Calon suami

1919 Words
Tidak selamanya hati dan jiwa akan selalu kuat dengan sendiri. Ada kalanya dia akan merasa lelah dan butuh tempat untuk dia percayai bersandar. Hanya saja dia butuh waktu akan kepada siapa dia akan mempercayai tempat labuhnya itu. _____________ Cuaca cerah sangat mendukung yang disertai dengan semilir angin serta hamparan hijau yang mendominasi pesantren tersebut, hingga menambah kesan sejuk dan alami untuk pesantren itu. Mia sudah menenangkan dirinya, dia kini sudah berpasrah kepada Rabb-nya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Bahagia ataupun tidak, dia sudah mengikhlaskan semuanya. Saat ini, Mia tengah berada di rumah Pak Kyai Narudin, dia terlihat sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan calon suami beserta keluarganya dibantu oleh Ibu Hafinah dan Vio. Beberapa jam lagi, calon keluarga dari suaminya akan segera datang. Persiapan semuanya sudah selesai, kini Vio sedang berada di dalam kamar mandi sedangkan Ibu Hafinah tengah menemui suaminya. Mia sendiri masih berada di ruang makan dengan wajah, khas khawatirnya. Mia terus bermondar-mandir di ruangan itu dengan melafadzkan beberapa bacaan yang mungkin dapat menenangkannya. “Rabbanaa afrigh ‘alainaa shabran wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa ‘alal qoumil kaafirii,” ujar Mia dan terus disambung dengan sholawat kepada baginda Rasul-Nya. Doa yang dipanjatkan oleh Mia mengartikan bahwa, 'Ya Tuhan kami, limpahkanlah atas diri kami, serta teguhkanlah pendirian kami serta tolonglah kami dari orang kafir.' QS. Al-Baqarah ayat 250. Setelah selesai membuang hajatnya di dalam kamar mandi, kini Vio berjalan memasuki ruangan itu, tempat dimana Mia berada. Disana, Vio mendapati Mia yang terlihat begitu khawatir ditempatya. Vio berjalan menghampiri Mia dengan duduk dimeja dekat tempat Mia berdiri, tapi Mia sendiri belum sadar akan kehadiran Vio dibelakangnya yang kini tengah duduk menatap dirinya. “Assalamualaikum,” ujar Vio. “Astagfirullahaladzim.” Mia membalikkan badannya dan tersentak karena tiba-tiba dia mendapati sosok Vio tepat berada di belakangnya. “Lagi dan lagi lupa jawab salam, menjawab salam itu hukumnya wajib,” gerutu Vio. “Waalaikumussalam, kamu ini benar-benar mengagetkan saya saja Vi,” jawab Mia. “Hehee ...  iya maaf, lagian kamu kenapa sih? Grogi karena mau ketemu dengan calon suami dan mertua ya,” goda Vio dengan memainkan alis matanya. “Saya hanya sedikit gugup, saya takut jika mereka menanyakan orang tua saya, lantas saya harus jawab apa?” “Berpasrahlah kepada Allah, dia maha tau apa yang terbaik untuk setiap hambanya. Tidak perlu kamu merasa takut, jika dia memang ditakdirkan untukmu maka kalian akan berjodoh. Begitupun dengan sebaliknya jika memang bukan takdirmu untuk bersamanya, percayalah dilangkah depan nanti akan ada seseorang yang sedang menunggumu,” jelas Vio. “Terima kasih ya Vi, kamu memang benar-benar sahabat terbaikku.” Mia memeluk Vio. Lagi-lagi Mia bersyukur karena telah dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Vio. Ditengah berpelukannya mereka, muncullah sosok sama yang selalu menguatkan Mia dalam aspek kehidupannya, beliau adalah Ibu Hafinah. Beliau kini berjalan menghampiri keduanya. “Assalamualaikum,” ujar Ibu Hafinah. “Waalaikumussalam,” jawab keduanya bersamaan. “Mia, sebentar lagi mereka akan segera datang. Lebih baik kita tunggu mereka didepan ya ....” Suara Ibu Hafinah begitu halus dan merdu, tipikal sosok yang penyayang. “Iya bu,” jawab Mia. “Ibu, saya ikut tidak?” tanya Vio. “Tentu saja kamu harus ikut. Sekalian kamu temanin Mia, tapi nanti kamu jangan sampai suka sama calonnya Mia ya,” ucap Ibu Hafinah. “Memangnya seganteng apasih Bu, sampai harus segitunya?” tanya Vio. “Dia itu Masya Allah Vi, gantengnya luar biasa, Pak Kyai aja sampai kalah heheee  ...,” jawab Ibu Hafinah. “Gitu ya Bu, kalau dapatnya model kaya gitu sih ... saya juga mau ikut taaruf bu.” “Yaudah makanya ajuin dong,”  balas Ibu Hafinah. “Astagfirullahaladzim, Ibu ...  berhenti untuk memuji orang berlebihan karena pada hakikatnya kita semua itu sama dihadapannya. Kamu juga Vio, menikah itu untuk keperluan ibadah bukan untuk hal lain. Apapun jodoh kita nanti, kita harus mensyukuri,” ujar Mia. “Cie yang udah yakin dan nggak gugup lagi. Yeee ... kita berhasil ya bu.” Vio dan Ibu Hafinah bertos ria, keduanya berhasil membuat sedikit kegugupan Mia hilang. Semua sudah berkumpul di ruang tamu, mereka hanya menunggu kedatangan dari calon suami dan mertua Mia. Genggaman tangan Mia pada Vio tidak pernah lepas bahkan Mia lebih memperkuat lagi genggamannya itu, Vio hanya bisa mengelus tangan Mia, menyalurkan ketenangan untuk Mia. “Nak Mia, apakah nak Mia sudah siap?” tanya Pak Kyai. “In Syaa Allah Pak,”  jawab Mia dengan lembut. “Nak Mia tenang saja mereka itu orang yang baik. Ayah dari calon suamimu adalah sahabat baik Bapak, beliau juga orangnya dermawan. In Syaa Allah kamu akan bahagia bersamanya.” “Aaamiin, tapi pak ... bagaimana dengan   orang tua saya, bagaimana caranya untuk menjelaskan semuanya kepada mereka?” tanya Mia. “Kamu tidak usah khawatir biar saya yang akan bicara kepada mereka. In Syaa Allah mereka akan mengerti,” ucap Pak Kyai. Mia berkali-kali menghela napasnya dia sedikit gugup dan tidak percaya diri. Meskipun tadi sempat hilang dibantu oleh Vio dan Ibu Hafinah, tapi seiring berjalannya waktu rasa itu kembali hadir. Terdengar suara derap langkah di depan pintu rumahnya yang kedengarannya hendak menuju rumah Pak Kyai tersebut. Mendengar itu Pak Kyai segera beranjak dari tempatnya. Berjalan keluar untuk menghampiri yang beliau yakini adalah tamunya yang telah datang. Tamu itu mengucapkan salam dan Pak Kyai menyambutnya, mereka menyapa satu sama lain, diikuti oleh Ibu Hafinah dibelakangnya Pak Kyai. Sedangkan Mia dan Vio hanya berdiri ditempatnya, belum berani untuk menampakkan diri mereka, hingga mereka semua dipersilahkan masuk oleh Pak Kyai. “Assalamualaikum warahmatullah.” Sepasangan suami-istri dari tamunya Pak Kyai mengucapkan salamnya kembali teruntuk Mia dan Vio yang berada didalam rumah tersebut. Bapak-bapak itu diyakini adalah Ayah dari si calon suami untuk Mia, dan disampingnya adalah seorang wanita paruh baya yang akan menjadi calon dari Ibu mertuanya Mia. “Waalaikumussalam warahmatullah,” jawab Mia dan Vio bersamaan. “Subhannallah, begitu tenang ketika saya melihat kalian berdua, wah Fero kayanya kamu harus memilih salah satu diantara mereka,” jelas Catrina, membuat Mia sedikit tersentak, hatinya begitu berdesir. Sosok yang dipanggil Fero hanya diam dan membisu menatap acuh kepada sosok wanita bercadar yang berada dihadapannya. Pertemuan awal yang tidak baik. “Mari duduk dulu,” ucap Pak kyai memecahkan suasana. “Permisi kami mau kebelakang dulu,” pamit Mia dengan menarik jubah Vio untuk segera mengikutinya. “Lihat mereka seperti itu ... membuat hati begitu tenang dan tentram ya Pah, Mamah yakin Pah, Fero akan jauh jadi lebih baik jika bersama mereka.” celetuk Catrina. “Apa-apaan ini Mah, Mamah menyuruh Aku menikahi mereka berdua?! Yang benar saja dong Mah,” bantah Fero yang semenjak tadi sudah ditahannya. Dia sudah tidak betah jika berlama-lama disana. “Memangnya kenapa, dalam Islampun diperbolehkan untuk berpoligami, Mamah yakin mereka berdua akan selalu hidup rukun bersama. Mamah tau bahwa mereka bukanlah saudara kandung karena Mia sendiri adalah anak tunggal, sekiranya begitu penjelasan dalam proposalnya. Mamah sih setuju-setuju aja kalau mau langsung berpoligami.” ucap Catrina. “Mah, udah dong jangan seperti itu. Berpoligami itu hanya untuk orang-orang yang telah sanggup,” ujar suaminya, Wirawan. Kedua sosok bercadar datang kembali dengan membawa minuman dan beberapa hidangan lainnya. Setelahnya mereka juga duduk berdampingan disamping Ibu Hafinah berada. “Silahkan diminum dulu, pasti haus karena perjalanannya yang cukup jauh,” ujar Ibu Hafinah. “Iya terimakasih Hafinah,” ucap Catrina dengan senyumannya yang indah. Diantara kedua sosok wanita yang bercadar, tatapan tajam Fero jatuh kepada sosok Mia. Tatapan dingin yang begitu menakutkan hingga Mia sendiri tidak sanggup untuk melihatnya, dia hanya bisa menundukan pandangan dan tak segan untuk menatapnya kembali. Karena pada dasarnya juga dalam islam ada batasan-batansan seseorang untuk menjaga setiap pandangannya. “Kenapa tidak langsung pada intinya saja?!” kata Fero yang sudah tidak ditempatnya. “Fero kenapa kamu tidak sabaran sekali, Mamah tau kamu ingin segera menikahinya, tapi tolong bersabarlah,” ucap Catrina yang langsung mendapatkan tatapan intimidasi dari anaknya. “Maaf ya Pak Kyai, dan semuanya atas sikap anak saya.” Wirawan merasa malu dan tidak enak hati atas perlakuan dari anaknya. “Ya sudah, dari pada kita membuang-buang waktu lagi dan Allah tidak menyukai seseorang hamba yang menggunakan waktunya hanya untuk sia-sia lebih baik kita percepat saja,” ujar Pak Kyai yang mendapati persetujuan dari semuanya. “Baiklah, tolong diantara kalian yang bernama Mia silahkan berdirilah dan sambutlah calon suami beserta mertuamu,” ucap Pak kyai. Mia menuruti ucapan dari Pak Kyai dengan sedikit membungkukkan badannya untuk menghormati mereka. “Masya Allah, ternyata dugaan saya memang benar, kamulah Mia. Dari awal melihatmu, saya sangat menyukai mata lentikmu yang indah itu. Mulai saat ini kamu harus panggil saya dengan sebutan Mamah. Ok kalau begitu kapan acara pernikahannya dilaksanakan?” Catrina benar-benar begitu sangat antusias dengan pernikahan anaknya. “Maaf Catrina jika saya menyela, apakah alangkah baiknya anak kamu melihat terlebih dahulu wajah dari calon istrinya, untuk menimbang kembali apakah taaruf ini akan dilanjutkan atau tidak. Karena dalam islam pun calon suami diperolehkan untuk melihat calon pasangannya dari sebagaimana yang boleh diperlihatkannya,” jelas Ibu Hafinah. “Tidak perlu!  Saya tidak perlu melihatnya karena saya percaya padanya.” Fero begitu tegas untuk menolak melihat wajah Mia dan dia sendiri hanya ingin mempersempit waktu. Baginya menerima atau tidak, orang tuanya akan tetap kekeh menjodohkannya. “Jadi, apakah nak Fero dan nak Mia kan melanjutkan proses taaruf ini? Silahkan nak Fero  jawablah terlebih dahulu,” ujar Pak Kyai. “Iya,” ujarnya singkat padat dan jelas. “Lalu bagaimana dengan nak Mia?” Mia menarik napasnya dengan dalam, satu ucapan maka akan mengubah kehidupannya yang selanjutnya.  “Ini Syaa Allah, saya menerimanya Pak.” Mereka semua mengaminkan dengan mengangkat kedua tangannya yang ditangkupkan kepada wajahnya menadakan mereka bersyukur atas kelancaran proses ketaarufannya, kini pasangan kedua insan itu resmi melanjutkan keproses selanjutnya yaitu khitbah. Pak Kyai memimpin doa atas keberhasilan taarufnya yang berlanjut kejenjang yang lebih jauh lagi yaitu, pernikahan. “Nak Mia, kalau boleh tau kemana orang tuamu, kenapa tidak datang?” tanya Wirawan selaku Papahnya Fero. Pertayaan yang Mia khawatir akhirnya muncul begitu saja, dan itu membuat Mia tidak bisa berkutik lagi, dia sendiripun bingung harus menjawab apa, matanya yang tiba-tiba menjadi redup kini tertuju kepada Ibu Hafinah untuk meminta bantuan penjelasan. Dan bantuan itu diterima dengan anggukan dari Ibu Hafinah. Ibu Hafinah sendiri tersenyum dan mengedipkan satu kali matanya menatap sang suami. Kini saatnya untuk beliau bersuara mengenai Mia. “Begini Wirawan, Orang tuanya sedang berada di Bandung, mereka sedang sibuk hingga tidak dapat hadir. Maka dari itu, mereka hanya menitipkan Mia kepada saya untuk mewakili berjalannya proses ini,” ujar Pak Kyai. “Baiklah kalau begitu, tapi bagaimana kita akan menentukan tanggalnya jika orang tuanya saja tidak hadir. Apakah kita akan adakan pertemuan kembali antar keluarga?” “Seperti yang sudah saya katakan tadi, mereka menitipkan Mia dan mempercayakan seutuhnya kepada saya, maka apapun keputusannya mereka akan menyetujuinya. Tapi jika kamu Wirawan, ingin mengadakan acara pertemuan kembali,  itu tidak masalah maka saya serahkan kembali pada kalian,” jelas Pak Kyai. “Tidak! Tidak usah, langsung keacara nikah saja.” Fero bersuara. “Ya sudah Pah ... mungkin lebih baik seperti itu, biar kita yang susun tanggal pernikahan dan lain-lainnya, toh apapun keputusannya mereka akan menerimanya,” ungkap Catrina. Rangkaian demi rangkaian untuk lancarnya sebuah pernikahan mereka susun dengan sebegitu rupa hingga musyawarah itu mencapai kesepakatan bersama. Tempat pernikahan itu akan diadakan di Pesantren Matiynu Waliyya dengan konsep outdoor. Hukum Poligami dalam Islam. Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau dianjurkan. Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa :3) Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُو “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau b***k-b***k yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisaa’:3). Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat diatas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”. Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya, وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu : maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya. Semoga Allah senantiasa memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD