- 03 -

2371 Words
Setelah perjalanan selama hampir empat jam dengan pesawat dari Bandara Turkey--Atatürk ke St. Ptersrburg, Rusia. Pria ini akhirnya mendarat dengan selamat di bandara terbesar di St. Petersburg tersebut, Bandara Pulkovo. Sambil menggeret koper berukuran kecil miliknya, Dhanu Prasetya terus berjalan sambil melihat dan mengagumi dalam hati keindahan bandara yang dibangun pada awal tahun 1931 tersebut. Bandara ini dulunya bernama Bandara Shosseynaya, sebelum diubah menjadi Bandara Pulkovo pada tahun 1973. Bandara yang diambil dari nama lama Saint Petersburg yaitu Leningrad ini pertama kali dibuka pada tahun 1932, dan menjadi Bandara yang hanya melayani domestik—sipil, awalnya. Pada saat pengepungan Leningrad pada tahun 1941, ketika Jerman memasuki Uni Soviet yang pada saat itu terminal baru di Bandara ini sedang masih dalam tahap pambangunan, harus terpaksa ditutup sementara hingga akhirnya dilanjutkan setelah p*********n usai, dan berakhir pada 1951. Setelah perang usai, bandara kembali dengan cepat melayani penerbangan sipil, hingga pada tahun 1990, bandara kembali mengalami peningkatan penumpang dan mulai melayani perjalanan domestik lokal hingga perjalanan internasional. Bahkan pada tahun 2005, Bandara internasional ini mapu melayani hingga lima juta penumpang hanya dalam satu tahun. Bukan hanya kemampuannya melayani para pelancong yang berjumlah jutaan dalam satu tahun. Bandara yang terletak sekitar enam belas kilometer dari pusat kota ini juga memiliki sebuah terminanal dengan sss yang sangat megah. Dirancang oleh Grimshaw Architects, dan diresmikan pada tahun 2014 ini, dibuat agar bisa cocok dengan iklim ekstrim di St. Petersburg. Terminal baru ini menampilkan gaya langit-langit lipat atau folded ceilings yang monumental, dibungkus oleh panel-panel besi yang akan langsung mengingatkan para pelancong pada menara-menara gereja bersepuh di kota tersebut. Dengan d******i warna emas yang membuat kemegahannya semakin tak dapat diragukan, serangkaian zona yang berkaitan pun dimaksudkan untuk mencerminkan lanskap pulau dan jembatan-jembatan di atas kanal-kanal yang membentang sepanjang St. Petersburg. Terminal yang resmi dibuka bulan februari tahun 2014 tersebut juga memiliki bangunan dengan atap rata, struktur berlipat di bawahnya juga dapat mendistribusikan berat dari bagian tengah untuk mendukung saat salju turun deras pun sudah sangat diperhitungkan oleh sang arsitek, hingga siapa pun yang menginjakkan kakinya di Bandara tersebut tidak akan merasa menggigil kedinginan meski berada di tengah badai salju sekali pun. Sudah sangat lama Dhanu ingin sekali menginjakkan kakinya di kota penuh sejarah ini. Namun, karena satu dan banyak lagi lainnya, dia baru bisa melakukan hal itu sekarang. Mengunjungi kota yang diberi nama sesuai penguasanya pada saat itu, yaitu Vladimir Lenin. Setelah melakukan pendataan paspor juga menikmati keindahan bandar udara paling terkenal di Eropa Timur tersebut, dia langsung berjalan ke arah luar lobi karena temannya yang tinggal di kota tersebut mengatakan akan menjemputnya di depan lobi. Hanya saja, saat Dhanu tiba di sana, dia tidak melihat apa pun kecuali jejeran taksi yang sedang menunggu penumpang. Beberapa bahkan seperti sudah kehabisan akal dan hanya menunggu di dalam taksinya sambil mengeratkan Palto mereka sambil meminum Wiskey yang mereka bawa untuk menghangatkan tubuh di tengah cuaca dingin seperti ini. . . [ Palto; adalah sejenis jaket tebal berbahan wol berkualitas terbaik untuk menghangatkan pemakainya di tengah musim dingin ekstrim di Rusia yang bisa mencapai -5,5⁰ ] . . Kenapa Rusia bisa menjadi sangat dingin dibanding negara lainnya di Eropa? Jawabannya hanya ada satu, yaitu di letak geografis negara tersebut yang tidak memiliki pegunungan. Sementara udara pada umumnya bergerak dari barat ke timur. Dan seluruh wilayah Rusia dan bagian Eropa yang luas terbuka untuk masa udara, atau angin dingin dari Kutub Utara, karena tidak adanya pegunungan di sepanjang wilayah Rusia yang menahan angin Arktik, menyebabkan Rusia memiliki iklim yang sangat keras dibandingkan negara lainnya yang di benua tersebut. Meski musim dinginnya sangat panjang, sekitar lima bulan, dengan udara yang mencapai -5,5⁰ tersebut, bukan berarti membuat masyarakatnya suka. Mereka mungkin tidak punya pilihan selain terbiasa dengan iklim keras negaranya dan mencoba beradaptasi dengan menggunakan pakaian-pakaian tebal yang terbuat dari wol atau bulu domba yang mereka miliki. Dhanu sendiri ingat bahwa dia pernah membaca sebuah syair yang dibuat oleh seorang sastrawan Rusia bernama, Fyodor Tyutchev yang mengeluh karena musim dingin tersebut, yang berbunyi, “Dosa apa yang kita perbuat hingga dihukum dengan iklim seperti ini. Kadang Anda bertanya pada diri sendiri mengapa Anda dilahirkan di sini.” Dan , Fyodor Tyutchev pun tidak sendirian, di tahun yang berbeda, Ivan Turgenev yang seorang penulis drama di Rusia pun sempat menuliskan sepucuk surat putus asa berisi; “Badai musim dingin mengamuk sejak pagi di dekat jendela saya, menangis. Melolong di jalan-jalan yang suram kota Moskow. Di luar jendela. Dahan-dahan pohon bergoyang, seperti orang-prang berdosa di neraka, sementara lonceng berdentang dengan penuh kesedihan melalui semua ini ....” Meski pun suhu ekstrim dan cuaca dingin yang menggigit hingga ke tulang, tak mengurangi keinginan wisatawan untuk menginjakkan kaki mereka di kota penuh sejarah di tanah Eropa ini. Dan itu juga yang dilakukan oleh Dhanu. Meski dia melihat sekelilingnya sudah tidak hijau lagi karena hampir semua tanah dan pohon yang mulai tertutup salju tipis mengharuskannya mengeratkan Coat tebal yang dia pakai, tak sedikit pun menyurutkan semangat pria berusa tiga puluh tahun ini untuk datang ke St. Petersburg di pertengahan musim dingin seperti sekarang. Selain karena dia ingin menikmati keindahan kota tersebut, Dhanu juga sudah berjanji untuk mengunjungi teman lamanya yang tinggal di kota ini sebelum dia kembali ke Indonesia. Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit akhirnya teman yang ditunggu olehnya pun datang. “Assalamu'alaikum.” Ujar pria sambil melambai dan tersenyum sangat lebar ke arah Dhanu yang masih berdiri di tempatnya. “Wa’alaikumsalam, Han.” Balas Dhanu kemudian merangkul sahabat lamanya tersebut setelah mereka berada sangat dekat. “Akhirnya kamu datang juga ke sini, Dhan?” “Maaf, aku baru punya waktu.” “Ceritakan sama aku, kenapa kamu betah sekali tinggal di Turkey. Ayo, kita ke gubuk aku dan kita minum teh panas di sana sambil ngobrol-ngobrol.” “Teh tubruk?” “Teh tubruk khas Indonesia seperti permintaan kamu.” Ajak pria bernama lengkap Handi Widjojo Kosasih itu sambil merangkul bahu Dhanu, kemudian mereka tertawa bersama. “Naik apa kita? Taksi?” “Oh, ayolah. Harga kargo taksi di sini bisa sangat mahal, bagaimana kalau kita naik kendaraan sejuta umat?” “Angkot?” “Angkot cuma ada di Indonesia tapi, kalau Bus, semua negara punya.” Balas Handi sambil tertawa dan menunjuk ke satu arah di mana ada cukup banyak bus-bus kota yang berjajar menunggu penumpang. Handi membantu Dhanu menggeret koper berukuran kecil miliknya menuju ke halte bus yang ada di terminal tersebut. Meski tidak penuh dan harus menunggu selama beberapa lama sampai bus mulai berangkat, tetap saja bus adalah kendaraan yang mereka pilih karena harganya yang lumayan murah dibanding dengan menyewa sebuah taksi, yang bukan tidak mungkin kalau sopirnya akan berlaku curang dengan menaikkan harga sewa dan sudah sedikit banyak memanipulasi angka-angka yang ada di kargo mereka. Karena, jika bukan beberapa orang yang sedikit dikejar waktu saja yang berani menyewa taksi yang mengkal di terminal bandara, tidak ada lagi yang berani menyewa taksi-taksi tersebut. Alhasil, para sopir pun sedikit kesulitan mendapatkan penumpang. Terutama jika mereka bertemu dengan orang-orang semacam Handi juga Dhanu yang lebih memilih naik bus seperti sekarang. “Bilang sama aku, kenapa kamu nggak ambil beasiswa S2 kamu aja ke Al Azhar? Terus, apaan ini? Kamu malah milih kerja di Turkey, begini?” Handi memulai percakpan mereka saat bus sudah mulai bergerak meninggalkan terminal meski dari 100% bus hanya menampung sekitar 20% -nya saja. “Aku kuliah sambil kerja kok, dulu.” Jawab Dhanu sedikit tersenyum mendengar pertanyaan temannya tersebut. “Kuliah apa kamu di Turkey? Aku tuh lihat benar-benar, ya, alau nama kamu itu ada di daftar penerima beasiswa ke Kairo waktu itu tapi, kamu malah nolak, terus malah lebih milih jadi asistennya Profesor Ruhiyat waktu itu, terus sekarang, kamu malah tiba-tiba muncul di Turkey? Ada apa ini? Kamu ngapain di sana, kerja apa?” "Kerja halal, lah. Insya Allah." "Masya Allah, aku tahu kamu kerjanya halal tapi, kamu sudah sia-siakan kesempatan besar kamu buat lanjut S2 di Al Azhar." Handi memberondong Dhanu dengan banyak sekali kalimat-kalimat pedas yang seolah memojokkannya. Namun, pria ini hanya menanggapi semua itu dengan sebuah senyum lembut. Dhanu sudah mengenal Handi sejak mereka masih duduk di bangku kuliah di Indonesia, Handi terkenal sebagai seorang aktivis yang aktif menyuarakan pikirannya pada pemerintah, bahkan kegiatannya itu sudah membuahkan banyak sekali anggota yang tersebar hampir di seluruh Indonesia dan berpusat di Bandung. Namun, karena Handi pindah ke St. Petersburg setahun terakhir, untuk alasan pekerjaan, Handi harus rela meninggalkan organisasi yang dia bangun dari nol. Meski demikian, Handi masih aktif mengikuti perkembangan kepemerintahan di Indonesia meski sekarang, dia sudah tinggal di negara ini. Terbukti dengan beberapa percakapan mereka via w******p, Handi selalu menceritakan bagaimana negara tercintanya sekarang berubah menjadi sangat b****k setelah hampir lima tahun Dhanu tinggalkan. Kendati demikian, Dhanu tidak terlalu mempermasalahkan obrolan mereka. Pria berkacamata dengan janggut tipis dan wajah khas Manado ini memang sudah tidak pernah berbasa-basi lagi dengan Dhanu, karena selain mereka berteman sudah cukup lama, Handi juga pernah ditampung cuma-cuma oleh Dhanu saat kesulitan ekonomi menyudutkannya dulu. Karena itu, Dhanu pun sudah merasa tidak seperti pada orang lain dengan Handi yang meski pun pemikiran mereka sedikit bertolak belakang, tetap saja Dhanu selalu menganggap Handi adalah teman baiknya. “Aku dengar kamu sudah menikah, Han?” Dhanu mengalihkan pembicaraan mereka. “Ah, iya. Maafin aku,” Handi akhirnya mengikuti plot yang dibuat Dhanu, “aku nikah setahun lalu, nikahnya juga di Indonesia, di kampung kamu, tetanggaan kita sekarang.” “Istri kamu orang Tasikmalaya ?” “Garut, sih sebenarnya. Tapi, dia Mondok di Tasik, terus tinggal di sana, waktu aku sedang ada seminar di sana, nggak sengaja ketemu sama istriku ini, terus kami Ta'aruf dengan bantuan Kyai Widjaya, Kyai di pondoknya istriku waktu itu, dan kami menikah dua bulan selanjutnya.” “Abis menikah, kamu langsung bawa istrimu ke sini?” “Iya, kasihan juga kalau kutinggal di Indonesia. Kontrak kerjaku di sini kan juga lumayan lama, empat tahun dengan masa perpanjangan satu tahun, juga kuliahku yang masih sisa di tahun yang sama. Lumayan lah, buat kami bulan madu juga.” “Bener juga, pinter kamu, Han.” Tawa renyah Dhanu mengiringi perjalan mereka. Bus yang membawa mereka terus melaju di jalanan beraspal yang tertutup sedikit salju tipis, bus terus melaju di Slavy Ave dan berhenti di sekitar jalan Bukharestskaya. Dan memaksa dua sahabat ini untuk turun dari Bus. “Kamu tinggal di sini Han?” tanya Dhanu saat melihat jalanan sekitarnya. Halte bus itu berhadapan langsung dengan sebuah gedung apartemen berwarna merah bata dengan beberapa toko di bagian bawahnya, tidak jauh berbeda ketika Dhanu berada di Turkey, beberapa pepohonan yang sengaja ditanam pun terlihat bersepuh salju dengan dedaun yang sudah rontok sempurna karena musim dingin. “Bukan apartemen yang itu, di belakang.” Tunjuk Handi ke arah gedung apartemen berwarna merah bata itu. Namun, hanya dengan sekali tunjukkan itu, Dhanu sudah tahu bahwa apartemen temannya ini berada di belakang gedung tersebut. Bukharestskaya Ulista, 41k1 Apt. Nomer 110, Frunzenskiy—Saint Petersburg. Tulis papan bangunan tersebut. Gedung apartemen di mana Handi tinggal berada di belakang gedung apartemen tepi jalan tadi, meski sedikit memutar tapi, tempat itu memiliki lahan yang sangat luas, mungkin seluas lapangan bermain sepak bola untuk anak-anak, dengan pepohonan yang terlihat rindang ditanam di tiap sisinya. Jika saja ini bukan bulan Desember, mungkin Dhanu bisa melihat pohon itu bergoyang diterpa angin sepoi yang sejuk, menyeruakkan rumput hijau di bawahnya bahkan mungkin ada beberapa jenis bunga liar yang juga akan tumbuh di sana. hanya saja, ini bukan musim panas seperti yang Dhanu harapkan. Bukan hanya itu, di bawah pohon besar nan rindang tersebut juga terdapat wahana bermain anak-anak, seperti perosotan, ayunan juga jungkat-jungkit dan mungkin ada sebuah kolam pasir juga kalau tanahnya tidak tertutup oleh salju. “Kamu sengaja pilih apartemen di lingkungan sini, Han?” tanya Dhanu penasaran. “Di lingkungan sini ada kindergarten, sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Aku rasa, tempat ini cocok untuk membesarkan seorang anak.” “Ah, kamu benar. Aku harus jadi orang pertama yang dia panggil paman setelah ini.” “Haha ... ayo, flat –ku ada di lantai empat. Kamu pasti kaget sama cantiknya anak aku, Dhan.” Puji Handi untuk anak kandungnya sendiri. Tentu saja, saat pertama kali Handi menelepon Dhanu, pria kelahiran Manado tiga puluh dua tahun silam ini mengatakan bahwa Dhanu sudah menjadi seorang Paman. Dan itu, yang mendorong Dhanu untuk datang ke St. Petersburg secepat yang dia bisa setelah kontrak kerjanya berakhir. Brugh. Saat sedang asik berjalan melewati lapangan luas itu, tiba-tiba Dhanu ditabrak oleh seorang wanita yang berlari dari arah berlawanan. Karena terlihat sedang sangat tergesa-gesa, bukannya wanita itu yang meminta maaf tapi malah Dhanu yang melakukannya. “Prosti menya." [ "Maafkan saya" ] ucap Dhanu sambil membantu wanita itu memungut beberapa buku miliknya yang terjatuh karena bertabrakan dengan Dhanu barusan. Hanya saja, dari beberapa buku yang dipungut oleh Dhanu, salah satunya adalah sebuah Al-Qur'an yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. "Prosti, ya toropilsya." [ "Saya buru-buru." ] Ujar wanita itu sambil menarik bukunya dari Dhanu paksa. Kemudian berjalan pergi dengan langkah yang cukup lebar. Seperti katanya, wanita itu terlihat sangat terburu-buru. "Nggak sopan amat sih tuh, perempuan." Handi berkomentar saat melihat Dhanu yang sudah menolongnya tapi malah diperlakukan kasar seperti itu. "Sabar, Han. Dia bilang, kan lagi buru-buru." Dhanu mengelus punggung Handi agar temannya itu sedikit lebih bersabar. "Ya, tapi, seenggaknya dia minta maaf dengan cara baik-baik, begitu. Nggak asal meleos gitu aja." Ngototnya. Dhanu hanya terkekeh melihat bagaimana Handi memprotes. Tentu saja, meski mereka sudah lama tidak bertemu, tetap saja, sifat keras dan sedikit tidak mau mengalah dari Handi tidak berkurang sama sekali. Sambil terus mencoba menenangkan temannya itu, Dhanu kembali mengalihkan topik mereka dan mengajak Handi untuk segera mempertemukannya dengan sang keponakan. "Ya udah, ayo." Ajak Handi, kembali menggeret koper milik Dhanu bersamanya. Sementara pandangan Dhanu kembali teralihkan pada wanita yang baru saja bertabrakan dengannya. Wanita itu memiliki rambut panjang sepinggang yang lurus, dengan warna kelam yang indah, sangat cocok dengan coat marun yang dia kenakan. Ransel kecil berwarna coklat yang dia gendong beberapa kali terlihat turun dan beberapa kali pula dibenarkan olehnya sambil terus berjalan. Dhanu memang hanya sekilas melihat wajah wanita itu. Namun, meski hanya sekilas, Dhanu harus mengakui bahwa wanita itu terlihat sangat cantik. "Masya Allah, mikir apa aku ini?" Gumam Dhanu sambil mengusap wajahnya dan menyusul Handi yang sudah berjalan lebih dulu. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD