9. Menyesuaikan Diri

2758 Words
Dengan percaya diri, Ratih mendatangi Damian yang sudah menunggu di mobil mewahnya. Hari ini Felix yang akan mengantar mereka. Sesuai yang Ratih inginkan, hari ini dia mengenakan gaun dengan bagian leher dan bahunya terbuka, sementara bagian rambut di gulung rapi ke atas. Riasan wajah lebih mencolok dari sebelumnya namun tetap terlihat sederhana—lebih fresh, mampu menyinari kecantikan wanita itu di bawah langit gelap malam ini. Awalnya Damian fokus dengan tabletnya, mengabaikan Ratih yang sudah mengambil duduk di sampingnya. Aroma parfum vanilla yang begitu segar menguar, Damian menaikkan sebelah alis. Sejak kapan Ratih mengganti aroma tubuhnya? Damian cukup hapal, biasanya Ratih lebih senang menggunakan parfum yang segar daripada manis. Saat menoleh, tidakkah Damian begitu terkejut. Wajahnya semakin sangar, tatapannya sudah menggelap tajam. "Ternyata kamu berani membangkang saya!" Lalu terlihat rahang kokoh itu mengaras, gigi mulai berbunyi saling bergesekan. Dengan tidak merasa bersalah, Ratih menopang dagu menatap Damian dengan santai. "Aku lebih suka penampilan yang seperti ini. Bukankah aku jauh lebih cantik sekarang?" Ratih menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum miring penuh arti. Damian segera mengalihkan pandangan, kembali lurus ke depan. "Hanya dalam mimpimu!" Setelah itu kembali menyibukkan diri dengan benda pipi canggih miliknya. Ratih semakin mencondongkan tubuh ke arah Damian, meniup-niup daerah telinga dan leher pria itu. Belum sempat Damian membuka suara, pandangannya jatuh pada bagian dadaa Ratih yang benar-benar terekspos sempurna bagian atasnya, hingga terlihat belahan gunung kembar itu dengan indah. "Damn! Benarkan dudukmu, naikkan sedikit gaunnya ke atas!" perintah Damian tajam. Sejak kapan Ratih seberani ini padanya? Tingkahnya nampak menggoda, begitu sensuaal. Hei, Damian pria normal ... dia lebih senang Ratih menjadi wanita polos dan penurut. Akan lebih baik kelihatannya, Damian tak harus dipusingkan begini. Bukannya mendengarkan, Ratih malah meraih tangan kiri Damian. Meletakkannya di atas dadaa Ratih hingga tangan besar itu menutup sempurna bagian yang terbuka. Damian terlihat semakin jengkel, sebelah tangan lainnya memijat pangkal hidung. "Bukankah aku terlihat seksii, Baby?" Tanpa merasa malu, Felix bahkan mendengar kalimat wanita itu. Terdengar kekehan kecil tanpa Felix sadari, dia tertawa mendengar kalimat lucu itu dari Nonanya. Damian segera menutup tirai pembatas di mobil mewah itu. Hingga Felix tak dapat melihat bagaimana Ratih nampak menggoda Damian. Siapa yang mengajari wanita ini hingga berani sekali? "Mengemudi saja dengan benar Felix, tutup telingamu!" Damian tidak senang Felix tertawa. Lebih tepatnya Damian malu dan murka, Ratih membuat jatuh harga dirinya di hadapan Felix. Tidakkah hal ini memuakkan? "Mas, kenapa di tutup? Aku tidak bisa melihat jalanan jadinya. Aku--" "Shut up! Kembali ke tempat dudukmu sebelum aku marah, Ra!" Damian menarik cepat tangannya, menatap tak biasa ke arah Ratih. Tidak ada yang lucu, pria itu nampak seperti malaikat pencabut nyawa. Ratih kembali ke tempat duduknya, kemudian terkikik geli. Sambil memperbaiki gaunnya, Ratih bersenandung riang. Damian yang berada di sebelahnya melirik tajam, bisa-bisanya wanita itu menguji kesabaran Damian hingga sejauh ini. "Andai tadi aku mengenakan gaun merah saja, pasti kelihatan lebih cerah dan menarik." Tanpa sadar bergumam dengan bibir cemberut. Awalnya memang ingin dibalut gaun warna cerah, hanya saja Felix mengatakan jika Damian akan marah besar jika Ratih ngotot mengenakannya. Ya bagaimana pun, Ratih tetap takut. “Ya, menarik sekali seperti nenek gombel!” Ratih menganga. “Untung aku sabar!” Ratih menggertakkan giginya, mencibir sebal. “Aku harusnya mengenakan gaun yang dapat menarik perhatian banyak orang agar terpesona. Menurutku gaun ini terlihat biasa saja. Benar ‘kan, Mas?” “Terlalu percaya diri. Memangnya siapa yang akan tertarik pada kamu?” Ratih berdecak. “Bah, kamu nggak tahu! Banyak yang suka aku. Dulu aku primadona di sekolah, tanya aja sama Tasya.” Mengangkat bahunya cuek, ekspresinya terlihat angkuh. Ratih sebenarnya hanya bercanda, dalam hati dia berusaha menahan tawa. Ini mungkin kedengarannya agak berlebihan dan menggelikan, tapi nampak menyenangkan menjahili Damian. Damian tidak mengatakan apa pun lagi, cukup memijat pelan pelipisnya. Belum tiba di tempat tujuan, kesabarannya sudah cukup teruji. Kepala Damian seketika migren, mungkin Ratih salah mengonsumsi obat, terlihat sedikit geser akal sehatnya. Sesampainya di restoran berbintang dengan segala fasilitas mewahnya, Damian melangkah bersama Ratih yang setia menggandeng lengannya layaknya pasangan lain—menuju private room yang sudah disiapkan. Sementara Felix diperintahkan menunggu di mobil untuk menjaga keamanan. Musuh bisa kapan saja datang bukan? Selalu berhati-hati adalah Damian. Sembari menunggu kliennya datang, Damian menjaga jarak duduknya dari Ratih. Wanita itu nampak berbahaya jika Damian berani menentangnya. "Mas, apa aku boleh minum duluan? Aku haus. Sejak bercintaa tadi aku belum sempat meminum apa pun, kerongkonganku kering akibat disosor habis sama kamu." Damian kembali menggertakkan gigi. "Tolong jaga ucapanmu, Ra. Jangan ucapkan sesuatu yang membuat saya marah." "Tapi aku benar kan?" Ratih mencebikkan bibir. "Aku berucap fakta pun kamu marah, Mas. Apalagi aku berbohong?" Damian tidak menjawab, lebih memilih mengabaikan Ratih kembali. "Minum sesuka hati kamu. Dan diam setelah itu!" Dengan aura dinginnya, Damian seperti membangun benteng pertahanan lain dalam dirinya. Entah kesurupann setaan apa Ratih malam ini, menyebalkan sekali. Mungkin agak sedikit terlambat klien Damian datang, biasalah istrinya memiliki anak kecil yang pasti membuat sedikit ribet mengurusnya. Ratih bahkan dengan santainya bolak-balik dari tempat duduknya menuju balkon sebab bosan. Sesekali wanita itu mengambil gambar dari pemandangan beberapa gedung pencakar langit yang nampak indah kelihatannya dengan lampu warna warni di kala malam. Gemerlap, memanjakan setiap orang yang memandangnya. "Bisa diam? Saya pusing liat kamu bolak-balik nggak jelas begitu.” Ratih mendesah, wajahnya memelas. Bahkan Ratih sudah menghabiskan seporsi steak, sangat enak dengan tekstur yang empuk dan juicy. Rumah makan ini memang terkenal menyediakan banyak menu makanan yang luar biasa. Tentu saja lezat dan terjamin dengan suasana tempat ala luar negeri, namun harganya juga tak kalah menguras isi dompet. "Kapan klien kamu datang? Bahkan ini sudah jam delapan lewat, nah ... hampir jam setengah sembilan." Ratih menunjukkan jam kecil yang melingkar pada pergelangan tangannya. Bibir wanita itu memaju seperti bebek, tandanya sedang merajuk manja. Damian tidak banyak menyahut, tak lama sekretaris pribadinya menghubungi. "Halo?" "Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf sebelumnya, tapi saya baru saja menerima telepon dari klien kita. Dia dan sang istri berhalangan hadir sesuai janji. Anak mereka yang kecil sedang mengalami demam tinggi, terpaksa dilarikan ke rumah sakit tadi sore." Sekretaris yang bekerja sangat profesional dan handal itu mampu mengurus seluruh pekerjaannya dengan baik, Damian senang bekerjasama dengan wanita cerdas. "Klien kita meminta undur waktu untuk pertemuannya, Pak. Apakah Pak Damian tidak keberatan? Atau mau dibatalkan saja kerja samanya?" "Tidak perlu. Kita atur jadwal kembali saja, ini bukan kesalahan mereka." "Baik, Pak. Maaf mengganggu waktu Anda, selamat malam." Panggilan terputus, Damian menatap Ratih. "Pertemuan di undur, mungkin akan diatur setelah saya balik dari Australia dua minggu lagi." Mata Ratih melotot. "Oke. Jadi aku boleh makan lagi kan? Sungguh, aku masih lapar." Dengan senyuman mengembang, wanita itu bertepuk tangan ceria. Bersiap dengan menu lain yang sedari tadi sudah menjadi incaran Ratih. "Mas, kamu makan juga kan?" Damian menghela napas, kemudian mengambil duduk berhadapan dengan Ratih. "Cacing-cacing dalam perutku sudah melakukan demo dari tadi. Meminta segera diberi asupan makanan yang lezat ini.” "Telan dulu makanannya, baru bicara." Damian gelengkan kepala heran. "Saya seperti orang tua yang sedang menasehati anak kecilnya." Ratih terkekeh. "Kamu memang tua, Mas." Seperkian detik kemudian, barulah Ratih menganga kaget. Segera mengantup bibirnya sebab sudah teramat jujur. Tidak seharusnya dia membahas soal usia di antara mereka, meski memang kenyataannya demikian. Damian tidak menanggapinya lagi, memilih bungkam dan menikmati makanannya. *** "Mas, besok kamu berangkat jam berapa?" tanya Ratih setibanya mereka di kamar. "Kamu kok banyak omong sekarang?" Damian mendelik, masih merasa aneh saja. Tidak di restoran, di mobil, sekarang di kamar pun sama. Ratih seperti tidak memiliki rasa capek dalam berbicara. Ratih menarik napas, harus banyak sabar. "Aku sudah memikirkannya dengan matang. Seperti kata Mas, kita berusaha untuk menyesuaikan diri. Dan karena Mas kayak malaikat pencabut nyawaa—sangar dan kejam, makanya aku mencoba untuk berani dikit. Ya, meski kadang takut juga." Damian melebarkan matanya, tidak menyangka Ratih akan mengatainya sejujur ini. "Besok pagi saya berangkat." Ratih mengangguk mengerti. Setelah melepaskan jepit bunganya, Ratih membiarkan rambut itu tergerai indah dengan gaya gelombang. Sekarang berniat melepaskan gaunnya. "Hei, mau apa kamu?" "Lepas gaun." Dengan polosnya, Ratih menjawab. Matanya beberapa kali mengerjap, seolah menanyakan kenapa Damian malah terlihat kaget dan bingung. Damian mendesah. "Pergi ke ruang