Alarm Reno berdering. Ia sontak melepas jas sucinya, menggantinya dengan baju yang sebelumnya dan langsung keluar dari ruang kerjanya. Ia sudah berkoordinasi sebelumnya kalau dia akan pulang lebih cepat dibandingkan biasanya.
"Pagi banget pulangnya, dok?" Tanya seorang perawat perempuan saat ia melintasi lorong rumah sakit.
"Eh, iya. Saya mau jemput keponakan saya. Nanti kalau ada yang perlu, bisa telpon saya. Saya duluan ya!"
Reno berlari, dengan cepat keluar dari rumah sakit. Sepintas, ia melambaikan tangannya ke beberapa staff rumah sakit yang menyapanya. Langsung menuju parkiran dan menancapkan gas menuju sekolah Zavon.
Di tengah perjalanan, Reno berhenti di sebuah toko cake dan roti. Ia membeli satu cake tar, entah untuk siapa. Dan ya, dia terlihat sangat senang.
Perjalanan sangat enjoy sampai di sekolah Zavon. Sebelumnya, Reno sudah mengatur waktu empat puluh menit sebelum kepulangan Zavon, sehingga kini ia punya waktu sekitar sepuluh menitan untuk menunggu.
Nyatanya, tak perlu sampai sepuluh menitan, banyak yang sudah keluar dari kelasnya. Reno keluar untuk menghampiri kelas Zavon, menunggu anak itu keluar. Ia melambaikan tangan pada Zavon yang masih sibuk memasukkan alat-alat sekolahnya. Tak lupa pula ia melambaikan tangan pada salah satu guru yang mengajar di kelas Zavon.
"Uncle!" Panggil Zavon, berlari menghampirinya. Bak seorang ayah, Reno merentangkan kedua tangannya, memeluk Zavon dengan tangan terbuka.
"Gimana sekolahnya?" Tanya Reno.
Zavon hanya mengangguk saja menanggapi Reno. Ia tidak melakukan hal yang lebih atau sekedar bercerita apa saja yang ia rasakan selama bersekolah hari ini. Tak mau memperpanjang, Rejo segera mengajak Zavon untuk ke dalam mobilnya.
"Anaknya ya?" Tanya salah satu ibu-ibu ketika Reno menutup pintu mobil saat Zavon sudah berhasil masuk.
"Tidak, bu. Keponakan saya." Jawab Reno. Tatapan ibu itu sangat tidak bersahabat, terlebih ketika Reno menolak pernyataan dari ibu tersebut.
"Oh." Responnya begitu saja dan meninggalkan Reno dengan ekspresi yang kebingungan.
"Kenapa? Memangnya ada yang salah?" Tanya Reno, langsung masuk ke mobil tanpa memperpanjang hal itu lagi.
Reno memasangkan sabuk pengaman untuk Zavon dan memasangkannya juga untuknya. Sekilas, Reno kembali memperhatikan kue tar yang sempat dibelinya. Ia menaruhnya di kursi penumpang.
"Uncle, kuenya untuk siapa?" Tanya Zavon.
"Untuk ibu guru. Bukannya kita mau kesana setelah ini?" Tanya Reno.
Zavon mengangguk polos.
***
Tidak lama, Reno sudah datang di rumah Nadin. Begitu semangat Zavon berlari, mengetuk pintu dengan tidak sabaran, bahkan begitu juga dengan Reno. Pria dewasa itu tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang perjalanan, namun ketika pintu hendak dibuka, raut wajahnya seketika berubah menjadi dingin, padahal dia belum tahu siapa yang membuka pintu itu untuk mereka. Ceritanya, mau berubah jadi pria yang cool, pria yang sulit untuk digapai. Namun pada kenyatannya? Hmm.
"Hai!" Sapa Gina.
Ternyata Gina lah yang membuka pintu untuk mereka. Baik Reno ataupun Zavon sama-sama kecewa, namun Reno tidak terlalu memperlihatkannya. Dengan terpaksa dia memberikan kue tar itu untuk Gina.
"Ayo masuk!" Ajak Gina.
Reno dan Zavon melepas sepatunya dan masuk ke dalam. Raut wajah Zavon cemberut. Dia seakan tidak bertenaga sama sekali.
"Aku buatkan teh, ya?"
"Tidak perlu." Tolak Reno.
"Oh, oke."
Gina duduk di samping Zavon, akan tetapi anak itu langsung pindah. Ia duduk di dekat Reno, bersembunyi dibalik tubuh pria itu seakan dia takut dengan Gina. Memangnya dia menatap Gina seperti apa?.
"Gak ada ibu guru Nadin." Gumam Zavon pelan. Ia memainkan kemeja pamannya.
"Oh, kalian mencari kak Nadin, ya?" Tanya Gina.
Reno hanya nyengir saja, sedangkan berbeda dengan Zavon yang mengangguk begitu semangat. Dia bahkan kini berani mendekati Gina, demi mendapatkan jawaban atas keberadaan ibu guru kesayangannya.
"Dimana dia?" Tanya Reno. Seketika, Gina menatap Reno lekat.
" Oh, bukan aku yang mencarinya. Tapi, Zavon." Koreksi Reno. Dia bahkan menyalahkan keponakannya atas rasa yang ia tidak ingin semua orang ketahui.
"Sepertinya kak Nadin belum memberitahu kalian kalau dia pergi ke luar kota untuk menemui kerabat. Salah satu kerabat ada yang meninggal, jadi dia pergi ke sana untuk satu Minggu ke depan. Kalian tidak tahu?"
Reno dan Zavon menggeleng serempak.
"Kalian serempak sekali, membuatku cemburu." Ujar Gina, suaranya agak mengecil.
"Kalau misalnya kalian ada yang perlu disampaikan, sampaikan saja padaku. Nanti malam aku akan menyampaikannya." Tawar Gina.
"Tidak perlu, Gina. Terimakasih."
"Hmm, kenapa kamu tidak ikut dengan kakakmu?" Tanya Reno.
"Tidak. Kalau aku pergi, tidak ada yang menjaga rumah. Lagipula, kalau aku pergi pun mau ngapain? Pasti kak Nadin juga melarangku untuk melakukan ini-itu. Dia suka melakukannya sendirian." Ujar Gina.
Reno hanya mengangguk saja. Dia sudah tidak punya stok topik pembicaraan lagi. Alasannya kesini sudah tak berguna lagi. Nadin tidak ada di rumahnya, lalu untuk apa dia berlama-lama disini?.
"Kalau begitu, kami pulang dulu. Mungkin nanti aku akan menghubungi Nadin sendiri. Ada sesuatu yang harus aku katakan padanya." Alibi Reno.
Gina mengantar keduanya ke depan rumah. Ia juga sedikit kecewa, kedatangan mereka bukan untuknya. Padahal, saat ia melihat kedatangan Reno, membuatnya begitu semangat.
"Kak Reno, " panggil Gina sebelum Reno masuk ke mobilnya.
"Iya?"
Gina menyodorkan ponselnya, "bisakah Gina dapat kontak kakak. Kali aja nanti Gina ada perlu sama kakak." Ujarnya.
Cukup lama Reno menatap ponsel itu. Tidak lama, ia tertawa kecil. "Maaf, Gina. Tapi, aku tidak sembarangan memberikan kontak ku. Kalau kamu mau, kamu boleh mengambilnya dari kakakmu. Oke?"
Telak. Reno menolak Gina. Gina hanya bisa tersenyum, meski dalam hati perasaannya sudah kecewa. Dia mengangguk, berusaha tetap tersenyum manis.
"O-oke. Nanti aku meminta kontak kakak di kak Nadin. Kalian hati-hati lah. Aku masuk duluan ke rumah."
Dengan kekecewaan yang baru saja dia dapatkan dari Reno, Gina kembali masuk ke rumahnya. Malu, kecewa, perasaan itu bercampur jadi satu.
***
"Kenapa wajah kalian terlihat muram seperti itu?" Tanya Cinta, melihat raut wajah Reno dan Zavon yang mengkerut.
Tentu saja hal itu sangat membingungkan bagi Cinta, terlebih tadi pagi ekspresi mereka seratus delapan puluh derajat kebalikan dari ini semua. Ia sampai kebingungan mau melakukan apa untuk keduanya.
"Kalian mau makan?" Tanya Cinta
Mereka menggeleng, serempak.
"Lah, terus kalian mau apa? Aku jadi bingung." Ujar Cinta.
Ia memikirkan kembali alasan paling logis yang membuat keduanya seperti ini. Ia teringat tentang topik tadi pagi, tentang ibu guru yang disukai oleh Zavon.
"Nadin..." Gumam Cinta pelan. Namun, anehnya reaksi keduanya sangatlah cepat ketika mendengar nama itu disebutkan.
"Ooo... Ini ada hubungannya dengan ibu guru cantik itu, ternyata. Reno, ajak lah dia sekali-kali bertemu denganku. Kali aja kita bisa satu frekuensi, jadi teman yang dekat, kan?"
"Mama, ibu guru di luar kota. Seminggu lagi baru pulang." Ujar Zavon, semakin membuat ekspresi Reno cemberut.
Sengaja terkejut dengan ucapan putranya, "pantas saja uncle Reno jadi sedih. LDR ternyata..." Ejeknya.
"Kamu tidak pacaran, Cinta." Reno berusaha membela dirinya.
"Iya. Maksudku, LDR ini hanya berlaku untukmu, bukan untuk Nadin." Ucap Cinta memperjelas.
"Padahal kami sudah beli kue buat ibu guru Nadin." Ujar Zavon lagi, tanpa menyembunyikan apapun. Ia membongkar semuanya.
"Astaga, berarti uncle Reno sudah di tolak sama ibu guru cantik Nadin, Zavon." Ucap Cinta. Naasnya, Zavon mengangguk. Menyetujui perkataan mamanya.
"Aku pulang!"
Reno kesal. Ia keluar dari ruang rawat Dante.