Bertubi-tubi

1353 Words
Bagaikan badai yang tiada henti menerpa hidupnya, satu per satu masalah datang bertubi-tubi, yang nampaknya tak ingin gadis itu bernafas dengan tenang. Sebenarnya apa yang terjadi pada hidupnya dulu, dosa apa yang diperbuatnya di masa lalu hingga gadis itu mengalami cobaan seberat ini? Ya Tuhan, jika memang aku memiliki kesalahan di masa lalu, tolong maafkan aku. Biarlah ini menjadi musibah yang terakhir dalam hidupku. Aku tidak akan sanggup lagi jika harus mendapat satu musibah lagi. Kalimat itulah yang selalu menjadi mantra yang diucapkan gadis itu dalam setiap doanya. Ya, hanya berdoalah yang bisa dilakukan gadis itu, berpasrah pada yang kuasa, memohon pengampunan kepadaNya. *** Ponsel Evelyn bergetar di atas meja nakas di samping brankar rumah sakit, tempat tidur Mommynya. Dia dapat melihat panggilan dari Paman Gerry. Dengan ragu dia mengambil benda pipih itu dengan ragu, karena setiap Paman Gerry menghubunginya, pasti kabar buruklah yang selalu terucap dari mulut pria itu. Semoga saja ini bukan kabar buruk, Evelyn merapalkan doa dalam hatinya. "Halo Paman...?" sapa Evelyn ketika sudah mengangkat panggilan itu. "Halo Nona Eve..." sahut Gerry dari sebrang sana. "Iya Paman ada apa?" "Begini Nona, sepertinya saya sudah mendapatkan cara agar perusahaan Tuan Alex bisa diselamatkan..." tutur Gerry. "Benarkah Paman..?" tanya Evelyn, dia masih sedikit ragu. "Iya Nona....Tapi Nona Eve ada hal yang harus Nona lakukan terlebih dulu, mungkin ini berat untuk Nona, tapi hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan Tuan Alex." ucap Gerry pelan. "Katakan saja Paman, aku pasti bersedia melakukannya, apa pun itu." sahut Evelyn dengan semangat. "Saya tidak bisa membicarakannya lewat telpon Nona, sebaiknya kita bertemu saja dulu." "Baiklah Paman, kita bertemu sekarang di tempat biasa dekat rumah sakit." "Tidakkah ini terlalu terburu-buru Nona?" "Tidak Paman, lebih cepat perusahaan terselamatkan, maka biaya untuk terapi Mommy tidak akan terhambat lagi." "Baiklah kalau begitu, saya akan segera berangkat Nona." Ucapan terima kasih menjadi kalimat penutup panggilan mereka. Evelyn sangat senang jika perusahaan Daddy-nya bisa terselamatkan, dan biaya untuk terapi Mommynya pasti tidak akan susah lagi. "Terima kasih Tuhan, Engkau telah membuka jalan untukku, aku tau Kau tidak akan memberi cobaan yang tidak mampu dilalui umatmu." batin Evelyn. ••• "Bagaimana kabar Nyonya Anastasia, Nona?" tanya Gerry setelah duduk di kursi seberang Evelyn. "Baik Paman. Walau hanya bisa membuka mata, kata dokter itu sudah menjadi kemajuan yang cepat. Sepertinya terapi itu akan berhasil dan beberapa kali terapi lagi Mommy akan pulih kembali." terang Evelyn. "Saya turut senang akan berita itu Nona, semoga Nyonya Anastasia cepat sehat dan saya akan berusaha mengeluarkan Tuan dari penjara secepatnya. Maka keluarga Nona akan berkumpul seperti dulu lagi." sungguh kata-kata Gerry menjadi sumber semangat Evelyn yang paling besar. Membayangkan keluarganya akan berkumpul seperti dulu membuat air matanya menetes dari sudut matanya.Dia begitu terharu, setelah berbagai musibah yang datang bertubi-tubi, akhirnya mereka akan terkumpul kembali. "Terima kasih Paman, aku tidak tau lagi bagaimana membalas jasa paman, Paman begitu baik pada kami." ucap Evelyn tulus. "Jangan terlalu sungkan Nona, saya melakukan ini karena saya menyayangi keluarga Nona." "Iya Paman. Sekali lagi terima kasih." "Sama-sama Nona." Percakapan mereka terhenti ketika pelayan menyusun pesanan mereka di atas meja. "Oh ya Paman, kata Paman aku harus melakukan sesuatu agar perusahaan Daddy selamat, apa itu Paman?" tanya Evelyn. Gerry masih ragu untuk mengatakannya, tapi mau bagaimana lagi, hanya inilah jalan satu-satunya agar perusahaan Tuannya bisa selamat. "Begini Nona Eve, ada sebuah perusahaan yang bersedia menanamkan kembali investasinya di Shura Company Nona." "Menanamkan kembali?" tanya Evelyn. "Benar Nona, perusahaan ini merupakan perusahaan raksasa di negara kita ini. Dulu kita pernah memiliki kerja sama dengan cabang perusahaan mereka. Seperti yang sudah saya katakan tempo hari, bahwa hampir semua perusahaan yang bekerja sama dengan kita, menarik saham mereka dari SC Group." Gerry menghentikan kalimatnya sejenak. "Beberapa minggu ini saya mendatangi beberapa perusahaan untuk menjalin kerja sama, tapi tidak ada satupun yang menerima kita, mereka sudah kehilangan kepercayaan pada kita, akibat rumor yang beredar mengenai Tuan Alexander.Tapi, pada usaha saya yang terakhir, saya tidak menyangka bahwa perusahaan raksasa ini mau membantu kita." jelas Gerry "Wah, sepertinya pemilik perusahaan itu adalah orang baik, aku akan sangat berterima kasih padanya karena telah bersedia membantu kita." Evelyn tersenyum tulus. "Tapi Nona, perusahaan ini membantu kita semata-mata bukan karena percaya pada kita. Mereka hanya mengasihani kita, dan mereka membantu kita tidak dengan cuma-cuma. Mereka meminta imbalan untuk ini Nona." ucap Gerry dengan lesu. "Katakan Paman, apa yang mereka inginkan?" "Saya tau ini berat untuk Nona, tapi mau bagaimana lagi, hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan Tuan Besar." "Katakan saja Paman, apa yang harus kulakukan, aku pasti melakukannya selagi aku masih sanggup." Gerry menarik napasnya dalam, "Mereka menginginkan Nona untuk menikah dengan pemilik perusahaan itu."Deg Menikah? Yang benar saja, dia akan menikah di usianya yang semuda ini? Belum lagi genap tiga bulan dia lulus sekolah, tidak mungkinkan dia menikah secepat itu? "Me..menikah?" Evelyn terbata. "Benar Nona..." "Tidak adakah syarat yang lain?" "Tidak Nona, mereka ingin Nona sebagai jaminan kepercayaan mereka terhadap perusahaan kita. Nona tau sendiri, tidak ada lagi perusahaan lain yang percaya pada perusahaan kita." Gerry masih memperhatikan Evelyn yang sepertinya tidak terima dengan persyaratan ini. Gerry menjadi tidak tega, "Kalau Nona tidak setuju dengan ini, tidak apa-apa saya akan mencoba bernegosiasi lagi dengan pemilik perusahaan itu." "Tidak Paman, aku akan memenuhi permintaan mereka, aku akan menikah dengan pria itu." Evelyn pasrah, ini adalah kesempatan, jangan sampai dia melewatkannya. "Anda yakin Nona? Saya bisa membuat kesepakatan lain dengan mereka." Gerry masih ragu dengan Evelyn, jangan sampai gadis ini menyesal dikemudian hari. "Aku yakin paman, aku tidak ingin membuang kesempatan, ini demi Mommy dan Daddy, aku akan melakukan apa saja untuk orang yang kusayangi, bukankah Paman sendiri yang bilang kalau ini adalah jalan satu-satunya?" Evelyn berusaha untuk tegar di hadapan Gerry. "Baiklah Nona Eve, kalau itu keputusan Anda." Gerry menghela napas dalam."Saya akan menghubungi mereka untuk kesepakatan selanjutnya." ucap Gerry. Setelah Gerry meninggalkannya di cafè itu, Evelyn memejamkan matanya, sembari menghela napas dalam, "Semoga keputusanku ini benar." lirih Evelyn. *** Hari ini Evelyn dijemput oleh Gerry di rumah sakit. Hari ini merupakan pertemuan Evelyn dengan pemilik perusahaan yang membantu perusahaan Daddy-nya, atau bisa dikatakan calon suaminya. Sepanjang perjalanan, beberapa kali gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam. Dia sudah pasrah untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Selama seminggu ini Evelyn menebak-nebak seperti apa wajah calon suaminya nanti. Dalam bayangannya, pria yang akan menikahinya adalah pria tua dengan perut buncit dan kepala botak. Berungkali gadis itu merapalkan doa dalam hatinya, semoga keputusannya ini benar. Biarlah dia mengorbankan masa depannya, yang penting Mommy dan Daddy-nya bisa berkumpul kelak. Evelyn memasuki restoran mewah itu seorang diri, karena Gerry memutuskan untuk menunggu di mobil saja. Sesaat setelah masuk ke dalam restoran itu, seorang pelayan datang menghampirinya, kemudian mengarahkannya ke sebuah ruangan VVIP di restoran itu. Evelyn melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu, gadis itu dapat melihat seorang pria tengah duduk dengan gagahnya membelakanginya.Dalam hati, Evelyn bertanya-tanya, apakah dia salah ruangan, kenapa pria ini nampaknya masih muda, bukankah calon suaminya adalah seorang pria tua? Evelyn membuyarkan pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya, di kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Evelyn menghentikan langkahnya satu meter dari pria itu, dirinya masih belum berani untuk membuka suara. Melihat punggung lebar pria ini yang nampak begitu gagah, membuat jantungnya berdegup kencang, penasaran seperti apa wajah di balik punggung ini. "Apakah kau akan tetap berdiri di belakangku?" suara bariton pria di depannya mengagetkan Evelyn dari lamunannya "Ma..maaf Tuan, saya pikir saya salah ruangan." ucap Evelyn terbata-bata. Pria itu masih membelakangi Evelyn, "Bukankah kau nona Mashenka?" tanya pria itu penuh intimidasi. "I..ya Tuan." "Duduklah, kau ada di ruangan yang tepat." Setelah mendapatkan perintah, Evelyn berjalan pelan menghampiri pria itu, lalu duduk di depannya, dengan meja bundar sebagai pembatas di antara mereka. Evelyn masih menundukkan kepalanya, dirinya terlalu gugup untuk menatap pria di depannya ini. "Kenapa menundukkan kepalamu? Seperti inikah ternyata sikap putri dari seorang Alexander Mashenka, sang koruptor?" nada bicara lelaki ini terdengar seperti merendahkan. Evelyn berusaha mencerna kalimat pria ini, apa sebenarnya maksud pria ini. Evelyn menegakkan kepalanya, membalas tatapan pria itu yang seolah menghujam dirinya. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, wajah pria ini sangat familiar dalam ingatannya, tatapan tajam pria itu mengingatkannya pada seseorang, tapi dia tidak tau siapa. Siapa sebenarnya pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD