"Terima kasih, Reno. Kamu sudah mau membantuku mengantar Zavon ke sekolah. Aku tidak tahu bagaimana caraku mengatur waktu lagi. Aku harus mengurus Dante. Sekedar terima kasih saja sepertinya tidak cukup." Ungkap Cinta.
Reno tersenyum, menutup pintu mobilnya setelah Zavon berhasil masuk. Pagi ini, ia akan mengantar anak kecil itu bersekolah untuk pertama kalinya setelah kembali lagi ke Jakarta.
Reno, seorang dokter, namun masih mau menambah kesibukannya dengan mengantar Zavon. Meski bagaimana pun, papa Zavon ialah sepupunya. Secara tidak langsung, seharusnya Cinta Anantasya tidak perlu terlalu berterimakasih padanya, terlebih ia juga punya hubungan kekeluargaan dengan anak itu.
"Tidak perlu seperti itu, Cinta. Aku juga senang bisa menemani Zavon. Toh dia juga keponakanku, bukan orang lain. Sudahlah, kamu tenang saja
Kamu fokus dengan Dante saja. Kasihan kalau dia ditinggal sendiri, meski dia belum siuman." Ujar Reno.
Cinta mengangguk, menatap Reno penuh kekaguman. Pria ini hampir saja menjadi suaminya, kalau tidak terjadi halangan di malam itu. Perasaan suka Reno pada Cinta perlahan surut ketika melihat perjuangan sepupunya untuk mendapatkan Cinta kembali.
"Uncle! Ayo kita ke sekolah!" Teriak Zavon. Suara lucu nan imut itu membuat Cinta dan Reno tertawa mendengarnya.
"Baiklah, aku senang mendengarnya kalau kamu perduli dengan anakku. Hati-hati di jalan, bawa putraku dengan selamat nanti." Ucap Cinta.
Reno masuk ke dalam mobilnya, melambaikan tangan pada Cinta kemudian meninggalkan area rumah sakit, tempat dimana Dante di rawat akibat kecelakaan yang menimpanya.
"Kamu pria baik. Aku harap suatu hari nanti kamu bisa menemukan perempuan yang tepat, yang bisa memberikanmu cinta dan kasih sayang sepenuhnya, Reno. Aku berharap tidak ada kesulitan untukmu." Gumam Cinta, selagi melihat mobil pria itu yang perlahan di makan jauhnya aspal perjalanan.
***
"Uncle, tunggu Zavon di luar sini ya. Soalnya kalau uncle masuk, nanti takutnya dimarahi sama ibu guru." Ujar Zavon. Ia menarik sweater milik Reno, membuat pria itu mensejajarkan tubuhnya segera.
Reno tersenyum manis pada Zavon, dibalas pula oleh anak itu. Reno merapikan seragam sekolah Zavon, memeriksa kembali tas bawaan Zavon.
"Sudah lengkap. Kamu masuk dan belajar yang rajin ya. Nanti uncle tunggu di depan. Kalau sudah pulang, cari saja uncle di sana, ya."
Zavon mengangguk. Dia mengecup singkat pipi Reno dan berlari masuk ke dalam kelasnya. Memastikan anak itu masuk ke kelasnya dengan baik, Reno berjalan menuju taman sekolah ini. Menunggu keponakannya pulang sekolah.
Ini bukan hari piketnya, membuatnya punya banyak waktu untuk menunggu Zavon pulang. Jika tidak, mungkin dia hanya sekedar mengantar saja atau membiarkan nenek Zavon untuk menunggu.
Sambil menunggu, sama seperti anak muda pada umumnya, ia menghabiskan waktu untuk menscroll media sosial. Tapi seperti biasa, vibes anak kedokteran memang lah berbeda. Ia mencari media sosial yang akan memberinya informasi seputaran kesehatan supaya semakin menambah pengetahuannya. Sekedar membaca dari buku saja tak cukup, pengalaman dan praktik langsung itu utama.
Drt... Drtt....
Reno mengernyitkan dahinya ketika melihat nama yang tertera di screen ponselnya. Pasalnya, dokter ini bukan lah dokter yang yang akan punya banyak waktu luang untuk sekedar menelponnya, kecuali ada hal yang sangat urgent. Langsung saja, Reno menerima panggilan itu.
"Hall--"
"Cepat ke rumah sakit!" Perintah dokter itu langsung saat Reno hendak memberikan salam padanya.
"Memangnya kenapa, dok? Saya sedang menunggu keponakan saya yang masih sekolah. Mungkin sekitar dua atau tiga jam lagi baru saya bisa ke rumah sakit. Saya tidak bisa meninggalkannya sendirian." Jelas Reno.
"Ini tidak bisa ditunda, dokter Reno. Izin saja pada guru keponakanmu dan bawa dia kemari. Cepat, bantu saya dalam operasi kali ini. Saya membutuhkan bantuanmu."
Reno melihat jam yang melingkar di tangannya, memperhitungkannya lama. Dia tidak langsung menjawab, namun menimbang-nimbang kembali apa yang harus dia ambil.
"Apakah tidak ada yang bisa menggantikan saya untuk sementara waktu? Ada begitu banyak dokter disana. Gantikan saya sementara, nanti saya akan menggantikannya lagi sesaat setelah sampai di ruang operasi."
"Tidak. Tidak bisa. Sekarang juga kamu harus kemari atau dia akan kehilangan nyawa. Kamu pikirkan ini sekali lagi."
Reno menghela nafasnya kasar. "Baiklah, saya akan ke sana. Saya akan segera kesana bersama keponakan saya."
"Baik. Cepatlah datang!"
Reno mematikan ponselnya. Masih agak ragu untuk masuk ke dalam kelas, terlebih pembelajaran sudah di mulai. Mengumpulkan niat dan keberanian, Reno mengetuk pintu kelas Zavon. Sontak, ia menjadi sorotan semua orang yang ada di sana.
Reno mendekati guru Zavon. Dengan berat hati, dia menceritakan masalahnya dan harus membuat Zavon lebih dulu pulang dibandingkan siswa yang lainnya.
"Maafkan saya, tapi saya baru saja mendapatkan perintah mendadak dari atasan. Apakah saya bisa membawa Zavon untuk pulang lebih dulu dibandingkan jadwal sekolah yang seharusnya? Saya takut membiarkannya sendirian di sini." Ungkap Zavon.
Dengan cepat guru tersebut mengiyakan izin Reno. "Tentu saja."
***
Reno membiarkan Zavon sendirian menunggu di luar, tepatnya di salah satu bangku panjang di lorong rumah sakit. Anak laki-laki itu memainkan ponsel Reno untuk main game, membuatnya tidak merengek mencari Reno ataupun mamanya ketika sendirian. Ia sibuk dengan dunianya sendiri.
Tiba-tiba ponsel Reno malah mati. Habis baterainya. Zavon kebingungan harus melakukan apa, lalu dengan santainya malah memasukan benda persegi panjang itu ke dalam tasnya. Ia memperhatikan sekitarnya, kiri-kanan tidak ada orang.
Membiarkan tasnya, Zavon meninggalkan tempatnya. Ia berjalan tanpa arah, tidak mengetahui kemana dia berjalan saat ini. Ia berlari ketika melihat brankar yang di dorong, mungkin baginya itu adalah hal yang menarik. Namun ketika dia berlari, ia malah menabrak seseorang.
Brak!
"Eh, maaf!" Ujar seorang perempuan spontan. Ia membantu Zavon untuk berdiri. Membersihkan seragam sekolah anak itu.
Zavon tidak menangis. Ia justru menatap perempuan yang membantunya saat ini. Kemudian tertawa tidak jelas sambil menunjuk perempuan itu. Tentu saja, hal ini sangat lah membingungkan.
"Kenapa, nak?" Tanya perempuan itu.
"Ibu guru ya?" Tanya Zavon.
Perempuan itu menatap diri. Kemudian paham dengan yang dikatakan Zavon. Pasalnya ia masih menggunakan baju untuk mengajar, membuat semua orang pasti langsung tahu kalau ia adalah seorang guru saat ini.
"Ah, iya. Saya guru. Kenalin, saya ibu guru Nadin. Namanya siapa?"
Perempuan bernama Nadin itu memberikan tangannya pada Zavon. Dengan cepat, Zavon juga menyambut tangan Nadin.
"Zavon, Bu guru." Ujar Zavon.
"Zavon? Namanya indah sekali. Tahu gak artinya apa?" Tanya Nadin, memasang wajah ceria.
Zavon menggeleng. "Memangnya apa, ibu guru Nadin?" Tanya Zavon terdengar polos.
"Zavon itu artinya pemimpin, pekerja keras dan penuh semangat. Sama seperti Zavon sekarang!"
Nadin mencolek hidung mancung Zavon, membuat anak itu tertawa. Tanpa ada hujan, tanpa ada angin, Zavon memeluk Nadin membuat perempuan itu kebingungan.
"Zavon suka ibu guru Nadin. Kayak mama," ujarnya polos. Seketika hal itu membuat Nadin tersenyum manis dan memeluk balik tubuh anak itu.
"Siapa kamu?"
Nadin sontak melepaskan pelukan Zavon dan berdiri di depan seorang pria yang tiba-tiba menanyakan perihal siapa dirinya.
Nadin tersenyum, mengajukan tangannya. "Kenalkan, saya Nad--"
"Saya tidak menanyakan nama kamu, tapi lebih tepatnya siapa kamu bagi anak kecil itu sampai kamu memeluknya seperti itu?" Tanya pria itu terdengar dingin, membuat Nadin menjadi pihak yang serba salah.
Siapa lagi kalau bukan Reno. Menjadi dingin pada seseorang yang baru dikenalnya, padahal pekerjaannya sangat membutuhkan setiap senyumannya agar setiap pasien yang menghadap padanya bisa senyaman mungkin dengannya.
Dulu, ketika baru bertemu dengan Cinta, sangat lah berbeda. Ia langsung menjadi pria yang begitu perduli, memperhatikan setiap hak yang dirasakan perempuan itu. Nyatanya, dengan Nadin, ia berbeda. Apakah ia mengalami sedikit trauma akibat kegagalan cintanya?.
"Saya hanya tid--"
Reno langsung melengos. Membawa Zavon pergi dari hadapan Nadin, membiarkan tangan perempuan itu menggantung begitu saja.
Meski dingin Reno menusuk hingga menggoreskan sedikit kecewa, akan tetapi Zavon berusaha untuk mencairkan suasana. Ia melambaikan tangan pada Nadin, membuat perempuan itu sedikit lega. Melambaikan tangannya balik pada Zavon.
"Anak yang baik," gumam Nadin, pergi dan melanjutkan tujuannya di tempat ini.