Menantu Idaman Bunda

2904 Words
Seolah baru menemukan sesuatu ketika ia sedang menonton drama Korea kesayangannya di Youtube, ia mengacungkan ponselnya pada sahabatnya yang sedari tadi serius sekali dengan laptop yang ada di atas meja kantin. "Tebak suara siapaaa?" ujarnya sambil mengangkat ponsel yang menampilkan iklan di YouTube itu tapi layarnya, ia tutup dengan telapak tangan. Gadis yang menjadi sahabatnya itu mengerutkan kening. Ia mencoba fokus mendengarnya lalu menggelengkan kepala. Ia tidak tahu itu suara milik siapa. Tapi yang jelas, suara itu milik seorang lelaki. Nah, urusan lelakinya itu siapa? Ia sebodo amat. Tak perduli. Ada banyak hal lain yang lebih penting di dunia ini selain lelaki. "Heish! Masa gak tahu sih? Katanya lo sukaaa!" Keningnya mengerut bingung. Sementara sahabatnya yang berkerudung army itu terkekeh. Suka? Suka? Yang mana nih? Ia kan suka banyak lelaki. Hihihi! Terutama Oppa-Oppa Korea! Uuuh! Kalau itu sih susah ditolak pesona-pesona mereka. Saat ini, ia sedang tergila-gila dengan Park Seo Joon berkat dramanya yang berjudul Itaewon Class! Itu cowok selain ganteng, cool tapi juga berkharisma. "Farrel Oppaaaa!" serunya kemudian membuat sahabatnya itu terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Ia kembali fokus pada laptopnya. Kini keduanya sedang duduk di kantin kampus. Biasa, menikmati hari kosong usai jadwal kuliah yang begitu padat dan sudah berakhir setengah jam yang lalu. "Kok gitu doang sih lu responnya?" ia agak merajuk. Biasanya suka juga mendengar suara si Farrel yang memang sering jadi bintang iklan untuk perusahaannya sendiri. "Gak asyik!" Gadis berkerudung peach itu tersenyum kecil. "Udah gak suka," tuturnya. Tapi maksud kata suka itu adalah kagum atau nge-fans gitu. Ya lah, siapa sih yang gak suka dengan lelaki seperti Farrel? Ganteng? Iya! Mapan? Iya! Cerdas? Iya! Cowok yang digadang-gadang mendekati sempurna. Tapi sekarang, penilaiannya terhadap lelaki itu malah berubah menjadi mendekati minus! Hihihi! Namun, setelah ia pikir kan lagi ternyata benar....tidak ada manusia yang sempurna. Hanya Allah satu-satunya. Terlalu berharap pada manusia juga akan membuahkan kekecewaan. Lebih baik bersikap biasa saja terhadap manusia. Jangan terlalu berekspektasi tinggi. Karena manusia yang sehebat apapun tak akan pernah bisa mencapai itu. Sahabatnya tertawa. "Kenapa?" tanyanya, ia asyik menonton drama Korea di YouTube. Gadis berkerudung peach itu berdeham. "Abisnya pacaran," jawabnya. Ia sudah melihat berita itu beberapa hari yang lalu dan masih santer hingga menjelang Ramadhan ini. Berita apa? Tentu kedekatan Farrel dengan Shabrina yang sedang santer. Fotonya bahkan bertebaran di mana-mana. Oke, awalnya ia sih tak ambil pusing dengan banyaknya perempuan yang disandingkan dengan Farrel. Tapi berita kali ini begitu santer. Dan yang diberitakan pun hanya satu perempuan saja. Shabrina, sang Puteri Indonesia. Cewek yang gak cuma cantik dan cerdas tapi juga seksi. Cowok mana yang tak tergoda dengan tubuh molek bin indahnya itu? Dan ia yakin kalau Farrel sama saja dengan lelaki lain. Tipe-tipe yang menilai cewek dari fisiknya mungkin?! Eh-eh tapi bodo amat sih. Alasan utamanya sudah tidak menyukai lelaki itu bukan itu. Dan rumor kalau cowok itu playboy, sepertinya memang ada benarnya. Walau awalnya, ia agak-agak tidak percaya. Tapi Indira benar sih. Cowok ganteng begitu memang wajar kalau playboy karena....sesuai tampangnya. Hihihi! Makanya ia kurang suka sama cowok-cowok ganteng karena menurutnya, mereka suka memanfaatkan wajah gantengnya itu untuk menakhlukan banyak wanita. Bukannya mau su'uzzan sih. Tapi kebanyakan begitu. Meski mungkin ada satu atau dua di antara seribu orang ganteng yang masih setia pada satu perempuan. Nah, mencari yang seperti itu kan sulit. Ibarat mencari jarum di dalam jerami. Ia tak mau. Lebih baik mencari lelaki yang tampangnya biasa saja tapi soleh begitu. "Emangnya gak boleh?" "Dan jangan lah kamu mendekati zina, ya kan? Itu aja udah dilarang apalagi pacaran!" Sahabatnya nyengir. Yeah, sahabatnya ini memang ketat jika urusannya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan ini memang tak pernah berpacaran. Walau bisa dibilang 'hampir'. Namun syukurnya, tak jadi hingga mengakibatkannya patah hati akut dan agak negatif dalam menilai lelaki. Ia menganggap lelaki tak bisa setia pada satu perempuan saja. Tapi semenjak masuk kuliah, ia mulai menanam benih kepercayaan pada laki-laki. Toh tak semua begitu. Pasti ada minimal satu yang setia kan? Apalagi kini usianya sudah 26 tahun dan sudah didesak untuk menikah oleh orangtua dan adik-adiknya. Ia? Masih santai dengan kegiatan kampus selama satu tahun ini. Kebetulan ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan S2-nya kali ini setelah bertahun-tahun bekerja. Ya, dari pada pusing mikirin jodoh yang tak kunjung datang lebih baik mengejar sesuatu yang jelas-jelas ia bisa kejar seperti rejeki S2 ini. Ya kan? "Ya sih," sahabatnya menghela nafas. "Tapi ceweknya cakep abis emang," tuturnya. "Lu gak kepengen emang dapet yang kayak gitu?" Ia menggeleng dengan senyuman kecil. Kalau ditanya beberapa minggu lalu sih mau. Mau dalam artian karena ia menilai Farrel sebagai cowok yang cerdas. Cerdas itu tipenya. Tapi setelah mendengar kabar itu, ia sadar kalau bukan lelaki seperti itu yang pantas dikagumi. Bagaimana mungkin ia mengagumi lelaki yang bahkan tidak bisa menghargai perempuan? Pacaran? Itu bukan hubungan yang baik, maksiat sih iya. Jadi ya, lewat saja untuk cowok-cowok seperti itu. Mau seganteng apapun tapi pacaran? Ke laut aja sana! Ia bukan konservatif loh. Sebab banyak yang menilainya begitu. Apalagi teman-temannya juga memandang kalau pacaran itu adalah hal yang biasa. Sementara ia memang sangat menghindari itu. Ia ingin memulai suatu pernikahan dengan awal perkenalan yang baik dan cara yang baik. Coba bayangkan, jika sejak awal menggunakan cara dan jalan yang buruk apakah jalannya pernikahan itu akan baik? Jadi ia hanya ingin berpegang pada prinsip bahwa sesuatu yang baik yaaaa memang harus dimulai dengan cara yang baik. Ta'aruf misalnya. Tapi ta'aruf itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan cara yang benar. "Ganteng loh, Myaaa. Pinter dan mapan pula. Sayang juga tuh sama ibunya. Sering banget gue baca beritanya dia bawa ibunya ke mana-mana. Kan keren tuh. Ibunya aja disayang apalagi istrinya nanti? Ya gak?" "Ya tapi tetap aja," balasnya. Ia tetap pada prinsipnya. Mau bagaimana pun sahabatnya itu membagus-baguskan Farrel, dimatanya sudah minus. Sangat-sangat minus. Jadi, tinggal kan saja lah cowok kayak gitu. Lagi pula, ia yakin kok kalau ada satu cowok di dunia ini yang tak pernah pacaran sepertinya. Iya kan? Sahabatnya terkekeh. "Ya deeeh. Lagian gak mungkin kali ya gue dapet yang kayak gitu?" Gadis berkerudung peach itu terkekeh. Ia masih fokus dengan laptopnya, sibuk mengerjakan jurnal. Ia punya proyek dengan dosen pembimbingnya sejak sarjana dan kebetulan masih jadi dosen pembimbingnya hingga S2 kini. "Cari yang soleh lah. Kalau yang model gitu sih banyak, In." "Banyak di khayalan gue," sahutnya yang membuat sahabatnya itu tertawa. Ya, terserah Indira lah, pikirnya. Toh selera orang kan beda-beda. Ia tak bisa memaksa semua orang untuk sama dengan pendapatnya. @@@ "Makan siang boosss!" tutur sekretarisnya. Lelaki itu mengangkat sebuah plastik yang berisi makanan yang biasanya dipesan Farrel di restoran kesukaannya untuk makan siang. Yeah, hari ini makan siang terakhir sebelum besok mulai puasa ramadhan. Sebelah alis Farrel terangkat. Ia mendongak sebentar ke arah plastik besar yang ditaruh sekretarisnya di meja bulan yang ada di sebelah kiri ruangan. Meja khusus untuk makan. Rasa-rasanya, ia belum memesan makan siang. "Dari Bu Shabrina, bos," tutur sekretarisnya itu sambil terkekeh. Ia yang paling senang karena bosnya dekat dengan Puteri Indonesia. Ia kan jadi bisa berfoto ria dengan Shabrina dan fotonya bisa ia kirim ke pacarnya di kampung sana. Lumayaaan kan mendapat kenalan orang terkenal. Punya bos yang sangat terkenal begini pun, ia sangat bangga. "Ambil aja," tutur Farrel. "Saya akan makan di luar," tambahnya lantas beranjak sambil membawa ponsel dan dompetnya. Sekretaris laki-laki itu geleng-geleng kepala melihat Farrel pergi begitu saja. Kurang dari jam dua belas, Farrel akan keluar dari gedung kantornya menuju masjid di sekitarnya. Lalu ia berencana menyambangi kantor Ando dan makan siang bersama adik iparnya itu. Dari pada makan sendirian kan? Lagi pula, Farrel agak-agak trauma dengan kejadian sebulan terakhir ini. Banyak cewek yang suka masuk sembarangan ke ruang kerjanya ketika sekretarisnya sedang lengah. Ia tahu sih jika itu memang jam istirahat makanya sekretarisnya itu tak berjaga di depan pintu. Usai solat di masjid, Farrel langsung bergerak menuju kantor Ando. Ia sudah mengabari Ando kalau akan ke sana. Dan saat tiba di ruangan Ando, ia mendapati adiknya membawa banyak makanan. Padahal ia berencana mengajak Ando makan di luar. Sepertinya, ia akan ikut menganggu acara makan siang keduanya. Tapi eh tapi, biasanya juga begitu kok. Apalagi sejak awal tahun ini kan, Farras sudah tak tinggal di rumah Bunda jadi Farrel juga sudah jarang memakan masakannya. "Dicariin Shabrina tuh," sindir Farras begitu melihat Farrel masuk. Ando terkekeh pelan. Ia sudah bosan mendengar Farras terus mengomel di rumah. Mengomeli Abangnya yang dekat dengan banyak perempuan. Sampai-sampai Farras ikut diteror sama perempuan-perempuan itu yang entah dari mana bisa mendapatkan nomor ponselnya. Farras juga heran juga kesal setengah mati. Farrel cuma bisa menghela nafas. Ia duduk pasrah di kursi tepat di samping Ando. Farras sih belum duduk karena masih sibuk membuka rantang makanan yang ia bawa. Omong-omong Farras tadi ikut menebeng Dina untuk bisa tiba di sini. Sepupunya itu ada pekerjaan di kantor manajemen artis dan kebetulan letaknya memang tak jauh dari sini jadi sekalian saja ia menebeng.   "Ras gak suka tauk sama cewek itu, Bang. Apaan lagi itu gosip-gosip palsu! Abang dikira pacaran lah sama dia! Sering makan bareng dan ini-itu heiiish!" keluhnya. Oke, ia memang sudah mengeluhkan ini selama berkali-kali dalam dua bulan ini. Tapi tidak separah minggu ini. Itu baru Shabrina, belum lagi perempuan-perempuan lain. "Makanya Abang cari istri aja dari pada jomblo terus. Ntar digosipin gak bener kayak gini terus. Ras juga gak mau nama baik Abang jadi tercoreng gara-gara gosip murahan begini." Farrel menghela nafas. Ia juga maunya begitu. Tapi apa daya? Belum ketemu yang cocok. Setiap menghadiri event-event, ia hampir tak pernah menemukan perempuan berjilbab yang benar-benar menutup aurat. Yang gak terlihat lekuk tubuhnya. Yang menjaga dirinya. Yang menjaga pandangannya. Yang tak suka menyentuh atau disentuh lelaki. Farrel belum menemukan perempuan seperti itu. "Ras tawarin Zakiya gak mau," gerutunya kemudian. Farrel cuma bisa garuk-garuk kepala. Ia mulai makan dengan tidak tenang karena terus diomeli Farras. Ando? Cuma tertawa kecil sambil menelan makanannya. Ia juga pusing karena Farras tak berhenti mengomel ketika sedang di rumah. "Emang apa sih kurangnya Zakiya?" Kurangnya? Farrel tampak berpikir. Tak ada. Kalau masih tertarik, Farrel pasti akan melamarnya. Tapi kini? Farrel sudah tak tertarik dengan gadis itu. Mau secantik apapun Zakiya, Farrel sudah tak punya hati padanya. Apa daya? Persoalan menikah kan persoalan ketertarikan juga. Farrel gak bisa asal pilih perempuan hanya karena cantik. Karena cantik fisik itu tak ada hubungan dengan hati dan perasaan. Farrel juga ingin mencintai dan dicintai makanya ia ingin ada rasa ketertarikan selain solehah dari seorang perempuan. Agar kelak ketika memandangnya, Farrel bisa menatapnya dengan penuh cinta. Ya kan? "Cantik, pinter, aktivis, soleha, kece dengan prestasinya," pamer Farras. Sengaja bilang begitu biar Abangnya tertarik. Tapi Farrel hanya diam. Yaaa memang akan seperti ini kalau Farras berada diantara dua lelaki ini. Ia bagai burung Beo yang tak berhenti berkicau. Mulutnya seakan tak lelah berbicara hal yang sama. "Si Lala juga ditolak!" Farras mendengus. Ia melanjutkan lagi acara omelannya yang mungkin baru akan berhenti saat jam istirahat usai nanti. "Si Lala juga ditolak! Padahal Lala cantik loh. Lulusan UI. Anak bimbingannya Bunda. Seenggaknya kan Bunda tahu gitu tentang Latisya. Gak neko-neko, ramah dan lucu! Cocok gitu sama Abang yang dingin begini. Tapi ditolak juga!" ia menghela nafas. "Ya, walau si Lala juga nolak sih," tuturnya lantas meringis. Namun tak lama, ia mendelik ke arah Abangnya yang baru membuka mulut hendak makan. "Cari istri, Baaang! Jangan kerja muluuu!" Sesendok nasi itu tak jadi masuk ke dalam mulut Farrel. Lelaki itu menghela nafas. Tiba-tiba kehilangan nafsu makannya sementara Ando hanya bisa mengulum senyum menatap abang iparnya dengan iba. @@@ Dan Icha cuma bisa menghela nafas usai menerima bingkisan yang dikirim Shabrina ke rumah. "Makasih, Pak," tuturnya pada sang pengantar paket. Si bapak itu hanya mengangguk lantas pergi dengan segera. Masih banyak paket lain yang harus ia antar kan. Icha membalik badan sembari membawa paket itu. Kemudian menaruhnya di atas meja makan. Ia duduk di kursi makan dengan menopang dagu. Sepertinya, ia harus mengingatkan anak sulungnya lagi tenrnag paket-paket ini. Pasalnya, yang datang itu bukan hanya satu-dua paket saja. Minggu lalu, ia juga menerima kiriman dari gadis itu yang katanya baru pulang dari Aceh. Sebelum-sebelumnya, ia juga menerima banyak bingkisan oleh-oleh dari gadis itu yang entah pergi ke kota mana saja. Lalu siang ini, Icha kembali menerima bingkisan beserta kartu ucapan maaf karena tak bisa mengantarnya langsung. Gadis itu baru pulang dari Jepang dan katanya membeli oleh-oleh dari sana. Karena masih belum tahu pasti kapan akan bisa datang untuk berkunjung, makanya ia mengirimkan semua itu lewat kurir. Haaah. Sebetulnya Icha tak memerlukan bingkisan-bingkisan ini. Toh ia juga mampu membeli semua barang itu. Apa gunanya kalau punya suami kaya dan tidak menggunakan hartanya untuk berbelanja? Fadlan yang baru keluar kamar, menoleh ke arah istrinya yang memindahkan parsel itu dari atas meja makan ke lantai. Ia berjalan menuruni tangga dan mendapati istrinya duduk di kursi makan sambil bengong menatap parsel lain yang juga menumpuk di atas meja makan. Ia terkekeh. "Kenapa lagi, yang?" "Kakak dulu sering dapet beginian?" Fadlan terkekeh. "Iya dong," sombongnya yang membuat Icha mendengus. Ia tak cemburu tapi ia kesal saja mendengar nada songong itu. Kalau ia membalas songongan itu, nanti suaminya ngambek. Hihihi. "Tapi kayaknya Abang keterlaluan. Ini jadi numpuk banyak banget bukan?" Icha cuma menghembuskan nafas. Lihat saja kardus-kardus yang tersusun rapi di gudang samping dapur itu. Mungkin ada sekitar seratus kardus di dalam sana. Sebagian besar dari Shabrina. Sebagiannya lagi? Ada dari Miss Indonesia dua tahun lalu, anak-anak pejabat, model hingga artis sinetron. Semua bertumpuk selama hampir enam bulan ini. Kalau terus dibiarkan, Icha bisa memperkirakan akan ada seribu kardus suatu saat nanti bahkan mungkin rumahnya akan penuh dengan ini. Astaga! Membayangkannya saja pusing kepala. Anaknya benar-benar harus cepat-cepat menikah. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan kedatangan parsel-parsel itu. "Gak apa-apa lah, yang. Lumayan kan dapet banyak oleh-oleh," tutur Fadlan sambil menepuk-nepuk bahunya. Icha mendengus mendengarnya. Ia sama sekali tak senang. Maka itu, ia terus mendesak Farrel untuk mencari istri saja biar tak ada lagi kiriman-kiriman seperti ini atau perempuan-perempuan yang datang ke rumah ini. Icha malas berbasa-basi. Apalagi kalau sejak pertama melihat, ia gak suka. Bah! Bukan apa-apa sih. Karena semua perempuan yang pernah datang ke sini itu niatnya memang ingin mengambil hatinya. Tapi ia tak suka saja karena...kagenjenan mereka yang suka memepet Farrel. Ia saja risih melihatnya dan berkali-kali mengomeli Farrel agar menjaga jarak. Namun anaknya masih sama. Enggan dan tak enak hati jika harus menolak perempuan-perempuan itu. Alhasil ya begini. Bunda yang pusing. Apalagi ia juga sering dihubungi perempuan-perempuan itu. Hanya saja, semenjak kabar kedekatan Farrel dan Shabrina mencuat, perempuan-perempuan lain sih sudah jarang yang datang. Mungkin terpengaruh berita itu juga. Namun itu sama sekali tak membuat Bunda senang. Karena masih ada Shabrina yang mengejar anaknya. Ia sih bukannya tak respek pada Shabrina hanya saja, kesan pertama gadis itu sudah minus dimatanya. Kalau ingat caranya menggandeng lengan Farrel dan mencondongkan kepalanya di bahu anaknya tepat di depan matanya, rasanya membuatnya ingin sekali menarik rambut gadis itu. Anaknya yang selama ini begitu terjaga malah jadi terkotori karena dipegang-pegang begini. Astaga! Icha memijit-mijit kepalanya. Tambah pusing kalau terus-menerus dipikirkan. "Nasib jadi orang ganteng kayak Papanya emang begitu, yang. Kamu harus bersyukur karena punya suami ganteng begini," nasehat Fadlan yang sudah duduk di sofa depan ruang televisi. Icha mual mendengarnya. Suaminya ini terlalu narsis. Gak sadar diri kalau sudah tua! Hihihi! "Bangga banget dikerubungi cewek-cewek kayak gitu," nyinyir istrinya sambil berjalan menuju wastafel. Fadlan terkekeh mendengarnya. Ia sih tak pernah pusing kepala dengan semua parsel dan semua cewek yang berdatangan ke rumah ini dengan niat mendekati Bunda dan juga Farrel. Mungkin Fadlan baru akan belingsatan lagi kalau ada cowok lain yang mendekati Bunda. Tapi ya, satu Indonesia pun tahu kalau ia adalah satu-satunya suami Bunda. Jadi tak ada yang berani macam-macam. "Bukannya kamu juga?" Fadlan melempar pertanyaan. "Pasti ada banyak cowok yang ngasih kamu barang-barang kayak gitu juga." Ish! Icha berdesis. Ya ada banyak yang suka taaapii, berhubung Icha ini jutek jadi gak ada yang berani mendekati. Kebanyakan juga sungkan padanya. Jadi boro-boro memberi ini-itu padanya. Bukan kah kalau begitu, lebih bagus? Ke dan nya kan tegas meski Bunda tak melakukan apapun. Lah suaminya? Anaknya? Ferril sih menikmati tapi sekarang sudah berkurang pesat. Farrel? Cowok itu tak gerak sama sekali dan cenderung agak membiarkan perempuan-perempuan itu terus ada di sekitarnya. Yaa, Farrel memang kadang agak sungkan bersikap jahat sih. Jadi gak bisa menolak kalau didekati. "Tapi gak gini juga, Kak. Aku juga capek nanggepin mereka yang sekalinya datang terlalu banyak basa-basi." "Gak apa-apa lah, yang. Siapa tahu salah satu di antaranya bisa jadi menantu. Iya kan?" Bah! Apalagi itu! Icha mana mau memilih salah satu dari perempuan-perempuan itu. Ya memang cantik-cantik, cerdas-cerdas dan kebanyakan juga pengusaha. Taapi, bukan yang begitu yang dicari Bunda. Bunda itu maunya yang solehah. Gak perlu cantik, gak perlu cerdas, cukup solehah. Kalau dikasih cantik dan cerdas juga yaa itu bonus. Karena bagi Bunda, dengan iman itu yang akan mengantar hidup untuk selalu dekat dengan-Nya. Hidup yang selalu mempersiapkan diri untuk mati sehingga seminimal mungkin menghindari maksiat. Hidup yang hanya memikirkan Allah sebagai tujuannya bukan yang lainnya. Iya kan? Tidak salah kan kalau Bunda menginginkan perempuan seperti itu untuk anak lelakinya? Dan lagi, siapa yang bisa menjamin jika belum menutup aurat sampai kini lantas bisa berumur panjang? Bisa saja kan tahu-tahu meninggal dan belum sempat menutup aurat. Ya memang sih tak ada yang tahu jumlah amal seseorang taapi setidaknya, orang yang sudah menutup aurat akan mengurangi jumlah dosanya dibandingkan mereka yang belum menutup aurat. Bayang kan saja dosa itu akan terus mengalir sepanjang ia masih terus membuka aurat. Bila dibandingkan dengan amal kebaikannya, ada yang bisa jamin akan melebihi dosa dari auratnya? Tak ada kan? Toh, bukan kah lebih baik menutup aurat jadi minimal sudah terhindar dosa dari itu? Meski belum bisa menghindari dosa dari yang lainnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD