Dua Sahabat

2450 Words
Selamat membaca! Melihat Sierra yang tengah ketakutan, membuat Evans semakin terdesak dengan posisinya saat ini. Ia merasa tidak yakin bahwa dua pistolnya akan lebih cepat dari tembakan Aaron yang kini sudah menempelkan pistolnya dengan erat pada pelipis Sierra. "Sial, apa yang harus aku lakukan?" batin Evans benar-benar bingung. Oscar berdecih kesal, saat melihat sahabatnya yang masih saja kekeh ingin menyelamatkan Sierra. "Sudah menyerah saja! Aku tidak akan membunuhmu jika kau membiarkan kami membawa Sierra." Evans menautkan kedua alisnya dengan kedua tangan yang masih membidik kedua arah yang berbeda. Pandangan pria itu seketika tertuju pada seorang wanita yang melangkah sambil mengendap-endap di belakang mobilnya dengan memegangi sebuah balok kayu pada tangannya. "Siapa wanita itu? Tapi sepertinya dia berada dipihakku," gumam Evans mulai merasa tenang karena ia melihat ada sebuah harapan untuk bisa lolos dari situasi ini dan menyelamatkan Sierra. Tak berapa lama kemudian, wanita itu menghantamkan balok yang digenggamnya pada bagian kepala Aaron dengan sekuat tenaga. Membuat pria itu terkapar jatuh dan langsung tak sadarkan diri dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Sierra pun seketika beringsut mundur dengan menjauhi tubuh Aaron yang sudah tak berdaya. Kedua matanya kini mulai menatap wajah wanita yang sudah menolongnya dengan berkaca-kaca. Ternyata wanita tersebut adalah sahabatnya yang bernama Mauren. Secara kebetulan, saat dirinya melintas dari kejauhan ia sudah dapat mengenali Sierra dan melihat situasi yang mencekam itu. "Kau sudah aman Sierra, tenanglah!" Mauren memeluk Sierra yang tengah gemetar hampir di sekujur tubuhnya. "Aku takut," ucap Sierra dengan bibir yang juga tampak gemetar, wajahnya ikut memucat karena nyaris saja hidupnya akan berakhir, apabila Aaron melepaskan tembakannya. Berbeda dengan Sierra yang coba menenangkan diri dalam pelukan sahabatnya, Oscar tampak mulai dipenuhi amarah setelah melihat kondisi rekannya yang lumayan parah. Bagaimana tidak, saat ini bagian kepala Aaron terus saja mengeluarkan darah. Membuatnya cemas, apakah Aaron akan mampu bertahan bila ia tak segera dilarikan ke rumah sakit? "Kurang ajar sekali wanita itu," kecam Oscar dengan wajah murka. Sambil membawa rasa bencinya, ia mulai melangkah untuk menghampiri Mauren dan Sierra. Namun, dengan sigap Evans langsung menghadangnya. "Kalian mundur dan berlindunglah di balik mobil itu!" Evans menunjuk ke arah tempat yang ia pikir cukup aman dari bidikan pistol milik Oscar. Tanpa bertanya, Mauren pun segera memapah tubuh Sierra yang terlihat lemah. Namun, hal itu tak mengurungkan niat Oscar untuk tetap menghabisi Sierra, walau ia sadar harus melewati hadangan sahabatnya terlebih dahulu. "Mari kita selesaikan semua ini, Evans!" titah Oscar sambil menyimpan pistol di balik selipan celana yang dikenakannya. Melihat Oscar tengah bersiap mendekatinya, Evans pun sudah bersiap dengan kuda-kuda terbaiknya. Ia pun menerima tantangan Oscar untuk berhadapan satu lawan satu tanpa senjata dengan meletakkan kedua pistol miliknya di aspal. Baru saja Evans kembali melihat Oscar, tiba-tiba sebuah tendangan keras langsung mengarah pada tubuhnya. Namun, tendangan tersebut berhasil ditahan dengan kedua tangan yang menyilang di depan dadaanya. Tak cukup sampai di situ, Oscar kembali melancarkan beberapa pukulan pada wajah Evans yang dengan cekatan berhasil dihindari. Sampai akhirnya, sebuah pukulan dengan siku tangan Oscar berhasil berlabuh telak mengenai hidung Evans yang seketika langsung melangkah mundur sambil memegangi hidungnya yang sudah mengeluarkan darah akibat pukulan itu. "Aku tidak akan segan-segan, walau aku sangat sedih harus membunuhmu, tapi jangan salahkan aku karena ini adalah jalan yang telah kau pilih!" Oscar kembali maju menyerang Evans yang kondisinya masih belum siap menerima serangannya. Oscar memukul telak rahang Evans, lalu serangan berikutnya pria itu menendang ke arah perut sahabatnya sebanyak dua kali hingga membuat Evans langsung terkapar jatuh sambil mengeluarkan bercak darah dari mulutnya. "Sepertinya kau belum juga sadar bahwa kau itu bukanlah tandinganku, Evans!" Oscar kini sudah mengeluarkan pistol dari balik celananya dan langsung menodongkan pistol itu ke arah kepala Evans yang kini sedang meringkuk dengan menahan sakit pada area perutnya. Evans melihat ke arah Sierra dan Mauren yang saat ini sudah berada di dalam mobil dan bersiap untuk pergi. Evans pun tiba-tiba terkekeh sangat puas, suaranya begitu lantang terdengar, walau lagi-lagi bercak darah kembali keluar dari mulutnya. "Memangnya kau pikir aku kalah?" tanya Evans dengan mengangkat kedua alisnya. Evans pun berdecih sambil mencoba bangkit, walau terlihat masih tidak mampu. "Setidaknya walau aku terluka yang terpenting bagiku adalah semua rencanaku berhasil dan kau melupakan target buruanmu, Oscar!" imbuhnya masih dalam keadaan menahan rasa sakit di bagian perutnya. Oscar tiba-tiba tersadar akan keberadaan Sierra yang menjadi target untuk dibunuhnya terlebih dahulu. Namun, saat ia melihat ke arah belakang tubuh Evans, sebuah mobil sudah melaju dengan cepat meninggalkan keduanya. Mauren berhasil membawa Sierra pergi dan lolos dari maut yang sedang memburunya. Oscar begitu geram atas kegagalannya karena terlalu asyik menyerang Evans, ia jadi melupakan Sierra yang harus dibunuhnya. "Jadi ini memang rencanamu ya!" Oscar berdecih kesal mencengkram kerah kemeja Evans, membuatnya bangkit dengan ketidakberdayaannya. Oscar kembali memukul wajah Evans berkali-kali hingga babak belur. Kejadian yang membuat Sierra yang masih dapat melihatnya dari kaca belakang mobil menjadi sangat iba hingga bulir air mata mulai deras menghujam, membenamkan wajahnya. "Apa begitu besar cintamu untukku, Evans? Sampai kamu rela menahan sakit demi menyelamatkanku," batin Sierra yang begitu terpukul melihat apa yang terjadi dengan Evans. Mauren pun menambah kecepatan mobilnya hingga kedua sosok pria yang tengah terlibat pertikaian itu kini tak lagi terlihat. "Kita aman Sierra, sekarang aku akan membawamu pergi dari kota ini! Maafkan kesalahanku yang telah menyuruhmu kembali. Aku menyesal karena semua ini bisa terjadi, tapi aku bersyukur, sepertinya Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk memperbaikinya dengan mempertemukan kita hingga aku dapat menolongmu." "Aku ingin kita kembali dan menolong, Evans!" Sierra begitu terisak memohon kepada Mauren. Namun, sahabatnya itu tak mendengar permintaannya, ia masih terus menambah kecepatan laju mobilnya. "Maaf Sierra, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Aku percaya Evans bisa mengatasi ini semua dan jika kau kembali, kau itu hanya akan menambah bebannya saja dengan berada di sana." "Tapi aku tidak mau Evans sampai mati. Aku mohon, Mauren." Sierra terus meminta dengan suara parau dan linangan air matanya. Namun, tiba-tiba Mauren menyadarkannya akan satu hal, membuat Sierra seketika diam tanpa suara dan mengikuti apa pun yang Mauren katakan padanya. "Aku bisa saja membawamu kembali ke sana, tapi kita ke sana hanya akan mengantar nyawa kita untuk dibunuh oleh pria itu. Apa kau mau pengorbanan yang Evans lakukan jadi sia-sia? Sudahlah Sierra, ikuti rencana Evans. Dia itu hanya ingin kamu selamat. Aku sendiri baru melihat dengan mata kepalaku bahwa ternyata cinta yang Evans miliki begitu besar untukmu." Sierra tampak pasrah. Ia tak lagi protes dan lebih memilih untuk mendoakan Evans. Pria yang tengah berkorban untuknya. "Kau harus selamat, Evans. Berjanjilah kita akan kembali bertemu!" batin Sierra sambil mengusap kedua pipinya yang sangat basah oleh air mata. ()()()()() Kembali ke tempat di mana kedua sahabat seolah menjadi asing. Bahkan tak hanya itu, dua orang yang tumbuh dan besar bersama kini mengabaikan semua memori masa lalu seolah hal terpenting itu kian tersapu bagai butiran debu. Evans kini semakin terdesak, ia sudah tidak berdaya menghadapi Oscar dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia pun terus memutar otaknya agar bisa lolos dari sahabatnya itu yang terlihat sudah bersiap untuk menghabisinya. "Walau aku membunuhmu, Tuan Chris tidak akan puas karena Sierra berhasil lolos, tapi paling tidak aku tidak sepenuhnya gagal." Oscar menyodorkan pistolnya ke arah kepala Evans yang masih berusaha bangkit. "Cepat lakukan, Oscar!" lirih Evans sambil memegangi bagian perutnya. Oscar masih bergelut dengan keyakinannya. Ia tampak sangat ragu untuk membunuh sahabatnya sendiri, walau kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar meyakinkan. Namun, dalam hatinya kian dipenuhi kebimbangan. "Ini kesempatanku, dia sepertinya lengah," batin Evans melirik ke arah sungai. Evans mendorong tubuh Oscar dengan sekuat tenaga hingga pria itu pun terjatuh dan pistol yang digenggamnya terlempar jauh dari posisinya. Setelah berhasil menjatuhkan Oscar dengan sisa tenaga yang dimiliki, Evans langsung berlari sekuat tenaga menuju tepi sungai. Kemudian tanpa pikir panjang, ia pun melompat terjun ke sungai itu. Oscar yang berusaha mengejarnya, semakin geram ketika jejak Evans hilang dalam aliran sungai. "Hari ini kau selamat, tapi jangan harap lain waktu kesempatan itu akan datang untuk kedua kalinya," gumam Oscar berdecak kesal. ()()()()() Sementara itu, di tempat lain, tepatnya di kediaman Decker, Chris terlihat sibuk dengan rutinitas di ruang kerjanya yang berada di ruang terpisah dari kamar tidur. Sejak Alex memutuskan untuk berhenti dari posisinya sebagai CEO di perusahaannya dua tahun silam, ia jadi disibukkan dengan berbagai macam urusan penting yang menyangkut proyek dengan nilai investasi besar. Namun, tiba-tiba di saat dirinya masih berkutat dengan laptop di hadapannya, dering ponsel berbunyi, sejenak menjeda kesibukannya. Chris memicingkan pandangan ke arah ponsel yang tak jauh dari posisinya. Ia langsung meraih benda pipih itu yang memang masih berada dalam jangkauan tangannya. Pria itu kini mulai memipihkan kedua matanya, saat melihat sebuah nama tertera pada layar ponsel bertuliskan "Oscar". Ya, nama salah satu anak buah kepercayaannya yang selama ini tidak pernah gagal dalam menjalankan semua misi yang diembannya. "Iya halo, ada apa Oscar? Kau tidak perlu menanyakan padaku, buang saja mayat keduanya di laut!" "Maaf Tuan, tapi kali ini saya gagal, Tuan. Mereka berdua berhasil lolos," jawab Oscar sambil menghela napasnya, suaranya terdengar tak bertenaga menutupi rasa kecewanya. Perkataan yang didengarnya membuat Chris terkesiap tak percaya. Ia mendesah kasar dengan rasa takut yang kini semakin bergumul di dalam pikirannya. Hanya satu yang ada dibenaknya saat ini, ia tak ingin rahasianya terbongkar dan diketahui oleh Grace maupun Alex yang nantinya dapat membuat mereka membencinya. Chris pun memutuskan sambungan teleponnya dengan sepihak. Ia lalu meletakkan ponselnya kembali, sambil memijat lembut dahinya dengan pelan untuk mengurangi rasa pening di kepalanya. "Apa yang harus aku lakukan? Akankah rahasia ini akan terbongkar," batin Chris mulai tidak yakin untuk menyembunyikan rahasianya lebih lama lagi. ()()()() Keesokan harinya, matahari mulai terbit dari ufuk timur. Sinarnya mulai menyelinap masuk melewati celah-celah jendela kamar Alex. Hari ini adalah hari pertama bagi Sandra menjalani aktivitas barunya menjadi istri dari seorang Alex Decker. Sandra sudah terlihat berada di dapur semenjak dirinya membuka mata setengah jam yang lalu. Ia ingin memasak sarapan pagi untuk suaminya dengan tangannya sendiri, walau di kediaman Decker sudah dipekerjakan dua orang untuk mengurusnya. Namun, Sandra tetap kekeh untuk memasaknya sendiri. "Nona, biar saya saja, nanti saya takut Tuan Alex akan marah." Elle mengerutkan keningnya merasa tidak nyaman karena tugasnya diambil alih oleh Sandra. "Sudah tidak apa-apa, aku ingin saat Alex bangun tidur, makanan ini sudah siap di depan matanya," ucap Sandra dengan mengulas senyuman di wajahnya. Tanpa terasa waktu pun beranjak begitu cepatnya. Setelah satu jam bergelut dengan aktivitas memasaknya, akhirnya kini tiba bagi Sandra untuk membawa makanan yang telah disiapkannya ke hadapan Alex. Namun, tiba-tiba terbesit di dalam pikiran Sandra sesuatu yang akan membuat suasana pagi mereka tidak terlupakan. Hari pertama yang pasti akan selalu diingat oleh Alex seumur hidupnya. Sandra pun mulai bergegas menaiki anak tangga. Setelah tiba di dalam kamar, tatapan matanya langsung tertuju pada sosok suaminya yang masih saja terpejam nyaman di atas ranjang. "Dasar Alex, masih saja terlelap." Sandra menggelengkan kepalanya sambil melangkah mendekati tubuh suaminya. "Alex, ayo bangun!" pinta Sandra dengan lembut, ia mulai menggerakkan tubuh Alex dari pelan menjadi sedikit cepat. Namun, tetap saja Alex masih terlelap. Sandra tak kehabisan akal, ia pun mencoba sebuah cara yang lebih nakal untuk dapat membangunkan Alex. Sandra kini mulai menaiki tubuh pria itu yang terbaring di atas ranjang. Ia mulai menggerakkan tubuh indahnya di atas pangkal paha Alex yang kini sudah didudukinya, gerakan yang membuat sesuatu di bawah sana seketika bangkit dari tidurnya. Alex pun mulai terjaga, ia sesekali mengerjapkan kedua matanya dan mulai membukanya dengan perlahan. "Sandra." Alex terhenyak mendapati sosok istrinya sudah berada di atas tubuhnya. Ia kemudian meraih pinggang Sandra, lalu menariknya hingga membuat tubuh wanita itu langsung terjatuh dalam posisi menghadap ke arahnya. Kini keduanya saling menindih dengan pandangan yang saling bertaut. Alex menatap lekat wajah istrinya dengan senyuman yang mulai mengembang. "Selamat pagi sayangku." Kalimat itu terucap dari mulut Alex, saat mendapati Sandra tampak nakal di pagi pertamanya menjadi seorang istri. "Pagi suamiku," jawab Sandra dengan mata yang berbinar dan senyum manis di wajahnya. Tanpa permisi, Alex pun mencium bibir istrinya dengan lembut, membuat Sandra tak dapat menahan dirinya untuk tak membalas ciuman Alex. Namun, tiba-tiba ia mengingat makanan yang sudah disiapkannya. Membuatnya langsung bangkit sambil mengurai dekapan dari suaminya yang begjtu erat. "Ada apa sayang?" tanya Alex penuh tanda tanya. "Aku melupakan sesuatu. Maukah kau mengikuti aku, Alex?" Alex pun mengangguk tanpa bertanya, diikuti dengan gerakan tubuhnya yang mulai bangkit dari posisi tidur. Pria itu kini sudah duduk di tepi ranjang, masih dengan tatapan penuh selidik memandang wajah istrinya yang seperti menyimpan rahasia. Sandra meraih tangan Alex dan menggenggamnya dengan erat, langkahnya terus menuntun pria itu menuju keluar kamar, lalu menuruni anak tangga. Membuat Alex semakin dilanda rasa penasarannya. "Sayang ada apa sih sebenarnya?" "Sudah ikuti aku saja!" titah Sandra masih penuh misteri. Sampai akhirnya, kini keduanya sudah tiba di belakang rumah, tempat sebuah kolam renang berukuran besar berada di sana. "Kenapa sayang? Apa kau ingin mengajakku berenang?" tanya Alex yang memang sudah lama sekali tidak melakukan hobinya itu karena kolam renang ini banyak menyimpan memori indah bersama Sierra yang membuatnya menjadi enggan bila harus mengingatnya kembali. Sandra mengangguk dengan senyuman di wajahnya, Alex yang melihat raut wajah istrinya, akhirnya menuruti keinginan Sandra dan langsung terjun ke dalam kolam renang. Sebelum ikut terjun, Sandra mengambil sesuatu yang memang sudah disiapkannya tak jauh dari tempatnya berada. "Ini kejutannya, semoga kamu suka ya dengan masakanku ini." Sandra berlutut dan meletakkan sebuah nampan yang berisi beberapa makanan untuk sarapan pagi mereka di hadapan Alex. Alex terhenyak dengan semua yang kini ada di hadapannya. Ia merasa ini adalah kejutan manis yang sempurna di pagi hari untuknya, di hari pertama pernikahan mereka dengan sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh istrinya. "Aku sangat terkejut jadi kamu memasak ini sendiri?" tanya Alex masih terkesima dengan kejutan yang dibuat oleh Sandra. "Iya Alex. Aku ingin menjadikan pagi di hari pertama pernikahan kita ini jadi momen istimewa yang tak akan pernah kita lupakan." Alex benar-benar dibuat begitu kagum dengan apa yang dilakukan oleh Sandra. Ia sampai tak bisa berkata apa-apa, selain hanya tersenyum menatap wajah istrinya yang kini sudah ikut berada di dalam kolam renang. Alex pun mulai mendekati Sandra, lalu meraih pinggang istrinya itu dan merapatkan tubuhnya. "Aku bahagia sayang, terima kasih atas pagi yang luar biasa ini." Alex mengusapkan hidungnya dengan hidung runcing istrinya yang kini tersipu menatapnya dengan rona merah di wajah. Keduanya menikmati pagi mereka yang bahagia. Mereka saling melempar senyum dan pujian hingga membuat suasana kala itu begitu terasa sempurna. Tanpa mereka sadari, Chris dan Grace memandang keduanya dari balkon kamarnya yang berada di lantai dua. "Aku bahagia sayang, melihat putra kita sudah menemukan hidupnya kembali." Chris tersenyum sambil melingkarkan sebelah tangannya, lalu mengusap lengan istrinya itu dengan lembut. "Aku juga ikut bahagia, Grace. Aku harap apa yang Alex rasakan saat ini bisa terus dirasakannya." Chris menatap dengan sorot mata bahagia ke arah Alex dan Sandra, walau tatapan matanya masih menyiratkan suatu ketakutan. Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD