***
“Kamu kenapa tampak tidak bersemangat?” tanya Taylor sambil menyentuh punggung tangan Stefan yang tergeletak di atas meja. “Apakah ada masalah pekerjaan?” Ia melanjutkan pertanyaannya dengan tatapan penuh perhatian kepada pria itu.
Saat ini, mereka berada di sebuah restoran untuk makan siang bersama, sesuai dengan janji yang mereka sepakati pagi tadi. Setelah Taylor selesai meeting dengan salah satu kliennya, ia langsung menuju restoran yang sudah direservasi oleh asistennya. Tak lama kemudian, Stefan menyusul.
Dalam lamunan singkat, Stefan tersentak kaget dan segera menarik tangannya sebelum Taylor sempat menggenggamnya.
“Aku hanya— kelelahan saja. Tidak ada masalah apapun,” jawab Stefan, melirik Taylor sekilas sambil mengangkat gelas berisi air mineral dan meneguknya hingga habis.
“Kau sudah selesai?” tanya Stefan sambil mengamati piring-piring yang berisi sisa makanan di atas meja. Masih banyak makanan yang tidak habis. Sebelumnya, Taylor memesan terlalu banyak padahal hanya mereka berdua yang makan.
Taylor mengangguk pelan. “Ya, aku sudah selesai,” jawabnya.
“Baiklah, kita pergi sekarang saja. Aku masih banyak pekerjaan di kantor,” beritahu Stefan; seolah-olah ia enggan berlama-lama disini bersama kekasihnya itu.
Taylor hanya mengangguk pelan sebagai tanda setuju. Wanita itu tak banyak bicara. Entah mengapa, melihat reaksi Stefan yang kurang bersemangat membuatnya merasa sedikit kecewa.
Sebelumnya, Taylor berharap makan siang kali ini bisa menjadi momen romantis antara mereka, mengingat belakangan ini mereka jarang bertemu dan menikmati waktu bersama karena kesibukan masing-masing. Terutama Stefan, yang selalu terjebak dalam tumpukan pekerjaan. Sementara itu, Taylor selalu berusaha meluangkan waktu untuk bertemu dengannya.
“Hati-hati di jalan,” ucap Stefan sambil membuka pintu mobil Taylor.
Sebelum masuk ke dalam mobil, Taylor menatap Stefan dengan senyuman dan mengangguk pelan. “Iya, kamu juga hati-hati.”
Setelah itu, Taylor masuk ke dalam mobilnya. Stefan menutup pintu dan segera menuju mobilnya yang terparkir di belakang. Ia meninggalkan restoran untuk kembali ke kantor, sambil memikirkan bagaimana membuat waktu mereka bersama lebih berarti di lain kesempatan.
Setelah dua puluh menit berlalu, Stefan tiba di kantor. Mobil mewah miliknya meluncur mulus menuju tempat parkir eksklusif di sana.
Kendaraan tersebut berhenti, Stefan mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengaman, dan segera turun dari mobil.
Saat melangkah menuju lobi, tiba-tiba Stefan berhenti. Pandangannya terpaku pada seorang wanita cantik, Sein, yang tengah dibukakan pintu mobil oleh Kai.
Mereka terlihat dari luar, mungkin baru saja selesai makan siang bersama, seperti yang dilakukan Stefan dan Taylor sebelumnya.
“Terima kasih, Kai. Maaf sudah merepotkanmu. Kamu jadi bolak-balik begini,” kata Sein sambil melempar senyum manis pada Kai, sang kekasih.
“Bisa menikmati makan siang denganmu saja sudah membuatku sangat senang, ditambah lagi mengantarmu kembali ke kantor. Aku senang melakukannya,” jawab Kai, menatap kagum wajah cantik wanita itu.
Setelah obrolan singkat itu, Kai segera masuk ke dalam mobil dan pergi. Sein memutar tubuhnya, siap melangkah menuju lobi. Namun, tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan dingin Stefan.
Pria itu berdiri di dekat lobi. Sepertinya ia sudah ada di sana sejak tadi, atau bahkan sempat melihat Kai, pikir Sein.
‘Ah, biarkan saja. Mau dia lihat juga, tidak ada urusan sama aku!’ batin Sein, nadanya terdengar kesal.
Lalu, Sein melanjutkan langkahnya memasuki kantor tanpa mempedulikan kehadiran Stefan. Saat masuk, ia disapa ramah oleh beberapa karyawan yang sedang berlalu-lalang. Sein membalas sapa mereka dengan sikap ramah.
Sein masuk ke dalam lift eksklusif yang hanya dapat digunakan oleh para petinggi perusahaan. Ia menekan salah satu tombol di dalam lift. Saat pintu hendak tertutup rapat, tiba-tiba ujung sebuah sepatu pantofel menghalangi.
Pintu kembali terbuka lebar. Sein mengangkat wajahnya dan melihat Stefan masuk ke dalam lift. Wanita itu mendengus dalam hati.
Wajah Stefan membuatnya muak dan… bad mood.
“Habis dari mana tadi?” tanya Stefan setelah pintu lift tertutup rapat dan lift mulai bergerak naik.
Sein diam, enggan menjawab.
“Sein?” Stefan menatap wanita itu dengan tatapan menuntut jawaban.
“Makan siang bersama kekasihku. Kenapa memangnya? Ada masalah dengan kamu?!” jawab Sein, mengeluarkan kata-kata dengan sekali tarikan napas.
“Aku hanya bertanya,” kata Stefan. Suaranya terdengar rendah.
“Dan pertanyaanmu sungguh tidak penting! Kenapa kamu sibuk mengurus urusan orang lain? Mau tahu semua urusan orang lain? Kamu bukan pengangguran, kan?!” ucap Sein dengan wajah galak.
Stefan mengulum senyum. “Bukan juga. Aku seorang CEO Sanders Corporation,” jawabnya dengan santai. Hal itu justru membuat Sein muak dan semakin dongkol.
“Kau marah-marah terus, kenapa? Sensitif sekali. Lagi datang bulan?” tanya Stefan.
Sein mendengus dan memutar matanya dengan malas. “Bukan urusan kamu!” jawabnya ketus.
Stefan menghela napas, dan bersamaan dengan itu, lift berhenti dan pintu terbuka. Sein segera ingin keluar, namun Stefan menghalangi jalannya.
“Apa sih?!” Sein menengadahkan wajah, menatap Stefan dengan marah dan jengah. “Minggir cepat! Aku mau kerja!” Ia mendorong d**a bidang Stefan, namun pria itu beralih menggenggam lembut pergelangan tangannya.
“Aku ingin kopi buatanmu. Tolong buatkan sebentar,” pinta Stefan.
“Aku di sini bekerja sebagai koordinator marketing, bukan sebagai office girl! Bukan tugasku membuat kopi untukmu!” tolak Sein dengan nada sarkastis.
“Menjauh lah, Stefan!”
“Aku mau kopi, Sein. Apa susahnya kau meluangkan waktumu sebentar untuk membuatkan kopi untukku?”
“Kamu punya tangan, kan? Sudah, buat sendiri. Lagi pula, aku bukan babu-mu! Aku juga bukan kekasihmu! Aku tidak wajib melayanimu!” lontar Sein.
“Kau adikku. Seorang kakak berhak meminta bantuan adiknya, bukan?” ucap Stefan.
Sein berdecak dengan wajah malas. Ia mengibas tangan ke udara, berusaha mendorong tubuh Stefan.
Matanya melotot tajam. “Stefan..!” teriak Sein dengan suara menggelegar. Pinggang rampingnya direngkuh erat oleh lengan kekar pria itu, menarik tubuhnya menjauh dari pintu lift.
“Meracik kopi tidak akan menghabiskan waktu sepuluh menit,” ucap Stefan sambil kembali menekan salah satu tombol di sana hingga pintu tertutup rapat. Lift itu bergerak naik ke lantai tempat ruang kerjanya berada.
“Kamu menyebalkan!” Sein dengan kasar menyentak tangan Stefan dari pinggangnya, lalu mundur menarik diri dari pria itu.
Sein berdiri dengan perasaan dongkol, punggungnya menyentuh dinding lift yang terbuat dari cermin sambil melipat kedua tangan di d**a.
Stefan berdiri dengan santai, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia menatap wajah marah Sein yang tetap terlihat cantik, sempurna.
Sejenak, Stefan tenggelam dalam tatapan kagumnya. Matanya bergerak memperhatikan setiap jengkal wajah cantik itu: kulit wajahnya yang putih mulus, hidung mancung, dan … bibir yang terlihat menggoda.
Bibir yang selalu melontarkan kalimat-kalimat pedas padanya. Stefan terkekeh dalam hati. Ia menarik perhatian dari bibir Sein, lalu matanya beralih ke leher jenjang yang menggoda.
Dalam sekejap, pandangannya semakin turun. Sialnya, Stefan justru memperhatikan dengan intens.
Glek!
Ia menelan ludah ketika perhatiannya berpusat pada d**a Sein yang membusung sempurna. Penasaran dengan bentuknya, pikiran Stefan mulai liar dan berkelana.
Membayangkan bentuknya yang bulat sempurna, detik demi detik imajinasinya kian menyiksa. Gambaran p****g merah muda kini berseliweran dalam benaknya.
“f**k!” Refleks, Stefan mengumpat sambil menutup mata sejenak. d**a bidangnya tampak naik turun akibat deru napas yang memburu.
Sein mendengar umpatan pria itu dengan jelas. Ia mengalihkan pandangan padanya, menatapnya dengan keberatan. Dipikirnya, umpatan tersebut ditujukan untuk dirinya.
“Kamu mengumpatiku?!” tuduh Sein, lalu bergerak ke arah Stefan dengan mengangkat sebelah tangan hendak memukul pria itu.
Dengan sigap, Stefan menangkap pergelangan tangan Sein. Ia menggenggamnya dengan lembut dan memutar tubuh molek itu dalam sekali hentak, sehingga kini posisi Sein membelakangi Stefan.
Pria itu memeluknya dari belakang, mengunci gerakannya. “Bukan untuk kamu,” kata Stefan dengan suara serak sebelum melabuhkan kecupan di atas kepala Sein.
Ting!
Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka lebar.
“Stefan, Sein…?!”
Deg!
Leon berseru. Pria itu berdiri di depan pintu lift sambil menatap kedua anaknya yang tengah berpelukan mesra.
***