Rumor Tentang Faradina

2990 Words
Kening Latisya mengerut begitu membaca balasan pesan dari dosennya yang ternyata mau menanyakan kakak sepupunya. Kebetulan Latisya sudah di bus, hendak mudik ke Bandung. Kalau Fara sih sudah berangkat mudik kemarin dengan menumpangi pesawat. Gadis itu pulang ke kampung halaman ibunya, Bangka Belitung. Sejak kecil, ia memang tinggal di sana bersama kedua orangtuanya. Fara sudah punya calon belum, La? Itu pesan dari Bunda dan menunggu balasan dari Latisya. Fadlan bahkan baru pulang dari solat subuh dan langsung diminta istrinya duduk bersama di sofa. Membicarakan soal perempuan yang katanya mau dilamar anak sulungnya. Tapi rencana awal tentunya ta'aruf. Farrel tidak mau terlalu memburu walau ia sebetulnya sudah sangat ingin menikahi gadis itu. Ia agak bersabar karena semua itu butuh waktu. Gadis itu pasti kaget kalau ia tiba-tiba datang melamar. Jadi kenalan dulu adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Sahur tadi Farrel berbisik pada Bundanya kalau sudah yakin dengan perempuan ini. Makanya, agar tak membuang-buang waktu, Icha langsung menghubungi Latisya untuk menanyakan hal tentang Fara. Belum Bunda Haaah. Icha menghela nafas lega. Suaminya terkekeh melihat reaksinya. Istrinya ini ingin anak sulungnya segera menikah agar terhindar dari fitnah yang tersebar melalui berita-berita gosip itu agar tak semakin melebar. Niat terselubungnya tentu saja agar segera mendapatkan cucu. Bunda kan suka sekali dengan anak kecil. Ya kan? Adel saja masih sering diminta menginap di rumah. Kira-kira dia mau ta'aruf gitu gak, La? Latisya tampak berpikir. Kakak sepupunya kebetulan memang sedang menyebar CV ta'aruf. Sudah ada beberapa lelaki yang ditawarkan tapi belum ada satu pun yang diterima. Bukannya pemilih tapi Fara belum tertarik dengan lelaki-lelaki itu. Kalau sudah tertarik sih pasti diiyakan. Kebetulan kakak memang lagi nyari sih Bunda. Kenapa, Bun? Bunda punya calon yang mau dikenalkan? Ia langsung saja. Karena feeling-nya mengatakan dosennya pasti punya calon makanya menanyakan padanya. Tapi siapa? tanyanya dalam hati. Farrel? Jelas gak mungkin. Lelaki itu kan sudah punya pacar. Ferril? Duh! Latisya terkekeh tanpa suara. Mustahil Fara mau dengan lelaki yang seperti itu. Ia kan tahu betapa tengil dan pecicilannya si Ferril. Dan itu jauh sekali dari kriteria Fara. Ponselnya yang hendak ia simpan disaku celana malah meluncur ke bawah kaki. Gara-gara terlintas nama Ferril membuatnya tertawa. Ferril sih bukan tipe kakak sepupunya sama sekali. Fara suka lelaki dewasa yang bisa mengayomi dan itu bukan Ferril. Lalu siapa? pikirnya lantas memikirkan berbagai kemungkinan. Mungkin keponakannya, pikirnya. Keluarga Bunda kan besar sekali. Walau ia juga tak tahu sebesar apa. Hanya saja, ia sering mendengar nama Adhiyaksa. Sementara itu Bunda sudah membalas pesannya lagi tapi belum kunjung dibalas oleh Lala yang matanya sudah berat hingga tertidur selama perjalanan di bus menuju Bandung. Perempuan itu benar-benar tertidur dan itu membuat Bunda gelisah menunggu balasannya. Sorenya, Latisya tiba di rumah. Ia langsung memeluk ayahnya yang tampak sehat dan bugar. Ayahnya kan prajurit negara. Kemudian ia berjalan menuju kamar ibunya. Ibunya sudah tiga tahun terakhir ini mengalami stroke. Tak bisa bergerak banyak walau kini agak tersenyum melihat kedatangannya. Sebetulnya, ia menawarkan diri untuk tinggal di rumah dan mengurus ibunya tapi ayahnya tak mengizinkan. Lelaki itu menyuruhnya agar menetap di Jakarta saja. Padahal ia tahu kalau ibunya jarang ada yang mengurus. Ya, ada bibinya yang mengurus ibunya ketika ayahnya sedang bertugas. Namun tetap saja, ia pilu sebagai anak karena tak bisa mengurusnya. Namun ayahnya masih tetap keras pendirian agar ia mengejar karir impiannya di Jakarta dan tak usah mengkhawatirkan ibunya. Menjelang tidur, Latisya baru mengecek ponselnya lagi. Ia sibuk bercengkrama dengan ibu dan ayahnya karena memang jarang bertemu. Pulang pun paling sering ya sebulan sekali. Jadi ia fokus pada mereka. Ia tak tahu kalau sudah membuat Bunda sangat-sangat gelisah menunggui balasan pesan darinya. Sampai-sampai berberes pun jadi malas. Jadi lah para lelaki di rumah yang membereskan tapi diiringi perintah Bunda. Kalau ta'aruf-nya sama anak Bunda mau gak? Latisya terkekeh begitu membaca pesan dari Bunda itu. Ia geleng-geleng kepala. Mau menolak tapi gak enak hati karena ini adalah mantan dosen pembimbingnya saat di kampus. Haaah. Ia menghela nafas. Feeling-nya mengatakan kalau Bunda berniat menawarkan Ferril pada kakak sepupunya itu. Walau tak urung ia pura-pura bertanya.... Siapa, Bunda? Icha langsung berlari ke arah ponselnya yang berdenting. Ketiga lelaki di rumah itu kompak menoleh lalu geleng-geleng kepala melihat kelakuan Bunda yang bagai mendapat pesan dari pacar pertama. Heboh sekali. Farrel, La. Gimana? Latisya tentu kaget membaca balasan itu. Ia sampai mengucek matanya berkali-kali. Ini dosennya apa gak salah? Farrel? Cowok itu kan punya pacar! Mana beritanya santer pula! Haduh! Memikirkannya saja membuat Latisya sakit kepala. Bukannya Bang Farrel punya pacar ya, Bun? Ia mencoba bertanya sopan. Ia tentu tak mau mengenalkan kakaknya dengan pria berpacaran. Nanti dikira merebut pacar orang lagi. Uurgh! Apalagi berita Farrel kan santer banget. Latisya pasti habis dimarahi kalau kakaknya itu mendadak terkenal sebagai orang ketiga. Dan lagi, sepertinya Farrel juga bukan kriteria kakak sepupunya itu. Fara mana terpincut dengan cowok yang sebegitu gantengnya. Biar kata ganteng, Fara tak silau. Lantas lelaki seperti apa yang disukai Fara? Nah ini! Ia ingat obrolan terakhir dengan kakak sepupunya itu. Farrel jelas jauh dari tipe lelaki yang disukainya. Lantas ia harus bagaimana? Lala jadi bingung sekaligus pusing. Fara yang ditawari ta'aruf kenapa ia yabg ikut pusing memikirkannya? Sementara Bunda menghela nafas. Ia sudah mewanti-wanti balasan dari Lala akan seperti ini. Pasti akan salah mengira menilik berita-berita yang hangat akhir-akhir ini. Haaah. Padahal ia sudah sering mengomeli anak sulungnya itu agar tegas pada perempuan-perempuan itu sehingga tak ada yang salah paham begini. Perempuan itu bukan pacarnya, sayang. Anak Bunda gak pernah pacaran dengan perempuan mana pun. Media saja yang terlalu melebih-lebihkan. Gimana? Latisya menahan nafas ketika membacanya. Sepertinya dosennya ini agak emosi tapi ia berusaha bersikap senormal mungkin. Tapi ia tetap tak percaya. Entah lah, mungkin karena terpengaruh media. Dan sebetulnya keberatan dengan tawaran ta'aruf ini karena.....kenapa dosennya ini harus mengenalkannya pada Farrel? Ada banyak lelaki di dunia ini dan kenapa harus Farrel? Latisya memijit-mijit kepalanya. Kakak sepupunya yang ditawarkan kenapa ia jadi terbebani sih? pikirnya. Tapi bukan apa-apa sih. Kalau Fara sampai tahu, ia bisa dicekik gadis itu. Bah! Tapi sekali lagi, ia tak enak menolak karena ini permintaan dosen pembimbingnya. Kalau dari yang lain sih, ia pasti berani menokaknya. Maka terpaksa ia mengetik kata-kata berikutnya.... Nanti Lala tanya kak Fara dulu ya, Bun Bunda tersenyum lantas mengucapkan terima kasih. Kini ia hanya bisa berdoa semoga Fara mau ta'aruf dengan anaknya. "Gimana, Bun?" tanya Farrel yang baru pulang dari rumah Opa. Ia tak jadi menginap karena besok pagi harus berangkat meninjau proyek dengan Papanya. "Nanti si Lala akan kabari Bunda, Fara mau atau tidaknya, Bang," tuturnya lantas memeluk anaknya yang baru menaiki tangga itu. "Bunda senang kalau calon istrinya anak Bunda yang kayak Fara," lanjutnya yang membuat Farrel tersenyum. Ia lebih senang, Bun. @@@ Farrel menyetir mobilnya dengan santai. Sejujurnya, kantornya sudah libur. Bahkan sebagian besar karyawannya sudah mudik ke kampung halaman. Tapi ia masih sering bolak-balik ke kantor. Ia bosan jika tak ada hal yang harus dikerjakan begini. Dan lagi, tawaran ta'arufnya belum ada perkembangan sama sekali. Padahal ia sangat menanti-nanti. Ingin rasanya langsung bertanya pada Fara tapi ia terlalu malu bahkan untuk sekedar menyapa melalui pesan pada gadis itu. Ia juga harus menjaga hatinya. Ia membelokan mobilnya memasuki gerbang komplek. Baru saja membelok, Adel berteriak-teriak. Sepupu kecilnya itu sedang mengendarai sepeda sendirian. Farrel menghentikan mobilnya. Ia geleng-geleng kepala. Kenapa gadis kecil itu bermain jauh sekali? Ia membuka pintunya dan mendapati Adel yang mengendarai sepeda dengan ngos-ngosan. "Abaaaaaaang anterin Adel pulaaaang," pintanya. "Jauh amat mainnya," komennya. Ia mengambil alih sepeda Adel kemudian memasukannya ke dalam bagasi. Sementara bocah itu sudah naik ke mobilnya. "Adel dari mana aja?" tanyanya begitu naik ke dalam mobil. Gadis kecil itu malah heboh membuka dashbornya. "Iiih! Gak ada foto ceweknyaaaa!" serunya kecewa. Farrel terkekeh. Iya lah. Ia mana punya foto Fara eeeeh! Enggak deng! Ada kok foto Fara yang semalam ia curi dari ponsel Bunda. Hahahaha. Itu karena Bunda terus bercerita tentang Fara yang menjadi Mapres UI. Bunda kan pernah berfoto dengan gadis itu saat memenangkan anugerah itu. Jadi diam-diam Farrel mencurinya. Fara terlihat cantik sekali difoto itu dengan berdiri di sebelah Bunda. Ia jadi mengkhayal jauh sekali semalam. Membayangkan berdiri di pelaminan bersama Fara. Hihihi! "Iiih! Pertanyaan Adel gak Abang jawab ih!" protes gadis kecil itu. Kata-kata Adel membuyarkan khayalan Farrel tentang Fara. Astagfirullah, ia ber-istigfar. Sepertinya, ia memang harus segera menikahi perempuan itu agar apa? Agar tidak berdosa jika mengkhayalkannya. Hihihi! Tapi eh tapi, Adel jadi suka memeriksa isi dashbor mobil para sepupunya. Kejadian awal bermula saat ia mendapat foto mantan Aa'aaknya ada di dashbor mobil A'aknya itu. Saat memeriksa mobil yang dikendarai Ferril, ia juga menemukan foto Echa. Cewek yang waktu di acara buka bersama di rumah Opa ikut datang bersama Ferril. Ia juga pernah membuka isi dashbor mobil Ardan. Isinya? Foto beruk dan siamang. Adel sampai terbahak ketika melihat gambar-gambar itu. Si Ardan hanya iseng saja. Dan ketika memeriksa isi dashbor mobil Farrel ia malah tak menemukan foto apapun. Hihihi. "Adel gak suka tauk Abaaang!" sungutnya. Farrel berdeham. "Gak suka apa?" "Itu looooh, Abang sama cewek-cewek itu," tuturnya. Farrel terkekeh tanpa suara. Makin lama, Adel memang terlihat sangat mirip dengan Farras. Caranya menyampaikan ketidaksukaannya juga sama persis dengan yang disampaikan Farras. "Kan dalam Islam, gak boleh pacaran kalau belum menikah," tuturnya. Itu yang ia tahu karena terlalu sering mendengar Farras mengatakan hal itu. "Terus kapan boleh pacarannya?" tanya Farrel. Ia berpura-pura tak tahu. "Iiih! Kan harus nikah dulu, Abaaang!" Farrel tersenyum kecil. "Terus?" "Ya Abang cari calonnya! Jangan kayak Abang Ardan yang katanya mau menikah tapi calonnya aja gak dicari!" Farrel terkekeh. Kenapa Adel harus membanding-bandingkannya dengan Ardan? "Coba Adel cariin calon untuk Abang," pintanya. Adel tampak berpikir keras. Setelah itu ia kembali berbicara dan berhasil membuat Farrel tertawa. "Kalau untuk Abang, Adel gak perlu turun tangan. Karenaaaaaa banyak tauuuk yang suka sama Abang! Kalau Abang Ardan itu yang susah nyarinya! Adel sampai pusing!" Farrel lebih pusing mendengar keluhan Adel yang pusing memikirkan jodoh Ardan itu. Astaga, abang sepupunya itu. Bisa kah ia berhenti curhat pada anak-anak macam Adel dan Adeeva? Karena mereka masih terlalu kecil untuk mengerti urusan asmara dan jodoh. Tapi turut terbebani memikirkan jodoh Ardan yang masih gelap itu. "Kenapa Adel yang pusing?" "Itu loh Abaaang, kayaknya ada yang salah sama Abang Ardan! Soalnyaaaaaa, Adel udah sering looh doain Abang Ardan biar ketemu jodoh tapi sampai sekarang, Abang Ardan masih jombloooo!" serunya. Wajah frustasinya itu menghibur Farrel yang terkekeh pelan. "Mungkin doa Adel kurang kencang." Adel menghela nafas. Seolah perihal jodoh Ardan ini sudah diujung tanduk. Masalah yang darurat sekali. Padahal mungkin, orangnya saja masih santai. Tidak terlalu memikirkan walau ketar-ketir juga semenjak melihat Ferril resmi membawa calonnya ke acara buka bersama si rumah Opa kemarin-kemarin. @@@ "Itu kontaknya temen gue, Bang. Pernah satu jurusan sama Fara. Tapi beda angkatan," tutur Ferril yang tahu-tahu sudah mendapat banyak bocoran tentang Fara. Padahal Farrel sama sekali tak meminta tolong padanya untuk mencari tahu tentang gadis itu. Karena Farrel merasa sudah cukup mendapat banyak informasi dari Bundanya. Tapi yang namanya Ferril kan berbeda. Cowok itu hanya perlu memastikan kalau cewek yang akan diajak Abangnya untuk ta'aruf itu benar-benar gadis yang baik. Ferril tentu sudah banyak mengobrol dengan temannya yang mengenal Fara di kampus saat menempuh pendidikan sarjana itu. Maka jadi lah Farrel menongkrongi kamar Ferril. Biasanya, ia paling malas berada di kamar Ferril karena kamar adiknya itu berantakan dan.....terlalu banyak barang yang tidak penting. Bahkan kamarnya lebih mirip gudang dibanding kamar yang digunakan untuk tidur. Bunda saja malas masuk ke kamar ini karena saking berantakannya. Mirip kapal pecah. "Apa katanya?" "Gak lo tanya langsung aja?" Farrel menghela nafas. Ia tak ingin orang-orang tahu kabar ta'arufnya dengan seorang perempuan. Ia tak mau itu menjadi pemberitaan. Biar kan urusan pribadinya, ia simpan rapat-rapat. "Cewek idola para ikhwan kampus." Aaaah. Farrel mengangguk-angguk. Ia sudah menduganya. Apalagi mendengar cerita Bundanya di mana gadis itu memenangi banyak prestasi di kampus. Otomatis, banyak yang mengenalnya. "99% tawaran ta'aruf yang datang ditolak." Waaah. Mendengar kabar itu membuat Farrel meneguk mudah dalam-dalam. Ferril tersenyum kecil. Ia memakai kaosnya kemudian mengambil kursi kerjanya dan mendorongnya ke arah Farrel yang duduk di atas tempat tidurnya. "Semua cowok ganteng yang pernah menawarkan diri untuk ta'aruf sama dia, 100% ditolak." Ferrilt tersenyum miring. Senang karena mendapat informasi yang tidak diduga oleh Farrel. "Dosen yang pernah ta'aruf sama dia itu, tampangnya bahkan pas-pasan, Bang. Tapi diterima. Sayang aja, gak lanjut ke pelaminan." Farrel lekat-lekat mendengarkan. "Ada rumor yang bilang kalau dia trauma gitu sama cowok ganteng," lanjutnya. "Tapi hanya rumor. Gak tau benar atau enggaknya. Cuma anak-anak satu kampus kan heran, kenapa ditolak gitu. Padahal ganteng-ganteng juga yang datang ngelamar." "Terus?" Ferril terkekeh. Ia beranjak dari bangkunya lantas berjalan menuju tas yang tadi ia bawa ketika menemui orang yang mengenal Fara itu. "Gue dapet ini susah payah," tuturnya lantas menunjukan foto yang baru tadi ia cetak sebelum pulang ke rumah. Mata Farrel berbinar. Ferril berhasil mendapat foto Fara yang tampak anggun dengan gamisnya. Foto wisuda Fara. Sendiri. Gadis itu berdiri dengan latar belakang Gedung Rektorat UI. "Gak ada yang gratis di dunia ini, Baaang," tuturnya ketika Farrel mengulurkan tangan untuk mengambil foto itu tapi ia malah menarik foto itu lagi. Ferril terbahak. Farrel hanya menatapnya dengan jengkel. Memang tidak ada yang mudah jika berurusan dengan Ferrril. Farrel hampir lupa tentang itu. Ia terlalu terbuai pesona foto itu. Omong-omong ini bukan transaksi gelap. Ini hanya persoalan hati dan asmara. "Apa mau lo?" tanya Farrel. Ferril terbahak lagi. Ia senang sekali mempermainkan Abangnya ketika dalam posisi seperti ini. Posisi di mana abangnya tak punya pilihan lain selain menurutinya. Hihihi! Memang yang namanya lihai dan cerdik itu adalah ciri khas Ferril. "Nanti gue kasih tahu kalau ada sesuatu yang gue pengenin," tuturnya lantas menyerahkan foto itu secara cuma-cuma pada Farrel usai mempermainkan hatinya. Memang otak-otak playboy sekali. Farrel saja dipermainkan. Hihihi! "Terus?" tagih Farrel. Ia mengantongi foto itu sebelum Ferril berubah pikiran. Pasalnya, adik sablengnya ini benar-benar tak bisa dibaca alur pikirannya. "Rumor lainnya, Fara itu agak aneh." "Aneh?" Ferril mengangguk. "Dia gak seperti yang kita kira." "Maksudnya?" Ferril hanya mengendikan bahu. Ia juga tak paham. Karena temannya itu sudah harus pergi ketika ia bertanya maksud dari kata-katanya. Sementara Farrel dibuat bingung sekaligus was-was. Apakah 'aneh' yang dimaksud itu bermakna negatif? Tapi kata 'aneh' itu benar-benar membuatnya bingung. @@@ Dan Bunda terkekeh melihat anak sulungnya terus membuntutinya ke mana pun demi mengorek kabar terbaru yang didapat Bunda tentang Fara. Bunda sengaja memanggil Farrel usai subuh tadi dan ia mengatakan kalau ada banyak hal baru yang ia ketahui tentang gadis itu. Jadi lah, sesiang ini, usai mendekam di kamar dan mengerjakan tugas kantor, ia menemani Bundanya yang asyik membuat kue. Ia hanya menemani bukan membantu. "Bunda dapat kabar ini bukan dari Lala loh. Tapi secara tidak langsung juga ada hubungannya dengan Lala." Farrel berdeham. Matanya menatap Bunda sedari tadi. Ia sangat antusias demi mendengar apa yang Bunda dapatkan tentang Fara. "Belum ada yang ta'arufan lagi sama Fara selama dua tahunan ini." Aaah. Farrel mengangguk-angguk. "Bunda dengar, dia lagi pengen fokus untuk ngejar beasiswa waktu itu." Bunda berdeham. "Tapi mungkin sekarang, berubah pikiran." "Lalu?" Bunda mengendikan bahu. "Ya semoga aja dia mau nerima tawaran ta'aruf dari Abang." "Bunda yakin?" Bundanya terkekeh. "Setidaknya yang menawarkan ta'aruf kan Bunda. Bunda dengar kalau tawaran ta'aruf itu dari temen-temannya, kebanyakan ia tolak." "Kenapa?" "Bunda juga gak tahu alasannya." Bunda menghela nafas. "Ini Bunda dapat cerita dari mantan dosen pembimbingnya waktu S1." Farrel mengangguk-angguk. Dan dosen pembimbing Fara sudah pasti rekan kerja sesama dosen ketika Bundanya masih mengajar di sana. "Dia cerita banyak tentang asmaranya sama temen Bunda ini." Waw. Farrel langsung mendongak. "Jadiiii," cerita Bunda kemudian ia menatap anaknya yang tampak menahan nafas dan tidak sabar dengan kelanjutan pembicaraannya. "Serius amat sih, Bang," ledeknya. Farrel hanya menghembuskan nafas. Ia kan deg-degan mendengar kelanjutannya. Bunda tertawa kecil lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Dia pernah patah hati parah katanya. Pernah jatuh cinta sama cowok terus tahu-tahu si cowok udah punya pacar. Tapi, selama mendekati si Fara, cowok itu gak kelihatan punya pacar." Aaah. Farrel mengangguk-angguk. Ia menyimak kelanjutan cerita dari Bunda. "Mungkin karena terlalu cinta. Namanya juga anak muda. Jadi patah hati banget dan bener-bener gak mau menerima cowok manapun semasa kuliah itu. Hingga akhirnya si dosen itu mengajak ta'aruf. Tapi itu juga karena dipaksa orangtuanya." Farrel berdeham. Ia bisa merasakan bahwa yang namanya patah hati itu sudah pasti sakit sekali. Meski mungkin orang lain tampak tak melihat kita sesakit itu. "Cuma kan gak lanjut karena memang gak disetujui sama orangtuanya si cowok. Gara-gara status Fara masih mahasiswa waktu itu. Ibunya si cowok kepengen dapat menantu perempuan yang udah kerja. Bukan yang masih kuliah kayak gitu." Farrel mengangguk-angguk. "Fara gak patah hati katanya. Cuma agak kesal saja. Karena kan si cowok yang mengajak ta'aruf saat proses lamaran malah dibatalkan." Bunda melanjutkan ceritanya lagi sembari mengolesi permukaan kue dengan kuning telur. "Hanya dua cowok itu yang ada di kehidupan Fara. Setidaknya sampai saat ini. Fara juga gak pernah pacaran." Farrel tersenyum kecil. Sekalipun Fara pernah pacaran dimasa lalunya, ia akan tetap menerima kok. Toh itu hanya menjadi bagian dari masa lalu kan? "Cuma nih kata temennya Bunda itu. Fara itu susah suka sama orang, Bang. Susah jatuh cinta. Dari sekian banyak cowok mungkin ada yang membuatnya tertarik. Tapi saat lanjut ke tahap ta'aruf, si Fara yang malah pergi lalu menolak." Farrel berdeham. "Mungkin dia gak suka sama cowoknya, Bun." Akhirnya anak lelakinya ini bicara juga. Bunda tersenyum kecil. "Dan itu kejadian berkali-kali, Bang. Sampai-sampai katanya dibawa orangtuanya ke ustad gitu untuk di-ruqyah." Farrel terkekeh mendengarnya. Ada-ada saja. Sementara Bunda menghela nafas. "Jadi, Bang, mau berjuang untuk Fara?" ledek Bunda dan itu membuat Farrel hanya sanggup menggaruk-garuk tengkuknya. Malu. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD