4. Kemarahan Mas Gusti

659 Words
Aku hanya bisa menunduk takut saat tatapan ketiga orang dewasa di depanku, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat, terutama Mas Gusti. Sepertinya ia sanggup menggigit dagingku tanpa perlu dimasak. Apa aku menangis dengan teriakan dan tuduhan itu padaku? Tentu saja tidak, untuk apa? Membela diri? Percuma, mereka tidak akan percaya. "Mama gak sangka penyebab jatuhnya Hanin adalah kamu, Zia. Kenapa kamu bisa teledor? Apa kamu memang sengaja melakukan ini pada menantu sahku? Apa kamu hanya ingin memiliki Gusti sendirian saja? Mama tidak percaya ini. Kamu sudah Mama perlakukan seperti menantu benar, tetapi kamu licik!" Aku menulikan telinga ini dengan sangat tebal. Karena jika aku memasukkannya ke dalam hati, tentu saja aku kecewa dan sakit hati. "Maafkan, Zia, Ma. Zia tidak sengaja. Biasanya.... " Aku hanya berusaha meminta maaf, tanpa membela diri. "Gusti, apa yang akan kamu lakukan pada Zia? Mama serahkan pada kamu saja. Sudah selayaknya wanita pembunuh berada di mana, baik disengaja ataupun tidak disengaja." Aku terdiam dengan jantung yang berdetak kocar-kacir. Pembunuh kata mereka? Aku pembunuh? Ya Allah, hanya Engkau yang tahu apa yang terjadi kemarin. Tolong bantu hamba. Batinku pilu. Menjadi istri yang dianggap tidak pernah ada. Diperlakukan layaknya pembantu, lalu kini, mereka ingin memenjarakanku? "Kamu mau menyerahkan diri atau saya yang melaporkan hal ini?" tanya Mas Gusti yang sama saja menyudutkanku. "Jika saya bilang saya tidak bersalah, apa Papa, Mama, dan Mas Gusti percaya? Sepertinya tidak. Saya akan menyerahkan diri saja, biar kalian semua senang sudah menyingkirkan wanita seperti saya, tapi bagaimana dengan Hilmi? Apa anak kecil itu tidak akan semakin kehilangan saat dua ibu di rumahnya tidak ada? Apa Mas Gusti bisa mengurus Hilmi, sedangkan Mas Gusti harus bekerja?" tanyaku masih dengan air mata yang membanjiri pipi. Aku tahu ibu mertuaku begitu sayang dengan. Hilmi, semoga saja ia menarik ucapannya untuk menjembloskanku ke penjara. Semua orang dewasa di depanku masih terdiam. Ketiganya saling pandang dan nampak tengah berpikir. "Kamu tidak perlu memikirkan Hilmi. Anak angkat itu akan aku kembalikan ke panti asuhan." "Jangan, Mas, jangan begitu. Baiklah, saya akan melakukan apapun asal Mas Gusti tidak mengembalikan Hilmi ke panti. Saya bersedia dihukum seumur hidup asalkan Mas Gusti tetap merawat Hilmi." "Bukan urusanmu, Zia. Apa yang mau aku lakukan pada Hilmi, bukan urusanmu! Lekas pergi ke kantor polisi dan menyerahkan diri, sebelum Hilmi bangun. Kamu bisa melakukannya sendiri, atau mau aku seret!" Kulihat wajah ibu mertuaku pias. Ia mungkin tidak terbiasa dengan kalimat kasar yang dilontarkan putra sulungnya, tetapi aku sudah menganggap kalimat kasar itu adalah makanan sehari-hari. Aku pun mengangguk. Sekilas kulirik jam dinding yang jarumnya masih berada di angka enam. Setengah jam lagi waktunya Hilmi bangun. Aku harus bergegas sebelum putra kecilku itu bangun. Aku tidak punya tas besar. Hanya ada tas ransel ukuran biasa yang hanya muat tiga stel pakaian, mukena, dan tiga set pakaian dalam. Ponsel dan charger pun aku bawa. Dompet bedak aku tinggalkan di kamar. Untuk apa aku bersolek di penjara? Apalagi mungkin saja aku akan dihukum mati. Kuhapus kasar air mata, kemudian kuambil secarik kertas dan membuat pesan singkat untuk Hilmi. Hilmi, Teteh pergi sebentar ya. Hilmi harus nurut sama Oma, Opa, dan Papa. Jangan main HP terus. Teteh sayang Hilmi. Tulisan itu aku selipkan di dalam box mainan. Aku tidak Mas Gusti membaca suratku untuk Hilmi, karena jika ia tahu, maka surat itu akan disobek. Ingin sekali aku memeluk Hilmi, tetapi tidak bisa. Anak kecil tampan itu pasti terbangun jika aku menciumnya dalam keadaan menangis. Ya Allah, aku titipkan Hilmi dalam penjagaanMu. Peliharalah anak yatim piatu ini dari kejahatan dan keburukan orang-orang di sekitarnya. Aamiin. "Pa, Ma, Mas, saya permisi." Tidak ada yang menjawab. Ketiganya membuang muka saat aku lewat untuk berpamitan. Hati ini pun semakin sakit dan juga patah. Aku berjalan keluar dan berhenti sebentar memandang sebuah ruangan cukup besar di samping rumah. Aku tersenyum tipis, merasa bersyukur pernah menjadi bagian dari keluarga Mbak Hanin, walau akhirnya aku akan hidup dan mungkin mati di dalam penjara. Bersambung Versi ebuuk dan KABE-EM juga ada ya dengan judul yang sama
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD