Evelyn keluar dari kamar mandi yang sudah rapi dengan baju tidurnya. Di kamar dia melihat Aaron duduk menyandar di kepala ranjang sedang berkutat dengan laptop di pangkuannya.
Gadis itu berjalan dengan gugup menuju tempat tidur. Jujur saja, dia sangat canggung dengan situasi ini.
Evelyn yang sadar diri, mengambil bantal dari sisi Aaron, lalu berjalan menjauhi tempat tidur.
"Mau kemana?" Suara bariton itu menyapa gendang telinganya.
"Aku akan tidur di sofa." Jawab Evelyn.
Aaron menaikkan sebelah alisnya, "Baguslah kalau kau sadar diri." Ucapnya singkat, lalu kembali fokus pada laptopnya.
Evelyn melanjutkan langkahnya, tidak menanggapi ucapan suaminya itu. Karena dia sadar diri, Aaron mau tidur di satu kamar dengannya, karena tidak ingin dia melukai tubuhnya lagi.
Karena menurut Aaron, setiap Evelyn merasa sedih, gadis itu pasti mengambil cara menyakitkan untuk melampiaskan kesedihan itu.
Aaron tidak tau kenapa dia harus peduli pada gadis ini. Harusnya dia senang, jika anak dari orang yang membunuh orangtuanya menderita.
Evelyn merebahkan tubuhnya di atas sofa yang lumayan besar untuk menampung tubuh mungilnya. Tidur membelakangi Aaron untuk meminimalisir pandangan mereka bertemu.
Tubuhnya sangat lelah, setelah seharian ini menjalani aktivitasnya. Tanpa menunggu lama gadis itu sudah terlelap dalam mimpi indahnya.
Aaron yang dari tadi ternyata tidak fokus pada laptopnya, beralih melihat punggung Evelyn yang terlihat sudah bergerak teratur, menandakan gadis itu sudah terlelap.
Aaron menyimpan laptopnya di atas nakas, lalu mengambil sebuah botol dari tempat yang sama. Aaron berjalan pelan menghampiri Evelyn di sofa.
Memperhatikan wajah cantik itu dari sisi samping.
Dengan gerakan yang sangat pelan, Aaron menyingkap piyama gadis itu, hingga punggung mungilnya terpampang jelas di matanya. Jemarinya menyusuri bekas luka yang terpatri di punggung putih yang semulanya mulus.
Aaron membuka botol berisi krim berwarna putih itu. Mengeluarkan isinya lalu mengolesi krim itu di punggung Evelyn. Melakukan gerakan seringan bulu agar Evelyn tidak merasa terganggu dalam tidurnya.
Kini punggung Evelyn rata dengan olesan krim itu. Setelah itu Aaron menutup punggung itu. Sekarang Aaron beralih pada kedua tangan Evelyn yang juga dihiasi oleh bekas luka. Kedua tangan itu juga tidak luput dari sentuhannya.
Setelah selesai mengolesi krim itu di seluruh bekas luka itu, Aaron mendudukkan tubuhnya di lantai dekat sofa.
Manik hitam legamnya menatap tajam wajah gadis yang sedang memejamkan matanya.
Aaron tidak tau kenapa dia begitu peduli pada gadis ini.
Bukan karena larangan Chlarent yang terus menentang dirinya untuk menyiksa gadis ini. Dengan atau tanpa larangan Chlarent pun, Aaron tetap bisa menyiksanya. Entahlah, batin Aaron seolah tidak mampu lagi untuk membuat gadis ini menderita.
***
Mentari pagi perlahan naik menyinari bumi. Memancarkan cahayanya yang perlahan membuat penghuni bumi terganggu dari tidur lelapnya setelah semalaman mengarungi mimpi.
Begitu juga dengan Evelyn, gadis itu sudah dari tadi rapi dengan pakaiannya. Hari ini adalah hari keduanya kuliah, dan setelah itu dia akan ke rumah sakit mengunjungi Mommy Anastasia.
Di meja makan, Evelyn sudah mendapati Aaron dan Chlarent. "Ayo sarapan Nak." Ucap Chlarent meletakkan piring berisi sepotong sandwich di depannya.
"Terima kasih Bu." Evelyn tersenyum yang dibalas anggukan oleh Chlarent.
"Bagaimana keadaan Mommymu?" Tanya Chlarent.
Mendapat pertanyaan itu, Evelyn menjadi murung. "Itu... Mom baik-baik saja."
Melihat raut wajah Evelyn, Chlarent tau ada yang disembunyikan gadis itu. Tapi Chlarent menutup rasa penasarannya, dan tidak banyak bertanya lagi.
"Syukurlah kalau begitu."
Ucapnya lalu melihat Aaron yang menatap Evelyn dengan datar.