"Kalau tadi kan kita udah tahu nih, kesibukan-kesibukannya Kak Shabrina, lalu persiapan untuk Miss Universe yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi, dan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan. Nah, sekarang ini lagi heboh banget tentang Kak Shabrina yang katanya punya kekasih nih!" serunya yang membuat Shabrina terkekeh. Ia sudah tahu kalau pertanyaannya akan mengarah ke sana. Namun yang tidak ia sangka adalah....
"Nah! Kebetulan orangnya juga kita undang ke sini! Siapa kah diaaaaa???!" ia makin berseru kencang. Seruannya tentu disambut riuh oleh penonton yang sudah tidak sabar melihat kebersamaan keduanya secara langsung. "Farrel Adhiyaksa! Pengusaha muda yang masuk Forbes 30 Under 30! Wuuhuuuuuuuuu!"
Farrel muncul. Ia tak tahu kalau Shabrina juga diundang dalam salah satu acaran bisnis televisi yang disiarkan secara langsung ini. Bunda yang sedang menikmati kacang polong di depan televisi sampai terbatuk-batuk. Ia pikir, anaknya akan masuk ke sesi yang berbeda dengan Shabrina. Papanya menyodorkan minuman pada istrinya itu sambil terkekeh. Farras yang ikut nimbrung langsung bermuka masam. Suaminya hanya bisa mengusap wajahnya sendiri. Alamat bakalan ngomel lagi dah istrinya di rumah nanti.
Ferril? Cowok itu tadi cukup lama di masjid usai tarawih. Mengobrol dengan Ustad Marshall soal pernikahan. Lalu ketika tiba di rumah, ia mendapati Papanya, Bunda, Farras dan Ando duduk di satu sofa sambil menonton acara televisi. Kini ia baru bersiap keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung, menonton acara abangnya.
"Giiirlsss! Sadis banget ini cocoknya!" seru sang pembawa acara. Sementara Farrel yang baru bergabung, didorong duduk di sofa bersama Shabrina yang kini sudah mendekat ke arahnya. Gadis itu tersenyum senang dan tanpa malu memegang lengan Farrel. Lelaki itu sebenarnya risih tapi ia tak bisa bergerak. Dengan jarak yang terlalu dekat dan Shabrina yang membuatnya panas-dingin. Lalu ditatap pula ratusan penonton di studio ini. Astaga!
Sementara para penonton riuh. Gimana enggak? Wong banyak yang mendukung keduanya. Disetiap postingan Farrel dan Shabrina saja sudah dipenuhi berbagai doa agar hubungan keduanya langgeng. Lalu didoakan juga agar cepat menikah. Tak hanya itu, bahkan banyak yang membuat akun-akun fans-couple untuk mereka. Selain itu, ribuan doa juga membanjiri akun Bunda dan Farras. Farras sudah mau muntah saking kesal membacanya. Selain karena ia tak setuju, abangnya juga tak punya hubungan apapun dengan gadis itu. Netizen sok tahu, pikirnya.
"Abang harusnya rangkul itu si Shabrina," komen Ferril yang kontan saja dipelototin dua perempuan di dekatnya. Ia terkikik dan Papanya geleng-geleng kepala. Sudah tahu dua perempuan ini emosi, anak sablengnya malah mengompori.
"Jadi, ini banyak banget yang DM sebenarnya. Katanya pada penasaran dengan kisah awal kalian bertemu," tutur si MC. Ia tak berhenti mengamati Farrel dan Shabrina yang menurutnya cocok abis. Gimana enggak? Yang satu ganteng dan yang satu cantik! Pastinya cocok dong ya?
"Naaah, coba nih Kak Shabrina dan Mas Farrel, cerita-cerita tentang awal pertemuan kalian berdua!" pintanya. Para penonton tak berhenti menyeru mereka.
Shabrina langsung berbicara. Ia tidak akan membiarkan Farrel sedikit pun bicara tentang hubungan kosong ini. Hihihi. Dan lagi, ia memang ingin mengumumkan pada khalayak ramai kalau lelaki ini adalah miliknya. Pasalnya, ia sering mendengar banyak perempuan yang jatuh cinta pada Farrel. Itu kan membuatnya kesal.
"Pertemuan pertama kali itu waktu ada suatu acara di Senayan, Farrel juga diundang dan aku kan nemenin pak presiden," ceritanya dan Farras langsung mengomentari.
"Ini acara unfaedah banget," kesalnya. Bunda mengangguk-angguk setuju. Sementara Papanya terkekeh geli sambil mengelus kepalanya. Kepala anaknya sudah berasap sedari tadi.
"Terus dikenalin sama Mas Dava yang kebetulan temen deketnya Farrel," jawabnya yang disambut sorak-sorai pembawa acara dan penonton. Ia tersenyum kecil. Senang dong dengan banyaknya dukungan yang tertuju pada hubungannya dengan Farrel. Secara, Farrel itu adalah lelaki idaman semua wanita. Ya kan?
"Aku tertarik duluan sama dia sampai akhirnya kita jalan kayak gini," tambahnya yang membuat Farras kepengen muntah. Ferril terbahak melihat reaksi kembarannya itu. Papanya terkikik geli. Menurutnya, yang menonton di rumah ini lebih lucu ketimbang bintang tamu di acara televisi itu.
Farrel? Cuma bisa menghela nafas. Ia mencoba menggerakan lengannya tapi kuku-kuku panjang milik Shabrina itu menekan lengan kemejanya. Ia bersyukur tadi ia tak menggulung lengan bajunya seenggaknya kuku gadis itu tak menyentuh kulitnya. Meski ada gelenyar aneh yang dirasanya. Bagaimana pun Farrel itu lelaki. Apalagi paha gadis itu agak menempel di dekatnya. Pantatnya juga. Daaan, ia hanya mengenakan dress emerald sepanjang lutut yang ketika duduk, tertarik sedikit ke atas. Iman ke mana imannya?
"Farrel itu romantis sebenarnya. Kelihatannya aja pendiam begini," jawabnya ketika ditanya bagaimana sosok Farrel. Farrel bahkan belum berbicara sepatah kata pun sedari tadi karena tak mendapat kesempatan. Semua jawaban dipepet Shabrina.
"Bun, kalau Abang pulang kudu dikasih desinfektan biar higienis!" ingat Farras yang lagi-lagi mengundang tawa. Suaminya bahkan sampai terbahak. Anak perempuannya ini ada-ada saja.
"Aku kan biasanya pakek baju kayak gini ketemu dia. Dan kalau duduk, dia selalu ngasih jasnya ke aku buat nutupin bagian bawah ini," jawabnya lagi ketika ditanya soal aksi romantis Farrel. Penonton? Berseru iri karena membayangkan keromantisannya. Shabrina hanya tersenyum kecil. Sesekali ia menatap Farrel yang tampak bengong ke arah depan. Padahal Farrel sedang menahan diri. Astaga!
"Kalau menurut Mas Farrel, bagaimana sosok Kak Shabrina dimata Mas?"
Akhirnya si pembawa acara sadar juga kalau Farrel belum bicara satu patah kata pun sedari tadi. Shabrina langsung menatap intens dengan tangan yang tak lepas dari lengannya. Tatapan intens yang hangat tentu ditambah senyuman manis yang terlihat sangat tergila-gila pada Farrel. Penonton makin riuh dibuatnya. Merasa ikut jatuh cinta dengan sikap Shabrina yang terlihat begitu mencintai Farrel itu. Bahkan banyak yang menjadikannya snapgram!
Farrel berdeham sebelum menjawab. Ia merasa menyesal hadir di acara ini. Seingatnya, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan bukan pertanyaan seperti ini. Dan tidak diberitahu pula kalau akan satu sesi dengan Shabrina. Lain kali, ia akan memeriksa hal remeh seperti ini. Dari pada kejadian yang sama terulang.
"Baik."
Bunda dan Farras kompak menyemburkan tawa. Itu bukan jawaban yang diinginkan penonton dan si pembawa acara. Apalagi Shabrina yang mukanya sudah memerah malu. Walau ia tahu kalau Farrel akan menjawab seperti itu. Yeah, jawaban apa sih yang ia harap kan? Syukur-syukur Farrel tak konfirmasi apapun terkait hubungan kosong mereka.
"Yang lainnya, Mas?"
Farrel menghembus nafas keras. Ia tampak keberatan dengan pertanyaan itu sementara Bunda dan Farras sudah terbahak. Sedangkan para penonton menantikan jawabannya. Dan sebelum Farrel membeberkan jawaban yang tak bisa diprediksi Shabrina, gadis itu langsung angkat bicara.
"Dia memang begitu kalau ditanya soal aku."
"Kenapa memangnya, Kak?"
Shabrina tersenyum kecil. "Dia kan kaku dan pendiam ya, kelihatan kan?" jawabnya sambil menatap Farrel penuh cinta dengan senyuman tipis nan menggoda. Tangannya makin erat saja menggandeng lengan Farrel. Farrel cuma duduk kaku di sofa tak berkutik. Lain kali ia akan memilah-milah acara yang mengundangnya. Terlebih jika melibatkan gadis ini. Sebisa mungkin ia akan menghindarinya dari pada akan terjebak lagi seperti ini. Ia jamin, pulang nanti ia akan diomeli habis-habisan oleh Bunda dan Farras. Membayangkannya saja sudah membuatnya pusing kepala.
"Tapi biasanya gak begituuu," teriak salah satu penonton lantas dibalas oleh pembawa acaranya. Si pembawa acara tahu karena beberapa kali sering bertemu Farrel. Dan Farrel tak sediam ini. Namun kemudian ia tersenyum lebar. "Ya kan kalau sekarang karena ada Kak Shabrina jadi salah tingkah! Uhuy! Emang beda ya kalau lagi jatuh cinta itu!" simpulnya yang kembali menimbulkan keriuhan. Shabrina tertawa anggun tapi malu-malu. Dan Farras benar-benar ingin menyilati wajahnya.
@@@
Suara pisau menancap hingga bisa membelah timun menjadi dua bagian secara kejam. Itu aksi kesal Farras pada Abangnya yang baru keluar dari kamar usai tidur siang. Farrel cuma bisa menghela nafas. Urusan semalam jadi panjang tentunya. Ia bisa selamat tadi pagi karena saat tiba di rumah, rumahnya kosong. Kalau sekarang? Jangan ditanya.
"Bunda gak suka Abang membiarkan perempuan itu begitu dekat dengan Abang," tutur Bunda yang masuk ke rumah sambil membawa jemuran. Terang saja Bunda mengomel karena semalam, Farrel tampak pasrah saja dipegang-pegang Shabrina. Bahkan duduknya pun begitu dekat hingga tak ada jarak. "Gak cuma Shabrina tapi juga perempuan-perempuan lain yang begitu sama Abang."
"Ras juga gak suka. Apalagi Abang kayaknya menikmati banget tuh disentuh-sentuh si Shabrina," semprot Farras. Kali ini ikan Bundanya yang menjadi aksi kekejamannya sebagai ungkapan kekesalan pada acara semalam. Ikan itu sudah mati dua kali gegara ulah pisau ditangan Farras.
Farrel semalam tidak pulang ke rumah. Lelaki itu menginap di apartemen miliknya yang tak jauh dari kantornya. Lalu menjelang zuhur ia baru pulang dan langsung tidur usai zuhur. Ia sengaja tak pulang karena dari semalam pun, Farras sudah menyemprotnya di w******p.
"Bang!" panggil Bundanya. Ia memanggil karena Farrel tidak menanggapi omelan keduanya. Farrel menoleh dan menatap Bundanya yang marah. Lelaki itu berjalan mendekat. "Ke mana anak Bunda yang sangat menjaga diri dari pergaulan semacam itu? Bunda tahu Abang lebih tahu soal itu dibanding Bunda tapi..."
"Bunda, maaf," bisiknya saat memeluk Bundanya yang masih emosi. Bunda menepuk-nepuk bahunya. Ia masih marah sebetulnya.
"Minta maaf ke Allah bukan ke Bunda," tutur Bunda. Ia balas dengan anggukan.
Farras? Mendengus melihat adegan pelukan itu dilakukan tanpanya.
"Ras gak dipeluk juga nih?" gerutunya yang membuat Bunda terkekeh. Farrel yang baru melepas pelukan dari Bunda cuma menggaruk-garuk tengkuk. Hingga Farras melepas pisau yang dipegangnya kemudian melompat ke arah Abangnya. Meskipun ia masih marah tapi rasa sayangnya lebih besar dibanding rasa marahnya pada Abangnya.
@@@
Farrel pamit untuk berangkat ke studio rekamannya. Ando sudah ada di sana dan baru saja selesai rekaman untuk surat Al Fath. Husein tidak bisa datang hari ini karena ada pekerjaan di luar kota. Sementara Izzan masih dalam perjalanan. Lelaki itu bilang kalau akan mampir sebentar. Tak lama Ardan dan Adit muncul. Kedua orang itu tentunya tidak datang untuk rekaman melainkan untuk menyaksikan rekaman saja. Hitung-hitung untuk mengisi waktu luang. Lagi pula, Adit juga sedang menunggu Dina yang sedang pemotretan. Istrinya itu melakukan pemotretan yang kantornya tak jauh dari studio rekaman Farrel. Dari pada ia uring-uringan menunggu di sana lebih baik ia datang ke sini.
"Bang Hasan belum datang?" tanya Farrel yang baru saja tiba. Hari ini memang seharusnya Husein yang rekaman tapi digantikan dulu oleh Hasan. Jadi jadwal Hasan dimajukan tiba-tiba. Tapi cowok itu sudah setuju.
Ardan dan Adit tentu tak tahu-menahu. Ando baru saja pamit untuk pulang. Karena tak ad ayang tahu keberadaannya, Farrel memutuskan untuk menelepon Hasan. Namun lelaki itu belum mengangkatnya. Lantas di mana lelaki itu?
"Ehem," Hasan berdeham. Gadis yang sedang sibuk di depan laptop itu pun menoleh. Matanya sempat melirik sekitar guna memastikan bahwa memang ia yang ditegur oleh Hasan. "Fara kan? Masih ingat saya?"
Mata gadis yang ditegur olehnya itu pun mengedip berkali-kali guna memastikan penglihatannya tak salah. Saat mengenali wajah Hasan, ia tersadar. Sementara Hasan tersenyum tipis.
"Euung," gadis itu agak meragu. Ia sih ingat mukanya tapi agak-agak lupa dengan namanya.
"Hasan, Kedokteran UI 2010."
Aaaah. Gadis itu mengangguk-angguk. Ia baru ingat kalau lelaki di depannya ini pernah menjadi ketua organisasi Islam kampus. Ia meringis karena tak ingat. Bahkan namanya pun lupa. Hasan cuma mengulum senyum. Sadar kalau sedari duku, mungkin gadis ini memang tak pernah tertarik padanya.
"Aku liat kamu beberapa hari kemarin di kampus UI Salemba. Lanjut kuliah?" ia mengajak mengobrol. Bahkan ia sudah menarik kursi di depan gadis itu. Gadis itu sedang duduk di sebuah kafe tak jauh dari danau kampus UI Depok. Ia sedang mengerjakan tugasnya dengan memanfaatkan wifi gratisan. Lagi pula, ia memang sering datang ke kampus yang di sini meskipun ia berkuliah di kampus UI Salemba.
"Ya."
Hasan mengangguk-angguk lantas menggaruk tengkuknya. Sebetulnya, ada hal yang membuatnya penasaran sejak dulu. Ia sangat ingin menanyakannya. Setidaknya, agar ia tenang dan tahu alasan sebenarnya dari hal yang sangat menganggunya sejak dulu.
"Saya boleh bertanya sesuatu?"
Gadis itu mengangguk saja. Matanya fokus pada laptop alih-alih menatap lelaki yang ada di depannya. Lagi pula, ia memang risih bertatap-tatapan dengan lelaki bukan mahram. Dan lagi, meski lelaki ini pernah menjadi ketua organisasi di kampusnya bukan berarti ia harus dekat dan sok akrab kan? Seingatnya, ia bahkan jarang mengobrol dengan lelaki ini. Palingan ya hanya sebatas formil saja. Tidak lebih. Dan rasanya agak aneh dengan lelaki yang tiba-tiba datang padanya ini.
"Silah kan."
Hasan berdeham. "Dulu sekali, saya pernah menitipkan surat padamu melalui temanmu," ceritanya. Kening gadis itu mengerut mendengarnya. "Lalu balasan surat mu yang menolak tawaran ta'aruf dariku. Apa alasannya?"
Ya, sudah sejak lama Hasan ingin sekali menanyakan hal itu. Tapi gadis di depannya itu hanya mengerutkan kening. Benar-benar bingung. Kapan pula lelaki ini mengajaknya ta'aruf? Lalu surat? Ada banyak sekali surat dari laki-laki yang ia terima semasa kuliah tapi memang tak ada satu pun yang ia ladeni. Karena itu bukan bentuk keseriusan menurutnya. Seharusnya, kalau serius yaa datangi ia dan menanyakan kontak keluarganya. Harusnya begitu kan?
Namun Hasan tak pernah tahu kalau surat yang ia titipkan itu tak pernah sampai pada gadis ini. Kenapa? Alasannya ada pada gadis lain yang menyukainya. Gadis yang satu jurusan juga satu angkatan dengannya. Yang selalu menguntitnya bahkan hingga...
"Maaf, Kak. Saya bahkan gak ingat."
Hasan tersenyum malu. Ia berdeham guna menyembunyikan rasa malunya. "Ya, saya mengerti."
Ia menyimpulkan sendiri. Menilai gadis itu yang bahkan sudah tak ingat nama juga wajahnya, Hasan berpikir kalau gadis ini memang hanya tak tertarik dengannya. Meski ia cukup percaya diri kalau akan banyak perempuan yang tertarik padanya. Tapi...gadis ini berbeda. Oke, tak masalah, pikirnya. Toh Hasan juga sudah tak mempermasalahkan hal yang telah lama berlalu itu. Ia juga tak patah hati kok karena ia memang sudah move on. Bahkan berniat meminang gadis lain beberapa hari lagi.
Dari pada bertambah lalu, ia memilih pamit saja. Gadis itu hanya mengangguk. Ia sebetulnya bingung dengan kedatangan Hasan yang tiba-tiba itu. Begitu Hasan tiba di mobil, ia baru menyadari kalau ada banyak telepon dari Farrel. Saat hendak menelepon balik, lelaki itu keburu meneleponnya. Ia mengangkatnya kemudian mengucap salam.
"Di mana, Bang? Rekamannya sudah bisa dimulai."
"Astagfirullah," ia nyaris lupa. "Oke, otewe, Rel," tuturnya yang dianggukan okeh Farrel di seberang sana.
Hasan segera menghidupkan mesin mobilnya kemudian mengendarainya dengan cepat menuju studio rekaman Farrel. Memang tak jauh karena Farrel memang menyewa sebuah ruko yang kemudian dijadikan tempat rekaman. Letaknya masih di Depok agar tak jauh dari rumah Papanya.
@@@
Farrel kembali menghadiri acara sekalian berbuka bersama di salah satu organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan. Ia diundang sebagai salah satu pembicara yang mengisi seminar sebelum sesi buka puasa bersama. Ia berbicara mengenai donasi dan cara menggaet sponsor untuk penggalangan dana kemanusiaan. Ia juga sedang menyiapkan flatform untuk penggalangan dana seperti ini yang kalau bisa, penggunaan dananya bisa menjangkau hingga daerah-daerah terpencil di Indonesia. Hitung-hitung amal sekaligus membantu beban pemerintahan.
Farrel memang masih asyik berbicara di depan sana dikala seorang perempuan memperhatikannya dari kejauhan. Ia tentu tahu kalau Farrel diundang ke sini, ke tempat di mana ia bekerja. Selain mengelola LSM sendiri, ia masih bekerja di organisasi kemanusiaan yang sudah sangat besar dan dikenal masyarakat.
"Kiya! Meja yang sebelah sana belum kebagian es buah!" teriak salah satu rekannya.
Gadis yang dipanggil Kiya itu mengangguk lantas segera berjalan menuju pusat makanan di gedung sebelah. Ia mencari tim konsumsi di sana lalu mengabarkan kekurangan pasokan itu. Tak lama ia kembali ke poskonya sebagai koordinator lapangan. Gadis itu kembali menatap tajam ke arah Farrel yang kini menutup pembicaraannya. Masih Farrel yang sama, pikirnya. Farrel yang ia temui terakhir saat pernikahan kakak kelasnya, Dina. Tapi mengenang acara yang semalam ia tonton, ia tak merasa menemukan sosok Farrel yang sama. Ia berpikir Farrel telah banyak berubah terutama pendekatannya dengan perempuan. Lelaki itu terlalu banyak berubah, menurutnya.
Awalnya, ia tak percaya sama sekali kabar Farrel pacaran itu. Tapi saat menonton acara semalam lalu banyaknya foto yang bertebaran bahkan ada Bunda di dalamnya, ia mulai percaya. Sekalipun masih benar-benar tak menyangka kalau Farrel yang sangat alim, yang ia kenal berubah sedemikian pesat menjadi lelaki liberal yang rela mendobrak batasan-batasan pergaulan yang dilarang dalam agama. Ia masih tak habis pikir sebetulnya. Walau yah, siapa yang tahu iman seseorang sih? Bisa naik dan turun kan? Lagi pula, seiring waktu berjalan, setiap orang bisa saja berubah. Ya benar, pikir hatinya. Lantas Farrel yang berubah kenapa ia yang pusing kepala?
Ia ditepuk salah satu rekan yang lain karena sudah waktunya berbuka. Ia disuruh minum dan ia segera meneguknya. Tak lama, ia sudah sibuk bergantian dengan rekan lain untuk solat magrib berjamaah. Lalu kembali dilanjutkan dengan makan bersama.
Zakiya ikut makan walau sesekali kegiatan makannya diganggu tugas ini-itu yang membuatnya harus menyalakan walkie-talkie untuk menghubungi tim lain. Namun sudah agak santai dibanding pagi tadi di mana mereka riuh sekali menyiapkan acara ini.
Usai makan, Zakiya beranjak dari duduknya lantas menaruh piring kotor dan membuang sisa sampah makanan. Saat ia berbalik, saat itu lah ia tak sengaja berpapasan dengan Farrel yang hendak mencari toilet. Keduanya saling menatap kaku. Zakiya tentu tak menyangka kalau akan bersitatap begini dengan Farrel. Sementara Farrel baru mengetahui keberadaannya setelah sekian lama tak pernah bertemu lagi dengan gadis ini.
Jika saat akad Dina kala itu, Zakiya hanya bersikap biasa pada Farrel. Maka efek dari semalam membuatnya agak sungkan terhadap Farrel. Entah lah, mungkin karena ia merasa itu bukan sosok Farrel yang pernah ia kenal. Sosok Farrel yang ada di depannya ini begitu asing.
"Apa kabar?" tanya Zakiya. Mau tak mau ia yang menanyakan kabar duluan pada Farrel. Karena yah, lelaki ini kan tak akan bertanya duluan.
Farrel mengangguk sebagai jawaban kalau ia baik-baik saja. "Panitia?" tanyanya saat melihat baju yang dikenakan Zakiya sama dengan panitia lainnya. Zakiya hanya mengangguk lantas bersegera pamit. Ia enggan mengobrol lama dengan Farrel sementara Farrel menatap punggung gadis yang berjalan menjauh itu.
Zakiya masih cantik. Masih sama cantiknya seperti saat ia masih menyukai gadis itu dulu. Ia juga masih sama aktifnya seperti dulu. Hanya sekarang lebih syar'i. Farrel masih tak menyangka melihat perubahannya yang kian drastis. Tapi sayangnya Farrel sudah tak tertarik lagi pada gadis itu. Gadis yang pernah menjadi seseorang yang diinginkannya saat SMA. Seorang gebetan. Sekarang?
Mantan gebetan.
@@@