Ada rasa iba di dalam hati Ajeng saat melihat ekspresi kesakitan sang menantu. Meskipun Leta menantunya yang paling 'berbeda' daripada lainnya--bukan hanya tentang jenis kelamin--yaahh kalian tahulah. Tapi saat Leta kesakitan seperti tadi, Ajeng turut merasakan sakitnya. Sebagaimana perasaan lembut seorang ibu pada putrinya.
"Pasti kaki Leta keseleo. Gimana bisa sampai jatuh, sih.." gerutu Ajeng dengan tangan yang cekatan menyiapkan sebaskom air dingin, dan handuk untuk mengompres kaki Leta yang keseleo. Air dingin memang dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan pada saat keseleo. Untung saja Ajeng cekatan pergi ke dapur untuk menyiapkan kompresan untuk Leta.
Saat Ajeng sudah hendak membawa baskom berisi air hangat itu. Sosok Bara justru berjalan gontai menuju padanya. "Loh, Bara!? Kenapa, Bar? Butuh apa?"
"Mama..."
"........." Ajeng masih tidak mengerti, dan tidak bisa mengartikan tatapan Bara kepadanya saat ini. Wanita paruh baya itu sampai mengernyitkan dahinya. Karena ia benar-benar tidak mengerti dengan ekspresi yang terlukis di wajah tampan Bara.
Mata Bara sendu, wajahnya mendung, Ajeng yakin..pasti ada sesuatu hal yang membuat putranya itu menjadi sedih seperti sekarang ini. Belum lagi ekspresi khawatir Bara. Ajeng tahu betul bahwa Bara sangat mengkhawatirkan kondisi Leta yang baru saja terjatuh saat hendak turun dari mobil.
Ajeng meletakkan baskomnya kembali pada meja dapur. Wanita itu mendekat pada Bara. Mensejajarkan tubuhnya dengan Bara. Tangannya begitu lembut bergerak, memegang dan mengusap kedua lengan putranya itu. "Kenapa, Bara?"
"Mama nggak marah?"
Pertanyaan Bara barusan sukses membuat Ajeng semakin dilanda kebingungan. "Marah?"
"Iya. Kami semua pikir, Mama sedang marah karena Bara memotong perkataan Mama tadi."
Ajeng mengerti kini. Ia pun sampai-sampai menepuk dahinya sendiri. "Astaga.. Jadi, kamu nyusulin Mama ke sini karena mengira Mama marah?" Bara memberikan anggukan sebagai jawaban.
"Mama nggak marah, Bara. Mama lagi nyiapin air dingin buat kompres kaki Leta," jelas Ajeng yang kemudian mengambil kembali baskom berisikan kompresan itu, kemudian berjalan melewati Bara yang masih mematung.
Tetapi, tanpa Ajeng tahu. Bara di belakang sana ternyata sedang tersenyum lebar. Pria itu sangat bahagia karena ternyata mamanya begitu peduli dengan menantunya sendiri. Terlebih ini Leta. Leta yang katanya bukan menantu idaman. Syukurlah..setidaknya, Mama Bara masih bisa menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya dikala kondisi sedang tidak baik-baik saja seperti sekarang ini.
Bara pun tanpa berlama-lama menyusul langkah cepat kaki sang mama. Merangkul pundak wanita paruh baya itu. "Makasih, Ma!"
Cup!
Bara sampai mencium pipi kanan mamanya. Hal tersebut tentu membuat Ajeng sampai terkejut. Putranya itu memang akan selalu bahagia jika itu berhubungan dengan Leta.
Sampai di kamar Leta, Ajeng melihat Fasya masih fokus mengobati luka di lutut Leta. Sesekali Leta mengaduh karena perih, tapi Fasya tak memberikan jeda sama sekali. Ia begitu telaten, dan merasa sudah berhati-hati.
"Pelan-pelan, Sya." Suara itu seketika membuat Leta dan Fasya menoleh.
Keduanya sama-sama bergumam, "Mama.."
Sepertinya mereka sedikit tidak percaya dengan penglihatan mereka saat ini. Dimana Ajeng datang bersama dengan Bara yang tengah tersenyum lebar. Ada apa ini? Secepar itukah emosi Ajeng diredakan? Sepertinya tidak mungkin secepat itu. Orang-orang rumah tentu sudah hafal bagaimana Ajeng jika sedang marah.
"Kalau kamu udah selesai ngobatin lukanya, minggir. Giliran Mama yang ngompres kaki Mbakmu. Kasihan. Kakinya keseleo, takutnya keburu bengkak kalau nggak dikompres pakai air es."
"I--iya, Ma. Ini bentar lagi juga selesai, kok." Fasya sedikit gugup. Ia benar-benar tidak mengerti dengan situasi saat ini. Jadi, mamanya sedang marah atau tidak? Kalau sedang marah, tidak mungkin saat ini mamanya berdiri di sini. Tetapi kalau pun sedang tidak marah, sepertinya aneh. Biasanya Ajeng memang sedikit sensitif. Apalagi jika nasihatnya tidak didengar, diabaikan, atau sampai dipotong.
Sesuai instruksi dari sang mama. Fasya pun menyingkir setelah selesai mengobati luka di lutut dan juga siku Leta. Malam ini semua orang dadakan menjadi perawat. Fasya juga tidak lupa membereskan sisa-sisa kapas, dan beberapa obat-obatan ke tempatnya kembali--kotak P3K.
"Ma, Mas, Mbak, Fasya langsung ke kamar, ya? Soalnya baru ingat kalau ada tugas Matematika," pamit Fasya yang sudah bersiap hendak pergi dari kamar ini. Hmm, hawa juga sedikit panas. Sebaiknya daripada pusing dua kali karena masalah rumah dan tugas Matematika, lebih baik Fasya segera enyah dari kamar sang kakak.
Semua orang hanya mengangguk. Fasya pun beranjak. Berjalan menuju pintu kamar. Untuk segera menarik diri dari situasi sekarang ini.
Iseng-iseng Bara bertanya, "Bisa 'kan ngerjainnya?"
Fasya yang sudah hampir mencapai gagang pintu, menoleh kembali dengan menunjukkan raut wajah judesnya. "BISALAHH!!! EASY, Mas Bara!"
"Ya sudah. Sana, kerjain yang benar!"
"Yaaa-yaaaa.."
Di luar kamar, Fasya masih menggerutu. Tentu ia merasa kesal dengan kakaknya yang selalu saja meremehkan dirinya. Gini-gini, Fasya juga selalu berada di urutan tiga besar saat semesteran. "Enak aja ngeremehin aku," dumel Fasya sebelum benar-benar berjalan cepat mengembalikan kotak P3K pada tempatnya, dan memasuki kamarnya.
Sementara itu, di dalam kamar Leta. Leta merasa kurang nyaman saat Ajeng yang justru mengompres kakinya. Leta merasa segan saat kakinya dipegang oleh Ajeng.
Sadar dengan ekspresi Leta yang sepertinya kurang nyaman. Bara berucap, "Ma, biar Bara saja yang lanjutin kompres kaki Leta. Mama istirahat saja. Sudah malam, Ma.."
"Siapa yang bilang subuh? Sudah, biar Mama saja! Kamu duduk sana. Jangan banyak bicara," tolak tegas sang mama. Sepertinya memang Ajeng kurang percaya jika Bara bisa melakukan apa yang kini tengah dilakukannya. Maka dari itu, biar Ajeng sendiri yang menangani keseleo Leta ini.
Diam-diam, Bara dan Leta pun saling bertatapan. Mencoba berbicara melalui mata. Leta masih saja meminta bantuan pada Bara untuk mengambil alih apa yang mamanya tengah lakukan sekarang ini.
Bara pun berusaha kembali. "Ma, sepertinya Leta mau ke kamar mandi. Biar Bara antar ke kamar mandi dulu, ya, Ma? Nanti urusan mengompresnya juga biar Bara yang lanjutin."
Terdengar helaan napas kasar dari Ajeng. Wanita paruh baya itu bahkan meletakkan secara kasar handuk yang digunakannya untuk mengompres ke dalam baskom, sampai menimbulkan suara air yang berkecipak. "Kamu kalau mau berdua-duaan sama Leta, bilang dong!"
"Mmm, Ma..bukan seperti itu maksud Mas Bara." Leta merasa tidak enak hati pada mamanya. Ini jauh lebih tidak nyaman daripada beberapa saat yang lalu saat Ajeng mengompres kakinya.
"Kalian berdua sama saja," kata Ajeng yang sepertinya berlagak marah.
"Terutama kamu, Bara. Lhawong, dari tadi Leta anteng-anteng saja. Darimana kamu tau kalau Leta mau ke kamar mandi!?"
"Y--yaaa, batin kita berdua 'kan saling berbicara, Ma." Bara pun menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia membiarkan saja sang mama dengan argumen di kepalanya, jika hal tersebut nantinya bisa membuat mamanya beranjak dari kamar ini. Setidaknya, Leta merasa nyaman..
"Ya sudah, Mama tinggal. Kamu urusin Leta yang benar, Bar." Ajeng pun menyerahkan baskom di pangkuannya pada Bara yang masih setia berdiri.
Bara mengangguk. "Iya, Ma. Pasti."
Belum benar-benar pergi dari dalam kamar ini. Ajeng masih sempat berucap lembut pada menantunya, "Leta, kalau butuh apa-apa, bilang ke Mama. Jangan sungkan-sungkan.."
Leta tersenyum tipis dan mengangguki ucapan Ajeng, sebagai tanda Leta sangat menghargai Ajeng.
Setelah kepergian Ajeng, baik Bara maupun Leta sama-sama mengembuskan napas lega. Mereka berdua lega karena tinggal berdua saja di ruangan ini. Bara pun dengan senyum manisnya, berjalan mendekat pada Leta yang masih duduk bersandar di ranjang.
Sampai di dekat Leta, Bara langsung mendapatkan hadiah berupa cubitan di pinggangnya. "Awwh, sakit! Kok kamu cubit aku, Sayang?"
"Mas Bara tuh kalau nggak bisa cari alasan yang benar, nggak usah alasan deh!" kesal Leta karena alasan yang Bara berikan pada Ajeng, kurang masuk akal. Karena sebelumnya mereka berdua sama-sama diam, lalu..darimana Bara tahu jika Leta ingin ke kamar mandi?
Tak ingin menjadi sasaran kekesalan Leta. Bara pun membela dirinya sendiri, "Yaa mau gimana lagi, Sayang? Mama tetap kukuh buat ngompres kaki kamu, dan masih terus di sini tadi."
"Aku tuh bukannya mau ngusir Mama, Mas. Bukan. Aku cuman ngerasa nggak enak aja, masa Mama yang kompresin kakiku. Sementara di sini ada kamu juga."
"Tapi kamu lihat sendiri 'kan tadi? Memang Mama yang mau. Mama tulus banget sayang sama kamu, Leta."
"Aku tau itu, Mas Bara.." Leta mengulas senyum manisnya. Berusaha melupakan kekonyolan suaminya yang tidak pandai beralasan. Biarlah..semua sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Mau diputar kembali pun tidak bisa 'kan? Jadi, untuk apa diperdebatkan.
"Ya sudah, sekarang..biar aku yang urusin kamu."
"Hmmm, pelan-pelan."
"Iya, Sayang. Belum juga dipegang." Bara menyeringai nakal.
"Cih, aku tau! Jalan pikiran Mas Bara lagi kemana-mana," sindir Leta yang memang sudah hafal dengan seringaian nakal Bara.
Bara pura-pura tidak mengerti dengan maksud Leta. Ia dengan santainya duduk di tepi ranjang, dan mulai mengompres kaki Leta. Membiarkan handuk dingin itu menyentuh, membalut kaki Leta. Sementara tangan Bara sudah beranjak dari sana.
Di posisi yang cukup dekat, wajah Bara semakin maju. Leta? Bisa apa selain diam dan mencari pasokan oksigen sebanyak-banyaknya sebelum kehabisan oksigen karena Bara mengikis jarak diantara mereka.
Saat Bara sudah benar-benar dekat pada wajah Leta, sampai hidung mereka menempel, disitulah Leta berusaha mendorong pelan d**a Bara.
"M--mas Bara mau apa?"
"Mau hukum kamu karena kamu ceroboh sampai jatuh kayak tadi," jawab Bara dengan suara yang begitu serak. Lirih sekali, karena memang keduanya begitu dekat saat ini. Bahkan, mereka bisa berbagi pasokan oksigen.
Mata Bara beralih menatap dengan tatapan penuh damba bibir merah muda Leta. Menggoda sekali, ingin rasanya Bara merasakan betapa manisnya bibir sang istri.
Tapi..saat bibir keduanya hampir bersentuhan. Leta berteriak, "Kakiku!! Ssakiitt.."
Seketika itu juga Bara langsung berjingkat, menjauh dari Leta. Ia baru sadar, jika tangannya yang satunya ternyata tidak sengaja memegang kaki Leta yang masih terdapat handuknya, artinya bagian kaki Leta yang sakit.
"Sakittt, Mas Bara!! Jangan dipegang kayak begituu!!"
"I--iya-iya Sayang, maaf. Nggak sengaja. Sumpah, nggak sengaja.." Bara menunjukkan raut wajah penyesalan, ia benar-benar tidak sengaja. Dasar memang! Dirinya sendiri yang kali ini merusak momen romantis yang coba dibangunnya.
"Tau ah! Kamu nyebelin!" Leta masih terus mengaduh kesakitan. Kakinya bisa bengkak jika begini.
Dari luar kamar, Ajeng yang masih menguping justru merasa malu pada apa yang barusan didengar oleh kedua telinganya. "Ekhm, Bara emang nggak tau situasi dan kondisi."
***