***
“Aku melihat, sepertinya Stefan menyukai Sein, Kai. Apakah kau sependapat dengan Dad?” tanya Joseph, pria paruh baya yang merupakan Ayah Kai.
Saat ini, Joseph berada di dalam ruang kerja Kai. Dia sengaja datang untuk membahas tentang Sein dengan putranya itu.
Sebentar, Kai mendesah pelan mendengar ucapan ayahnya. Sebenarnya, Kai juga menyadari hal yang sama seperti yang dipikirkan oleh Ayahnya. Ia curiga Stefan memiliki perasaan lebih terhadap Sein.
Dan … hal yang membuat Kai merasa posisinya terancam adalah karena Stefan bukan kakak kandung Sein. Sangat besar peluang pria itu merebut Sein dari dirinya.
“Tapi, Dad, Uncle Leon sepertinya tidak mendukung hubungan mereka. Buktinya, dia lebih mendukung aku bersama Sein dibandingkan putra angkatnya itu, kan?” Kai menatap sang Ayah dengan serius, seolah menuntut pengakuan.
Joseph mendesah pelan. “Ya… kau benar. Leon memang betul mendukung hubunganmu dengan Sein. Tapi, Kai, jangan lupa bahwa tidak menutup kemungkinan pria itu akan bertindak nekat. Apalagi … kita sama-sama tidak tahu bagaimana pandangan Sein terhadap pria itu. Kita tidak tahu bagaimana isi hati Sein yang sebenarnya,” lontarnya dengan nada putus asa.
“Kau curiga kalau Sein juga tertarik pada Stefan?” tanya Kai, menatap sang Ayah dengan raut wajah penasaran.
Joseph terdiam. Kai melanjutkan, “Aku rasa pikiranmu tentang Sein terlalu jauh, Dad, karena aku sendiri tidak melihat gelagat aneh dari Sein. Semuanya tampak baik-baik saja selama ini.”
“Ya, semoga saja pandanganku salah dan semoga keyakinanmu padanya tidak membuat kita semua kecewa,” ucap Joseph penuh harap sebelum menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Kai mengangguk pelan. “Ya, aku sangat yakin. Sein tidak mungkin seperti itu. Justru yang aku lihat, dia tidak menyukai Stefan.”
“Semoga saja itu benar,” kata Joseph— lalu membuang napas kasar.
Menurut Joseph, sangat disayangkan jika hubungan antara Kai dan Sein berakhir. Mereka berdua memang tidak dijodohkan, keduanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka, hingga mengalir seperti air.
Dan kebetulan, perusahaan Joseph telah menjalin kerja sama dengan Sanders Corporation sejak lama. Sehingga hubungan antara Sein dan Kai seperti mempererat kerja sama antara mereka. Kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dalam hal tersebut.
“Bagaimana dengan pesta besok? Apakah Sein jadi pergi bersamamu?” tanya Joseph, ingin memastikan.
Kai mengangguk. “Ya, jadi,” jawabnya seraya mengangkat gelas air menuju bibir. Ia meminum cairan bening itu sampai habis, lalu menyimpan kembali gelas kosong ke tempatnya.
“Baguslah,” desah Joseph, merasa lega. “Leon dan istrinya tidak bisa hadir karena ada keperluan lain. Jadi mereka diwakili oleh Stefan dan Sein. Aku pikir Sein akan pergi bersama pria itu,” kata Joseph.
Kai menggelengkan kepala. “Tadi, saat aku dan Sein makan siang, aku sudah Tanya dia langsung. Dan dia ingin pergi bersamaku.”
“Baiklah kalau begitu. Semoga semuanya lancar,” ucap Joseph penuh harap, dan diangguk pelan oleh Kai sebagai respons.
Joseph bangkit dari duduknya dan segera beranjak keluar dari ruang kerja Kai. Di sisi lain, Kai perlahan melemaskan tubuhnya dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Tatapannya menyorot lurus ke arah pintu yang tertutup rapat.
‘Apa benar Sein tidak memiliki perasaan untuk Stefan?’
Pertanyaan tersebut muncul begitu saja dalam benak Kai. Entah kenapa, dia mulai ragu dan curiga terhadap kekasihnya.
***
Esok harinya…
Seperti yang telah direncanakan kemarin, malam ini Sein akan mewakili Ayahnya ke pesta salah satu kolega bisnis mereka.
Di dalam kamarnya, Sein telah menghabiskan waktu sekitar satu jam hanya untuk berdandan. Ia tampak elegan dalam balutan gaun cantik yang mempesona.
Tok tok tok
Sein berdiri dari duduknya di kursi meja rias; bersama dengan itu pintu kamarnya diketuk.
“Permisi, Nona Sein?”
Terdengar suara seorang pelayan memanggil.
“Ya, aku di sini,” sahut Sein dengan suara agak tinggi agar sang pelayan bisa mendengar.
Pelayan tersebut segera menghampiri. “Nona, dibawah, Tuan Kai sedang menunggu Anda,” beritahunya sambil berdiri di ambang pintu pembatas antara walk-in closet dan ruang tidur.
Sein melangkah menuju sebuah lemari khusus tempat sepatu. Ia mengambil sepasang heels yang akan dikenakannya. “Ya, sebentar lagi aku turun. Sampaikan pada Kai, aku sudah hampir selesai,” jawabnya sambil melirik sebentar pada wanita itu.
“Baik, Nona,” jawab pelayan dengan hormat.
“Mommy dan Daddy sudah berangkat?” tanya Sein sebelum pelayan itu pergi.
“Belum. Tuan dan Nyonya masih di bawah menemani Tuan Kai,” jawab pelayan itu. Sein mengangguk pelan sebagai tanggapan. Setelah itu, sang pelayan pun pamit dan beranjak dari kamar Sein.
Sein cepat-cepat melanjutkan aktivitas yang belum selesai. Tinggal dia pasang heels di kaki jenjangnya untuk menyempurnakan penampilannya malam ini.
Beberapa menit berlalu, Sein menyambar ponsel di atas nakas dan memasukkannya ke dalam tas tangan miliknya. Sebelum melangkah keluar dari kamar, Sein mengedarkan pandangan sejenak, memastikan tidak ada yang ketinggalan lagi.
Tak berapa lama, Sein tiba di lantai dasar menuju ruang tamu. Ia mengulas senyum melihat kehadiran kekasihnya di sana. Kai bersama Ayahnya. Sedangkan Ibunya … mungkin wanita itu belum selesai bersiap-siap, pikir Sein.
“Maaf, Kai, membuatmu menunggu lama,” kata Sein kepada Kai, namun ia menghampiri sang Ayah, merendahkan tubuhnya, lalu mengecup penuh kasih sayang pipi kanan Leon.
“Tidak apa-apa, lagipula belum terlalu lama,” balas Kai dengan ramah, menunjukkan sopan santun di depan Leon.
Sejenak, Sein melempar senyum pada Kai sebelum ia beralih kepada Ayahnya. “Mommy dimana, Dad?” tanyanya penasaran.
“Masih di kamar, mungkin sebentar lagi selesai,” jawab Leon, memandangi wajah cantik sempurna putrinya.
Sein mengangguk sebagai tanggapan. “Nanti Grandpa dan Grandma dijemput ‘kan saat Daddy selesai dari pesta?” Dia kembali bertanya mengenai kakek dan neneknya yang saat ini berada di Mansion Blaxton. Kedua lansia itu sengaja ke sana karena anak, menantu, dan cucu mereka sedang ada acara.
“Sepertinya Grandpa dan Grandma menginap di sana, sayang. Mommy Celine yang ingin,” kata Leon menjelaskan. Tadi, Celine, wanita yang merupakan kakaknya, menghubunginya untuk memberitahu bahwa orang tua mereka akan menginap di kediamannya.
“Oh, begitu?” Sein mengangguk. Wajah cantiknya terlihat menggemaskan tanpa ia sadari. Sementara itu, Kai yang duduk di tempatnya menatap kagum pada Sein, dan Leon menyadari hal itu.
“Ya sudah, kalau begitu, aku dan Kai berangkat sekarang saja. Takut kami terlambat,” ungkap Sein.
“Ya, sebaiknya begitu, sayang. Sebentar lagi Daddy juga berangkat,” jawab Leon, segera berdiri dari duduknya.
Begitu juga Kai. Pria itu berdiri dan melangkah mendekati Sein. Ia pamit pada Leon, sedangkan Sein pergi sebentar ke kamar Ibunya untuk pamit pada wanita itu.
“Aku berangkat ya, Mom,” kata Sein setelah masuk ke kamar orang tuanya.
“Ya, hati-hati, sayang. Ingat, jangan minum alkohol dan jangan jauh-jauh dari Kak Stefan, ya,” ujar Maureen mengingatkan.
Sein yang tadinya tersenyum kini ekspresinya mendadak berubah. Wajahnya masam. “Kenapa harus Stefan? Kan aku pergi sama Kai, Mom? Dan lagi pula, Kai kekasihku. Dia akan menjagaku,” protesnya, tidak terima dengan pernyataan sang Ibu yang selalu membawa-bawa nama Stefan.
Sedikit-dikit Stefan sampai Sein muak mendengarnya.
Setelah memasang kalung berlian di lehernya, Maureen melangkah mendekat ke arah Sein. “Stefan itu kakakmu… jadi kamu akan lebih aman kalau bersama kakakmu. Orang lain belum tentu mau mengorbankan nyawanya demi kamu, termasuk Kai yang notabene adalah kekasihmu. Sedangkan Stefan? Semua keluarga sangat yakin padanya, termasuk Mommy.”
Sein mendengus mendengar penjelasan itu. Maureen tampak keberatan dengan reaksi putrinya. “Sayang…?!” Matanya mendelik.
“Ya… ya… ya, Kak Stefan memang segalanya. Dia ibarat dewa. Itu ‘kan yang Mommy mau bilang?” sarkas Sein.
“Sein…?!” Suara Maureen agak tinggi, dan wajahnya menunjukkan kemarahan ketika menatap putrinya.
“Stefan juga punya kehidupan, Mom. Dia punya kekasih yang pastinya ingin menghabiskan waktu bersama. Tapi Mommy selalu meminta dia untuk menjaga aku. Mommy pikir aku tidak bisa menjaga diri?” Sein berargumentasi dengan nada frustasi.
“Wajar ‘kan Mommy minta putra Mommy untuk menjaga adiknya? Apa yang salah, Sein Fransiska Sanders?!” Matanya semakin mendelik.
Saat itu, pintu kamar dibuka. Leon masuk dan melihat perdebatan antara istrinya dan putrinya.
“Bertengkar lagi kalian?” Leon menatap keduanya dengan raut jengah.
“Terkadang putrimu tidak terima ketika dinasihati oleh Ibunya,” ketus Maureen.
Sein mendengus pelan dan beralih menatap Ayahnya. “Mommy berbohong. Daddy, jangan percaya padanya.” Ia mendekat pada Leon. “Aku berangkat dulu,” ujarnya sambil mencium lembut pipi Leon sebelum pergi.
“Kamu hanya mencium Daddy-mu, Sein?” tegur Maureen, cemburu.
“Aku kesal sama Mommy. Aku malas cium!” ketus Sein sambil keluar dari kamar orang tuanya.
Maureen melongo, tak percaya, menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Ia beralih menatap suaminya, yang mendesah pelan.
“Lihat? Lihat bagaimana kelakuan putrimu, Leon? Dia hanya sayang padamu, padahal aku yang melahirkannya!” desis Maureen tidak bisa lagi menahan kekesalan.
Leon hanya mengulum senyum. Dia melangkah mendekat ke istrinya dan mengecup lembut bibir kenyal wanita itu. “Kamu terlalu galak, makanya kadang-kadang Sein suka melawan, Baby,” ucapnya sambil terkekeh pelan melihat ekspresi malas istrinya.
Di luar, Kai membuka pintu untuk Sein, mempersilakan kekasihnya masuk ke dalam mobil.
Sein melempar senyum manis kepada Kai, tak lupa mengucapkan terima kasih atas tindakan pria itu yang membuatnya merasa sangat amat di spesialkan.
Kai membalas dengan senyuman, lalu segera menutup pintu dan mengitari mobil. Ia masuk dan duduk di kursi kemudi. Setelah memastikan Sein telah mengenakan sabuk pengaman, Kai menyalakan mesin mobil dan meninggalkan Mansion Sanders menuju tempat pesta.
***
Beberapa menit berlalu, Sein dan Kai tiba di lokasi pesta yang diadakan. Mobil Kai berhenti tepat di depan pintu utama hotel. Pria itu segera turun bersama Sein, sementara mobilnya diambil alih oleh petugas di sana untuk diparkir di tempat khusus.
Ketika Sein dan Kai hendak masuk ke dalam hotel, sebuah mobil yang sangat dikenal oleh Sein berhenti di tempat yang sama di mana mobil Kai sebelumnya berada.
Sein menatap lekat mobil yang sangat dikenalnya tersebut, menunggu sang pemilik turun dengan perasaan berdebar dan penasaran. Kai juga ikut merasakan ketegangan itu.
Sein menelan ludah dengan kasar saat melihat Stefan membuka pintu dan turun dari mobil. Sesekali, Kai mencuri pandang pada Sein, mengamati ekspresi wanita itu saat menatap Stefan.
Di sisi lain, Stefan tidak sedikit pun melirik ke arah Sein, meskipun dia menyadari kehadiran wanita itu di sana. Stefan mengitari mobil dan membuka pintu untuk kekasihnya, Taylor.
Rupanya, dia datang bersama wanita itu.
“Terima kasih, sayang,” ucap Taylor dengan tatapan berbinar kepada Stefan.
“Sama-sama,” balas Stefan dengan suara pelan, terdengar malas.
Taylor memeluk mesra lengan kekar Stefan yang dibalut jas berwarna biru dongker, sambil melirik sebentar ke arah Sein yang masih berdiri mematung di sana, menatap mereka.
Secepatnya, Sein menarik pandangannya saat matanya bertemu dengan Stefan. Dia beralih kepada Kai. “Ayo, Kai, kita masuk,” ajaknya kepada kekasihnya.
Kai mengangguk pelan sebagai tanggapan. Sein melingkarkan tangan di lengan Kai, dan mereka pun melangkah masuk ke dalam hotel.
“Jangan pergi sendirian ke pesta itu, Stefan. Jemputlah Taylor dan pergilah bersamanya. Dad harap kali ini kamu tidak banyak alasan, Nak,” nasihat Leon.
Stefan menghela napas berat ketika teringat percakapan dengan sang Ayah sebelum berangkat tadi.
Awalnya, Stefan ingin pergi sendirian. Namun, karena Leon agak memaksa agar dirinya pergi bersama Taylor, dengan terpaksa Stefan menjemput wanita itu.
Dan saat tiba di tempat pesta, dia bertemu Sein. Stefan yakin sekali bahwa wanita itu pasti semakin ilfil dan benci padanya karena melihat kebersamaannya dengan Taylor.
***