Rasa penasaran ini membuatku menggeser gorden jendela. Masih banyak saja tamu yang silih berganti memberikan ucapan bela sungkawa pada keluarga besar Mbak Hanin dan Mas Gusti. Aku memang tidak berani terlalu menampakkan diri di luaran sana, karena pernikahanku dan Mas Gusti tidak banyak yang tahu. Hanya keluarga inti, keluarga panti tempat aku tumbuh, serta pejabat RT tempat kami tinggal saat ini.
Ke mana Mas Gusti? Aku tidak melihatnya lagi. Tamu yang datang sepertinya teman-teman kantor suamiku itu, terlihat dari pakaian kemeja rapi dengan warna biru muda, persis sama dengan seragam Mas Gusti.
Kuputuskan beristirahat sejenak dengan berbaring. Terlalu banyak mengeluarkan air mata sejak kemarin, membuat kepalaku berat. Ditambah kepergian Mbak Hanin tengah malam tadi, semua anggota keluarga histeris dan tidak bisa memejamkan mata.
Acara tahlilan malam pertama berlangsung ramai. Para tetangga datang dan ikut mendoakan Mbak Hanin. Bagitu banyak rejeki yang Allah datangkan dari mereka yang datang dengan membawa banyak makanan. Pihak yang sedang berduka memang tidak diijinkan oleh Pak RT setempat untuk menyiapkan apapun, semua warga yang membantu acara tahlilan.
Satu hal yang masih begitu menyedihkan setelah semua warga yang datang tahlilan, sudah kembali pulang ke rumah masing-masing. Mas Gusti tidak kunjung keluar dari kamarnya. Papa dan mama mertuaku hanya bisa menatap sedih kamar yang sejak siang tertutup rapat. Begitu juga dengan keluarga besar almarhumah Mbak Hanin. Mereka ingin berpamitan pulang pada Mas Gusti, tetapi lelaki itu tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun, apalagi membuka pintu kamar.
"Zia, antarkan minum dan makan untuk Gusti. Tidak perlu mengeluarkan suara, cukup letakkan nampan ini di meja." Aku menggigit bibir karena ragu. Titah mertuaku tidak bisa langsung aku setujui karena setahun dua bulan aku menjadi istri kedua Mas Gusti, belum pernah aku masuk ke dalam kamar itu. Mas Gusti yang benar-benar melarangnya.
Aku dan Mas Gusti bukan seperti pasangan suami istri lainnya. Namun ibu mertuaku tidak tahu. Aku takut, tetapi tidak mungkin juga aku menolak perintahnya.
"Pintunya dikunci, Ma," kataku beralasan. Belum lagi berjalan ke arah sana, baru menerima perintah, seluruh darah yang mengalir di tubuhku ini terasa begitu dingin. Terutama di bagian telapak kaki. Rasanya aku tidak sanggup melangkah menuju kamar utama itu.
"Tidak, ia hanya menutupnya, bukan menguncinya. Mama sempat intip tadi, Mama panggil, tetapi tidak ada respon. Siapatahu dengan kamu hadir di samping Gusti, ia mau minum atau mungkin membutuhkan yang lain. Kalian berdua sedang berduka, jadi Mama rasa, kalian harus saling menguatkan." Begitu lemah-lembut ucapan ibu mertuaku. Hingga hati yang ketakutan ini menjadi sedikit mengendur. Saling menguatkan? Ya Tuhan, aku tidak yakin esok, apakah aku tidak ditalak oleh Mas Gusti?
"Zia, kenapa? Ayo, antar ini ke kamar Gusti!"
"B-baik, Ma." Dengan gugup aku menerima nampan itu dari tangan mama, kemudian kubawa berjalan menuju kamar Mas Gusti, meski kedua kakiku berjalan seperti menyilang, bagaikan orang mabuk.
"Zia, kaki kamu kenapa gitu jalannya?!" Suara mama mertuaku membuat aku menoleh ke belakang sambil berusaha tersenyum.
"Kesemutan, Ma," jawabku berbohong. Kaki ini kembali melangkah menuju kamar. Nampan kupegang dengan tangan kiri yang gemetaran, sedangkan tangan kanan sudah terkepal, bersiap untuk mengetuk pintu.
"Langsung saja! Kenapa sih kamu takut banget sama suami sendiri?" mama ternyata masih memperhatikanku. Tegurannya kali ini membuatku memberanikan diri mengetuk pintu kamar.
Tok! Tok!
Sepi, tidak ada jawaban dari dalam sana. Kuberanikan diri untuk menekan kenop pintu secara perlahan, lalu mendorong daun pintu itu dengan sangat hati-hati.
Mas Gusti masih duduk menghadap tembok, persis seperti tadi sore. Ia belum mengubah posisi duduknya selama berjam-jam. Lelaki itu masih mendekap baju tidur favorit Mbak Hanin.
Tiba-tiba tenggorokanku sangat gatal. Ingin sekali batuk atau mungkin berdeham, tetapi pesan ibu mertuaku, aku tidak boleh mengeluarkan suara, cukup menaruh nampan di atas meja. Terpaksa aku menahan napas agar tidak batuk. Mata ini pun berair karena rasa gatal yang datang disaat yang tidak tepat. Benar-benar tenggorokan ini tidak bisa diajak kerjasama. Disaat genting dia gatal, padahal sejak semalam tidak ada rasa gatal tenggorokan sama sekali. Ingin sekali kusentil tenggorokan ini agar berhenti membuat kacau suasana.
Mas Gusti nampak tidak terganggu dengan kehadiranku. Sama sekali ia tidak berniat menoleh sedikit pun. Nampan kuletakkan di atas meja tanpa suara. Lekas aku berbalik karena keadaan seperti ini tidak aman bagiku.
"Hanin sudah meninggal. Cintaku sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Aku harap, kamu cukup tahu diri untuk segera pergi dari rumah ini. Tugas kamu dan Hilmi sudah selesai. Kalian dari tempat yang sama bukan? Jadi bawalah Hilmi juga pergi dari sini." Aku terdiam dengan kedua kaki gemetar. A-aku dan Hilmi diusir? Ya Allah.
Bersambung