potong Billy tegas. Menatap lekat pada dua bola mata Milla. "Ah ya? Hanya putri mu? Bagaimana dengan Luiz dan Caroline?"tanya Milla. "Persoalan mereka berbeda. Aku ingin kalian menghargai Alexander. Kau harus ingat, bagaimanapun dia—" "Kau mulai banyak bicara. Hm! Harus aku akui, rupanya aku lebih suka kau yang pendiam,"sanggah Milla tegas, ia mengeluh kasar, lantas, segera bergerak menjauhi Billy dengan rasa kesal hingga  keluar dari penthouse. ____________________ Megan melepaskan pakaiannya, melempar semua benda itu asal. Perlahan ia bergerak menuju meja rias, menatap dirinya lewat pantulan cermin. Jujur saja, sejak mengenal Markus, Megan merasa dirinya hilang harga diri. Pria itu mendapatkan segalanya. Hartanya. Memalukan! Bahwa pada akhirnya, Megan membalas Axel dengan cara seperti itu. Memberikan semua akses pada Markus agar bisa mendapatkan kepuasan. Ia benci dirinya yang sekarang. Drrrttttt!!! Ponsel Megan bergetar, membuat gadis itu segera beranjak untuk meraihnya. Ia menelan ludah, mendapatkan nama Axel begitu jelas di layar ponselnya. Sungguh, meskipun berat, Megan ingin mengangkat panggilan tersebut. Sangat ingin. Hingga ujung jarinya lancang menerima. "Megan!" "Axel. Aku harap kau—" "Kita benar-benar harus bicara, Megan!"potong Axel, membuat bibir Megan membisu. Ia meremas rambutnya ragu, lalu menelan ludahnya lambat. "Please. Tidak akan lama!"tawar Axel kembali dengan suara yang penuh keyakinan. Megan menutup mata, ia mendadak mengangguk seakan pria itu bisa melihatnya. "Kapan?"tanya Megan datar. "Aku di mansion sekarang! Kau bisa datang?"tanya Axel. "Yah!"Megan menurunkan ponselnya, memutuskan panggilan tersebut segera. Seketika itu juga, Megan bergerak. Memasang pakaian yang layak, menutupi bekas kissmark nya kembali. Markus benar-benar sialan; pikir Megan. "Ah!"keluh Megan, saat anting yang ingin ia pasang di telinganya jatuh ke lantai. Ia mengumpat, mencoba mencari benda tersebut dengan teliti. Masalahnya, anting itu berharga. Axel memberikan padanya saat mereka pertama kali berkencan. "Dimana anting—"Megan mengerutkan kening, menatap sebuah cahaya merah kecil yang tersembunyi di sisi nakas nya. Cukup tertutup. Dengan cepat, Megan menarik camera pengintai tersebut dan menelitinya sejenak. "f**k! Siapa yang memasang benda ini di kamarku?"pikir Megan menatap camera pengintai tersebut teliti. Mencoba memilah nama yang mungkin mengawasinya dalam diam. "Markus!"ucapnya pelan, seakan mendapatkan jawaban langsung. "Yah! Markus. Pasti saat—"Megan mengerutkan kening, mengingat susunan benda nya berubah saat aroma coklat tercium di kamarnya. Sungguh, ia baru menyadari sesuatu hal. Aroma parfum nya sama. "Berengsek! Aku harus memberinya pelajaran!"umpat Megan, menarik nakas lainnya dan meraih camera pengintai yang jelas berbeda kelas dengan milik Markus. "Kebetulan, aku memang harus mencari tahu siapa kau! Akan ku pasang benda ini juga di mansion mu,"ucap Megan menatap camera pengintai miliknya, sambil menelan ludah kasar. Megan bergerak, meraih ponselnya dan mencari nama Axel di panggilannya. Ia menelpon pria itu segera. "Ax aku datang sedikit terlambat,"ucap Megan tegas, mematikan ponselnya segera sebelum Axel menjawab sepatah katapun. "Aku harus mengurus kera tua itu dulu!"ucap Megan, segera bergerak keluar kembali dari kamarnya. _________________________ "Kita ketahuan!"ucap Taylor datar, menatap Markus yang langsung menenggak gelas berisi alkohol. "Aku tidak tahu, Megan merupakan gadis cerdas atau hanya sekadar beruntung!"tukas Markus. "Kedua hal tersebut, bisa membuat kau kehilangannya, sir,"papar Taylor tegas. "Maksudmu?" "Semua hal yang kau lakukan berisiko, jika Megan mengetahuinya, aku tidak yakin dengan hubungan mu selanjutnya nanti,"Taylor mengeluh pelan, menerima tatapan tajam dari pria tersebut. "Kalau begitu jangan ketahuan!" "Itu artinya, Kau ingin Megan menjadi gadis bodoh tanpa keberuntungan." Markus diam, menyeruput kembali minumannya pelan. Menatap sudut ruangan dengan sudut mata yang tajam. "Aku sudah memiliki sesuatu hal untuk menghadapi masa itu,"jelas Markus angkuh. "Kau cukup yakin, sir. Aku hanya khawatir dan berpikir kapan Andrea bertindak. Dia pasti merencanakan sesuatu hal untuk membalas,"keluh Taylor menatap penuh rasa khawatir. "Karena itulah awasi dia!" "Aku tidak bisa bekerja sendiri, sir. Meskipun Megan merepotkan, aku lebih suka mengawasinya,"tutur Taylor jujur. "Ah yah! Satu hal lagi, aku kadang berpikir bagaimana reaksi Megan jika dia tahu perlakuan mu terhadap Lanna Russer." "Dia mengkhianati ku!"tegas Markus. "Karena kau—"suara Taylor terhenti, saat kedua bola mata Markus menatapnya tajam. "Jangan pernah membahas itu lagi di mansion ini!" Taylor menelan ludah, ia menunduk merasa cukup keterlaluan. Markus benar, ia tidak memiliki upaya untuk membahas hal yang pernah terjadi enam tahun lalu. "Sir, maaf mengganggu! Seseorang ingin menemui mu, anggota The Prinsphone!"ucap seorang pria gempal dengan pakaian serba hitam, bodyguard. "Biarkan dia masuk!"ucap Markus datar. Lantas menatap ke arah pintu tanpa berpaling. Menunggu sosok tersebut. "Sir,"tegur seorang pria yang tampak berdiri tegas. Ia tampan, dengan dua bola mata yang biru, rambutnya hitam pekat. Tampak terawat dan ramah. "Steven, duduklah!"pinta Markus. Pria itu tersenyum tipis, melangkah dan duduk di sisi Taylor. Rupanya mereka cukup saling mengenal, Markus beberapa kali menggunakan jasa Klan 'The Prinsphone' untuk hal kriminal. Terutama transaksi jual beli obat terlarang nya di dalam Blindberg. "Kau semakin sehat Steven!"tegur Taylor sambil melempar senyuman khas. "Yah! Seperti yang kau lihat!"balas Steven melempar senyuman khas. "Jadi apa mau mu?"tanya Markus memicingkan matanya tajam. "Barang selundupan kita di tahan polisi. Jumlahnya kerugian akibat hal ini cukup besar,"lapor Steven membuat Markus mengangkat kepalanya. "Bagaimana kurirnya?" "Dia berbahaya, terpaksa ku bunuh. tapi— menurut info yang aku dapatkan hal ini di dalangi seseorang. Aku dengar, seseorang mengirim laporan lewat jaringan rahasia untuk memberitahukan pada petinggi kepolisian!"tegas Steven membuat Markus meremas kedua tangannya rapat.  Sepertinya, ia menangkap satu nama yang langsung terlintas di benaknya. Andrea Kaden. "f**k!"umpat Markus. "Jadi bagaimana barang-barang ku?"tanya Markus. "Aku harus membayar polisi agar barang-barang itu bisa lolos dan tetap di sebar dalam Blindberg,"tukas Steven. "Yah! Aku tidak ingin mengecewakan pembeli. Ambil uang mu dengan Taylor. Cepat tebus benda itu!"tegas Markus membuat Steven mengangguk. Taylor berdiri, seakan mengajak Steven. Lantas, keduanya berjalan keluar dengan pelan. Namun, langkah Taylor terhenti sejenak saat melihat wajah yang sangat ia kenal. "Dimana kera tua berengsek itu?"tanya Megan tegas. Melirik ke arah Steven sejenak. "Cari saja sendiri!"balas Taylor sengaja. Ia hanya suka memancing emosional Megan. Yah! Gadis muda itu masih sangat berapi-api. Megan mengepal tangannya kuat, lalu melangkah masuk ke dalam mansion untuk mencari Markus. Tap!! Ia memicingkan mata, menatap Markus terlihat santai menenggak minumannya. Dengan cepat Megan bergerak, hingga berdiri di hadapan Markus. "Kau yang memasang ini di kamarku kan?"tanya Megan sarkas. Membuat pandangan Markus terangkat ke arahnya tinggi. "Menurut mu?"tanya Markus. "Berengsek! Kau memata-matai ku. Ini kriminal dan—" Deg!! Megan terhenti, saat lengannya di tarik hingga ia langsung jatuh ke dalam pelukan Markus. Ia menelan ludah, memerhatikan pandangan mereka cukup dekat. "Aku suka jika kau datang ke sini,"ucap Markus datar. "Aku tidak— Markus jangan kurang ajar! Bereng—"suara Megan tersendat-sendat. Markus mencium bibirnya. Seakan tidak menerima protes sedikitpun. "Lepas!"tukas Megan mendorong tubuh Markus hingga ia cukup menjauh. Namum tetap berada di atas pangkuan Markus. "Posisi yang pas!"ucap Markus. "Sialan! Dasar mesum.... Markus!"Megan mendadak melingkarkan kedua tangannya di leher pria itu. Sialan! Ia menyimpan camera pengintai miliknya di dalam bra. Pria itu nyaris menyentuhnya. Ia harus mengalihkan perhatian Markus. "Kau sepertinya mulai ingin lebih dekat denganku!"ucap Markus mengusap sudut wajah Megan.  "Tidak! Aku ingin melihat mu dari dekat. Siapa tahu, hidung mu bisa aku patahkan dengan kepalaku!"ucap Megan sarkas, hingga Markus terkekeh pelan. "Benarkan?"tanya Markus memegang pinggul Megan dan meremasnya pelan. "Aku haus!"ucap Megan saat salah satu tangan pria itu nyaris menyentuhnya dadanya. "Aku ingin juice, tapi aku ingin kau yang membuatkan nya. Hm! Aku akan menunggumu di kamar... Aku butuh..... Hm...."Megan mengulum bibir, menyentuh ikatan pinggang Markus. "Akan ku buatkan segera!"ucap Markus. "Tapi singkirkan bodyguard mu, aku tidak nyaman!"pinta Megan. Menatap Markus dengan wajah menggoda. Sial! Pria itu seakan tidak bisa berpikir, melihat tingkah laku Megan, dan dengan satu tanda dari Markus. Semua bodyguard langsung menyingkir. "Thanks,"ucap Megan pelan, seraya mencium bibir Markus lembut. "Aku ingin juice yang manis, tanpa s**u dan harus benar-benar kau yang membuatnya,"ucap Megan membuat sudut wajah Markus melengkung. "Okay! Tunggu aku di atas ranjang, tanpa pakaian!"bisik Markus pelan, Megan merinding, menerima usapan lembut dari pria tersebut. "Sure! blender juice nya hingga benar-benar halus,"Megan beralih, turun dari pangkuan Markus dan melangkah ke kamar pria tersebut dengan langkah yang sengaja ia buat untuk menggoda. "Dasar kera tua berengsek m***m, Ah! Aku pikir julukan untuknya terlalu banyak. Aku pusing!"batin Megan seraya mengedarkan mata di tiap ruangan, ia bergerak awas memasuki salah satu ruangan penting milik Markus. Private office. Megan menarik camera pengintai dari bra nya, memikirkan tempat yang cukup aman di ruangan tersebut. "Ah di sini!"Megan meletakkan benda itu di bawah meja kerja Markus. Ia berpikir, dengan begitu, Megan bisa mendengar jelas semua perbincangan yang mungkin terdengar cukup pribadi. "Meskipun benda ini hanya bertahan satu minggu, aku yakin akan mendapatkan sesuatu. Kau harus berguna, okay!"ucap Megan selesai memasang benda tersebut. Kemudian, ia berlari keluar. "Ah! Kenapa aku harus menurutinya,"batin Megan segera berputar arah. "Tapi jika aku tidak menurut, dia pasti curiga dan mengecek CCTV!"Megan ragu, Ia menelan ludah nya kental. "Tapi— jika aku menurut. Si Kera m***m itu pasti—" "Megan!"tegur Markus menatapnya tajam sambil membawa juice yang terlihat segar. "Ah! Thanks, aku menunggu mu."Megan mendekati Markus, menangkap juice tersebut dan menenggaknya hingga tandas. Ia kehausan. "Ini enak. Kau yang buat?" "Bukan!"balas Markus jujur. "Okay! Kalau begitu aku tidak mau melakukan apapun lagi denganmu. Aku pulang!" "Megan!"sentak Markus lantang, tidak berhasil menangkap gadis itu. Sial! Gadis itu bergerak sangat cepat, meninggalkan Markus dalam rasa sesak. "f**k!"Markus melempar gelas yang ada di tangannya asal. Menatap Megan yang berlari menuju pintu keluar dengan mengacungkan jari tengah. Brakk!! Megan mundur, tanpa sengaja menabrak pintu mansion yang tertutup. Ia memegang kepalanya yang pening, lantas melirik ke arah Markus. Pria itu tertawa. Tampak mengejek. "Kenapa kau di sini berengsek!"umpat Megan seraya menendang pintu mansion dengan sangat kuat, lalu membuka pintu itu dan segera keluar.   _______________________ "Kenapa kepalamu?"tanya Axel menatap Megan lekat. "Terbentur!"balasnya datar. Mengeluh pelan. "Kau mau minum?" "Tidak! Langsung saja! Apa yang ingin kau bicarakan?"tanya Megan, membuat Axel mengeluh pelan. "Aku tahu, keputusan ku sangat salah Megan. Tapi aku berharap kau tidak membenciku!" "Jadi kau ingin aku datang hanya untuk mengatakan itu?"tegas Megan memicingkan matanya tajam. "Megan. Please! Aku mencintai mu. Aku—" "Jika kau mencintaiku, maka kau tidak akan pernah meninggalkan ku, Axel!"tegas Megan parau. Ia bergetar dengan sudut mata yang terlihat berkaca-kaca. "Aku tidak bisa—" "Dua tahun! Aku mencoba memahami mu dua tahun, Ax. Tapi apa? Lihat semua yang kau lakukan! Semua berantakan! Lantas kau ingin aku tidak membenci mu?"tanya Megan membuat Axel menelan ludah nya kasar. "Aku tahu, aku tidak berhak memaksamu. Megan aku butuh waktu." "Waktu? Kau ingin aku menunggu?"tanya Megan menatap wajah Axel tajam. "Aku akan menceraikan Clarys jika—" "Kau gila?"sanggah Megan tegas. "Megan aku benar-benar mencintaimu, tapi keluargaku—" "Axel lepas!"Megan berontak saat kedua lengannya mendadak di cengkeram sangat erat. Axel mendorong nya mundur hingga punggung Megan nyaris jatuh ke sofa. "Megan!" "Axel lepas! Apa yang kau lakukan!"pekik Megan mencoba memukul d**a pria itu sekuat nya. "Kenapa lehermu?"tanya Axel berang. Memerhatikan tanda tidak biasa. "Bukan urusanmu! Kita sudah tidak—" "Kau tidur dengan pria lain?"tanya Axel mendorong jatuh tubuh Megan, mengunci gadis itu agar tetap di tempatnya. "Axel lepas. Aku tidak—" "Jawab aku Megan! Kau tidur dengan pria lain?" "Yah! Aku tidur dengan pria lain. Kau puas?"tanya Megan lantang, mencoba mengangkat tubuhnya. Axel diam, menatap wajah wanita itu tajam. "Sialan! Aku menahan diri untuk mu dan kau....." "Persetan dengan mu, kau yang memulai semuanya!" "Diam!!"teriak Axel seraya meninju kuat-kuat sudut sofa dimana Megan meletakkan kepalanya. Sungguh, nyaris mengenai wajah gadis itu. "Jadi begini caramu membalas ku?"tanya Axel menyentuh wajah gadis itu dengan pelan. Megan menutup matanya, ia memalingkan pandangan tanpa ingin menoleh sedikit saja ke arah Axel. "Axel lepaskan aku!"ucap Megan parau. Axel mundur, ia menjauhkan diri dari gadis itu dan segera berputar. Seketika, Megan bergerak membenarkan pakaiannya dan melangkah keluar dari ruangan mansion milik Axel tanpa sepatah katapun. Axel meremas rambutnya kuat-kuat. Ia duduk di kursi dan tampak berpikir. "Aku tidak bisa melepaskan Megan! Aku harus melawan kedua orang tuaku, tidak! Aku tidak ingin kehilangan Megan!"ucap Axel mencoba meyakinkan dirinya. ____________________ Bagaimana untuk part ini? Komen Next di baris ini yang banyak yah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD