Seorang perempuan sedang membulak-balikkan kertas yang berisikan beberapa sketsa gaun pengantin untuk pelanggan nya dari dalam tas miliknya. Dia adalah Savannah atau biasa dipanggil Sava, seorang designer muda gaun pengantin dan membuka butik sendiri yang sedang berkembang pesat.
“Makan dulu sarapan nya, Sava.” Ujar seorang wanita setengah baya yang ia kenal sebagai Ibu nya. Hana Pramesti.
Sava menganguk. Ia mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai cokelat kacang. Hana memberikan roti selai kepada suaminya Rama Bratajaya yang sedang membaca Koran.
“Bagaimana dengan butik mu?” tanya Hana lagi.
Hana mengangguk antusias, ia selalu senang jika kedua orang tuanya menanyakan perihal bisnis yang sedang ia kembangkan saat ini. “Semuanya berjalan lancar, kita sedang dalam kebanjiran pesanan.” Jelas Sava singkat.
“Bisnis boleh lancar, tapi jodoh kok belum keliatan?” sindir Hana.
Sava menghembuskan napas beratnya. Ibu nya sudah sering kali menyindirinya perihal ia masih belum mempunyai jodoh di usianya yang sudah memasuki usia genting seorang wanita.
“Jodoh nya ada Ma, mungkin masih dijalan kena macet.” Sava selalu membalas sindiran ibunya dengan tidak serius.
“Kamu tuh, bukannya di cari malah santai-santai aja. Umur kamu udah gak muda lagi, Sava. Kamu perlu memikirkan untuk menikah dan membangun rumah tangga. Kalau sudah menikah, kamu kan masih bisa menjalankan butik mu itu.” Jelas Hana lagi.
Sava melirik ke arah Papa nya, Rama meminta pertolongan. “Sudah, nanti juga ada saat nya kita melihat ada laki-laki yang pantas untuk Sava.”
“Laki-laki yang pantas?” Hana tercenung sejenak. “Temen Mama punya anak baru pulang dari Amerika. Umurnya masih sekitar 31. Kayaknya dia cocok buat kamu.”
Sava berjengit, “Maksudnya, Mama mau ngejodohin aku dengan anaknya temen Mama itu?”
Hana mengendikkan bahunya, “Ya kalau kamu mau.” Ujarnya kemudian. “Mama di unjukin fotonya, dia ganteng lho.”
“Aku gak mau di jodohin.”
“Ketemuan aja dulu, nanti kamau nyambung baru kita bicarakan lagi.” Usul Hana.
“Itu sama aja, pokoknya aku gak mau.”
“Ah kamu mah, di kasih cowok ganteng gak mau.” Cibir Hana meledek anak perempuan satu-satunya.
“Oh jadi dia ganteng ya Ma?” tanya Rama menurunkan Koran dari tangannya.
“Iya, Pa udah ganteng latar pendidikannya juga bagus. Dia sempat menetap di Amerka dan bekerja disana selama beberapa tahun. Sava pasti gak akan nyesel deh.”
Mendengar Hana terus berbicara tentang cowok ganteng anak temannya itu membuat Sava agaknya sedikit gerah.
“Aku juga bisa nyari cowok yang kayak begitu.” Celetuknya.
Hana menoleh, “Masa? Coba buktiin kalau memang kamu bisa.”
“Baiklah. Tunggu saat nya aku bawa calon menantu idaman buat Mama.” Sava mengangguk optimis.
“Oke. Satu bulan.”
“Satu bulan? Maksudnya?”
“Satu bulan lagi kamu bawa calon suami kamu ke rumah dan memperkenalkanya kepada kami semua.” Hana menyunggingkan senyuman sumringah.
Sava menelan ludah dengan susah payah, apakah barusan ia baru mengambil langkah yang salah? Satu bulan? Bagaimana bisa ia mencari pasangan hidup hanya dalam kurun waktu satu bulan saja?
“Gimana? Kamu bisa gak? Kalau gak bisa, kamu harus menerima saran Mama untuk dikenalkan dengan anak temannya Mama. Setuju?”
Dikenalkan? Dijodohkan? Dengan orang yang tidak ia kenal? Tentu saja Sava tidak mau. “Setuju.” Ucap Sava kemudian.
Satu detik setelahnya, Sava harus mencari cara untuk mencari jalan keluar dari perkataan yang sudah dibuatnya yang ternyata malah menyusahkan hidupnya.
***
Sava membawa satu masalah besar yang sekarang membuat kepalanya sakit kepala ke butik miliknya. Ia memasuki pintu kaca dan menerima sapaan pegawainya dengan terpaksa. Sakit kepalanya sudah tidak bisa tertahankan. Sava mengaduk-ngaduk isi tas nya dan mencari obat sakit kepala yang selalu ia letakkan di dalam tas nya.
“Selamat pagi, Bu Sava.” Seorang perempuan muda masuk ke dalam ruangannya. Ia adalah pegawai kepercayaan Sava. Lita.
“Iya Lita, ada apa?” Sava tidak menoleh. Ia masih focus mengaduk-aduk tasnya.
“Hari ini Bu Ina akan datang bersama dengan anaknya untuk melihat gaun pengantin pesanannya.”
Sava baru menoleh ketika barang yang dicarinya sudah ketemu. “Bu Ina?” tanya Sava menyakinkan dirinya sekali lagi.
“Iya Bu. Kemarin beliau sudah telepon untuk membuat janji bertemu langsung dengan Bu Sava.”
Sava menghempaskan dirinya ke sandaran bangkunya. “Ada apa dengan hari ini?” ujar Sava mengeluh.
“Bu Sava tidak apa-apa? Apa Bu Sava sedang sakit?” tanya Lita tampak khawatir.
Sava menggelengkan kepalanya, “Tidak, saya hanya agak sedikit sakit kepala.”
“Mau saya bawakan obat. Bu?”
“Tidak apa-apa. Saya sudah membawa obat sendiri. Kapan bu Ina akan datang?”
“Katanya siang ini.”
Sava mengangguk mengerti dan meminta Lita segera keluar dari ruangannya. Beberapa bulan yang lalu, ada seorang wanita paruh baya dan seorang perempuan yang ingin mencari gaun pengantin untuk pernikahannya. Sava lah yang menerima dan mencarikan baju langsung untuk nya. Namun, yang jadi masalahnya adalah perkataan Bu Ina terkadang sangat membuatnya jengkel.
“Jeng Sava, usaha butik gaun pengantinnya kan sudah berkembang pesat. Tapi kok masih sendiri? Belum ada calon yang cocok ya? Padahal enak ya sepertinya bisa merancang gaun pengantin sendiri.”
”Jeng Sava, saya punya anak kenalan yang masih jomblo dan sedang mencari calon istri, apa jeng Sava mau saya kenalkan?Tapi, dia duda.”
Dan masih ada yang lainnya. Itu membuat Sava jengkel setengah mati. Kenapa baik ibu nya atau klien nya seakan-akan menganggapnya sebagai perawan tua yang kesulitan cari jodoh?
“Aku bahkan belum cukup tua untuk menyandang status single.” Sava mengamati jam yang ada di dinding. “Hari ini pasti akan menjadi hari yang panjang. Selama satu bulan ke depan.”
***
“Apa?” tawa Risa pecah begitu saja ketika mendengar cerita dari Sava. Sepulang kerja, Sava menyempatkan diri untuk mampir ke Apartemen Risa yang tidak jauh dari letak butik berada. Risa adalah sahabatnya semenjak menduduki bangku sekolah dasar. Mereka juga tetenggaan sebelum akhinrya Risa pindah ke luar kota karena pekerjaan Ayahnya. Kini mereka dipertemukan kembali karena Risa ingin bekerja di Jakarta.
Sava sudah menduga reaksi Risa maka dia memilih untuk diam saja. Membiarkan Risa menertawakannya sampai puas.
“Aku gak ngerti lagi, kenapa banyak orang yang ingin mencampuri urusan ku? Kalau Mama boleh lah tapi kenapa juga dengan Klien ku yang itu? Memangnya aku se-frustasi itu sampai tidak bisa cari pacar sendiri?” Sava memakan satu gigitan besar cokelat batang.
Risa masih tertawa. “Menurutku sih itu wajar. Bagaimana tidak, seorang perancang busana gaun pengantin masih jomblo di usia yang sudah terbilang genting bagi perempuan di Negara kita.”
Sava memutar bola kepalanya. “Loh, emangnya masalah banget status ku di mata mereka? Gak ada hubungannya juga dengan pekerjaan. Sudahlah, sekarang kau harus membantuku bagaimana aku bisa mendapatkan calon suami dalam waktu sebulan.”
“Kenapa kau tidak menerima tawaran Mama mu saja? Di kenalkan tidak ada salahnya kok.”
“Aku tidak suka. Baru dikenalkan atau tidak tetap saja ujung-ujungnya akan terjadi perjodohan.”
“Sok tau. Kalau kau merasa tidak cocok, maka kau tinggal bilang. Masalah beres.”
“Tidak semudah itu.” Sava mengacak rambutnya geregetan.
“Lalu kau ingin mencari pacar dimana? Di pasar?”
Sava mengendikkan bahu nya. “I have no idea.”
Risa menepuk dan mengusap pelan bahu Sava. “Tenanglah, aku pastikan akan membantumu.”
“Thanks, kau memang sahabat terbaik.”
“Tentu saja, aku lah sahabat terbaik yang satu-satunya kau punya.” Risa menyombongkan dirinya. Sava memukul Risa dengan bantal, kalau ia tidak tahan oleh sikapnya Risa yang terkadang suka kelewat lebay.
Secara tidak sengaja, Sava melihat ada sebuah cincin yang melingkar di jari manis Risa. Ia menarik tangan Risa untuk memastikan keberadaannya. “Hei, aku baru lihat cincin ini di jarimu.”
Risa tampak salah tingkah, lalu kemudian wajahnya bersemu merah. Sava seoolah mengerti. “Jangan-jangan, kau—“
Risa hanya menyengir lalu mengangguk malu-malu. “Kemarin, Dafa melamarku.” Ujarnya malu-malu.
“Apa? Dia melamarmu?” Tanya Sava seolah tidak percaya.
Risa mengangguk.
“Ya walaupun aku masih sedikit terkejut dan masih belum bisa menerimanya, aku tetap harus mengucapkan selamat untukmu kan?” Sava memeluk Risa dengan erat.
“Hei, apa maksudmu masih belum bisa menerima? Kau tidak senang?”
“Aku senang, bahkan bahagia sekali. Tapi aku juga seperti merasa akan ditinggalkan.” Sava mengerucutkan bibirnya.
“Jangan bicara seperti itu, aku sudah menikah atau belum tidak akan ada yang berubah dari kita.” Ujar Risa yang sekarang bergantian memeluk Sava.
“Kapan kau akan menikah?”
Risa melepaskan pelukannya. “Entahlah, Dafa baru melamarku secara personal. Mungkin dalam waktu dekat dia baru akan mengajak keluarga nya untuk datang ke rumah. Dan kau harus datang oke.”
Sava mengangguk, “Pasti.”
“Kalau bisa sama pasangan ya.” Risa menyengir lebar.
Sava melempar bantal ke Risa yang sekarang sedang tertawa terbahak-bahak.
***
Sabian Ravantino Mahari adalah seorang lelaki sukses, tampan dan berkharisma. Mungkin hanya itu yang bisa menjabarkan bagaimana sosok Sabian atau Bian. Di mata hampir semua cewek, Bian adalah sosok yang sempurna. Tidak ada yang mampu mengallihkan pandangan jika sudah bertemu dengan Bian. Namun, Bian hanya mempunyai satu wanita yang sangat ia cintai. Perempuan yang beruntung itu adalah Jasmine.
Kehidupannya semakin lengkap bersama Jasmine. Mereka sudah berpacaran cukup lama dan sedang menjalankan proses menuju pernikahan. Segala sesuatu nya sudah siap. Tanggal pernikahan tinggal menghitung hari. Namun semuanya menjadi hancur ketika Jasmine meninggalkan Bian. Jasmine pergi dengan pria lain yang baru saja di kenalnya beberapa bulan belakangan. Sejak saat itu, Bian menjadi pribadi yang tertutup dan gila kerja.
Sudah satu tahun ia menutup diri, Setiap hari nya, ia selalu pulang larut dan keesokan harinya ia selalu berangkat lebih awal. Itu semua merupakan wujud dari pelampiasannya terhadap pernikahannya yang batal dan orang yang ia cintai lebih memilih pria lain di banding dengan dirinya. Lelaki yang sudah bersama nya setelah sekian tahun.
Keluarganya sangat mencemaskan keadaan Bian dan berupaya untuk mencarikan wanita lain untuk menggantikan sosok Jasmine dari dalam hatinya. Namun, Bian bukanlah orang yang mudah melupakan. Segala usaha Mama nya, selalu berakhir sia-sia lantaran tidak ada satu wanita pun yang tahan berlama-lama dengan Bian yang selalu bersikap dingin kepada wanita.
“Mama udah gak tau lagi mau gimana sama kamu. Maksud Mama kan baik untuk mencarikan mu calon pendamping hidup tapi kenapa kamu gak bisa membuka diri?” itulah ungkapan kekesalan dari Mama nya, Eva.
“Mama gak usah repot-repot.”
“Harus begitu, Mama kan ingin yang terbaik buat kamu. Jangan seperti dia yang gak tau malu malah memilih laki-laki lain.”
“Sudah lah Ma, semuanya sudah berlalu.” Ujar Bian menenangkan.
“Terus kapan kamu mau menikah?”
“Nanti, kalau udah ketemu jodoh nya.” Jawab Bian santai.
“Jodoh itu ya di cari dong, kalau kamu gila kerja gimana dapet jodohnya.”
Bian tersenyum, “Iya ntar kalau ada waktu cari jodoh ya ma. Sekarang Bian mau ke kantor dulu.” Bian mengecup pipi Eva dan segera pergi sebelum Eva memanggilnya lagi.
***