7. Sangat Jauh

2260 Words
Damian terbangun dari tidurnya ketika mendengar isak tangis seseorang yang terdengar begitu dekat dari jaraknya saat ini. Kedua matanya perlahan terbuka, keadaan ruang temaram yang pertama kali mengisi retina. Memijat pelipis pelan, lalu mengernyit kian dalam. Saat menoleh ke arah samping kirinya, ternyata Ratih yang sedang terisak pilu. Mata Damian melebar seketika, bingung harus bagaimana. Kenapa dengan wanita itu, apakah baru saja bermimpi buruk? Dengan sedikit menurunkan ego, Damian menarik napas. Dia mengubah posisinya menghadap punggung Ratih. Tangan besar itu terulur mengusap lengan Ratih. "Kenapa kamu? Habis bermimpi buruk?" tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Wajah Damian masih datar, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Kerutan pada dahi dan kernyitan alis pun sudah tak terlihat. Ratih terkesiap menerima sentuhan dari Damian, segera mengusap sisa air matanya. Menggeleng tegas, lalu berusaha meredam isak tangis. Hatinya terluka, dadaanya terasa amat sesak. "Aku nggak pa-pa," balasnya terputus-putus sambil terisak. Jangan lupakan satu hal dalam sejarah kamus perwanitaan, jika mereka bilang tidak ada apa-apa, maka keadaan yang sebenarnya ialah tidak baik-baik saja. Kata kebanyakan pria di luar sana, setiap yang berhubungan dengan wanita—terutama kalimatnya, sangat sulit di mengerti. Padahal tidak juga, wanita begitu tandanya hanya memerlukan sedikit pengertian dari pria yang dicintainya. Namun luar biasa, Damian bukan seperti pria kebanyakan itu. Kamus wanita cukup Damian pahami, semuanya mutlak. Kekasihnya dulu sering merajuk, kesal, bahkan mogok bicara jika Damian melakukan sesuatu yang wanita itu tak sukai. Ratih tak kunjung mengubah posisi ke arah Damian, padahal pria itu masih mengusap pelan lengan dan sesekali ke punggungnya. Sangat langka momen seperti ini, Damian dengan rendah hati mencoba menenangkan Ratih yang selalu dia anggap orang asing dalam kehidupannya. "Menghadap ke sini, berceritalah pada saya." Ratih menghentikan suara tangis beberapa saat, namun cairan bening masih saja mengalir tanpa mau berhenti. Ketika mulut sudah tak mampu berucap, maka air mata yang berbicara. Wanita memang sulit dimengerti jika pria terlalu keras hati dan memiliki pemikiran sendiri tanpa mau melibatkan hati. Perlahan, Ratih akhirnya mau mengubah posisi menghadap Damian. Bukannya menghentikan tangis dan menjadi lebih tenang, tangis Ratih malah kian pecah. Di ruangan minim pencahayaan ini, Ratih masih dapat melihat bagaimana pahatan wajah suaminya. Tetap seperti yang sering Ratih lihat, tidak memiliki ekspresi. "Kenapa?" Damian kembali membuka suara. Menjauhkan kedua tangan Ratih yang berusaha menutup wajah. "Cerita saja, siapa tahu mengurangi kecemasan kamu." Pandangan bertemu, Ratih terdiam membisu. Dia memang habis bermimpi buruk beberapa saat lalu, sangat menggunjang hati Ratih. Dalam mimpi itu, Damian berteriak di hadapan Ratih jika pria itu memang tak berniat memiliki keturunan dan mengaku tidak sama sekali mencintai Ratih. Sangat terluka, Ratih tidak bisa bersikap baik-baik saja. Teramat pilu, hanya tangis yang mewakili suasana hatinya. Apalagi ketika mengingat Damian memang tak pernah menyentuhnya lagi setelah hari itu. Mereka masih tidur dalam selimut yang sama, berbagi tempat tidur dengan baik, tapi tak saling bersinggungan. Ada banyak pertanyaan bermunculan, semua dominan kepada hal yang jelek-jelek. Apa Ratih begitu mengecewakan hingga tak dapat memuaskan Damian? "K-kamu tidak akan meninggalkanku kan, Mas?" Di sela-sela isak tangis dan perasaan campur aduk, Ratih memberanikan diri bertanya hal demikian. Ratih takut mimpinya adalah penggalan dari kehidupan nyatanya. Begitu tragis, Ratih tidak mau. Damian mengernyit dalam. Mencoba mencangkul kesadarannya, memahami setiap kata dalam kalimat istrinya. "Kamu bermimpi buruk?" Bukannya menjawab, Damian malah balik melayangkan pertanyaan. Bukan itu yang Ratih harapkan, cukup bilang 'iya'. Itu saja! "Kamu tidak menginginkan keturunan di antara kita. Aku benarkan?" Senyap. Seketika terdengar jelas detik jarum jam berputar. Langit yang tadinya tenang pun seketika hujan. "Apa yang kamu katakan?" Damian berpikir jika Ratih mengigau, sebagian nyawanya masih berkumpul di dunia mimpi. Ratih kembali menangis, Damian makin bingung dibuatnya. Dia memang terlalu cemen kalau soal urusan memahami sifat wanita. Mereka tidak bisa ditebak maunya apa, kadang melenceng jauh dari perkiraan yang ada. "Hei, hei. Ada apa? Kenapa kembali menangis?" Damian mengubah posisinya menjadi duduk, meraih remote di atas nakas. Memencet satu tombol yang ada di sana, ruangan dalam sekejap memiliki sedikit pencahayaan. Bukan lampu utama yang di nyalakan, hanya lampu yang menyorot ke arah tempat tidur. "Kamu tidak lagi menyentuhku setelah hari itu. Kamu menggunakan pengaman. Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku begitu mengecewakan?" Panjang lebar, Ratih memberitahu pada Damian kegundahan hatinya. Membuat pria itu terdiam seribu bahasa, mengerjap beberapa kali untuk menetralkan rasa yang tiba-tiba menyelimutinya. "Kamu diam, aku benarkan?" Setetes air mata kembali mendarat mulus melalui sudut mata, membasahi sarung bantal. "Tidak ... itu tidak bena--" “Lalu kenapa saat kita melakukannya kamu seperti sedang membangun benteng besar? Seolah kamu berkata jika aku benar-benar tidak boleh meraih apa pun yang ada pada diri kamu. Aku tetap menjadi orang asing.” Ratih butuh penjelasan, dia begitu kepikiran. Mungkin saja menurutnya sikap yang Ratih tunjukkan beberapa hari ini sudah baik, tetapi belum tentu dari sisi Damian kan? Jika ratih melakukan kesalahan yang menyinggung atau membuat Damian tidak nyaman, Ratih akan senang hati meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Ratih masih jauh dari kata wanita baik, sebab itu dia juga memerlukan sosok Damian sebagai pengingat. Ratih percaya Tuhan selalu bersama dengannya dalam pernikahan yang diberkati ini, jadi apa pun yang tengah Ratih jalani bersama Damian sebisa mungkin berusaha selalu membawa Tuhan di dalamnya agar tidak tersesat. Damian terlihat diam dalam beberapa saat, nampak berpikir bahkan tak membuat kedua mata elangnya mengerjap. Jujur saja, Damian juga bingung bagaimana menjelaskannya. Kalau semua dia ungkapnya tanpa memikirkan siapa pun, tentu saja Ratih akan merasa tersakiti. “Bukan begitu, hanya perasaanmu saja.” Dari manik matanya, Damian terlihat ragu. “Aku tidak salah, aku melihat dan merasakannya cukup baik. Maaf kalau aku terlalu perasaan sama hal yang mungkin saja tidak penting buat kamu.” Ratih menutup wajahnya, kembali terisak malu. “Maaf sudah mengacaukan malam baik kamu untuk beristirahat. Tidurlah, aku tidak apa.” Apa Damian bisa kembali tidur kalau sudah begini keadaannya? Tentu saja tidak, sedikit banyaknya Damian juga kepikiran. “Aku hanya perlu waktu.” “Sampai kapan? Usia kita tidak berbau, kita tidak tahu sampai kapan bisa melihat dunia. Jika saat ini Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita, kenapa tidak mengusahakan yang terbaik? A-aku menyukai anak kecil, aku pengin punya anak!” Ratih menatap Damian dengan mata sembab, berusaha menjelaskan di sela-sela isak tangisnya. “Lihat Tasya, dia sudah memiliki dua orang anak yang lucu dan menggemaskan. Apa kamu tidak menginginkannya?” Damian mengusap wajah, sebenarnya malas sekali membahas hal yang tidak berujung seperti ini. “Bukan begitu, hanya saja bukan sekarang waktunya. Kita baru saja memulai, bukankah butuh penyesuaian?” “Penyesuaian itu masih bisa dikategorikan wajar jika kamu tidak berusaha membatasi diri. Kalau kamu tidak bisa dengan cara berlari, aku bisa menemani kamu dengan melangkah pelan. Tidak begini, jalan di tempat bukan pilihan yang tepat untuk kita. Kamu tidak memiliki kemajuan, sementara aku selalu merasa bersalah setiap harinya.” Sebelum Damian membuka suara, Ratih lebih dulu menyela, “Kamu memiliki niat baik untuk melangsungkan pernikahan ini. Kamu datang kepada orang tua aku, berbicara baik-baik sampai kita mendapat restu mereka. Lalu setelah semua sudah diraih, pernikahan ini akan diisi dengan kekosongan?” Perjuangan Ratih mencintai Damian terasa begitu menyedihkan. Ternyata benar, hubungan akan berjalan dengan baik jika pihak sang pria memiliki cinta yang lebih besar. “Lalu mau kamu apa sekarang?” “Ayo memulai kembali.” Mereka saling bertukar tatap dalam beberapa detik, Damian melihat keseriusan mendalam pada binar tatapan indah Ratih. “Baiklah.” Damian mengangguk, kemudian dia melepaskan kaosnya. Mereka kembali saling memiliki dengan perasaan yang bercampur menjadi satu. Saat perasaan senang sempat terisi penuh, seketika kembali kosong ketika melihat Damian menggunakan pengamannya. "A-apa ... kenapa menggunakannya lagi?" Ratih bertanya cepat, menggeleng tidak ingin. "K-kamu tidak ingin memiliki anak bersamaku, Mas?" Mata Ratih kembali berkaca-kaca. Pertanyaan yang sama terlontar untuk kesekian kalinya. "Siapa yang tidak ingin punya anak? Hanya saja waktunya tidak sekarang, Ra. Beri saya waktu untuk menyesuaikan diri." "Mari sama-sama menyesuaikan diri. Tapi tidak dengan pengaman itu, kamu begitu membatasi diri padaku, Mas." "Beri saya waktu sedikit lagi." Setelah itu Ratih diam, matanya kembali berkaca-kaca dengan perasaan sesak. Harus Ratih yang selalu memahami Damian? Kapan pria itu akan melakukan hal yang sama padanya? Ratih memiliki perasaan, dan hal ini begitu melukainya. Tanpa berbicara lebih banyak, Damian bersiap membawanya ke dalam surga penuh jurang. Ratih berusaha menerima dan mengulas senyum meski hatinya sedang tak baik-baik saja. Mood seketika menyurut. Meski kecewa, Ratih tetap tidak tega jika membiarkan Damian melakukan kemesraan ini sendiri. Kembali mengalah adalah kewajiban bagi Ratih. *** Selesai bertukar rasa, Damian langsung melanjutkan tidur tanpa melakukan sesuatu yang membuat Ratih senang. Ini kali kedua mereka meleburkan diri menjadi satu, tapi Damian tak pernah mengukir momen manis setelahnya. Tidak pernah menanyakan apakah Ratih merasa nyaman, bercerita singkat, atau saling berpelukan hangat. Ratih mengusap permukaan dadaanya, kembali mengingatkan diri untuk tidak terlalu berlebihan dalam mengharapkan sesuatu. Apalagi hal tersebut tentang Damian, Ratih tak mungkin mendapatkannya. Menoleh sebentar pada Damian, ternyata pria itu kini memunggungi Ratih. Napasnya nampak beraturan, sudah terlelap begitu nyenyak. "Kita memang sejauh itu, Mas!" gumam Ratih terdengar menyakitkan. Setelah puas melihat kesedihan kisah percintaannya dengan Damian, Ratih bangkit dari kasur. Melangkah pelan ke ruang pakaian, mengambil gaun tidur berbahan satin berwarna hitam—menambahkan aksen ikat pinggang untuk membentuk lekuk tubuhnya. Ratih meninggalkan kamar, melangkah menuju ruangan paling ujung yang ada di lantai dua. Itu kamar kosong yang niatnya mau Ratih gunakan sebagai tempat mengurus pekerjaan, nanti barang-barang yang ada di apartemennya akan dia pidahkan ke sana. Di dalam ruangan itu hanya terdapat benerapa sofa, meja, dan lemari tempat menaruh buku-buku. Ratih mengambil posisi di sofa panjang, berbaring di sana tanpa bantal atau selimut. Dengan keadaan tidak terlalu baik, setidaknya menjauh dari Damian seperti ini membuat Ratih lebih tenang. Dia sedih, jujur saja rasa itulah yang paling mendominasi sekarang. Membuat matanya berkaca-kaca, tangis akan segera terdengar di telinga. Ratih benci menjadi cengeng, tapi hal ini begitu menyesakkan dadaanya. Ada banyak sekali yang Ratih pikirkan, semua menjadi beban yang semakin berat untuk dijalani. Entahlah, nasibnya begitu kurang beruntung. *** Hingga jam sembilan lewat, orang-orang dalam kediaman Damian masih berpencar dan bingung harus menemukan Ratih di mana. Damian sudah menghubungi sejumlah orang untuk menanyakan keberadaan Ratih, wanita itu tiba-tiba menghilang dan tak ditemukan di mana-mana. Bodohnyaa, cctv baru akan di pasang hari ini. Sebab besok Damian pergi ke Australia, agar tetap terjaga dan aman kediamannya. Hanya satu yang Damian ragu bahkan memilih tak menghubungi, yaitu keluarga Ratih. Damian cukup tahu bagaimana keadaan keluarga Ratih, tidak mungkin wanita itu pergi ke sana bukan? Masih berada di dalam ruangan semalam, Ratih masih memejamkan mata dan bergelut di alam mimpinya. Semalam Ratih tak bisa tidur, menjelang subuh dia baru bisa beristirahat. "Apa ruangan paling ujung lantai dua sudah diperiksa?" Damian menaikkan sebelah alisnya, entah kenapa pemikirannya tiba-tiba terarah pada ruangan satu itu. Felix mengerutkan kening. "Bukankah ruangan itu kosong, Tuan?" "Tidak, beberapa hari yang lalu Ratih sudah membeli beberapa barang untuk mengisi ruangan itu." "Belum, Tuan." Felix sedikit membungkukkan badannya, mengangguk segera ingin beranjak. Namun, Damian mencegahnya. "Biar saya sendiri saja yang mengeceknya, kamu coba hubungi yang lain. Apakah sudah menemukan keberadaannya di luar atau belum." Setelah itu Damian meninggalkan ruang keluarga. Kaki panjang pria itu dengan cepat menaiki satu persatu undakan tangga, melangkah dengan segala pemikirannya menuju ruangan paling ujung. Saat Damian akan membuka pintunya, ternyata terkunci. Damian diam sebentar, lalu kembali menelepon Felix untuk mengambilkan kunci lain di ruang bacanya. Tidak menunggu lama, Felix bergerak cepat. "Tuan yakin Nona Ratih berada di dalam sana?" Damian tidak menyahut, dia hanya diam namun tatapannya penuh keyakinan. Pintu terbuka, Damian langsung menemukan keberadaan Ratih. "Beri tahu semua orang jika Ratih sudah ditemukan. Dia berada di sana, sepertinya sedang tidur." Belum sempat Felix ikut mengecek keadaan Ratih, Damian menolak pria itu ikut masuk ke dalam. Damian menyuruh Felix meninggalkannya, dia bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Damian menghampiri Ratih, memperbaiki gaun wanita itu yang tersingkap ke atas hingga menampilkan sebagian pahanya. Damian melihat ada tanda kepemilikannya di sana. "Ra, bangun!" Damian menyentuh bahu Ratih, mengusapnya pelan. Merasakan usapan itu, Ratih terkesiap. Dia langsung membuka matanya, terlonjak ketika melihat Damian berada di depan matanya. "Aah, Mas!" serunya langsung bangkit. Dia melihat sekitar ruangan, masih di tempat terakhirnya semalam. Ya Tuhan, apa Damian akan marah padanya? Damian berdiri tegap, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sudah siang bolong begini, Damian bahkan belum sama sekali sarapan dan bersiap berangkat ke kantor. Sejak tadi dia sibuk mencari keberadaan Ratih. "Kenapa tidur di sini?" tanya Damian ketika membuka suara. Belum sempat Ratih menjawab, pria itu lebih dulu memotongnya, "Perbaiki dulu gaun tidurmu." Ratih menoleh ke arah gaunnya, terbuka hingga ke atas. Memperlihatkan paha bagian atasnya. Ratih hanya bisa merutuki dirinya sendiri, malu. "A-aku ketiduran." Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Ratih. Wanita itu menundukkan kepala. Lagi-lagi akhirnya Ratih sendiri yang merasa bersalah atas sikapnya. "Semua orang mencari kamu sejak tadi pagi." Ratih kembali menatap Damian, merasa semakin berdosa. "Maaf, Mas. A-aku kelelahan, baru bangun." Damian tidak banyak bicara, dia mengangguk saja pada akhirnya. "Cepatlah mandi, sarapan bersama saya." "Eh, Mas belum sarapan? I-ini sudah jam berapa?” "Hampir jam setengah sepuluh." Setelah itu Damian berniat beranjak duluan. "Kamu tunggu di sini sebentar, saja ambilkan jubah mandi atau selimut untuk menutupi gaun itu." Merasa jika gaun yang Ratih kenakan lumayan tipis, apalagi wanita itu tak mengenakan pakaian dalam apa pun. Astaga, dadaa Damian bahkan entah kenapa berdebar lebih cepat melihat tubuh itu dengan kulit putih bersihnya. Tiba-tiba teringat kemesraan mereka semalam, Ratih begitu memanjakan Damian. Memberikan sensasi berbeda, sulit dijelaskan. Ratih hanya bisa tersenyum tipis, ternyata Damian masih memiliki perhatian padanya. Bahkan pria itu belum sarapan dan berangkat bekerja sebab mencari dirinya. Hanya dari hal sekecil ini mampu membuat perasaan Ratih lebih baik dari semalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD