MO || BAB 10

2883 Words
Hari berganti hari hingga enam bulan lamanya, Anggi sudah melewati semua hari-harinya bersama Aditya. Ia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan pribadi Aditya. Selama ia tinggal di rumah pria itu sedikit banyak ia tahu sifat atasannya seperti apa, tahu kesukaan Aditya dan mengerti segala hal tentang pria mapan itu. Entah, apakah Sandra juga mengerti Aditya atau tidak. Sejak kehadiran Anggi yang ternyata mampu dengan cepat mempelajari suatu hal dan membuat Aditya merasa cukup. Sandra tidak lagi menjabat sebagai sekretaris pribadi Aditya, ia benar-benar telah di promosikan menjadi Sekretaris Eksekutif yang membawahi semua jajaran administrasi perusahaan. Keputusan Aditya tak mampu di bantah oleh perempuan yang sudah bertahun-tahun mengikutinya walaupun sempat terjadi perdebatan pribadi antara Sandra dan Aditya, nyatanya hal itu tak merubah keputusan pria itu. "Pak Aditya, saya sudah siapkan kemeja, jas kerja, dasi dan sepatu untuk anda gunakan hari ini," jelas Anggi dari balik kamar mandi Aditya. Ia sudah sangat terlihat profesional dari pertama kali melamar sebagai sekretaris Aditya. Anggi pun tersenyum tipis saat melakukan pekerjaanya, seakan ia lupa bahwa tujuannya bukan untuk benar-benar mengabdi pada perusahaan Aditya melainkan hanya untuk sebuah file berharga. "Iya terima kasih Anggi," timpal Aditya dari dalam kamar mandinya. Perempuan itu langsung menuju ke arah kamarnya untuk mengambil beberapa berkas dokumen miliknya serta ipad sebagai fasilitas yang diberikan Aditya demi mendukung pekerjaannya. Sedangkan Aditya keluar dari kamar mandinya tepat saat pintu kamarnya tertutup oleh Anggi. Ia segera memakai pakaiannya hingga beberapa menit kemudian Anggi kembali datang ke dalam kamarnya. "Apa jadwal saya hari ini?" tanya Aditya sembari mengancingkan kancing ujung lengan kemejanya. "Ini jadwal anda hari ini. Ada meeting penting terkait akuisisi perusahaan Griya Properti, setelah itu ada pertemuan dengan klien dari Singapura untuk membahas kontrak kerjasama Pak," ucap Anggi sambil memberikan ipad-nya pada Aditya. Pria itu menatapnya sebentar dan memberikan ipad itu kembali pada Anggi. Tiba-tiba perempuan itu maju selangkah le arah Aditya, membenarkan dasi yang dikenakan pria itu sembari kembali merapikan pakaian atasannya. Senyum tipis kembali Aditya lesungkan tanpa Anggi tahu. Rasanya memang berbeda jika itu Sandra. Terbiasanya Anggi melakukan hal-hal kecil semata-mata agar Aditya terlihat sempurna di mata orang lain. "Sudah," ujar perempuan itu yang seolah penampilan seseorang di depannya sudah benar-benar sempurna. Aditya hanya mengangguk pelan dan ia berjalan keluar rumah diikuti Anggi dan menuju mobilnya yang mana Marco sudah berada di sana sejak beberapa menit sebelum Aditya keluar. "Silakan Tuan," ucap Marco seperti biasa. Seakan Marco hanya mengenal kata-kata formal tanpa bisa berbasa-basi dengan atasannya itu. Anggi hanya tersenyum geli melihat sosok seseorang yang paling setia di samping Aditya yang berbicara bak bahasa mesin dan otomatis menyala jika pemiliknya mengaktifkan. Aditya pun masuk ke dalam mobilnya dan disusul oleh Anggi. Setelahnya Marco melajukan mobil itu melesat membelah kemacetan kota metropolitan itu. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di sebuah pelataran gedung Artha Group. Seketika semua tertegun dan menyapa dengan sopan pada sosok pimpinan perusahaan mereka yang sudah terkenal akan sikap dinginnya itu. Drrt ... Drrtt .... Drrtt, "Siapa?" tanya Aditya yang tahu jika panggilan masuk tengah membunyikan nada dering gawai milik Anggi. "Manager HRD Pak. Sebentar saya angkat dulu." Aditya tak bergeming dan Anggi langsung mengangkat panggilan dari manager HRD perusahaan Aditya. Hingga satu menit berlalu, mereka terlibat obrolan yang cukup serius. "Pak, ada seorang gadis yang melamar ke perusahaan anda, dia berasal dari Jepang dan saat ini sudah ada di sini. Jadi bagaimana Pak?" "Jepang?” ucap Aditya menekankan nama negara itu dan berpikir sejenak tentang siapa seseorang itu. “Nanti setelah meeting suruh temui saya,” titahnya. "Baik Pak.” Anggi pun menyampaikan perihal keputusan Aditya kepada manager HRD di seberang sana. Setelah beberapa saat, panggilan pun terputus tepat saat lift terbuka di lantai sembilan. Aditya segera menuju ke ruang meeting dan ruangan tersebut sudah terisi beberapa orang-orang penting untuk mengikuti meeting kali ini. "Selamat pagi Pak Aditya,” sapa mereka. Aditya hanya menganggukan kepalanya dan ia segera duduk di kursinya. Meeting pun dilakukan dengan berbagai penjelasan dari beberapa departemen yang memakan waktu kurang lebih satu jam. "Lanjutkan akuisisi perusahaan Griya Properti, dalam waktu singkat saya harap sudah ada kabar baik. Meeting selesai!” ucap Adit. Seusai meeting dengan suasana tegang karena Aditya benar-benar serius kali ini, ia bangkit dari kursinya dan kembali ke ruangan kerjanya yang selalu di dampingi oleh sosok Anggi. "Pak Adit, apa sekarang saya harus menghubungi Manager HRD untuk kelanjutan telpon tadi?" Aditya hampir saja melupakannya, ia pun segera menganggukan kepalanya sambil berjalan ke arah kursi kebesarannya itu. Nampak Anggi langsung menghubungi manager HRD dan membicarakan perihal waktu yang di berikan Aditya pada seseorang tersebut. Beberapa menit kemudian, manager HRD datang ke ruang kerja Aditya tepat setelah satu menit panggilan telpon dari Anggi berakhir. "Permisi Pak Aditya.” "Ya ... bagaimana Pak Handi?" "Iya Pak, jadi ada seorang lulusan terbaik dari Jepang. Dia jurusan design interior. Paper-nya sangat menarik menurut saya dan dia berbakat Pak. Pertimbangannya jika Bapak menyetujui, kita bisa mengembangkan perusahaan dengan ide baru dari design interior milik dia ...," jelas manager HRD. Aditya yang tengah duduk di kursinya sambil menatap layar laptopnya hanya mengangguk mendengar penjelasan Handi. Bukan satu atau dua kali saja perusahaan kedatangan orang-orang yang ingin magang, sudah beberapa kalo namun belum ada satu pun yang langsung diterima perusahaan setelah selesai magang. "Siapa namanya?" "Violitta Juan …,” timpal Handi. "Apa? Violitta Juan?" tanya Aditya meyakinkan ucapan Handi padanya barusan. Handi menganggukkan kepalanya yakin sedangkan Aditya cukup terkejut mendengar nama itu. Ia tahu siapa Violitta Juan, ia kenal dengan gadis itu. Namun, ia berusaha tenang dan mencoba kembali menetralkan dirinya. “Bapak kenapa?” tanya Anggi khawatir. “Tidak, tidak ada apa-apa, bawa masuk," perintah Aditya. Manager HRD itu pun segera keluar dari ruangan kerja Aditya dan kembali masuk beberapa saat kemudian dengan membawa Violitta. Terlihat tatapan tajam di arahkan Aditya kepada sosok gadis itu tanpa satu pun yang menyadari hal itu. "Kalian keluar lah, saya ingin meng-interview nona ini sendiri." "Baik Pak,” ucap Anggi dan Handi bersamaan. Anggi dan Managaer HRD pun keluar dari ruang kerja Aditya. Sedangkan Aditya, tetap di posisi duduknya tak bergerak sama sekali. Ia justru menyandarkan badannya di kursi kebesarannya itu sambil menatap sinis pada gadis di depannya. "Apa tujuanmu kemari Violitta?” tanya Aditya to the point. "Kenapa kamu tampak khawatir Aditya, aku hanya ingin bekerja di perusahaan ini. Reputasi perusahaanmu sangat bagus bukan? Jadi wajar jika aku ingin juga bekerja di tempat seperti ini. Itu bisa membuatku memiliki pengalaman hebat karena pimpinannya tentunya sangat hebat!" sindir Viollita dengan penekanan di ujung kalimatnya. Aditya hanya menunjukkan senyum smirk-nya pada gadis kecil di depannya. Bahkan kini gadis itu nampak lebih tenang di bandingkan beberapa tahun lalu yang tiba-tiba menyerangnya begitu saja tanpa berpikir panjang. "Tidak mungkin kamu tidak mempunyai tujuan, kamu dan Alexander … kalian satu keluarga sangat licik! Lebih baik kamu mundur saja jika nasibmu tak ingin seperti Alexander." Aditya mulai menyesap rokok yang ia nyalakan sembari tetap menatap Violitta dengan tatapan tenang namun siap menerkam kapan pun jika gadis di depannya berulah. "Kenapa? Kamu takut? Kamu takut aku membunuhmu seperti kamu membunuh papaku tanpa belas kasih!" ucap Violitta dengan nada tinggi. Aditya tersenyum tipis di buatnya. “Gadis kecil, tahu apa kamu tentang masalah ini?” "Berhenti menyebutku seperti itu! Bahkan aku bisa membunuhmu sekarang Aditya! Aku tahu semua Aditya! Kamu memang tak punya perasaan! papaku memang bersalah tapi kamu lebih keji dari papaku! Pembunuh!" teriak Violitta. Aditya terhenyak mendengar kata-kata Violitta yang berani itu. Walaupun memang benar seperti apa yang dikatakan Violitta tentang dirinya, tapi Aditya tidak pernah suka jika siapa pun menghakiminya tanpa tahu asal muasal tindakannya. Ia bangkit dari duduknya, melangkahkan kakinya ke arah Violitta yang duduk di seberangnya dan memutar kursi itu menghadap ke arahnya. Tatapan Aditya yang tajam, menusuk ke arah mata Violitta membuat gadis itu tak menyurutkan tatapannya pada Aditya. Namun, bagaimana pun sesekali Violitta tampak mengalihkan pandangannya. Tiba-tiba Aditya mencengkeram rahang Violitta dengan kuat dan membuat tangan gadis itu reflek berusaha melepaskan cengkraman Aditya. Cengkraman keras pada rahangnya mampu mengangkat tubuh gadis mungil itu hingga berdiri sejajar dengan Aditya. "Violitta Juan! Aku tahu niatmu datang kemari! Tapi jangan harap kamu bisa melanjutkan niatmu jika kamu sayang dengan nyawamu! Kamu bukan saudaraku bahkan papamu yang b******n itu bukan bagian dari keluarga! Dia orang lain yang dipungut oleh keluarga Reinaldi! Dan kamu bukan siapa-siapa yang penting bagiku! Jadi aku bisa kirim kamu bertemu dengan Alexander jika kamu mau karena kematianmu bukan hal penting untukku!" ucap Aditya dengan nada mengintimidasi. "Le—lepaskan! b******k!” Aditya pun melepaskan cengkraman tangannya dan menjatuhkan Violitta dengan keras. Tubuh gadis itu langsung terjatuh begitu saja dengan kepala yang terantuk di bagian depan meja kerja Aditya. Pria itu tak peduli, masih dengan tatapan dinginnya menatap gadis itu. "Dan ingat Violitta! Jangan sekali-kali kamu mengancamku! Tidak akan ada gunanya! Pergi!” usir Aditya. "Aku akan membuat peritungan denganmu Aditya!" Pernyataan Violitta nampakterdengar lucu di telinga Aditya sehingga pria itu hanya melesungkan tawa menghina pada gadis kecil yang masih terduduk di posisinya. Dengan perasaan jengkel, Violitta menatap punggung orang yang membunuh papanya itu berjalan menjauhinya. Ia benar-benar menaruh dendam di hatinya pada Aditya. Mungkin tidak sekarang ia melancarkan rencanaya, tapi nanti ia akan kembali lagi dan menghabisi Aditya seperti pria itu menghabisi Alexander. Violitta pun pergi dari kantor Aditya dan sang empunya hanya bisa tersenyum puas saat gadis kecil itu pergi tanpa sanggahan apa pun lagi. Gadis kecil seperti Violitta bukanlah tandingannya saat ini tapi gadis itu perlu untuk disingkirkan. ***** Beberapa jam berlalu, Aditya sudah tak lagi memikirkan kehadiran Violitta. Baginya keluarga Alexander hanyalah parasit dan sampah yang akan membuatnya membuang-buang waktunya. "Pak sudah waktunya pulang," ucap Anggi mengingatkan. "Hemm, sebentar," timpal Aditya sambil terus memandangi layar laptopnya. Anggi yang melihat sang atasan masih saja fokus di depan layar laptopnya pun lantas masuk menghampiri pria itu. "Masih lembur lagi Pak?” tanya Anggi dengan polosnya. Hanya anggukan dan deheman kecil yang di wujudkan Aditya guna menjawab pertanyaan sekretarisnya tanpa menatap wajah Anggi. “Pak ... Pak Adiitt …,” panggil Anggi lagi. “Apa? Kamu berisik sekali dari tadi!” "Ya habisnya Bapak di tanyain gitu amat jawabannya.” Aditya pun langsung menutup laptopnya begitu saja dan menatap perempuan di depannya dengan seksama. "Lalu, harusnya saya menjawab seperti apa dan harus berbuat bagaimana?" Anggi terdiam dan hanya melemparkan senyumnya, ia juga bingung harus menjawab apa. Entah mengapa ia senang menggoda Aditya yang terkesan tak peduli dengan lingkungan dan dingin ke semua orang tapi tidak pada dirinya. Senyum Anggi memang benar-benar menjadi candu untuk Aditya secara pribadi. Kepolosan Anggi membuatnya diam-diam memikirkan sosok Anggi. Membuat taman bunga di hatinya dengan pelangi yang mewarnai hari-harinya. "Ayo pulang," ucap Adit tiba-tiba. "Hah? Sudah Pak?" "Kamu ini bagaimana, tadi sepertinya ingin sekali saya menyudahi semua pekerjaan, sekarang kenapa balik bertanya?” "Oh ... iya-iya maaf Pak," ucap Anggi sambil membantu membereskan dokumen di meja Aditya. Aditya pun tersenyum tipis dan segera mengambil jas kerjanya yang ia selampirkan di kursi kerjanya, kemudian berjalan menuju keluar kantornya. "Selamat sore Pak Aditya," sapa Sandra. Aditya pun hanya mengangguk saja dan masuk ke dalam mobilnya diikuti Anggi. Ia yang merasa kesal karena Aditya yang seolah tak membutuhkannya lagi menjadi semakin tidak suka dengan sosok Anggi. Ia mengepalkan tangannya dan menggerutu dalam hatinya. Awas kamu Anggi. Tunggu tanggal mainnya. Aku tidak akan melepaskan Aditya begitu saja! Batin Sandra. Beberapa menit berlalu, Aditya pun sampai di rumah megahnya. Ia pun turun dan akan beranjak menuju ke dalam rumahnya seperti biasa. Namun, ada hal yang membuatnya heran kali ini … tidak biasanya pintu rumah itu terbuka demikian. Ia mengernyitkan alisnya namun tetap melangkah masuk ke rumah. Satu detik kemudian, ia ternganga saat melihat rumahnya berantakan dengan seorang gadis yang tengah menatap lukisan dirinya di seberang sana. Anggi yang melihat kekacauan ini hanya bisa terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia makin terkejut ketika siapa yang ia lihat, seorang gadis yang ia temui tadi pagi di ruangan Aditya. Itu 'kan gadis yang tadi melamar kerja, duga Anggi dalam hati. "Maaf Tuan, saya sudah berusaha mencegah Nona itu. Tapi dia mengaku bahwa dia adalah saudara Tuan. Saya sudah bilang jangan berantakin rumah Tuan tapi Nona itu bawa pisau dan mengancam kami semua. Kami tidak berani bertindak lebih jauh Tuan …," jelas pembantu Adit. Aditya terdiam mendengar penuturan itu. Netranya yang sedari tadi masih menatap ke arah gadis itu tak membuat Aditya terlalu peduli dengan rumah yang kacau akibat ulah gadis itu. "Kamu! Gadis bodoh! Mau apa kamu kemari? Hah!” bentak Aditya. Gadis yang sedari tadi menatap lukisan wajah seseorang yang sangat ia benci lantas tersenyum tipis dan membalikkan badannya menatap Aditya. "Aditya Regha Kavindra … senang bertemu denganmu lagi hari ini. Aku sudah tidak sabar ingin melihatmu menderita sepupuku," ucap Violitta percaya diri. "Silakan saja jika kamu mampu Violitta." Aditya pun berlalu dari sisi Violitta dan melewati tubuh gadis itu tanpa memedulikannya. Namun, tiba-tiba Violitta berjalan sedikit cepat ke arah Aditya dengan sebilah pisau di tangannya yang ia ambil dari balik jaketnya. "Pak Aditya! Awasss!" teriak Anggi spontan. Aditya tersenyum tipis, tanpa Anggi memberitahunya pun ia sudah tahu pergerakan Violitta. Seketika Aditya berbalik dan menghindar tepat waktu saat pisau itu di layangkan begitu saja oleh Violitta. Justru sekarang, keadaan berbalik, ia mencengkram tangan Violitta dengan pisau yang sudah mengarah untuk menghunusnya. Tatapan Aditya kini menjadi sangat menakutkan. "Kamu mau membunuhku? Sangat di sayangkan, kamu bukan pembunuh handal gadis kecil! Marco!" panggil Aditya. Marco pun segera menghampiri Aditya. Ia hentakan tangannya dan terlepas lah pisau yang sedari tadi ia pegang kuat-kuat. Ia lempar tubuh Violitta ke arah Marco dengan mudahnya dan segera berlalu kembali tak lagi menghiraukan gadis yang bukan tandingannya itu. "Urus dia! Saya tidak ada waktu untuk mengurus gadis bodoh seperti dia!” perintah Adit pada Marco. Merasa emosinya sudah di puncak dan ternyata ia tak mampu menumbangkan Aditya, Violitta pun akhirnya memberontak di tangan Marco. Ia tidak terima jika sang ayah mati begitu saja di tangan Aditya tanpa alasan yang menurutnya tidak jelas. "Pembunuh! b******n! b******k! Hidupmu tidak akan tenang Aditya! Kamu sudah membunuh papaku ... pembunuh!" teriak Violitta tak terkontrol. Ia mencoba memberontak ketika cekalan tangannya dipegang erat oleh Marco. Marco berharap Violitta tidak pernah melanjutkan ucapannya atau jika tidak Aditya akan menjadi sosok yang tega terhadap siapa pun. Namun, dugaan Marco meleset, bahkan Violitta masih berani menyumpahi Aditya dengan sumpah serapahnya. "Kenapa kamu hanya membunuh papaku? Hah! Bunuh saja aku sekalian! Dasar pengecut!" Seketika Adit menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan lagi-lagi menuju ke arah Violitta. Ia tidak sadar sedari tadi masih ada Anggi yang melihat semuanya. Emosi di dalam dirinya membuatnya tidak kontrol dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Ia kembali mencengkram rahang Violitta dengan keras dan membuat gadis itu benar-benar merasa kesakitan. "Kamu ingin menyusul Alexander? Harusnya aku membunuh kalian semua! Pengkhianat!” "b******n! Pembunuh! Cepat atau lambat kebusukanmu akan terbongkar Aditya!” sumpah Violitta lagi. Aditya tersenyum mendengar penuturan itu, bukannya apa … jika memang semuanya sudah terbongkar otomatis pihak berwajib sudah memburunya dan menjebloskannya ke dalam penjara atas kasus pembunuhan. Namun nyatanya, hal itu tidak pernah terjadi. Ia ambil sebilah pisau di bawah kakinya dan dengan sengaja mengusapkan pisau itu di pipi halus milik Violitta. Semua orang yang berada di ruang tamu rumah Aditya ngeri melihat sisi Aditya kali ini namun jangankan mencegah, berbicara sepatah kata pun mereka tidak berani. "Kamu datang padaku itu sama saja dengan kamu memberikan nyawamu secara cuma-cuma Vio! Harusnya kamu sadar satu hal … kamu apalagi Alexander bukan siapa-siapa di keluarga kami! Apalagi kamu bukan apa-apa bagiku! Jika kamu ingin menyusul papamu ke neraka, baik … aku akan kabulkan permintaanmu Violitta Juan! Ucapkan kata terakhirmu, Sayang," ujar Aditya. "Pembunuh!” teriak Violitta. Adit tersenyum tipis dan satu tusukan mengarah tepat ke perut Violitta. Tatapan mengerikan milik Aditya sudah di bangunkan kembali oleh gadis kecil yang seharusnya tidak menjadi korban dari kelicikan orang tuanya. Tapi Aditya tidak akan mengampuni siapa pun yang menentangnya. Violitta tak menyangka Aditya benar-benar tega dan tanpa belas kasih menghukum dirinya yang berani melawan pria itu. Ia merasakan perih yang teramat di sana. Ia merasakan darah segar mengalir deras di bawah sana. Hingga, rasanya ia melupakan cara untuk bernapas secara benar tapi tatapannya masih ke arah Aditya yang saat ini menatapnya tanpa tersenyum dan tanpa ekspresi sama sekali. "Bawa dia Marco. Kembalikan dia ke Jepang! Dan pastikan dia tidak akan pernah kembali ke Indonesia dan menutup mulutnya!” ucap Aditya. "Baik Tuan," jawab Marco tanpa berani membantah apa pun lagi. "Semuanya! Bereskan rumah saya! Jangan sampai saya lihat keadaan kacau begini! Atau lebih baik kalian semua pergi dari rumah saya!” titah Aditya yang lantas berlalu menuju ke arah kamarnya tanpa peduli keadaan gadis yang sudah bersimbah darah di tangan Marco. Di sisi lain Anggi yang benar-benar terkejut melihat pemandangan di depannya hanya bisa mengatup mulutnya dengan kedua tangannya. Ingin rasanya ia menolong gadis itu tapi kode dari Marco membuatnya tak beranjak dari tempatnya sedikit pun. Ia tak menyangka Aditya lihai dan tega menusukkan pisau itu ke seseorang yang bahkan ia masih mencerna informasi yang tersaji di depan matanya. Ia baru tahu bahwa Aditya memang tidak menyukai ada yang menetang dirinya. Ia juga baru sadar bahwa ada sisi mengerikan dari Aditya yang ia kenal selama ini. Fakta baru terungkap juga bahwa Aditya memang benar-benar dalang di balik pembunuhan Alexander. Tiba-tiba Aditya meliriknya sejenak, Anggi langsung terkejut bukan main. Ia sangat takut kepada Aditya hari ini. Namun, Aditya langsung berlalu menuju kamarnya tak memedulikan pandangan Anggi padanya. |To Be Continues |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD