Savannah [7]

1232 Words
Hampir setiap malam Sava selalu terbangun pada jam tiga pagi karena ia mendapatkan mimpi buruk yang sama. Setelah itu biasanya ia tidak bisa langsung tidur lagi melainkan menunaikan solat malam demi menenangkan hatinya yang selalu gelisah setiap mendapatkan mimpi itu. Selama sembilan tahun pula Sava selalu merasa tidak bisa tidur nyenyak dan kurang tidur. Ditambah pertemuan nya dengan bagian dari masa lalunya dan luka lama yang terkuak kembali membuatnya harus kembali meminum pil penenangnya. Ketika matahari sudah mulai meninggi Sava baru mulai keluar kamar setelah selesai bebersih diri. Ia menghampiri Hana yang sedang berada didapur membuatkan makanan dalam jumlah yang besar. “Kok bikin bakwan jagung nya banyak banget, Ma?” Hana menoleh sambil menggoreng. Di rumah mereka memang tidak ada asisten rumah tangga, Hana mengurusinya semuanya sendirian. Dulu, Hana memang memakai jasa Assisten Rumah Tangga namun tidak bertahan lama setelah ia mengetahui bahwa ART nya mencuri perhiasan dan sejumlah uang. Sejak saat itu ia tidak lagi ingin ada orang asing yang bebas berkeliaran. Lagipula, jika Hana terlalu capek untuk mencuci sekarang sudah ada jasa Laundry dan bisa antar jemput. Hanya kebersihan rumah yang ia tangani sendiri. Sava bangga sekali dengan sikap Ibu nya, maka dari itu Sava sangatlah menyayangi walaupun Ibu nya terkadang kelewat cerewet apalagi masalah jodoh. “Sita tadi nelepon mau ke rumah bersama Grisel.” Ucap Hana. Biasanya memang hampir setiap minggu Kakak kandung bersama Kakak Iparnya menyempatkan mampir ke rumah. Selain Hana membuat bakwan jagung kesukaan Gilang, Sava melihat ada semangkuk besar nasi goreng mawut kesukaan Sava. “Ada apa lagi yang mau dibuatkan, Ma?” tanya Sava berinisiatif. “Sudah selesai, kamu pindahin aja ke meja makan dan bawa juga pudding dari kulkas ya.” Sava mengangguk lalu menuruti perintah Hana. Ia menyusun makanan di meja makan dan melihat Rama sedang menonton TV dan juga sambil membaca koran. Sampai saat ini, Rama masihlah bekerja di perusahaan dan dalam kurun waktu dua atau tiga tahun lagi Rama berencana untuk pensiun dini. Tidak lama kemudian Gilang, Sita dan Grisel. Suasana rumah menjadi ramai karena Grisel berteriak memanggil Oma nya. Hana menghampiri Grisel yang berlari dan langsung mengangkat dan memeluknya. Kakaknya Gilang dan Kakak Iparnya Sita memang rutin hampir setiap weekend selalu menyempatkan datang. Sava juga langsung membaur ketika melihat tingkah lucu Grisel yang semakin hari semakin menggemaskan. “Ma, Pa dan Sava hari ini aku ada pengumuman penting.” Gilang meng-interupsi ditengah canda tawa dirumah. Grisel saat ini sedang ada dipangkuan Sava yang sedang memainkan boneka ­bunny ditangannya.  “Ada pengumuman apa sih Gilang?” Hana bertanya tidak sabaran. Gilang menyunggingkan senyum sumringah lalu memandang Sita yang juga sedang tersipu malu. “Grisel mau punya adik.” Ucap Gilang mantap sambil mengelus perut Sita yang masih rata. Sontak semuanya langsung mengucapkan selamat kepada Gilang dan Sita. “Wah tambah ramai saja nanti keluarga kita ya.” Hana kini sudah duduk disamping Sita siap membanjiri beribu-ribu wejangan kepada menantunya. “Ma, Sita kan bukan hamil pertama kali, dia juga pasti masih inget apa kata mama waktu hamil Grisel.” Ujar Rama mengingatkan. Hana hanya tidak bisa menutupi rasa bahagianya ketika tau bahwa ia akan punya cucu lagi. Sava merasakan suasana keluarganya semakin menghangat. Kakaknya akan punya anak kedua dan sahabatnya akan segera menikah saja sudah membuatnya bahagia tanpa harus memikirkan kapan ia akan menyusul mereka. ***             Malam lamaran Risa datang pada hari ini, Sava sudah bersiap didalam rumah Risa mendampingi Risa selama prosesi lamaran yang dilangsungkan hanya untuk keluarga besar dari kedua belah pihak saja. Risa sudah berulang kali mengecek make up dan busana yang dipakai nya pada malam hari ini. “Baju udah oke? Gak ada yang aneh-aneh kan?” tanya Risa untuk yang kesekian kali. Sava pun juga sudah mengangguk berulang kali juga. “Baju oke. Cocok dengan mu.” Risa malam ini memakai kebaya brukat berwarna soft pink dipadukan dengan sanggul sederhana. “Make up?” tanya nya lagi. “Flawless.” Ujar Sava. “Risa, dengar. Aku tau kau pasti sangat gugup tapi cobalah tenang oke. Sebentar lagi kau akan dipanggil.” Ujar Sava mengingatkan. Acara sudah berlangsung beberapa menit yang lalu yang dibuka oleh para tetua dari keluarga Risa menyambut keluarga Dafa.  Sebagai langkah terakhir, Risa menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. “Makasih ya, Sa. Udah selalu ada disaat-saat seperti ini.” Risa memeluk Sava dengan erat. “Sama-sama itulah gunanya sahabat bukan? Risa, aku sungguh-sungguh bahagia rasanya melihat kau sebentar lagi akan menikah. Yah meskipun ada rasa kehilangan. Tapi aku sungguh senang.” Risa menatap haru kepada sahabatnya. “Aah Sava kau membuatku ingin menangis. Aku berharap kau cepat membuka hati, diluar sana pasti masih ada lelaki yang benar-benar mencintaimu dan tentunya bisa bersikap layaknya lelaki.”  “Tapi aku masih enggak yakin. Aku masih butuh waktu lebih lama lagi.” “Mau sampai kapan? Udah cukup selama ini kau menutup diri. Setiap orang punya masa lalu yang kelam, Sava. Kau memang terpuruk selama beberapa tahun namun sekarang kau membuktikan diri dengan bangkit.” “Tapi aku bukan bangkit dalam urusan cinta.” “Belum. Tapi kini adalah saat nya. Lihat pencapaian mu yang sudah kau usahakan. Aku yakin jodohmu pasti akan menerima masa lalu mu. Tapi kau harus membuka diri dulu.” Sava sudah mau membuka suara namun terhenti ketika nama Risa sudah dipanggil menuju ruang acara. Sava pun membantu Risa berdiri dan mendampinginya keluar kamar. Acara selanjutnya adalah dimana kedua belah pihak keluarga mulai berdiskusi kapan tanggal baik untuk pelaksanaan pernikahan antara Risa dan Dafa. ***   Langit diluar sedang mendung dan hujan sudah membasahi bumi sejak satu jam yang lalu. Cuaca diluar sama hal nya dengan yang dirasakan oleh Tristan. Sejak pengakuan Sava beberapa hari yang lalu menerkamnya ia tidak bisa berpikir jernih. Sudah lewat beberapa hari yang ia buang dengan sia-sia. Ingatan itu langsung membasahinya, kembali menyadarkannya bahwa ia ternyata belum berubah. Tristan pun bangkit dan melihat pantulan dirinya di cermin. Pakaian saja sudah berantakan, ia tidak lagi seperti Tristan yang memperdulikan penampilan. Beberapa helai bulu halus sudah mulai menghiasi sisi wajahnya. Rambutnya juga berantakan tidak beraturan. Dan satu lagi, Tristan tidak yakin apa ia sekarang sudah mandi dua kali sehari seperti biasanya. Seingatnya terakhir kali ia mandi adalah dua hari yang lalu. Ini merupakan kali pertama Tristan merasa hidupnya bisa terombang-ambing hanya karena seorang perempuan. Perempuan yang ia sakiti beberapa tahun yang lalu. Apakah ini karma yang sedang diterimanya karena telah berbuat jahat pada wanita? Tristan meremas rambutnya. Setelah hidup bertahun-tahun tanpa ada rasa bersalah dan khawatir bahwa ternyata Sava sudah hidup sebegitu beratnya sedangkan ia masih bisa bergerak bebas.  Suara ketukan tetap membuat Tristan bergeming di sisi kasurnya. Dari balik pintu Fiza melongok lalu kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat orang yang dicarinya tampak kacau. Tanpa meminta persetujuan dari sang pemilik kamar, Fiza langsung melenggang masuk dan menutup pintu nya kembali. “Udah berapa hari ini? Mama sama Papa udah nanyain terus. Aku udah gak tau harus pakai alasan apa lagi.” ungkap Fiza. Memang setelah mengetahui berita buruk itu, Tristan seperti kehilangan arah. Ia tidak bisa mengendalikan perasaan terpukulnya dan memilih untuk mengurung diri dikamar. Ia belum bermaksud untuk memberitahu kedua orang tuanya. Belum. Sampai saat Tristan yakin pada dirinya sendiri sudah bisa menguasai diri. “Apa yang bisa aku bantu?” walaupun Fiza terkadang bersikap seenaknya layaknya seorang adik nya satu-satunya, ada beberapa waktu Fiza bisa berubah menjadi lebih dewasa dari Tristan. “Aku ingin mempertahankan Sava.” Ujar Tristan setelah bergeming cukup lama.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD