~~~~~~~~~~~~~~
It's hard for me to say, I'm jeaolus of the way ... you happy without me ...
~~~~~~~~~~~~~
Hari semakin larut, rasa lelah yang Aditya rasakan sama sekali tak terasa dan di gantikan dengan rasa cemas. Pria itu sedari tadi hanya bisa mondar-mandir di depan ruang ICU —setelah sebelumnya anaknya berada di IGD— guna menanti kabar yang mampu melegakan semua kecemasannya. Ia khawatir dengan kondisi Aurel—anak perempuannya dari Sabrina— yang tak ia ketahui penyebabnya sampai detik ini. Bahkan Sabrina seakan bungkam dan tak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Aditya. Beberapa jam telah ia lewati hingga bunyi decit yang ditimbulkan pintu ruang ICU dan lantai membuat Aditya langsung bergerak menemui dokter yang keluar dari ruangan tersebut.
"Keluarga Aurel Kavindra," panggil pria yang bertitle dokter itu.
"Saya Papanya. Bagaimana keadaan anak saya Dok?
"Begini Pak. Saya Dokter Erwin yang menangani anak Bapak beberapa bulan terakhir ini. Jadi, menurut hasil pemeriksaan kami, kanker Aurel sudah masuk ke stadium lanjut. Kecil kemungkinan untuk Aurel bisa bertahan lebih lama Pak, tapi kami akan lak—"
"Tu—tunggu! Apa? Kanker? Bagaimana bisa anak saya mengidap kanker? Anda tidak salah diagnosa?" potong Aditya yang sama sekali tak memahami ucapan sang dokter.
Seketika tubuhnya serasa lemas tak berdaya mendengar kenyatan bahwa anak perempuannya mengidap penyakit berbahaya itu. Bahkan dokter sudah mengatakan stadium penyakit Aurel berada di akhir, itu artinya tak akan banyak harapan yang mampu membuatnya tenang.
"Iya Pak, Bapak tenang dulu agar saya bisa jelaskan. Begini Pak, Aurel mengidap kanker darah stadium lanjut dan oerkembangannya sangat cepat. Dan saya beritahukan kondisinya sekarang agar jika terjadi sesuatu keluarga sudah bisa memahami segala resiko, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Aurel bertahan."
Penjelasan sang dokter bahkan hanya setengah yang masuk ke telinga Aditya, semuanya terbiaskan oleh pikirannya tentang anak semata wayangnya dan pikiran-pikiran buruknya. Ia ingin menepis semua angan-angan buruknya namun kondisi di depannya membuat intimidasi pada mentalnya terlebih setelah kehilangan orang terkasihnya beberapa tahun lalu.
"Boleh saya masuk Dokter? Saya ingin menemui anak saya," pinta Aditya lirih.
"Boleh Pak silakan. Kebetulan Aurel sepertinya memang membutuhkan orang tuanya." Sang dokter pun mengajak Aditya untuk masuk ke ruangan ICU tersebut.
Aditya pun melangkahkan kakinya menuju ke dalam ICU tersebut mengikuti langkah sang dokter. Beberapa langkah kemudian, ia tercekat dan menghentikan laju kakinya. Langkahnya terasa sangat berat saat menatap ke arah tubuh mungil anaknya yang terbaring lemah. Bocah kecil itu masih dalam keadaan sadar dan tidak tahu apa yang terjadi karena usianya masih 5 tahun. Kerlingan air bening mulai membasahi matanya tanpa mampu terjatuh begitu saja saat melihat tubuh anaknya yang tergeletak dengan selang infus di tangannya dan beberapa peralatan medis di tubuh anak perempuan itu. Ia tidak tega, sangat tidak tega melihat anak sekecil itu harus merasakan sakitnya jarum infus terpasang di tangannya.
Tidak seharusnya Papa meninggalkan kamu Aurel, batin Adit menyesal.
"Pa—Papa," panggil Aurel dengan binar senang di matanya.