pakaian, ganti di sana." Ratih menaikkan sebelah alis. “Yang mau ganti di sini siapa? Aku cuman berusaha membuka bagian tali teratas gaunnya.” Dan benar saja, setelah itu Ratih melenggang pergi ke ruang pakaian. Damian menahan napas—geram, mengusap wajahnya lelah menghadapi sikap Ratih. Tidak lama, hanya sekitar lima menit berlalu, Ratih keluar menggunakan dress satin putih tulang, membungkus sempurna lekukan tubuh sang empunya. Rambut gelombang berwarna dark cokelat itu sangat kontras dengan kulit putih Ratih. Yang Damian tidak habis pikir, kenapa kulit tubuh Ratih begitu putih? Dia seperti bukan orang asli Indonesia. Kalau dilihat dari perawatan tubuhnya, Ratih hanya rutin membersihkan kulit menggunakan lulur. Mungkin nanti Damian akan meminta diperlihatkan beberapa foto masa kecil Ratih, apa sejak lahir kulitnya sebersih ini? Damian beranjak, sepertinya menuju ruang kerja. Ratih yang melihat itu, hanya mengabaikan. Tidak terlalu ambil pusing, dia sudah berusaha tak malu-malu. Ingat, Ratih sedang mencoba menyesuaikan diri. Semoga saja berhasil, menghadapi Damian ternyata harus memiliki nyali yang besar. Cukup menguras pikiran Ratih untuk memutar isi kepala agar Damian nampak selalu mengalah saat berdebat dengannya. Ini adalah tantangan, Ratih suka itu. Hanya sekitar setengah jam, Damian kemudian kembali lagi ke kamar. Pria itu melepaskan celana panjang dan kemejanya tadi, mengganti dengan pakaian yang lebih santai. Bukan pakaian sih, soalnya Damian hanya menggunakan celana—tubuh bagian atasnya selalu dibiarkan terbuka saat tidur. "Mas sudah mau tidur?" Damian menggeleng pelan. Dia membawa laptopnya ke atas kasur, jemari kekar dan penuh otot itu bergerak bebas dan cepat di atas keyboard. Ratih pun tidak tidur, dia lebih memilih bermain dengan ponselnya. Membuka aplikasi sosial media miliknya dan melihat beberapa postingan terbaru orang-orang. Entah apa yang Ratih pikirkan, tiba-tiba terlintas satu hal yang langsung membuatnya tertawa. Ratih membuka salah satu aplikasi penelusuran yang menyediakan segala macam gambar di sana. Ratih mengetikkan sesuatu di pencarian, lalu keluarlah banyak gambar sesuai dengan yang dia inginkan. Satu persatu Ratih lihat hasil gambarnya, ada yang lucu dan ada juga yang sangar. Beruang kutub. Itulah hewan yang tiba-tiba mengisi ruang kepala Ratih, sangat pas untuk sebutan si Damian. Ketika memerhatikan gambar beruang putih yang nampak tak memiliki ekspresi, Ratih menoleh pada Damian. "Persis!" gumam Ratih, tawanya pecah seketika. Damian masih mencoba mengabaikan, menulikan telinga dari berisiknya tawa Ratih. "Mas coba liat ini." Lelah sejak tadi Ratih cekikikan sendiri. Lalu menunjukkan sebuah foto beruang kutub pada Damian. Tanpa dosa Ratih berucap, "Mirip sama Mas!" Dari raut wajahnya, Damian sama sekali tidak tertarik dengan lelucon ini. Lantas menjawab dingin, "Tidak lucu!" Ratih mencebikkan bibirnya sebal. "Bahkan beruang ini lebih lucu dari Mas." "Saya masih mendengarnya." Seketika Ratih mengantup bibirnya menahan tawa. Damian ganas, tersengar menakutkan. "Cepat tidur!" "Aku belum mengantuk.” "Jangan berisik kalau begitu!” "Aku mau diam, kata kamu bersuara saja." Seketika Damian menoleh, menatap tanya pada Ratih. "Mas suruh aku mengeluarkan suara saat kita bermesraan, lebih baik kan kedengarannya?" Ratih mengulum senyum, menggoda. Damian memutar bola matanya jengah. "Diam dan tidurlah!” Ratih menaruh ponselnya di atas nakas, mengubah posisinya menghadap Damian. "Mas mau pergi dua minggu kan?" Damian tidak menjawab, tadi dia sudah mengatakannya cukup jelas. "Nggak mau manjain aku dulu sebelum pergi?" Sambil menaikkan alisnya, Ratih bertanya seolah kalimatnya tak menimbulkan apa pun. “Kita main salon-salonan yuk? Sekali-kali kamu perawatan wajah, biar glow-up kayak aku.” Mengulum senyum dengan menunjukkan binar penuh permohonan. "Ra, tidurlah!" Kesabaran Damian kian menipis. Ratih mengujinya sejak tadi, Damian bukan seorang Malaikat. Dia bisa marah dan murka kapan saja. "Kamu bakal kangen aku nanti." Ratih berucap yakin. Mengabaikan rasa malu dan takutnya, Ratih mendekati Damian—perasaannya lumayan tidak mengenakkan. Tanpa diduga, Ratih mengecup bahu pria itu. “Elusin rambut aku kayak Kenan elus rambut Tasya dong. Mesra banget dia, aku jadi pengen disayang kamu juga.” Damian memejam matanya, napasnya tertahan. "Jangan membuat saya marah." "Tapi aku pengen waktu kamu malam ini aja!" Ratih berdecak, bibirnya manyun dengan nada merajuk. "Saya lelah. Ini bukan saatnya bermain-main. Ingat usia kamu, bukan lagi anak remaja yang sedang bucin." Damian masih berusaha mengabaikan, kembali mengetikkan sesuatu pada laptopnya. Ratih merebut benda canggih itu, menutup layarnya hingga matii. "Aku nggak pa-pa banget jadi bucin kamu kalau itu yang buat kamu sayang aku." "Ya Tuhan, itu belum disimpan filenya!" Ratih mendorong Damian, mengubah posisi hingga sekarang dia yang berada di atas tubuh pria itu. Damian melotot, dia tidak percaya ini. "Kebanyakan berteman dengan Nona Tasya!" Damian mendengkus. Tidak jauh-jauh dari Natasya. Pasti Ratih seberani ini diajarkan oleh wanita satu itu. Ratih tertawa. Dia memang habis teleponan dengan Natasya tadi sore. Tidak jelas membicarakan hal apa, tiba-tiba Natasya menyuruh Ratih menjadi agresiif. Jika Damian sedingin es di kutub, maka Ratih harus pintar-pintar mencairkannya. Bagaimana pun juga, Natasya cemas jika Ratih tak hidup bahagia bersama Damian. "Cenayaang kamu?" Damian cepat menahan tangan Ratih yang berusaha menaburkan elusan nakal pada rahang Damian yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Ih, aku mau sentuh!" "Saya seram liatnya. Kamu sepertinya kerasukann!" Tidak marah, Ratih malah tertawa. Setelah itu dia bangkit, mengambil masker dari laci meja riasnya. “Mas kamu mau pakai bandana yang mana?” Menunjukkan beberapa bandana miliknya kepada Damian. “Ra, saya seorang pria tulen. Mana mungkin saja memakai bandana seperti para wanita.” Memutar bola mata malas, menjauhkan bandana itu dari hadapannya. Ratih terkikik. “Yang bilang kamu bencongg siapa? Yang ini aja deh, cakep. Bandana ini fungsinya untuk merapikan rambut kamu, nanti biar maskernya nggak berantakan ke rambut.” Dia memilih bandana kuning motif bunga-bunga, Damian merasa harga dirinya benar-benar dalam genggaman Ratih malam ini. “Tadi Mas udah bersihin muka kan?” Damian bergumam pelan sebagai jawaban. Setelah memaksa Damian menggunakan bandana, Ratih kembali duduk di atas tubuh Damian. Mengaduk masker yang sudah dia campurkan dengan face mist saffron. Salah satu produk yang bagus untuk kulit wajah. “Nggak usah tutup mata, Mas. Ini nggak sampai memenuhi seluruh permukaan wajah kok.” Damian terdengar menggerutu sebal, tapi akhirnya menuruti saja maunya Ratih. Anggap saja dia sedang beramal kebaikan bukan? Setelah ini dia akan terbebas juga dari Ratih selama dua minggu, lumayan sebagai pereda nyeri kepalanya. “Aroma cokelat.” Ratih mengangguk. “Nanti setelah ini aku sulap wajah kamu menjadi lebih tampan.” Sambil mengaplikasikan masker itu dengan rapi. Sesekali pandangan mereka bertemu, Damian selalu berusaha mengalihkan. “Tapi terlalu tampan tidak baik juga, nanti kamu maruk, nggak boleh.” “Ada-ada saja mulut kamu. Bicara yang sedikit berfaedah, biar lebih enak di dengar.” “Jangan bacot, nanti retak maskernya!” Lalu lanjut memberikan vitamin bibir untuk Damian. “Jangan keseringan merokok, nanti bibir kamu menghitam.” “Saya merokok kalau banyak pikiran saja.” “Mau dong dipikirin sama kamu,” celetuknya asal, terkikik geli. Sembari menunggu masker siap—sekitar sepuluh menit, Ratih kemudian membersihkannya hingga kulit wajah pria itu terlihat lebih cerah. Memijat-mijat pelan, Damian merasa rileks dan akhirnya menikmatinya. Ratih juga memakaikan eye collagen mask agar mata Damian tidak terlihat lelah. Sebelum memberikan vitamin bibir kedua, Ratih mengecup singkat. Damian refleks membuka matanya, namun memilih diam ketika melihat senyuman Ratih. “Ada-ada saja wanita ini!” gerutu Damian dalam hati. “Setelah ini sudah!” “Belum. Masih banyak tahapannya. Ada toner, essence, serum, cream malam, dan jelly ini biar kulitnya kinclong.” “Bahkan tanpa itu semua saya sudah sangat tampan!” Ratih melebarkan mata. “Hei, percaya diri sekali Anda ya Pak Damian!” Selesai melakukan semua perawatannya, Damian merasa begitu terbebas. Tanpa dosa dia langsung membuang bandana Ratih sembarangan, lalu mendapat pukulan pelan dari pemiliknya. “Sembarangan main lempar-lempar!” “Bereskan semua ini. Waktunya tidur.” Secepat kilat Ratih membereskan kembali, kemudian bergabung dalam satu selimut yang sama dengan Damian. Ratih kembali merajuk, Damian mengambil posisi membelakanginya. “Mas, menghadap ke arahku. Kalau tidak nyaman saling berhadapan, setidaknya Mas peluk aku dari belakang.” Susah sekali mempunyai suami tidak peka, Ratih harus berkali-kali mengusap dadaa. “Tidak!” “Aku gelitikin kamu!” “Tidur, Ra, sebelum saya buat kamu begadang malam ini.” Mulut Ratih membulat. “Wow, mau dong dibuat begadang.” Damian tidak bercanda, dia langsung menoleh. Memicingkan mata, menatap Ratih yang sedang tersenyum padanya seperti memberikan lampu hijau. Dalam keadaan malam yang begitu cerah, jutaan bintang dan bulan menjadi saksi jika malam ini akan terjadi gelombang cinta yang sangat luar biasa antara dua insan tersebut. Damian akan menjadi dirinya sendiri ketika bercintaa, begitu pun dengan Ratih yang akan membalas setiap perlakuannya. Bersama mereka menciptakan malam yang akan sulit dilupakan, menjadikan bekal untuk Damian hingga dua minggu ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD