Flashback!
Sehabis menyelesaikan tugasnya di kantor hingga lembur, Damian berniat mendatangi Kenan untuk membicarakan beberapa hal terkait kerjasama mereka baru-baru ini. Lahan untuk proyek sudah di tentukan, mereka sudah membahasnya pada pertemuan rapat tadi siang, tinggal mulai pengerjaannya.
Saat akan melangkah memasuki ruang keluarga, Damian menghentikan langkahannya dan memilih berdiam di balik tembok saat tidak sengaja menguping pembicaraan Kenan dan Natasya. Tidak lain dan tidak bukan ialah Damian dan Ratih yang sedang menjadi topik pembahasan keduanya.
"Ken, aku menyaksikan sendiri tadi bagaimana orang tua Ratih memerlakukannya. Mereka menekan dan mengharuskan Ratih berada dalam kuasa mereka tanpa boleh melakukan penolakan apa pun. Seenaknya menggenggam Ratih sejak dulu seolah dia nggak mempunyai pilihan hidupnya sendiri." Natasya berdecak. Napasnya terdengar memburu, betapa emosinya wanita itu melihat sahabatnya disakiti sedemikian rupa oleh kedua orang tuanya sendiri.
"Aku kenal Ratih, Ken. Dari kita masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ratih orangnya baik, kamu bisa melihatnya sendiri--dia tidak sekeras kepala aku." Kenan fokus mendengarkan aduan istrinya, tanpa melakukan penyangkalan apa pun. Memberikan kesempatan untuk Natasya mengungkapkan kegelisahan hatinya. "Bahkan saat dia ingin menerjuni bisnisnya yang sekarang, kedua orang tuanya menentang habis-habisan. Mengatai dan memukul Ratih, seolah dia anak yang paling durhaka. Kita semua mendukungnya, aku dan Tian. Meyakinkan Ratih jika kemampuannya ada di bidang bisnis, bukan kedokteran seperti yang orang tuanya impikan. Di depan mataku Papinya marah, memukul wajah Ratih saat dia baru saja memulai usahanya--tepat di teras kafe malam itu."
Natasya terisak. Dia berusaha menyeka air matanya. "Sepanjang perjalanan bisnis Ratih, dia selalu bangkit dan berusaha sendiri, Ken. Orang tua yang seharusnya menjadi rumah, menjadi orang pertama yang akan kita cari untuk berbagi cerita, membicarakan suatu pilihan, dan pulang di saat hati rapuh. Nyatanya, Ratih sama sekali tidak mendapatkan itu." Natasya meraih tangan Kenan. Memohon pada pria itu untuk sedikit membuka hati dan mata, Natasya membutuhkan bantuannya. "Tidak cukup sampai di sana, sekarang orang tuanya kembali berulah. Mereka ingin menjodohkan Ratih dengan seseorang yang bahkan sama sekali tidak dikenal. Dia siapa, bagaimana sikap dan sifatnya, cuman gara-gara harta, jabatan, dan kedudukan pria itu. Mereka gila harta dan kedudukan, Ken, sampai rela mengorbankan kebahagiaan putri satu-satunya mereka."
"Tidakkah itu egois, Ken? Mereka terlalu memikirkan perasaan sendiri, tanpa mau membuka sedikit kesempatan untuk Ratih berjalan di bawah kakinya sendiri. Buktinya, sejauh ini Ratih baik-baik aja. Kafenya semakin maju, terbukti kalau dia memang senang di bidang itu kan?" Kenan mengangguk, apa yang Natasya ucapkan benar adanya. Meskipun seorang anak, dia tidak bisa terlalu dikekang bahkan terlalu dibatasi gerakannya. Mereka manusia hidup, bukan boneka yang bisa diatur sesuka hati. Anak tetap memerlukan bimbingan orang tua, namun dia juga mempunyai pilihan sendiri atas kemampuannya di bidang apa. Tidak ada yang tahu si anak ini akan menggeluti bidang apa selain dirinya sendiri yang menjalani--termasuk orang tuanya.
"Benar, Sayang. Hal ini memang salah, tidak bisa seorang manusia dijadikan layaknya benda tak bernyawa yang bisa dikendalikan semau mereka."
"Tolong bantu Ratih, Ken. Dia tidak bisa menikah dengan seseorang yang bahkan tidak Ratih kenali dengan baik." Kenan nampak berpikir keras. "Ajak ngomong Damian, hanya kamu yang bisa. Ratih menyukai dan mencintai Damian, Ken. Ratih akan bahagia jika dia menikah dengan seseorang yang dia kagumi. Dan menurutku, orang tua Ratih takkan menolak hal ini ... Damian jauh lebih unggul. Dia sukses, Damian mempunyai segalanya sesuai kriteria mereka, bukan?"