Mendengar panggilan dari putrinya, Aditya menghela napas panjang dan menghapus air matanya agar sang anak tak melihatnya dalam keadaan pilu. Ia lantas berjalan menuju Aurel yang memanggilnya.
"Iya ini Papa Nak. Papa datang untuk kamu. Ada yang sakit? Mana Nak yang sakit?" tanya Aditya dengan suara sedikit gemetar.
Ia usap perlahan kepala anaknya itu, tatapannya lemah dan bibirnya yang pucat membuat hati Aditya hancur namun bodohnya ia tak mampu berkata apa pun sekarang.
"Aurel kangen Papa. Papa kenapa gak pulang-pulang? Papa sibuk ya?" tanya anak kecil itu dengan polosnya.
Seketika hati Aditya merasakan sakit yang luar biasa. Ia tidak menyangka Aurel akan menanyakan hal yang belum ia ketahui kebenrannya. Ia juga merindukan anak perempuannya itu, namun waktu yang seolah belum berpihak untuk mempertemukan anak dan ayah ini. Dan, andai Sabrina tidak mengkhianatinya, anak mereka tidak akan menjadi korban dari keegoisan antara dirinya dan Sabrina. Jujur, ia tak ingin melihat anaknya seperti ini tapi ia tidak mampu juga menahan rasa kekecewaannya pada Sabrina.
"Papa minta maaf Aurel. Papa juga kangen sama Aurel, sekarang Papa janji gak akan pernah ninggalin Aurel ya ...," ucap Aditya.
Kini, tangan mungil itu memegang tangan ayahnya dan ia berkata, "Pa ayo pulang. Aurel takut di sini. Di sini dingin, gak ada boneka Little Pony seperti di kamae Aurel. Tangan Aurel juga sakit di suntik sama Dokter, ayo pulang Pa."
Sakit, ya sungguh sakit mendengar seorang anak kecil mengatakan hal seperti itu. Hal yang di rasakan Aditya saat ini hingga entah sadar atau tidak, tangannya mulai gemetar. "Nak, Aurel di sini dulu ya. Papa akan jagain Aurel agar Aurel sembuh. Nanti setelah sembuh, Papa janji akan bawa Aurel jalan-jalan, kita main bareng ya sama Mama juga, gimana?"
Nampak sorot berbinar di mata Aurel. Ia senang jalan-jalan bersama orang tuanya. Hal yang ia impikan beberapa hari lalu. "Beneran Pa? Papa gak sibuk ya? Akhirnya Aurel bisa jalan-jalan juga sama Papa, terima kasih ya Pa, Aurel sayang Papa," ungkap bocah kecil itu dan disambut pelukan oleh Aditya.
Setelahnya, Aditya mengelus rambut anak perempuannya itu, sorot matanya menampakkan kesedihan yang teramat pahit sekali pun senyum ia kembangkan di bibirnya. Ia takut kehilangan seseorang lagi di hidupnya, ia takut kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Ia tidak sanggup kali ini jika harus kehilangan anaknya, ia memeluk tubuh mungil Aurel lagi, ia sangat menyayangi anak perempuan satu-satunya itu.
"Papa sayang sama Aurel, Papa minta maaf ya Nak."
*****
Di ruangan 7x6 meter persegi yang di d******i warna putih dengan satu bad pasien di sisi kiri setelah pintu masuk dan sebuah set meja kerja di sisi kanan menyapa pagi Aditya. Pria itu duduk masih dengan perasaan cemas menatap pria di depannya yang ber-tittle Dokter Spesialis Penyakit Dalam (Hematologi dan Onkologi Medik).
"Dok, apa tidak ada cara untuk menyembuhkan anak saya? Berapa pun biayanya saya akan tanggung Dok," ucap Aditya saat menemui dokter yang menangani Aurel di dampingi oleh Sabrina.
"Langkah selanjutnya adalah harus ada operasi pencangkokan sum-sum tulang belakang Pak, hal ini di peruntukan agar Aurel bertahan tapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun, semuanya atas kuasa Tuhan Pak. Saya sebagai dokter hanya mengusahakan yang terbaik untuk pasien saya."
"Bagaimana prosedurnya Dok? Lakukan apa pun untuk anak saya, saya tidak bisa kehilangan dia Dok."
"Kita butuh sum-sum tulang belakang dari keluarga Pak, entah orang tua atau pun saudara kandung yang cocok untuk Aurel."
Aditya nampak berpikir dengan penjelasan dokter, kemudian ia tatap Sabrina di sisinya sejenak dan akhirnya memutuskan suatu keputusan sepihaknya. "Saya saja Dok, ambil milik saya untuk anak saya."
Keputusan Aditya sontak membuat Sabrina menatap pria itu. Pria yang pernah ia khianati karena sebuah alasan, pria yang rela merubah tingkah laku buruk untuknya demi anak perempuan mereka. Dan sekarang, tiga tahun perpisahan mereka tak membuat Aditya melupakan kewajibannya sebagai seorang ayah yang baik untuk Aurel. Ia tak acuh bahkan lebih memedulikan anak mereka. Di saat ia sendiri sebagai ibu justru tak memberi kabar apa pun terhadap Aditya tentang kondisi Aurel. Pria itu masih sama, pria yang sangat baik. Sabrina hanya mampu menahan air matanya dengan menunduk agar tidak terjatuh begitu saja.
"Jika memang seperti itu, Silakan nanti Bapak ikut ke lab kami untuk mencocokan dengan milik Aurel. Jika cocok kita akan lakukan tindakan itu secepatnya. Bapak tunggu di sini sebentar," jelas sang dokter yang beranjak meninggalkan ruangannya.
Sabrina lantas memegang tangan pria itu dan menatapnya seakan meminta jawaban atas keputusannya.
"It's okay. Ini semua untuk anakku! Aku tidak akan membiarkan anakku menderita lagi."
Sabrina masih tak menyangka Aditya akan mengorbankan semuanya untuk anak mereka. Sosok Aditya yang keras dan angkuh ternyata memiliki sisi lembut dan khawatir yang berlebihan. Perempuan itu dapat melihat Aditya mengangguk tanpa keraguan dan saat dokter kembali serta memberikan sederet dokumen untuk disetujui oleh Aditya ia langsung menandatangani tanpa berpikir dua kali. Setelah itu Aditya mengikuti sang dokter ke laboratorium rumah sakit tersebut untuk di cocokan dengan sum-sum tulang belakang Aurel. Belum sempat Aditya melakukan pemeriksaan mendalam, teriakan para tim medis menarik perhatiannya.
"Dokter Erwin! Cepat, pasien atas nama Aurel dalam keadaan kritis!" seru salah satu dokter lain.
Seketika Aditya ikut tersentak. Banyak pertanyaan menghampiri pikirannya. Ada ketakutan mendalam dalam dirinya. Namun, saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti langkah dokter yang berlari ke arah ruang ICU. Hatinya tak menentu, rasanya air mata ingin meloloskan diri begitu saja. Dan, langkahnya tertahan di depan pintu ruang ICU karena perawat yang menahannya.
"Bapak tunggu di luar dulu selama pemeriksaan Dokter."
"Tapi sus —"
"Adit kamu tenang ya, tenang Dit," ucap Sabrina mencoba menarik tubuh pria itu dari depan Ruang ICU.
"Bagaimana aku bisa tenang hah! Kamu tidak becus menjaga Aurel! Harusnya dari awal Aurel sakit kamu bilang padaku! Ibu macam apa kamu ini!" bentak Aditya.
Emosinya meluap karena ia berusaha menutupi rasa ketakutan yang kembali menyeruak dalam hati dan pikirannya. Rasa pusing menjalar di kepala bagian belakangnya hingga membuat tengkuknya memberat. Ingatan akan kehilangan seseorang bemar-benar sangat menyakiti batinnya. Belum lagi, ketegangan antara Aditya dan Sabrina pun semakin menjadi lantaran saling menyalahkan satu sama lain.
"Sudah Nak. Jangan berantem di sini, kasihan Aurel," ucap Ibu Sabrina.
Aditya terdiam, acuh terhadap keluarga Sabrina. Ia kecewa terhadap Sabrina yang tidak memberitahukan kepadanya bahwa anak mereka sedang menderita penyakit yang tidak bisa di sepelekan. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena tak memerhatikan anak perempuannya sehingga ia lengah menjaga Aurel.
Beberapa jam kemudian, sang dokter pun keluar dari ruang ICU. Sontak Aditya langsung berdiri dari kursi tunggu menuju ke arah sang dokter di ikuti oleh Sabrina.
"Dokter ... anak saya — bagaimana anak saya?" tanya Aditya tak sabar.
Dokter menghela napas panjang kali ini. Di lihatnya sorot mata Aditya yang lelah karena memang benar ia tidak tidur seharian demi menunggu putrinya seharian. Hal yang paling Dokter Erwin benci adalah memberitahu hal yang buruk tentang pasien pada keluarganya, namun gak dapat di pungkiri, semuanya harus jelas.
"Maaf Pak, kami sudah berusaha ... tapi Tuhan mempunya rencana lain untuk anak Bapak. Aurel tidak dapat kami selamatkan karena kondisinya yang terus menurun sejak kemarin. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya Pak."
Ketika suara tangis histeris terdengar di telinganya tepat dari mantan istrinya yang tak lain Sabrina justru Aditya mematung menatap ruang ICU itu. Kosong. Pikirannya kosong seiring ucapan sang dokter yang mengatakan bahwa nyawa anaknya tidak dapat tertolong.
"Dokter bohong kan?" timpal Aditya yang tadinya menatap lurus ke arah ruang ICU seketika menatap sang dokter. "Dokter bohong kan? Selamatkan anak saya ... saya mohon Dok. Selamatkan Aurel, tolong ...," pinta Aditya yang kini menarik snelli¹ sang dokter.
"Saya minta maaf Pak, kami sudah mengusahakan apa pun."
"Tidak mungkin! Dokter jangan bohong! Dokter tidak ada usaha untuk menyelamatkan anak saya!" Dorong Aditya pada tubuh Dokter Erwin dengan emosi, membuat tubuh sang dokter mundur dengan cukup keras andai sang dokter tak memasang pertahanan diri.
Dokter Erwin memaklumi rasa kehilangan Aditya dengan membiarkannya melampiaskan ke dirinya. Hal ini sangat sering ia temukan, kekecewaan keluarga pasien atas kehilangan orang terkasih untuk selamanya. Hingga pelukan Sabrina membuat Aditya melemah, kakinya lemas dan membuat pria itu bersimpuh di depan ruang ICU tersebut. Kepalanya menunduk dalam, ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Lagi-lagi ia harus kehilangan orang yang dia sayangi. Sang dokter pun kembali mencoba menenangkan Aditya.
"Bapak yang sabar Pak. Aurel sudah tenang. Ia sudah tidak merasakan sakit lagi Pak. Bapak yang tabah, anak Bapak sudah cukup kuat melalui semua ini Pak," hibur Dokter Erwin.
Namun, ucapan dokter Erwin tak mampu menenangkan hati Aditya. Ia benar-benar sangat terpukul dengan kenyataan yang terjadi. Tangisnya pecah saat ia masih teringat janjinya akan mengajak sang anak untuk berlibur. Menyesal! Hanya sesal ungkapan dari Aditya,ia tak sempat membahagiakan anak perempuannya seperti janjinya.
"Aditya, aku minta maaf ... aku memang bukan Ibu yang baik untuk Aurel. Aku minta maaf Dit," ucap Sabrina di sela tangisnya.
Aditya menepis tangan yang menyentuh pundaknya itu. "Maafmu tidak akan mengembalikan nyawa anakku!"
Aditya bangkit dari posisinya, ia melangkah menuju ruang ICU untuk melihat anaknya. Ia langkahkan kakinya yang berat itu menuju jenazah Aurel. Lagi-lagi, rasa kehilangan yang mendalam di rasakannya saat melihat tubuh Aurel yang tergeletak lemah di depannya. Tangannya bergetar, ia mengelus pelan wajah anaknya yang memucat itu. Namun, bagaimana pun ia menyesal, Aurel sudah benar-benar tiada. Entah semuanya habya ilusi pria itu atau tidak, seulas senyum tercetak di bibir sang anak. Aditya tersenyum dalam tangis tertahannya, mungkin anak kecil itu sudah lega bisa bertemu dengan sosok ayahnya.
"Maafin Papa Nak, Papa belum bisa mengajakmu jalan-jalan," ucap Aditya.
Tak ingin rasanya ia beranjak dari tubuh Aurel hingga nada dering mampu mengalihkannya sejenak. Ia mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelponnya.
"Hallo," sapanya pada sang penelpon.
"Pak Aditya di mana? Hari ini —"
"Urus semua urusan kantor, saya masih ada urusan di luar. Saya serahkan kepada Marco dan juga kamu Sandra. Jangan ganggu saya!" potong Aditya.
Panggilan pun ia matikan sepihak. Ia benar-benar tidak ingin di ganggu siapa pun. Setelah cukup lama ia berdiri di samping Aurel, ia beranjak dari ruangan ICU itu karena dokter dan tim media lainnya akan mengurus kepulangan Aurel. Ia keluar dari ruang ICU itu dan mendapati sang Ibu sudah ada di luar ruang ICU.
"Ma, Mama di sini?" tanya Aditya lirih.
Sang Ibu langsung menghambur memeluk Aditya. Bahkan saat ini, Aditya hampir tak mampu menerjemahkan perasaannya sendiri. Rasanya terlalu sakit hingga tak lagi merasakan apa pun.
"Nak, yang kuat Sayang. Maaf, Mama baru tau hal ini. Ikhlasin ya Nak, Aurel akan menjadi bekal dan penolong untukmu dan Sabrina nanti," ucap sang Ibu.
Aditya menganggukan kepalanya pelan. Sang Ibu tahu psikis anaknya sedang terguncang menerima kenyataan itu. Perempuan paruh baya itu berusaha menenangkan Aditya agar ia tak kembali mengalami depresi seperti dulu. Ucapan lembut Andini —sang Ibu— mampu meluluhkan hati Aditya. Ia sadar, ia tidak bisa berlarut dalam kesedihan yang terlalu mendalam. Ia harus belajar menghadapi semuanya, belajar menghadapi kepergian yang pasti akan terjadi pada siapa pun di dekatnya bahkan mungkin pada dirinya sendiri.
"Adit, aku minta maaf sekali lagi. Aku memang bukan Ibu yang becus menjaga Aurel ... maafkan aku," ucap Sabrina yang tengah memegang tangan Aditya.
Adit menghela napasnya, tak ada gunanya lagi ia marah atau pun kecewa terhadap Sabrina. Bagaimana pun, Sabrina adalah ibu dari anaknya. Ia yang telah melahirkan Aurel, ia pula yang telah membesarkan anaknya. Aditya masih melihat Sabrina yang tak bisa menghentikan air matanya menerima semua ini, ia paham Sabrina lebih sakit menerima kenyataan ini karena ia adalah seorang ibu. Tak lagi ingin memenangkan keegoisannya, ia tarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya. Sabrina butuh sandaran kali ini dan Aditya memberikan sandaran itu kepadanya. Mendapati perlakuan seperti itu membuat Sabrina semakin menangis di pelukan Aditya. Ia sangat menyesal dan merasa benar-benar kehilangan Aurel dalam hidupnya.
| To Be Continues |
Siapa yang datang, suatu saat nanti pasti akan pergi. Tidak akan ada yang abadi di dunia ini. Dan bila giliranmu pergi maka bawalah kedaiaman bersamamu
~Aditya~