Ibrahim Al Mufti, baru lulus kuliah, saat ditanya kapan akan melamar kerja, tapi lelaki berwajah rupawan itu menggeleng keras atas pertanyaan Abbah dan mamanya.
Mata sipit Ibrahim memicing kala telinganya mendengar rentetan tanya seputar karir yang akan ditapaki Baim, begitu dia biasa dipanggil.
Pertanyaan seputar kapan akan melamar kerja, masih bisa ditolerir, tetapi kalimat tanya tentang; kapan akan nikah? Itu yang membuat pikiran Ibrahim dilanda sesak seketika. Dia mau-mau saja menikah muda, tapi sebagai makhluk analogis yang lebih mengedepankan logika, pernikahan bagi Ibrahim sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan sangat matang. Bukan hanya dari segi finansial, tapi kesiapan mental dan batin, karena baginya menikah itu sekali untuk seumur hidup. Di luar kata sakral, ada hal lain yang tak kalah penting, tentang tanggung jawab, komitmen dan visi misi bersama pasangan.
"Aku maunya merintis usaha dulu, Ma, baru nanti mikirin nikah, sukses dulu," ucapnya pada sang mama.
"Memangnya Inara mau nunggu kamu sampai siap? Kalian sudah tunangan loh, dari kamu semester dua." Irene ibunya bertanya balik. Ibrahim mengangguk penuh keyakinan. Dia dan Inara, kekasihnya, telah menjalin hubungan sejak mereka awal masuk kuliah. Ibrahim juga kerap menegaskan pada Inara bahwa dia ingin lulus dulu, meniti karir dulu, baru nanti memikirkan soal pernikahan, minimal usaha yang dimulai sudah berkembang.
Memiliki orangtua pebisnis menjadikan Ibrahim juga ingin mendirikan bisnis sendiri daripada harus menjadi seorang b***k korporat. Prinsipnya, dia harus bisa mendirikan lapangan pekerjaan lewat tangannya sendiri.
Ibrahim muda memang sangat ulet dan cergas. Persis abahnya. Dimulai dari saat kelas 10, Baim sudah terbiasa membantu menjaga toko kain milik Abah. Toko kain Abah terbilang sangat ramai dengan beberapa cabang di pusat perbelanjaan serta ruko. Ibrahim biasa membantu melayani pembeli atau menghitung stok barang. Abbah tidak menggratiskan tenaga putranya, Ibrahim digaji layaknya karyawan lain.
Uang hasil kerja kerasnya Baim simpan, rencananya akan dia pakai untuk mulai merintis bisnis. Ibrahim yang gemar wisata kuliner tercetuskan ide ingin membuat usaha yang berkaitan dengan dunia kuliner.
Ibrahim Al Mufti dua bersaudara, dia anak pertama, sedang adik bungsunya, Zhivana saat ini baru kelas 9. Selisih umurnya dengan sang adik memang agak jauh, 12 tahun.
Ibrahim terlahir dari pernikahan lintas etnis, blasteran istilahnya. Irene atau yang sekarang akrab dipanggil Riana -- mamanya seorang mualaf yang awalnya berkewarganegaraan Korea Selatan, sedangkan Abah-nya, Abdullah Mufti kelahiran Indonesia dengan darah keturunan Arab. Perpaduan yang unik tercipta di wajah Ibrahim. Matanya sipit, kulitnya putih bersih, alisnya berderet tebal dan hidungnya mancung khas orang timur tengah. Nah, loh. Bisa dibayangkan sendiri. Gen dari sang mama memang lebih mendominasi wajah Ibrahim Al Mufti. Malahan yang tidak tahu, banyak yang memanggilnya dengan sebutan Kokoh, panggilan anak laki-laki keturunan Chinese. Padahal tidak ada darah Tionghoa mengalir di tubuhnya.
Langkah Baim untuk merealisasikan bisnis mendapat dukungan semesta saat dia berkenalan dan bertemu Arshaka. Teman kuliah satu fakultas dengannya. Sama-sama memiliki visi dan misi tentang bisnis, keduanya nyambung saat mengobrol, akhirnya tercetus ide mendirikan usaha bersama.
Ibrahim yang sebentar lagi lulus S1 manajemen bisnis telah menjalin hubungan dengan Inara. Gadis yang dipacari sejak lelaki itu semester satu. Hubungan yang awet, sampai laki-laki itu duduk di semester 6, dan Nara meminta keseriusan pada lelaki berlesung pipit tersebut. Nara dengan gamblang minta dilamar secara resmi. Ibrahim menyanggupi. Toh dia pikir, usaha sudah jalan, penghasilan tetap dari bisnis sudah mulai stabil. Ibrahim akhirnya datang melamar Inara secara resmi. Tanggal pernikahan ditetapkan oleh kedua keluarga, dan akan dihelat nanti saat mereka selesai wisuda.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bisnis kuliner Ibrahim tiba-tiba harus terjun, merosot tajam di tengah gempuran pandemi yang sedang melanda seluruh negeri. Dari lima gerainya yang buka, hanya tersisa satu saja. Itupun sangat menyulitkan Ibrahim, karena untuk bertahan harus menguras isi tabungan, untuk biaya sewa gerai, biaya produksi dan gaji karyawan. Beruntung Ibrahim memiliki sahabat seperti Shaka yang akhirnya mengambil alih usahanya untuk dikelola bersama dengan presentase penghasilan dibagi rata.
Di tengah masa sulit, Ibrahim tidak menyangka justru menuai protes Inara. Gadis itu merasa kurang suka saat Ibrahim menghentikan subsidi jatah uang bulanannya, "Aku ini calon istri kamu loh, kenapa perhitungan banget sih!" Protes Nara. Baim hanya bisa hela napas panjang. Selama ini setiap bulan dia memang rutin memberikan jatah uang pada Nara. Toh, Ibrahim pikir kelak Nara akan mendampinginya, jadi tidak ada salahnya. Hitung-hitung belajar menafkahi, dan Inara belajar mengelola uang.
"Tolong ya, aku cuma minta pengertian kamu aja, bukannya perhitungan. Saat ini lagi di masa paling sulit. Aku butuh support kamu, Ra. Insyallah saat semua membaik, tanpa kamu minta pun aku bakal ngasih sendiri." Ibrahim memelas, meminta pengertian Nara.
Gadis itu malah melengos. Bibirnya keluarkan banyak cercaan, "Kalau nggak ikhlas bilang aja, nggak usah sengak gitu omongan kamu! Aku kira kamu itu sama baiknya kayak pacarnya teman-teman aku, kayak suaminya Mbak Dilla, tapi nyatanya kamu jauh dari bayanganku!" Inara membandingkan Ibrahim dengan pacar temannya serta suami kakak sepupunya yang dinilai selalu royal pada pasangan mereka. Kalimat Inara benar-benar menyinggung perasaan Ibrahim. Padahal dulu apa-pun yang diminta Nara, Baim selalu memenuhi. Tidak pernah perhitungan.
Puncaknya saat Ibrahim mendapati Inara sedang bersama laki-laki lain. Alih-alih minta maaf, Nara malah memberi satu sepak-an keras di hati Baim dengan memutuskan jalinan kasih mereka. Ibrahim patah hati. Sakit. Nyeri tapi tak berdarah. Ceruk perasaannya seperti disayat. Orang yang awalnya dinilai tulus malah memberinya luka mendalam.
Empat tahun berlalu ....
Suara seremonial dari MC acara menggema seisi balroom hotel yang disewa untuk acara resepsi malam ini. MC memandu acara lempar bunga yang akan dilakukan oleh sepasang pengantin. Ibrahim hanya menyaksikan dari jauh. Duduk di sudut meja VIP sembari menikmati kudapan yang tadi dia ambil.
Mata Baim sontak memicing saat merasai ada yang memukul pelan bahunya. Reflek ingatan memori lampau beberapa tahun silam yang mengitari otaknya ambyar seketika.
"Jomblo ngelamun terooos! Kapan mau nyusul, Ngab?" Pertanyaan dari kawan akrabnya melintas di telinga Baim.
Baim berdecih mendengar pertanyaan yang lebih terasa seperti ejekan. Siapa lagi kalau bukan Arshaka. Mentang-mentang saat ini statusnya sudah berganti menjadi suami, terus saja merecoki Ibrahim dengan pertanyaan, 'kapan nyusul'.
"Kamingsun, Wak! Tunggu aja, nanti juga gue nyetak undangan," sahut Baim sekenanya. Undangan syukuran tapi.
Lanjutnya menggumam pelan. "Lo ngapain di sini, Wak? Sono naik ke pelaminan, pengantin kok jalan-jalan."
"Nikah Ngab, biar nggak ketinggalan nikmatnya surga dunia." Seringai jail Arshaka sembari menepuk-nepuk lengan Ibrahim. "Laper gue, Ngab, mau makan dulu, Lo nggak tau rasanya, gue belum makan dari siang, disuruh berdiri sampai jam segini, capek banget ini kaki." Masih lanjut Shaka mengeluh.
Baim tersenyum miring, "Kata Lo nikmat, Wak?!"
"Baru capeknya Ngab, tapi rasanya, beeeh, bahagia banget Ngab."
"Makasih Ngab, Lo duluan aja. Gue santuy, always happy."
Shaka melengang kembali ke singgasana sehari-nya, Baim kembali menatap malas gegap gempita suasana pesta pernikahan sahabatnya. Ibrahim turut berbahagia, hanya saja sudut hatinya terasa kosong.
Karir Alhamdulillah lancar. Rumah, mobil dan satu apartemen sudah punya -- meski sekarang apartemen tersebut disewakan, karena sayang kalau dianggurkan. Hanya satu yang belum. Pengisi hatinya yang kosong.
Ibrahim kembali menyantap makanannya. Hiruk pikuk suasana pesta resepsi Arshaka sama sekali tidak menarik minatnya untuk sekadar cuci mata atau berkenalan dengan para gadis yang hadir sebagai tamu undangan. Baim cukup tahu bagaimana rasanya sakit hati dan kecewa ketika dulu dia salah melabuhkan hati. Pria berlesung pipit itu tersenyum miring. Kadang dia merasa menjadi apatis menyangkut perasaannya sendiri. Mati rasa?
Tidak juga, Ibrahim beberapa kali ingin mendekati perempuan, tapi hatinya juga berkali-kali meragu. Banyak faktor serta rasa takut saat ingin mengungkapkan keseriusan.
Ibrahim hanya tak ingin jatuh di lubang yang sama. Ditinggal saat lagi sayang-sayangnya, itu sangat menyakitkan. Mental breakdance seketika. Apalagi dalam angannya sudah terancang kilasan masa-depan yang ingin dijalani bersama orang yang dikira cinta sejati. Semua ambyar seperti genggaman pasir dalam telapak yang tersapu angin. Hilang. Meninggalkan titik-titik kecil rasa perih.