Kenan nampak kelihatan berat hati. Ini perintah yang lumayan sulit. "Tapi, Sayang ... kamu juga tahukan bagaimana Damian? Dia seseorang yang begitu tertutup, kaku, dan tidak tersentuh oleh siapa pun. Bahkan aku rasa dia tak menginginkan seorang wanita mendampinginya. Damian mempunyai masalalu yang buruk, tidak mudah baginya membuka hati untuk orang lain. Apalagi dalam ikatan pernikahan yang otomatis Ratih akan memasuki lebih jauh mengenai kehidupannya." Jujur saja, meski sudah menganggap Damian seperti adiknya, Kenan tak pernah terlalu ikut campur masalah Damian. Sebab menurut Kenan semua itu privasi, di luar batas kemampuan Kenan untuk ikut ke dalamnya.
Natasya mendesah kecewa. "Pasti bisa, Ken. Bagimana kamu bisa seyakin itu padahal belum mencobanya? Aku yakin perlahan nanti Damian akan mengerti dan mencoba menerima Ratih. Sahabatku wanita yang baik, dia pintar memasak dan merapikan rumah, dia cantik, dia bisa segalanya daripada aku, Ken. Apa yang kurang darinya? Kehebatannya dalam berbisnis juga tidak main-main. Kafe dia maju sekali, bahkan dua cabang miliknya semakin diperbesar tempatnya. Bukan seperti kafe lagi, tapi restoran mewah."
"Bukan masalah itu, Sayang. Hanya saja Damian merupakan seseorang yang sulit. Aku saja bingung mau menjelaskan bagaimana kehidupannya. Tidak berwarna sama sekali, dia merupakan pria gilaa kerja. Kamu lihat sendiri, dia bahkan tak pernah sakit, tidak pernah juga meminta cuti kerja. Manusia aneh bukan dia?" Tanpa sadar, Kenan pun merasa bingung dengan kehidupan Damian. Baru terpikir hari ini, sebegitu gelapnya sampai tak memiliki warna apa pun.
"Oleh sebab itu!" Natasya menjentikkan jari. "Ratih cocok dengan Damian. Ratih orangnya aktif kok, meskipun nggak terlalu nakal seperti aku. Dia wanita yang sangat penyabar. Aku yakin dia bisa meluluhkan hati Damian suatu saat nanti. Ratih wanita yang pandai membuat kita nyaman berada di dekatnya, Bastian saja suka dia."
"Nah, kenapa tidak Bastian saja yang kamu suruh menikah Ratih?"
"Papinya Ratih tidak suka Tian, Sayang. Andai saja aku bukan dari keluarga orang kaya dan terpandang, mungkin Ratih juga dilarang temenan sama aku."
"Kenapa ayahnya Ratih tidak menyukai Bastian?"
Natasya menaikkan sebelah alisnya. "Karena Tian sering jalan bareng kami. Papi Ratih pikir, Tian membawa pengaruh buruk. Padahal kami main tidak pernah ke tempat tidak benar--buruk pergaulan, paling makan dan mencari tempat bersantai untuk menyegarkan pikiran. Saat kami menginap pun, Tian tidur terpisah. Hanya aku dan Ratih yang berbagi tempat tidur."
"Aku berani menjamin jika Ratih juga masih perawann, Sayang."
Kenan membulatkan. "Hei, tidak perlu membahas soal itu, Sayang. Itu privasi wanita. Bagaimana pun keadaan mereka, wanita tetaplah menjadi berlian untuk pria yang tepat--kendati pernah mengalami masalalu yang sulit dan suram."
Natasya memeluk Kenan. Suaminya begitu baik, tidak pernah memandang wanita sebelah mata. Dia ayah yang baik, Natasya amat menyayanginya. "Tolong, bicaralah pada Damian. Hanya kamu yang dapat membantu aku, Ken. Bujuk Damian agar menerima Ratih dan mereka segera melakukan pernikahan sebelum Ratih dipersunting oleh pria lain. Dia akan semakin hancur, Ratih akan sangat bersedih."
"Baiklah, aku akan mencoba membicarakan hal ini pada Damian. Tapi satu hal, Sayang, aku tidak akan memaksakan apa pun pilihannya." Kenan menangkup pipi Natasya, menatap wanita itu dalam dengan segala perasaan yang tercurah. Kenan ingin Natasya mengerti jika Damian pun tak bisa dipaksakan perasaannya.
Natasya bersedih hati, tatapannya menyendu. "Apa kamu tidak bisa membujuk Damian? Dia selalu menurut dengan kamu, Sayang. Pintalah satu hal ini dengan sangat, dia pasti tidak akan menolak."
"Tidak mungkin, Sayang. Seperti kamu menyayangi dan menghargai perasaan Ratih, aku pun demikian. Apalagi Damian sudah mengabdikan diri padaku sejak lama, aku bersamanya tidak hanya hitungan bulan. Kami sudah seperti saudara, tidak mungkin aku memaksakan hal ini. Damian memiliki perasaan, dia berhak memilih apa pun yang menjadi kebaikan untuk dirinya."
"Tapi Ratih mencintainya. Sudah sejak lama."
"Aku tahu. Tapi bagaimana dengan Damian? Kita belum tahu." Kenan pengusap puncak kepala Natasya, mengecup kening wanita itu. "Akan aku usahakan bicara baik-baik dengan Damian, Sayang. Semoga dia bisa mengerti."
Setelah mendengar percakapan itu, Damian langsung meninggalkan kediaman Almeer. Kembali ke kediamannya--apartemen, merenungkan apa pun yang menjadi topik perbincangan antara Kenan dan Natasya barusan.
Selesai membersihkan diri, ponsel Damian berdering di atas tempat tidur. Panggilan itu dari Kenan Almeer.
"Halo, selamat malam, Tuan."
"Kamu sedang berada di mana? Apakah masih di kantor? Ini sudah larut, lanjutkan semuanya besok."
Damian mengangguk ramah meski sekarang dia tak sedang berada di hadapan Kenan. "Baik, Tuan. Tapi sekarang saya sudah berada di apartemen."
"Baguslah. Jangan lupa beristirahat, kamu terlalu menggilaii kerja, tubuhmu juga perlu yang namanya pengistirahatan."
"Baik, Tuan. Selamat malam, selamat beristirahat." Setelah itu sambungan telepon terputus. Damian melangkah menuju cermin besar yang ada di kamarnya, melihat baik-baik dirinya di sana.
"Tidak ada yang menarik." Damian bergumam rendah. Wajahnya masih sedatar sebelumnya, tidak menunjukkan apa pun kendati isi kepalanya sekarang sedang berpikir keras.
Damian melangkah menuju balkon, berdiri di sana beberapa saat sambil menyerap rokok. Tatapannya tak bermuara, entah apa yang membuatnya terlihat begitu kacau.
Sambil memutar-mutar korek apinya, Damian berusaha memilih satu hal yang sedang dia pikirkan. "Felix, sedang di mana kamu?" tanya Damian sesaat setelah telepon tersambung. Pilihannya mungkin salah, tapi Damian harus menyelaminya.
"Malam, Tuan Damian. Saya sedang berada di kediaman utama Almeer. Ada yang Tuan perlukan?"
Damian kembali menyesap rokoknya, menghembuskan perlahan. "Besok kamu ada kerjaan? Saya hanya ingin meminta tolong sedikit."
Felix menaikkan sebelah alis. Tumben sekali Damian minta tolong padanya memakai basa basi seperti ini. "Ya, Tuan. Katakan saja, saya akan mengusahakannya."
Rokok tadi dengan begitu cepat habis, Damian mematikan sisanya ke dalam asbak. "Tolong cari tahu semuanya mengenai wania yang bersamaku waktu itu." Saat Damian mengangarkan Ratih pulang ke apatemennya, Felix tak sengaja melihatnya. Karena tahu Damian tak suka dicampuri urusannya, Felix tak pernah mau membahasnya juga, sekadar melihat setelah itu bagai debu tertiup angin. Biarlah menjadi urusan masing-masing.
"Maksud Tuan temannya Nona Tasya?"
"Ya, dia." Felix mengangguk patuh dan paham. "Cari tahu semuanya tanpa terkecuali, termasuk mengenai keluarganya. Saya mau secepatnya, ini begitu penting."
"Baik, Tuan. Kebetulan besok saja hanya melakukan penjagaan di kediaman Tuan Kenan, akan saya urus secepatnya dan memberikan kepada Tuan Damian."
"Kumpulkan dalam satu berkas yang sama. Jika saya belum pulang, letakkan di atas meja kerja saya. Jangan sampai ada siapa pun yang mengetahui hal ini, biarkan saja menjadi rahasia kita. Kamu mengerti, Felix?"
"Ya, Tuan. Saya mengerti. Akan saya urus semuanya sebaik mungkin tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya. Apakah ada lagi selain itu, Tuan?"
"Tidak, tidak ada. Hanya itu saja."
"Baik, Tuan. Selamat malam."
Damian mengambil posisi duduk di salah satu kursi, melipat kedua tangannya di depan d**a sambil memerhatikan langit yang sedang gelap malam ini. Tidak ada bintang, nampak mendung seperti keadaannya. Badai sepertinya akan segera datang, kembali membasahi permukaan bumi seperti kemarin malam. Membawa sisa-sisa kenangan yang amat sulit di lupakan.
Damian memutar-mutar gelang tali yang ada di pergelangan tangannya. "Kamu mengizinkan hal ini terjadi, Sayang?" tanyanya tanpa sadar telah berucap demikian. "Kenangan kita bahkan tak sama sekali pudar dalam benak, semua ada yang pada diriku, milik kamu."
Seseorang telah pergi, meninggalkan banyak luka dan trauma. Damian menikmati kesendiriannya, sebab dia tak benar-benar merasakan itu. Di setiap sudut kediamannya ini, terdapat kenangan bersama sang kekasih. Wanita yang amat Damian cintai berada di sisinya, selalu. Lalu apa yang Damian butuhkan saat ini? Tidak ada.
Wanita? Damian mati rasa untuk itu. Hatinya sudah tertutup hanya untuk satu orang. Terbawa hingga ke langit yang jauh di sana.
Flashback off!
****
"Felix, apakah sudah ketemu siapa pria yang Ratih panggil Bubu tadi siang?" Felix baru saja berusaha memejamkan matanya, tetapi ponsel terus saja berbunyi sejak tadi. Felix manusia biasa, dia sungguh mengantuk setelah dua hari tak sama sekali tidur.
"Ya, Tuan?"
Damian menggerutu. "Kamu sudah menemukannya? Siapa dia?"
Felix memijat pangkal hidungnya. "Tidak ada siapa pun, Tuan. Nona Ratih sendirian di rumah seharian ini. Bibi Rere yang mengatakannya pada saya."
"Lalu, kamu pikir istri saya bermain dengan makhluk gaib?" Tengah malam buta, Damian mengganggu waktu istirahat Felix. Damian yang tak bisa tidur, dia gunakan waktu untuk bekerja, nyatanya masih tak fokus sebelum mengetahui siapa seseorang yang Ratih sebut 'Bubu'.
"Besok akan saya cari tahu lagi, Tuan."
"Di mana sekarang kamu?"
"Di kediaman Tuan."
"Ya sudah, cari tahu sekarang! Ratih sedang bermalam di tempat Tuan Ken, kamu masuk saja ke kamar utama. Jangan mencari tahu apa pun selain seseorang bernama Bubu. Jangan juga membuka laci paling bawah di lemari."
Felix melototkan matanya. "T-tapi, Tuan--"
"Sekarang, Felix. Kepala saya pusing, cepatlah!"
Tanpa banyak bicara dan membantah lagi, Felix bangun dari posisinya. Memasuki kamar utama menggunakan kunci cadangan yang ada di ruang baca. "Tidak ada apa pun di sini, Tuan." Setelah mengecek beberapa menit kamar itu, tidak menemukan sesuatu yang nampak mencurigakan.
"Coba cari tahu lagi. Tidak mungkin tidak ada apa-apa."
Saat Felix memijat keningnya, tiba-tiba melihat sesuatu yang melingkar pada leher beruang kutub yang Felix belikan tadi. "Oh shitt!" umpat Felix tanpa sadar.
"Apa? Kenapa mengumpat? Kamu marah pada saya, Felix?"
"Eh, tidak, Tuan ... tidak sama sekali. Ternyata seseorang bernama Bubu itu ialah boneka beruang kutub yang saya belikan tadi siang, Tuan." Dengan sedikit ingin tertawa, Felix berusaha mengatakannya dengan benar. Takut Damian murka padanya.
Damian melotot. "Kamu jangan bercanda."
"Saya serius. Nanti saya kirimkan foto sebagai tanda bukti."
"Damnn! Siall, sudahlah. Membuang-buang waktu saya saja!" Setelah itu telepon dimatikan. Felix akhirnya bisa tertawa.
"Hey, Tuan Damian cemburu?" tanya Felix entah kepada siapa. Dia segera mengambil foto gantungan berukiran Bubu yang ada di leher beruang kutub itu, mengirimkan pada Damian.
Damian hanya membacanya, tidak berniat membalas apa pun. Tentu saja! Damian berasa ingin melenyapkan manusia sekarang juga. Malu bukan main di hadapan Felix dia sudah bersikap sekonyol ini. Harga dirinya terlempar entah ke mana.
"Bodohh!" umpat Damian di seberang sana sambil memukul meja kerjanya.
****