Janji Pada Bunda

2940 Words
Farrel menghela nafas. "Ikut yaaa?" pintanya dan tahu-tahu sudah memegang lengan Farrel yang sedang memegang gagang pintu itu. Farrel berupaya menepis tangan perempuan itu tapi perempuan itu malah tertarik ke arahnya sehingga memeluknya. Tanpa sadar Farrel mendorongnya hingga ia pun terjengkang ke belakang sementara Shabrina mendarat di sofa. Gadis itu kaget karena didorong seperti itu oleh Farrel. Sementara Farrel tampak menahan emosinya. Ia tidak tahu apa kabar puasanya hari ini dengan emosi yang tiba-tiba tak terkendali. Farrel menarik nafas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Selama berdekatan dengan perempuan ini, ia merasa jika dosanya kian bertambah. Karena apa? Lihat lah kejadian tadi di mana gadis ini sama sekali tak merasa risih untuk memegang bagian-bagian dari tubuhnya. Gadis itu tak tahu kalau apa yang dilakukannya tentu berefek fatal pada imam Farrel yang tak seberapa. Lantas Farrel harus bagaimana agar gadis ini mengerti dan mau menjauhinya? Ia bukan lelaki-lelaki lain yang mungkin malah senang didekati dengan cara seperti ini. "Reeel," panggilnya ketika Farrel malah beranjak dan keluar dari ruangan. Serangan tak terduga berikutnya adalah Shabrina yang menahan lengan Farrel di depan Aswin dan beberapa karyawan lainnya. Farrel terkesiap. Matanya tanpa sadar melirik sekitar mereka. "Ikut yaaa?" rengeknya yang membuat semua mata menoleh. Farrel menghela nafas. Ia tahu kalau diperhatikan semua orang. Yang jadi masalah adalah ia pemimpin di sini. Apa yang harus ia lakukan? "Tunggu di sini," tuturnya lantas berjalan menuju toilet. Padahal di ruangannya pun ada toilet sendiri. Tiba di toilet, Farrel menyandarkan tubuhnya. Ia tak melakukan apapun di dalam sana. Ia hanya merasa sesak dengan kejadian yang terus berulang setiap gadis itu mulai memegang bagian-bagian tubuhnya. Oke, ia lelaki. Ia tak menampik jika.... Astagfirullah! Ia ber-istigfar dalam-dalam. Kemudian memejamkan mata sembari berupaya melupakan kejadian barusan. Ia tak mau memikirkan perempuan itu. Karena ia khawatir dengan dirinya sendiri. Usai menenangkan diri, ia beranjak dan berdiri ke depan cermin. Ia mengetik sesuatu diponselnya. Sementara Shabrina tersenyum menang. Ia mengibaskan rambutnya begitu semua orang tak memerhatikan. Ia berhasil lagi membuat Farrel tak bisa menolaknya. Uhuy! Aswin malah pusing kepala begitu menerima pesan ancaman dari bosnya yang bilang kalau ia tak ikut bersamanya, Farrel mengancam tidak akan menurunkan THR-nya tahun ini juga memotong gajinya agar ia tak bisa mudik. Mau tak mau ia mengiyakan permintaan Farrel dengan pasrah. Siaaap boooos! Begitu mendapat pesan dari Aswin, Farrel langsing menyimpan ponselnya disaku celana. Ia segera berjalan keluar dari toilet. Shabrina sudah menyambutnya dengan sneyuman sumringah dari kejauhan. Girang sekali! Saat gadis itu hendak mendekat, Farrel berhenti sejenak. "Tunggu di sini," tuturnya yang lagi-lagi membuat senyuman Shabrina mengembang. Baru kali ini, gadis itu patuh dan mau menunggu di dekat meja Aswin. Sementara Farrel sudah masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu memberesi barang-barangnya. Lalu ia kluar dari ruangannya. Gadis itu langsung mendekat tapi Farrel langsung menghindari lengannya agar tak disentuh Shabrina. Meski tak protes, gadis itu mengerucutkan bibirnya. Sebal. Ia kan pengennya gandengan tangan gitu dari sini sampai ke parkiran mobil gitu. Tapi Farrel sama sekali tak mau. Shabrina tak sadar pula kalau Aswin juga mengekor. Ia kira kalau Aswin juga ingin pulang hingga saat tiba di parkiran mobil... "Kok lo--" "Masuk, Win," titah Farrel. Ia memberi kode agar Aswin masuk duluan. Lelaki itu dengan sadar diri mengambil duduk di bangku belakang meski Farrel menyuruhnya duduk di bangku depan. Saat ingin memaksa Aswin untuk pindah, Shabrina sudah masuk bahkan duduk di bangku sebelah kemudi. Farrel menghela nafas sementara Aswin malah nyengir. Maka tak lama jadi lah Farrel menyetir mobilnya. Disampingnya ada Shabrina yang ngotot ingin duduk disitu. Di mana? Tentu saja disebelah Farrel yang mengemudi. Padahal tadi Farrel sempat menyuruhnya pindah tapi tentu saja Shabrina tak mau. Gadis itu bahkan merekam ini di snapgram. Merekam apa? Kebersamaannya di mobil Farrel. Uhuy! Pasalnya, ini kedua kalinya ia berhasil masuk ke mobil Farrel. Pertama? Tentu saat berbuka puasa dengan Mamanya beberapa hari yang lalu. Dan hasil dari snapgram-nya? Hohoho. Tentu saja kembali menghebohkan publik. Bahkan banyak yang memposting ulang snapgram Shabrina entah diakun gosip hingga akun-akun couple Shabrina-Farrel yang banyak bertebaran. Postingan terakhir Shabrina pun banyak dibanjiri doa agar hubungannya dengan Farrel lancar dan langgeng sampai ke pernikahan. Aswin? Ada di kursi belakang. Ia duduk dengan canggung sembari mengamati keduanya. Omong-omong bosnya begitu dingin. Ia sama sekali tak tersenyum sekalipun Shabrina ada di sebelahnya. Aswin mulai menerka yang aneh-aneh. "Kemarin aku beli baju untuk Bunda sama Kak Farras. Tapi belum sempat aku bawa. Besok aku titip ke kamu ya?" tuturnya saat di perjalanan. Farrel hanya berdeham sebagai jawaban. Omong-omong Farrel tak memakai jasnya lagi karena jasnya digunakan untuk menutup tubuh bagian bawah Shabrina saat duduk sekarang. Shabrina terkesan dengan ke-gentle-annya. Sementara Farrel hanya menyelamatkan imannya. Sejak bertemu dengan perempuan ini, rasanya dosanya terus bertambah. Karena terus melihat auratnya. Belum lagi bahu yang kadang terbuka dan menarik untuk dilihat itu. Lalu paha yang putih mulus itu. Ditambah belahan d**a yang kadang menyembul. Itu cobaan berat bagi Farrel. Meski ia sudah sering melihatnya selama kuliah di luar negeri tapi gadis ini berbeda. Gadis-gadis di luar sana enggan mendekatinya karena dikira bibit teroris karena ketaatannya beribadah. Tapi Shabrina? Makin menempel seiring tahu kalau ia rajin beribadah. Bah! Makin pusing kepala Farrel. Mungkin setan yang mengikuti Shabrina berbeda dengan setan-setan pada perempuan lain. "Kamu mau aku beli kan apa, Rel? Sebelum aku mudik ke Riau." "Gak usah." Shabrina tersenyum tipis sambil meliriknya. "Yakin heum?" godanya dengan suara yang rada manja yang membuat Farrel makin gelisah. Bagaimana pun ia lelaki. Siapa yang tak tergoda kalau ada perempuan bersikap manis seperti itu? Juga suara indahnya? Astagfirullah! Farrel menghela nafas. Helaan nafasnya yang sangat kentara itu membuat Aswin menahan tawa. Ia paham arti gestur tubuh bosnya itu. Bagaimana pun bosnya kan lelaki. Ia juga sama. Mana sedang berpuasa pula. Cobaannya berat sekali. Kalau begini, Farrel benar-benar ingin segera menikah. Tapi tidak dengan perempuan ini tentunya. Ia tak mau. Tak ada hati pula. Dan sepertinya, ia akan mengencangkan doanya pada Allah setelah ini agar segera dipertemukan dengan jodohnya. "Mama nanya, apa kamu akan datang lebaran nanti ke rumah," tuturnya kemudian dan kini menuntut jawaban dari Farrel. Ia sih sangat berharap kalau Farrel akan datang. Walau ia juga sudah mengundang Bunda dan Farras untuk datang ke Riau. Tapi Farras tak merespon sama sekali. Dan Bunda? Pesannya tak kunjung dibaca hingga sekarang. Sebetulnya Farrel ingin membahas tentang hubungan mereka yang tak ada jalinan apapun. Tapi sejak kemarin-kemarin juga si gadis ini tetap tak menyerah. Jadi Farrel merasa....ya sudah lah. Terserah gadis ini ingin menganggapnya sebagai apa. Ia sama sekali tak perduli. Toh, ia tak menganggap mereka punya hubungan yang begitu spesial. "Saya kira, saya perlu tegas sama kamu. Kita gak ada hubungan apapun," tuturnya dengan wajah serius kala itu. Tapi Shabrina malah menyembulkan senyuman cantiknya. Ia malah bilang makin menyukai Farrel karena berbicara seperti itu padanya. Gimana Farrel gak pusing kepala? "Gak usah dijawab sekarang. Mama juga gak maksa. Dia tahu kalau kamu pasti sibuk." Farrel cuma bisa fokus pada kemudinya. Keterdiamannya ini tak berefek apapun pada Shabrina yang malah makin tergila-gila padanya. Gadis itu malah sedang mencari celah bagaimana membuat Farrel tertarik padanya. Ia jadi teringat obrolan terakhirnya dengan Bella, mantan Puteri Indonesia dua tahun lalu yang sekaligus kekasih salah satu staf muda presiden. Ya, kekasih Dava tentunya. Lelaki yang juga dekat dengan Farrel. "Lu pakek baju seksi gitu deh, biar dia tergoda!" Shabrina terkekeh. Ia juga bisa menilai pakaiannya yang masih tergolong sopan. Maklum, ia perlu menjaga imejnya sebagai Puteri Indonesia saat ini. Apalagi ia terus tersorot akhir-akhir ini. "Atau ajak si Farrel liburan terus lo makek bikini pas di kolam renang! Yuhuuuu! Pasti tergoda deeh! Gak mungkin enggak!" seru Bella lagi sambil terbahak. Shabrina menggaris ide gilanya itu. Tentu saja ia akan melakukannya jika memungkinkan. Tapi untuk mengajak Farrel makan di luar berdua saja susahnya setengah mati. Apalagi liburan berdua? Hahaha. Mimpi di siang bolong. Tapi ia malah terpikir sesuatu. Apa? Mungkin ia harus menjebak Farrel lagi. Tapi bagaimana caranya? "Atau lu pelan-pelan kali ke dia. Liat reaksinya tiap lu makek baju yang lu rasa terbuka begitu. Kalau dia berusaha melindungi elu artinya dia cowok baik dan respek ke elu." "Terus?" "Hajaaar, Shaaab! Jangan nyerah. Dia tuh cowok paling dicari saat ini! Kapan lagi coba, bisa menjadi kekasih dari seorang Farrel Adhiyaksa?!" Mengingat obrolan itu membuat Shabrina senyum-senyum. Apalagi melihat jas yang ada di atas pahanya kini. Bajunya tergolong sopan hari ini tapi Farrel menyodorkan jasnya tadi dan menyuruhnya menutupi itu. Hal yang membuatnya semakin jatuh cinta pada Farrel. Apalagi kini ia terlihat sangat keren saat menyetir. Uhuy! @@@ Bunda tak punya firasat apapun tentang perempuan yang dibawa anak sulungnya. Satu keluarga besarnya terkaget dan sangat-sangat terperangah melihat ada perempuan yang keluar dari mobil Farrel. Mata Dina menyipit berupaya mengenali perempuan yang dibawa Farrel. Aisha paling heboh saat tahu kalau itu adalah Puteri Indonesia. Pasalnya, iparnya tak pernah bercerita kalau Farrel dekat dengan perempuan itu. Padahal keluarga besar mereka saja yang tertinggal berita karena urusan masing-masing. Hanya keluarga Fadlan yang tahu soal gosip-gosip itu. Sisanya tak ambil peduli karena memang berita-berita tak bisa dipercaya. Hingga hari ini Farrel muncul dengan perempuan yang sudah tersenyum cantik. Karena semua keluarga Farrel menyambutnya dengan bersorak-sorai. "Bundaaa," perempuan cantik itu sudah menyapa dengan senyuman. Ia langsung memeluk Icha yang tampak menahan senyum. Wanita itu melihat ke arah anaknya yang kini garuk-garuk tengkuk. Farras? Langsung berasap begitu tahu siapa yang dibawa abangnya. Perempuan itu menyipitkan matanya. Ia satu-satunya perempuan yang tak perduli dengan kedatangan Shabrina. Saat Farrel melihat wajah tak bersahabat milik Farras, ia tahu kalau adiknya akan marah sekali hari ini. Ia sudah pasrah. Lagi pula ia tak punya maksud apapun dengan membawa Shabrina ke sini. Ia tak menganggap perempuan itu spesial. Kalau perempuan itu menganggapnya begitu ya sudah lah. Memangnya ia bisa melarang seseorang untuk tidak baper alias bawa perasaan? Agha yang paling ternganga. Tak menyangka kalau selera Abang sepupunya adalah perempuan seperti ini. Ya, gadis itu memang baik dan agak agresif. Menilik Farrel yang kaku. Hanya saja Agha pikir abangnya itu tak akan dekat dengan perempuan mana pun yang bukan mahram. Ia tahu bagaimana Farrel sangat menjaga dirinya. Tapi hari ini membuat Agha mulai bertanya-tanya dan agak ragu. Ferril? Lelaki itu bersikap biasa saja. Toh ia juga membawa perempuan ke sini, namanya Echa. Perempuan yang kini menatap ke arah Farrel. Omong-omong ia mengagumi Farrel. Hanya sekedar kagum dan tidak lebih. Namun melihat Farrel dengan Puteri Indonesia itu membuatnya minder jika harus bergabung dengan keluarga ini. Ia hanya perempuan biasa yang berasal dari keluarga biasa saja. Hal yang membuatnya bertanya-tanya, apa yang dilihat Ferril darinya? "Mending juga Zakiya ke mana-mana," tutur Farras yang berdiri di samping Ando. Agha yang berdiri di samping Ando juga tentu mendengarnya. Ia baru sadar kalau Farras sama sekali tak suka sekalipun tadi Farras juga tersenyum pada Shabrina dan pasrah dipeluk gadis itu. Kini? Perempuan itu sudah bergabung dengan para om dan sepupu-sepupu Farrel di ruang keluarga. Duduk santai di atas karpet sambil menunggu waktu berbuka. @@@ "Reel," perempuan itu memanggil. Farrel yang masih asyik menyimak ucapan Agha pun menoleh. Shabrina datang menghampirinya. "Nanti anterin pulang ya?" pintanya dengan manja. Farrel mengangguk saja. Aswin sih sudah kabur sepuluh menit yang lalu. Tapi ia punya Agha dan Ando yang bisa menemaninya. Sementara perempuan itu sudah kembali mencari bunda. Menempeli bunda dan berakhir dengan mengobrol bersama para tante yang lain seperti Aisha dan Sara. "Baik kok, Bang," tutur Agha. Ia sudah memerhatikan Shabrina tadi. Tapi mungkin, ia kurang tahu cara bergaul yang tepat dengan Farrel dan Farras saja. Mendengar ucapan Agha itu, Ando terkekeh. Farrel? Cuma menghela nafas. Ia juga gak pernah bilang kalau Shabrina itu tidak baik dalam urusan tata krama. Mungkin dalam urusan agamanya saja yang masih kurang. Tapi Farrel tidak sanggup punya istri yang seperti itu. Bayang kan saja, ada berapa banyak mata lelaki yang menatap semua fotonya tanpa menutup aurat itu? Belum nanti dalam pemilihan Miss Universe yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi. Akan ada sesi dimana perempuan-perempuan mengenakan bikini. Haaaah! Farrel bahkan tak berani memikirkannya. "Tapi mungkin perlu belajar soal agama biar tahu," lanjut Agha yang tersenyum kecil melihat Farrel tampak berpikir. Entah apa yang dipikirkannya. "Yakin Bang Farrel naksir tuh cewek?" Mulut judes Anne mulai beraksi. Gadis itu terlalu lama mengamati. Farras yang memang sedari tadi emosi langsung terbakar mendengarnya. Ia tidak akan pernah ikhlas kalau abangnya dengan perempuan itu. Hahahaha! Tiara ikut bergabung dengan dua saudara perempuannya itu. Ia ikut menatap ke arah Shabrina yang asyik mengobrol dengan para tante. "Ish! Pokoknya kalau sampe Abang sama diaaaa," kecamnya yang membuat Tiara terkikik melihat ekspresi sebal milik Farras ketika menatapnya. Perempuan itu menunjuk-nunjuk Shabrina dengan sendok ditangannya. Anne cuma tersenyum kecil. Kakak iparnya ini memang lucu. "Tapi baik kok, Ras," Rain langsung nimbrung. Ia melambaikan tangan ke arah Echa agar ikut bergabung dengan mereka. Jadi lah Echa ikut melihat ke arah Shabrina. "Siapa pun juga baik, Rain!" tutur Farras yang masih kesal dan emosi. Kalau bunda sih sudah menerima. Ya kalau memang anaknya suka, ia mau bagaimana lagi? Fadlan? Santai-santai saja. Yang paling tidak santai kan hanya Farras. "Tapi kan gak cukup cuma segitu doang," ia menghela nafas. "Emangnya, abang Farras gak berhak dapet yang lebih baik? Lebih solehah?" keluhnya yang membuat Echa seolah baru paham. Sepenilainya saat berkenalan dengan Shabrina, gadis itu baik kok. Walau mungkin ada kurangnya. Echa sendiri merasa, ia biasa saja. Bukan yang solehah, pakaiannya saja masih suka mengikuti tren kok. Tapi mungkin, ia berpendapat kalau pandangan Farras tentang itu berbeda. "Jangan begitu heh!" tegur Tiara yang dibalas dengusan. Farras itu kalau sedang keras kepala, ya sudah. Tak akan mendengar. "Kita kan gak pernah tahu, aslinya seperti apa. Jangan menilai dari luar lah," nasehat Tiara. Farras menghela nafas. Oke, ia bersalah dalam hal ini. Karena ia pun belum tentu lebih baik dari Shabrina kan? Tapi ukuran-ukuran solehah itu jelas ya, menurut Farras sih begitu. Dan kalau belum mematuhi hal-hal mendasar misalnya soal pakaian dan aurat ini, maka apakah bisa dikatakan patuh pada perintah Allah? Begitu loh simpelnya. Walau Farras juga tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bukan? Karena iman itu naik dan turun. Yang paginya beriman, bisa jadi sorenya sudah kafir. Ya kan? Hanyaaa, salah kah Farras yang ingin seseorang yang solehah untuk abangnya yang menurutnya juga soleh? Walau perhitungan manusia itu terlalu dangkal. Gak salah juga kan? Farras kan hanya berharap, abangnya mendapatkan perempuan yang solehah. Yang patuh dengan perintah-Nya. Yang berubah demi-Nya. Yang mempelajari agamanya bukan karena abangnya tapi untuk kebaikan dunia-akhiratnya sendiri. Ya kan? @@@ Fadlan tersenyum tipis melihat istrinya masih berdiri di pintu. Menunggu anak sulungnya yang sedang mengantar Shabrina ke Jakarta. Kalau Ferril sih gak begitu jauh mengantar pulang Echa di Margonda, Depok. Masih sama di Depok. Cuma kelamaan nge-banyol di jalan. Echa sampai terkikik-kikik gegara ulahnya dan Ardan. "Nanti juga sampe, yang," ingat Fadlan. Icha menghela nafas. Ia berjalan masuk ke ruang tamu. Fadlan duduk di sana sambil membuka ponsel. "Kamu setuju dengan perempuan itu?" "Siapa?" "Echa dan Shabrina." Fadlan tersenyum kecil. Ia menepuk sofa disampingnya agar istrinya ikut duduk bersamanya. "Kalau aku, terserah pada anakku, yang. Aku juga bukan tipe yang suka dipaksa ini-itu," jelasnya. Ya sih, pikir Icha. Meski sempat dijodohi mami dulu pun Fadlan menolak. "Kalau menurut kakak, Echa bagaimana?" "Anaknya baik." Icha mengangguk-angguk. Sementara Fadlan terkekeh melihat reaksinya. Ya, Icha juga tak keberatan dengan Echa. Karena dari cara bicaranya, Icha menilai kalau Echa ini perempuan baik, dewasa dan mandiri. Icha hanya merasa kepribadiannya bisa mengayomi anak manjanya itu. Kalau Shabrina? "Shabrina juga baik." Icha menghela nafas mendengar tutur kata suaminya itu. Fadlan memang bukan tipe pemilih sih. Icha juga sebetulnya. Tapi untuk seukuran Puteri Indonesia terlalu berat. "Kenapa?" Icha menatapnya. "Aku agak keberatan sebenarnya. Tapi kalau Abang juga suka, aku bisa ikhlas kan." Fadlan terkekeh. Ia mengelus lengan istrinya. Ia tahu kalau istrinya berhati lapang. Demi anak, pasti akan menerima. Sementara di depan sana, mobil Farrel baru muncul. Ia sudah mengantar Agha pulang. Tadi hanya ditemani Agha karena Farras tidak mau meminjamkan suaminya. Adiknya itu ngambek. Hihihi! Dan Farrel tidak berniat membahas apapun dengan Farras. Menurutnya, tak ada yang perlu dibahas. Lagi pula, apa yang terjadi hari ini benar-benar di luar dugaannya. Ia mana pernah terpikir kalau akan membawa Shabrina ke rumah Opa hingga disambut riuh keluarga besarnya. Ia sama sekali tak mengharap hal itu terjadi. Namun ia sulit sekali menolak perempuan itu. Saat ia masuk ke rumah, ia mendapati kedua orang tuanya duduk di sofa. Mau tak mau, ia mengucap salam. Tadinya ia pikir kalau kedua orang tuanya ini sudah tidur. "Capek, Bang?" tanya bunda dan langsung mengekor langkahnya. Fadlan sudah terkekeh melihat tingkah istrinya itu. Ia ikut beranjak dari sofa, mengikuti langkah keduanya jauh dari belakang. Membiarkan anak sulungnya direcoki istrinya yang mulai bawel soal pasangan. "Bunda belum tidur?" Itu pertanyaan basa-basi. Karena Farrel tahu kalau bundanya ingin menginterogasinya. Maka ia biarkan pintu kamarnya terbuka dan bundanya ikut masuk sementara ia bergerak membuka lemari pakaian. "Abang serius sama Shabrina?" Farrel menghela nafas. Ia menutup pintu lemarinya lalu berjalan menuju bundanya yang sudah duduk di tempat tidurnya. Kemudian ia jongkok di depan bundanya sambil memegang kedua telapak tangan bundanya. Ia tahu kalau bundanya keberatan dengan Shabrina. Tapi tak begitu menampakannya. Berbeda dengan Farras yang jelas-jelas marah padanya. Kalau Fadlan? Menonton adegan itu di pintu kamar anak sulungnya. Biar kata Farrel itu kaku dan pendiam tapi ia bisa jauh lebih romantis dibanding Ferril yang berpengalaman sekalipun. Seperti sekarang. Bagaimana bunda tak meleleh kalau anaknya berjongkok di hadapannya seperti ini? Fadlan saja jarang sekali melakukannya. "Bun, nanti kalau Abang sudah bertemu yang cocok, abang akan bawa bunda dan papa melamar perempuan itu," tuturnya yang sekaligus berjanji. Ia tak berani menjanjikan apakah perempuan itu Shabrina atau bukan. Karena tak ada yang tahu jodoh bukan? Dan Icha pun paham meski masih ada rasa keberatan. Icha tahu kok kalau gadis itu baik. Hanya saja, Icha khawatir anaknya tak bisa menghadapi rasanya mempunyai istri yang kecantikannya dinikmati banyak orang. Bukan hanya untuk dirinya sendiri. Itu saja tapi sangat mendalam bukan? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD