4. Di Rumah Sakit

1845 Words
Setibanya di rumah sakit, Ratih yang sedang melangkah bersama Bastian tak sengaja berpapasan dengan Damian yang baru saja keluar dari dalam lift. Ratih menabrak d**a pria itu, meringis sambil mengusap keningnya. Damian yang menyadari wanita itu ternyata Ratih--bersama dengan seorang pria, nampak biasa saja. Tidak menunjukkan respon berlebihan, bahkan seperti tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya. Sangat jelas terlihat jika raut Damian menunjukkan ketidakpedulian, layaknya Ratih itu bukan siapa-siapa dalam hidupnya. "Mas Damian, baru saja dari ruangan Tasya?" tanya Ratih cepat. Dia berdiri tegap, matanya yang cerah bertemu dengan tatapan gelap Damian, penuh intimidasi. "Iya. Sekarang saya mau ke luar sebentar." Datar sekali, tidak ada senyum, apalagi keramahan. Damian memang seperti itu, Ratih tidak kaget lagi. Hanya saja Bastian nampak menaikkan sebelah alisnya, heran. Setidak peduli itu dengan Ratih yang sekarang sudah menjadi istrinya? Wajar jika dalam kepala Bastian mulai bermunculan pertanyaan mengenai sosok Damian ini. Nampak aneh dan tidak masuk akal saja sikap Damian di matanya. Ratih belum sempat berbicara kembali, Damian sudah berlalu begitu saja dengan dua orang berbadan besar lainnya setia mengikuti. Mereka kompak mengenakan pakaian serba hitam dan kacamatanya. Sangat gagah berani, Damian yang paling tampan di antara dua pria lainnya. Saat di dalam lift, Bastian beberapa kali menatap ke arah Ratih yang justru nampak biasa-biasa saja. "Hei, hubungan apa yang sebenarnya mereka jalani?" batinnya tidak paham. Ratih dan Damian seperti dua orang tidak mengenal, sungguh. Percakapan singkat, nada bicara dingin, serta ekspresi wajah dengan tatapan menukik tajam. Apa seperti itu memang bawaan sosok Damian? Miris sekali Bastian melihatnya. Pertemuan pertama yang penuh tanda tanya. Padahal ingin sekali bertanya, Bastian urungkan. Tidak pantas dirinya mengetahui lebih banyak soal hubungan Ratih, apalagi mengingat mereka hanya sekadar teman. Nanti Bastian malah terlihat mau ikut campur urusan orang, dia tidak ingin seperti itu. Biarkan Ratih menjalani semuanya, wanita itu sangat berakal untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Bukan anak kecil lagi, bukan? "Lo bakal kaget liat Tasya. Dia sudah memiliki dua orang anak, tapi badannya masih saja langsing seperti gadis." Ratih tertawa. Mereka sudah memasuki lantai tiga, menuju ruangan VVIP tempat Natasya di rawat. Bastian ikut tertawa. "Berarti nggak cuman nampak di foto ya dia tetap kayak masih gadis. Bahagia sekali kelihatannya bersama Kenan Almeer." Dulu Bastian sempat terkejut mendengar pernikahan kedua insan tersebut, tidak jauh berbeda dengan kabar pernikahan Ratih juga. Semua nampak mendadak dan secara tiba-tiba. Natasya sering membagikan beberapa foto di akun media sosial miliknya. Entah itu fotonya saat sendirian, bersama Kenan, atau lengkap dengan anak perempuannya Zeline. "Ya, bahagia sekali. Syukurlah Tuhan sekarang bersamanya, Kenan pengganti ayah Xavier. Tasya mempunya keluarga yang sempurna, mereka semua baik. Gue deket kok sama mertuanya Tasya juga, ramah banget." Bastian mengangguk cepat mengiyakannya. Melihat Natasya telah berhasil hidup bahagia dengan suaminya, Bastian juga berharap agar Ratih menemukan kebahagiaannya bersama Damian. Ratih maupun Natasya adalah dua wanita baik. Tidak pantas untuk disakiti dan dikecewakan, sebab ada banyak pria di luar sana yang menginginkannya. Saat Ratih dan Bastian datang, hanya ada Kenan yang ada di ruangan itu. Sedang duduk di samping Natasya, mengusap puncak kepala wanitanya sambil menggenggam tangan penuh cinta. Di dalam box bayi, Ifander nampak sedang tertidur pulas. "Tasya, gue datang sama Tian." Ratih tersenyum, Natasya nampak terkejut. Kenan lantas berdiri dari kursinya. "Sayang, aku keluar sebentar ya. Kebetulan Ratih datang, aku mau ada yang diomongin sama mereka di luar." Ada dua pengawal Kenan di luar, menjaga keamanan. Sempat beberapa saat Kenan melempar senyum ramah kepada Ratih dan juga Bastian. "Wei, Tian! Gue pikir lo nggak balik sekarang!" Natasya tidak menyangka Bastian datang. Dia pikir hanya memesan buket bunga untuk dikirimkan sebagai hadiah pernikahan Ratih. Bastian tertawa. "Bar-barnya. Sudah jadi ibu, turunin dikit nada bicara lo Tasya." Geleng-geleng kepala melihat kelakuan satu temannya ini. Tidak jauh berbeda, masih menjadi Natasya yang dulu. Ratih mengusap kening melihat kelakuan Natasya. Untung dia sabar menghadapi teman bermulut mercon seperti ini. Natasya menggerutu. "Mana cokelat buat gue?!" tagihnya dengan nada kesal. Ratih tertawa. "Nggak ada. Nih dia cuman beli buah-buahan." Lalu meletakkan ke keranjang buah ke atas meja khusus untuk menaruh makanan dan barang-barang. "Cihh! Dia nggak bilang ke gue mau balik ke sini, Cha. Ngeselin banget masa!" Natasya mendengkus, melihat kedua tangannya di depan dadaa. "Gue juga kaget. Dia tiba-tiba nyamperin gue ke kafe." Ratih tertawa. "Dia nggak cuman jalan-jalan ke sini, tapi emang sudah pindah kerja. Lumayan, Tasya, ada yang bakal kita repotin setelah ini." Ratih mengulum senyum, bercanda. Dulu memang Ratih dan Natasya sering menjadikan Bastian ATM berjalan dan supir. Selalu minta dibayarin kalau ngumpul dan dijemput. Untung Bastian mempunyai stok sabar yang banyak. "Eh ngomong-ngomong, gue minta maaf ya, Cha. Gara-gara gue lahiran, lo batal mesraan sama Damian seharian ini. Lo juga, kenapa ke kafe sih? Astaga ...!" Ratih mengangkat bahu. "Bosanlah gue sendirian di rumah, hari ini asisten rumah tangga baru mulai bekerja, sama halnya dengan beberapa pengawal yang akan berjaga di rumah. Damian ternyata sebegitu ketat juga pengawasan dan aturannya." Ratih tahu ini untuk keselamatan orang rumah, terutama dirinya. Jadi mencoba membiasakan diri dengan suasana baru dengan orang-orang baru juga. Natasya tertawa tanpa dosa. "Begitulah gue di awal pertama kali jadi istri Kenan. Tuh si Lala, mungkin kalau bukan dia ... sudah gilaa sama kelakuan gue." Sangat bersyukur sebab dikelilingi orang-orang baik Bastian menggelengkan kepala. "Sekarang udah mendingan kan, Tasya? Bahaya kalau masih, udah ada dua anak ini loh." "Sudahlah, hem ... sedikit. Bukan hanya Lala yang gilaa, Kenan juga akan ikut darah tinggi dan serangan jantung kalau gue banyak berulah kayak dulu. Duh, nggak kebayang ternyata gue semenyebalkan itu waktu masih labil." Tidak menyesal, hanya saja sedikit malu ketika memutar kembali waktu pada momen itu. Natasya ingat bagaimana dia sering menyulut emosi Kenan, bahkan berantem setiap hari tanpa celahh sedikit pun. Ratih mencubit gemas lengan Natasya. "Makanya dibilangi itu jangan keras kepala. Ngotot sih, mau menang sendiri terus. Untung Kenan sabar dan tabah ngadepin lo." "Apaan sabar, orang dia pernah kurung gue di gudang." Ratih tertawa, Bastian setia menjadi pendengar yang baik. Kedua wanita itu begitu semangat menceritakan keburukan Natasya di jaman dulu. "Ya elu sih mabuk-mabukan sembarangan. Siapa yang nggak naik darah coba? Kenan yang sabar aja bisa ngamuk, apalagi suami gue ya? Datarnya nggak tertolong, untung ganteng." Dengan mengulum senyum, Ratih nampak merona. Dia selalu memuji Damian dengan gampang, jatuh pada pesona pria dingin itu sedalam-dalamnya. Semoga rasa itu tidak membodohi. Natasya mendesis malu, dia tak ingin lagi mengorek masa lalu yang begitu menggelikan. Sudah berjanji pada dirinya agar menjadi istri dan ibu yang baik. "Oh iya, Zeline ke mana, Tasya? Gue belum pernah ketemu dia, cantik banget gue lihat dari fotonya." "Iyalah, anjirr. Anak gue sama Kenan!" ucap Natasya bangga sambil mengangkat dagu menunjukkan keangkuhannya. Bastian gemas ingin menjitak kepala Natasya, namun urung. Bisa ngamuk Kenan kalau melihat Bastian melakukan hal itu. Duh, jangan sampai. "Dia mirip Kenan, pantas saja cantik." Bastian mengacungkan jempol pada Ratih. Kalimat wanita itu tepat sasaran, baru saja Bastian akan mengatakannya. "Kayak malaikat mukanya. Cetakan Kenan sempurna banget." Bastian menjentikkan jari. "Dengerin tuh, Tasya, Zeline cantik karena mirip Kenan." Natasya mengerucutkan bibir, mendelik jengkel. "Liat tuh baby Ifander, mirip gue. Gantengnya kelewatan!" Mendengkus, melipat kedua tangan di depan dadaa lagi. "Kalian berdua ngeselin banget. Untung gue ikutan Kenan, stok sabarnya banyak." Ratih kembali terkekeh. Natasya masih saja sering merajuk, padahal usianya tidak jauh berbeda dengan Ratih sekarang. Heran saja, tapi lucu juga. "Lo ya Cha, jangan menggunakan pil kontrasepsi kayak gue. Udah cukup buat hamil dan melahirkan, langsung tancap gas aja." Natasya menyarankan, langsung membuat Ratih bungkam seketika. Ratih tersenyum singkat, ujung bibirnya bergetar sebab perasaan sedih kembali datang padanya. Ratih pun maunya demikian, sama sekali tidak ingin menunda. Tapi Damian sedang tidak berpihak pada Ratih, pria itu malah menggunakan pengaman. Bagaimana Ratih bisa baik-baik saja? Entah apa alasan Damian menggunakan cara ini, tapi Ratih akan membicarakannya nanti. Mereka harus menyelesaikan perkara satu ini, sebab Ratih akan sedih jika Damian terus-terusan menggunakan karet sialan itu. Mereka sudah menikah, bukankah kehamilan adalah salah satu kabar membahagiakan yang pasti akan ditunggu-tunggu bukan? Ratih sekali lagi menyunggingkan senyum. Bastian nampak meragukan respons yang Ratih berikan, buktinya sekarang pria itu tak mengalihkan tatap dari raut wajah Ratih. "Gue nggak minul pil, Tasya. Emang sejak awal sudah gue bilang, gue juga mau punya bayi dan di panggil Bunda." Hatinya menghangat. Indah sekali membayangkannya. Ratih akan menjadi wanita paling bahagia mungkin kali ya? Kalau punya anak, Ratih jadi tak sendiri lagi. Dia memiliki teman. Obrolan terhenti ketika Senja datang bersama Zeline. Anak itu tersenyum ceria, melangkah riang menuju Natasya--masih dengan seragam sekolahnya. Sebenarnya bukan sekolah seperti pada umumnya sih, soalnya umur Zeline belum cukup. Tapi karena anak itu pengin belajarnya tinggi, jadi Natasya memutuskan Zeline ikut kelas khusus untuk anak sebelum memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak. Bahkan sekarang Zeline sudah bisa menggambar, mewarnai, menulis huruf maupun angka, dan berhitung. Zeline cepat tanggap, dia secerdas Kenan. "Mama, Zeze datang." Natasya mengangguk, mengusap puncak kepala anak itu. "Tante Ratih. Hem ... kalau Om itu siapa?" sapa Zeline pada Ratih, lalu mengalihkan pandangan pada Bastian. Ratih mengusap pipi Zeline. Mata anak itu berbinar indah, bulu matanya lentik beberapa kali mengerjap imut. "Dia Om Bastian. Panggil saja Om Tian. Teman tante dan Mama kamu." Zeline mengangguk mengerti. "Hai, Om Tian." Sambil melambaikan tangan pelan. Mengulas senyum tipis. "Cantiknya, Sayang. Coba ke sini, Om mau liat Zeze secara dekat." Bastian mengulurkan tangannya ke arah Zeline. Ank itu tak langsung mengiyakan, mentap Natasya dulu. Ketika Natasya mengangguk, barulah Zeline melangkah pelan dan duduk di pangkuan Bastian. "Zeze sangat cantik dengan kuncir kuda. Siapa yang ikatin rambutnya?" tanya Bastian mencoba mengakrabkan diri. Secara dekat bahkan Zeline jauh lebih cantik. Wajahnya imut sekali, tidak pernah bosan untuk ditatap. Zeline menunjuk ke arah Senja. "Onty Sei. Aku tidur bersamanya semalam di rumah, dia yang memandikanku, membuatkan sarapan yang enak, dan menungguku di sekolah," jawabnya secara jelas. Lihat dari cara berbicaranya, Zeline pandai sekali. Bastian melirik sebentar ke arah Senja yang sudah duduk di sofa. Dia menganggukkan kepala ramah. "Begitukah? Wah ...." Bastian mengulas senyum pada Zeline, mengusap punggung anak itu. Zeline mengangguk. "Mama, kapan Ade Ifander bangun? Aku mau melihatnya minum susuu lagi!" celetuk Zeline polos. Dia menunjukkan deretan gigi miliknya. "Belum, Sayang. Sabar ya ...." Ratih mengambil Zeline dari pangkuan Bastian. "Zeze mau ikut ke rumah Tante nggak? Ada Om Damian juga loh di rumah." Zeline mengernyit. "Tante Ra ngapain di rumah Om Ian? Ada acara lagi kah?" Ratih terkekeh. "Tantekan sudah menikah dengan Om Ian, tentu saja tinggal bersama di rumah Om Ian. Nanti main yuk ke rumah, temani Tante nonton televisi mau?" "Boleh. Tapi nanti ya Tante kalau aku libur sekolah." "Oke. Izin dulu coba sama Mama kamu. Dibolehin nggak?" Zeline menoleh pada Natasya. "Mama, Zeze boleh ikut ke rumah Om Ian sama Tante Ra?" Natasya mengangguk, memberikan senyuman manis. Zeline mengedipkan sebelah matanya. "Boleh kok, Tante. Aku katanya mau dibelikan Om Ian boneka beruang yang besar." Ratih mengangguk senang. "Nanti kalau Zeze ke rumah, tante belikan bonekanya ya?" Dengan cerianya, Zeline mengangguk sambil bertepuk tangan. Bastian gemas, dia mengusap puncak kepala anak itu. "Lucunya anak ini ...!" gumamnya sambil tersenyum lebar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD